Bentuk Intoleransi Hari Ini Pada Pemakai Cadar

Cadar- Pada tahun 1980an para muslimah yang berjuang melegalkan jilbab harus menghadapi berbagai intimidasi, pencekalan, pengucilan, hingga pelabelan aliran sesat dan radikal. Saat itu banyak sekolah dan kampus yang melarang penggunaan jilbab. Larangan pas foto berjilbab di ijazah menjadi kisah menarik bagi mereka yang mengalami fase ini. Dari yang terpaksa memasang foto tanpa jilbab sampai yang berjuang melobi pihak sekolah. Ancaman pihak sekolah pada para jilbaber pun tak main-main.

Pilihannya melepaskan jilbab atau keluar dari sekolah. Belum lagi ketika berbicara dunia kerja. Banyak orang tua khawatir anaknya tidak mendapat pekerjaan lantaran mengenakan jilbab. Dan memang saat itu banyak perusahaan yang menolak karyawannya berjilbab. Sampai tahun 2000an beberapa kasus pelarangan jilbab di perguruan tinggi, instansi pemerintah, perusahaan, masih terjadi. Alhamdulillah fase itu kini telah berakhir. Saat ini jilbab telah menjadi pakaian keseharian mayoritas muslimah di Indonesia, bahkan menjadi trend.   

 

Baca Juga: Ada Apa dibalik Media?

 

Kini, fase perjuangan itu kembali dialami oleh para muslimah yang mulai sadar untuk menutup wajah mereka dengan cadar. Tatapan sinis dan pelabelan teroris serta radikal kerap mereka dapatkan. Beberapa lembaga pendidikan juga menolak penggunaan cadar dengan dalih mengganggu komunikasi atau penegakan peraturan.

Baru-baru ini sebuah universitas swasta di Pamulang mengeluarkan peraturan pelarangan cadar di lingkungan universitas tersebut. Bila dirunut kebelakang, ada beberapa universitas yang melakukan hal sama. Kasus yang sempat terdengar terjadi pada akhir 1999. Dua mahasiswi kedokteran USU (Universitas Sumatera Utara) menerima surat resmi pelarangan cadar. Alasannya karena cadar dapat menghalangi aktivitas belajar dan komunikasi dengan dosen.

Tahun 2013, pelarangan terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM). Korban yang terkena pelarangan tersebut adalah Sumayyah. Dia dikeluarkan oleh pihak kampus lantaran bercadar.

2015, Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin tidak mengizinkan mahasiswinya memakai cadar karena menganggu proses belajar mengajar.

Pelarangan cadar juga terjadi  di IAIN Jember pada April 2017. Alasannya, cadar dinilai tidak mencerminkan Islam yang ramah dan menyejukan.

 

Baca Juga: Pembunuhan Karakter

 

Arogansi pihak kampus yang memberlakukan aturan diskriminatif merupakan cerminan dari tindakan intoleran. Bagaimanapun, penggunaan cadar, secara ilmiah tak pernah mengganggu efektifitas dan kinerja seseorang baik di lingkungan pendidikan maupun pekerjaan. Lebih jauh dari itu, ekspresi beragama dan keberagaman harusnya bukan hanya sekadar retorika belaka, tapi diresapi dan dipraktikkan.

Pelarangan demi pelarangan tersebut murni inisiatif (arogansi) lembaga pendidikan tertentu. Tak pernah ada riset ilmiyah bahwa cadar mengganggu efektifitas dan kinerja seseorang. Kemenristek Dikti pun hingga saat ini tidak melarang mahasiswi maupun dosen menggunakan cadar di dalam kampus. Bercadar adalah hak seorang warga negara Indonesia. Hal senada juga diungkapkan menteri agama. Menurutnya, cadar adalah bagian dari keyakinan yang harus dihormati dan dihargai. Pelarangan cadar merupakan bentuk intoleransi oknum tertentu kepada umat Islam.

 

Oleh: Redaksi/Terkini

 

Selamat Dengan Satu Kalimat

Ada kisah yang sangat dramatis, namun bukan drama rekaan atau sandiwara. Melainkan kenyataan yang kelak terjadi di hari Kiamat. Kisah yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara shahih oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad.

 

Kisah Pelaku Banyak Dosa

Kisah tentang anak manusia yang dibebaskan dari neraka, dan disaksikan oleh seluruh manusia, dari yang awal hingga yang paling akhir. Mari kita ikuti kisah berikut ini.

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.”

Termasuk kita, kelak juga akan menyaksikan peristiwa itu.

“Ketika itu dibentangkan 99 tumpukan buku catatan (keburukan) miliknya. Setiap buku catatan dosa panjangnya sejauh mata memandang.”

Ini menggambarkan betapa banyak dosa yang dilakukannya. Bayangkan juga dosa-dosa kita, berapa kali dalam sehari berbohong, berucap kotor, atau menggunjing, padahal setiap kata yang terucap itu ada catatannya, ada malaikat pencatat yang senantiasa menyertai. Begitupun dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan, kaki dan anggota jasad yang lain. Semuanya tercatat dan tak satupun terlewat.

Banyak manusia kelak akan terbelalak melihat akumulasi dosa yang semua tercatat dengan detil. Seperti yang dikisahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam ini. Dia melihat 99 tumpukan buku catatan yang berisi segala keburukan yang telah dilakukannya. Tak terbayang betapa malu, takut dan paniknya ketika itu.

 Kemudian Allah berfirman,

“Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah berlaku curang kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rabbku.”

Di dunia, mungkin banyak yang bisa berkilah dengan lidah, mengelak dengan trik dan mencari kambing hitam, namun ketika itu dia tak berkutik. Karena tidak ada satupun yang meleset, keliru atau salah tulis. Semua persis dengan kejadian nyata yang memang dialaminya, baik waktu maupun tempatnya. Tak ada lagi celah untuk berkilah.

Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?” Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku.”

Tak sanggup lagi dia beralasan. Karena dakwah telah sampai di telinganya, dia juga sudah tahu bagaimana seharusnya dan apa yang semestinya tidak dilakukannya. Tapi, ia cenderung mengikuti hawa nafsu yang tergiur mencicipi dosa demi dosa yang tampak menggiurkan. Seperti kita, berbagai kewajiban yang telah kita ketahui ilmunya, dan Allah memberi kita kesempatan, namun tak semua kewajiban kita tunaikan. Begitupun berbagai dosa yang telah kita ketahui keharamannya, tak serta merta kita tinggalkan semuanya. Semestinya kita banyak mengingat saat-saat seperti ini, untuk mempersiapkan jawaban di akhirat nanti.

Orang tersebut, saking takutnya dan merasa bakal celaka lantaran begitu banyaknya dosa-dosa, ia melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya, lalu Allah mengingatkannya.

 Allah berfirman, “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun.”

Sebagaimana keburukan diperlhatkan dari yang besar hingga yang kecil, maka kebaikanpun juga ditampakkan, meskipun itu dianggap kecil. Dalam keadaan takut karena banyaknya dosa, tentu ia berharap masih punya simpanan kebaikan yang akan mengimbangi keburukannya, atau minimal mengurangi beban timbangan keburukan yang begitu berat. Bayangkan jika orang itu adalah kita, pasti akan penasaran dan harap-harap cemas, kiranya apakah gerangan kebaikan yang belum dia ingat itu. Dan ternyata terlihat hanya sebuah kartu kecil…

“Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu kecil) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.”

Ya, kartu yang hanya bertuliskan satu kalimat syahadatain, yang jika dilihat ketebalan dan ukurannya amatlah jauh dari tumpukan buku catatan keburukan miliknya.

 Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’.

Saat itu, ia pun pesimis pada saat didatangkan timbangan, sementara ia melihat begitu jauh perbandingan antara kebaikan dan keburukannya. Harapannya nyaris sirna setelah melihat kebaikannya hanya berupa satu kalimat yang singkat tertulis dalam satu kartu yang kecil.

Dia berkata, “Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh buku catatan keburukan itu?”

Ini menggambarkan betapa pesimisnya ia. Akan tetapi,

Allah berfirman, “Sungguh kamu tidak akan dianiaya.”

 

Selamat dengan Satu Kalimat

Allah tidak menganiaya hamba-Nya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan akan ditimbang, apalagi kebaikan yang memiliki nilai yang besar dan agung. Dan apa yang terjadi kemudian sangat dramatis. Nabi melanjutkan kabarnya,

فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَىْء

Kemudian diletakkanlah tumpukan buku catatan keburukan tersebut pada satu daun timbangan, sedangkan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka tumpukan buku catatan keburukan tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Allahu Akbar, peristiwa yang menegangkan tersebut berakhir dengan keberuntungan orang itu. Ia akhirnya selamat dengan modal satu kalimat, yakni syahadatain. Ini menunjukkan betapa agung kalimat ini. Akan tetapi, apakah hanya dengan ucapan kosong tanpa tahu konsekuensi dan maknanya? Tentu saja tidak.

 

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Sebagian menyangka bahwa sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Seakan tak ada ketentuan lain kecuali ucapan. Padahal, apalah artinya ucapan jika hati dan tindakannya berseberangan dengan apa yang diucapkannya. Para munafik pun tak hanya mengucapkan syahadat, bahkan berbagai amal wajib dan sunnah dikerjakan, tapi mereka mendekam di neraka yang paling dalam. Karena apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan isi hati dan perbuatannnya.

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih ketika beliau ditanya,

“Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Ya, memang benar. Akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi yang sesuai, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.”

Begitupun tatkala memahami hadits yang diriwayatkan oleh Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemaknaan hadits-hadits yang mengandung pernyataan muthlaq seperti dalam hadits pertama dan kedua tersebut haruslah dibawa kepada makna yang muqayyad, yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan pantangan-pantangan yang harus dihindarkan. Sehingga tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain.

Setidaknya orang yang mengucapkannya mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, sekaligus konsekuensi yang harus dilakukannya. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

 “Barangsiapa yang meninggal, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, ia pasti masuk surga” [HR Ahmad].

Kalimat “la ilaha illallah” memiliki makna dan konsekuensi yang besar. Kalimat inilah yang menjadi poin permusuhan antara yang haq dan yang dan bathil. Karena kalimat inilah orang-orang musyrikin Arab dahulu memerangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mereka tidak mengingkari bahwa Allah lah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, bahkan mengatur alam semesta. Hanya saja mereka tak sudi mentauhidkan Allah dalam ibadah tanpa menyekutukan dengan sesuatu yang merupakan inti dan konsekuensi dari kalimat la ilaha illallah.

Jikapun seseorang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat, atau berulangkali melantunkan kalimat thayibah la ilaha illallah menjadi tidak berfaedah jika kemudian dia melakukan kesyirikan. Bahkan teramasuk seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan, sebagaimana firman Allah,

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar 65)

Wallahu a’lam bishawab

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muthalaah

Mencoba Saling Memahami

Hampir satu tahun berlalu ketika saya mendapat undangan untuk membedah sebuah buku tentang curhat seorang istri di ibukota. Beberapa bulan kemudian membedah ‘pasangan’ buku itu sebagai pembanding. Secara umum, isinya tentang keinginan masing-masing ingin agar pasangannya bisa memahami dirinya dengan baik, agar hubungan mereka semakin berkualitas.

Sekarang hal ini menjadi trend dalam kajian-kajian bertemakan keluarga sakinah. Jadwal saya padat dengan permintaan kajiaan bertemakan ‘suamiku dengarkanlah curhatku’, sampai beberapa bulan ke depan. Gejala apa ini? Kesadaran untuk bisa memahami pasangan dengan lebih baik sedang tumbuh, atau banyak keluarga yang merasa tidak dimengerti karena gagal berkomunikasi, atau keduanya?

 

Baca Juga: Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

 

Yang saya bedah, sebenarnya, bukan buku baru. Namun tema yang cenderung ‘abadi’ tentang rahasia pernikahan bahagia, yaitu pemahaman yang baik tentang pasangan, jelas punya nilai kekinian yang sangat cukup untuk selalu dikaji. Dan buku ini bisa menjadi batu loncatannya. Apalagi faktanya, banyak pasangan suami istri yang gagal mewujudkan keluarga bahagia meski mereka sama-sama memiliki niat baik. Sehingga terasa aneh jika kedua belah pihak yang sama memiliki niat untuk bahagia, namun akhirnya gagal meraihnya.

Tapi fakta menunjukkan fenomena itu. Bahwa kebahagiaan keluarga tak cukup dibangun hanya dari niat baik semata. Selain faktor ilmu yang memadai sebagai bekal, faktor pamahaman akan pasangan memiliki saham yang kuat untuk mencapai kebahagiaan yang didambakan itu. Bukan saja akhirnya, masing-masing lebih bisa memahami, mengerti, dan menghargai pasangan, namun juga menjadi lebih sehat dalam berkomunikasi.

Mendudukkan persoalan secara benar dan proporsional dan bukan hanya berdasarkan asumsi. Sebab kenyataan yang harus diterima dengan baik oleh pasangan suami istri adalah bahwa lelaki dan perempuan tidak sama, dan tidak akan pernah sama, sampai kapanpun.

Para perempuan yang secara alami memiliki kecenderungan ‘keluar gua’, atau tidak sabar untuk membagi persoalan yang dihadapinya kepada orang lain, nyatanya tidak mudah membaginya justru kepada para suami mereka. Keenganan itu muncul, entah karena suami memang terlihat sangat sibuk sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang ringan dan santai, atau adanya kekhawatiran jika gayung tak bersambut sehingga menambah luka hati, atau malah khawatir jika pembicaraan yang diinginkan menjadi tambahan beban suami yang sudah terlihat berat.

 

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Paling Tragis

 

Dengan bahaya isyarat dan pertanda, para istri ingin agar para suami bisa mengerti dan memahami posisi mereka. Namun seringkali hal itu tidak mudah karena berbagai hal. Sehingga momen kajian dengan tema seperti ini menjadi ajang untuk memahamkan kepada para suami tentang siapa sebenarnya para perempuan yang kini menjadi para istri itu. Tentang perbedaan mereka dengan para lelaki, harapan dan keinginan, hingga sikap seperti apa yang mereka rindukan dimunculkan para suami dalam kehidupan berumah tangga.

Dalam situasi seperti inilah, seringkali saya merasa menjadi juru bicara para istri kepada para suami untuk bisa menyampaikan berbagai persoalan itu. Mereka berharap saya bisa berbicara dengan jelas dan runtut, lengkap dengan dalil-dalil tanggung dibutuhkan, sedang saya berharap para suami yang mendengarkan menemukan pencerahan. Apalagi dengan pendekatan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah kelak. Agar kita tidak menjadi arogan dan sensitif ketika diingatkan akan tanggung jawab sebagai suami atau istri, untuk kemudian marah-marah secara emosional.

Sebab pernikahan tidak bisa kita klaim sebagai milik kita sendiri, sehingga mengabaikan batasan syar’i tentang hak dan kewajiban dengan alasan ini rumah tangga saya, dan melarang orang lain untuk ikut campur. Tetapi pernikahan adalah ibadah yang jika syarat penerimaannya diabaikan, maka akan sangat melelahkan bagi pelakunya tanpa jaminan penerimaan dari Allah sebagai amal shalih kita.

 

Baca Juga: Ujian Keimanan Pasangan Beriman

 

Berbagai kajian ini adalah upaya saling menasihati dan mengingatkan agar kita melakukan semua tindakan kita dengan sadar dan bertanggung jawab, berdasarkan ilmu yang cukup dan keikhlasan hati agar menjadi tambahan amal shlih kita di sisi Allah, dan bukan menjadi ajang eksploitasi pasangan dengan berlindung di balik dalil-dalil syar’i. Juga sebagai alat bantu untuk melihat posisi pasangan kita secara lebih adil. Bahwa kita tidak bisa mengabaikan perasaan pasangan dalam hidup berumah tangga sebab dia juga bekerja keras untuk kebahagiaan keluarga dan berharap hasil yang setimpal. Di sisi lain, harapan mewujudkan keluarga yang bahagia, yang samara, betul-betul merupakan kerja ta’awun yang melibatkan seluruh anggota keluarga sehingga menjadi ringan dan melegakan.

Saya berdoa agar diberi kesehatan agar upaya menghidupkan kajian-kajian keluarga bisa memberi manfaat yang maksimal. Karena saya rindu melihat keluarga-keluarga yang bahagia dalam arti yang sebenarnya. Kententraman batin yang kuat, komunikasi yang sehat, hingga output berpa anak-anak shalih sebagai tabungan akhirat benar-benar bisa terwujud. Semoga!

Dilema Klasik: Menikah atau Mengejar Obsesi?

Ada dilema klasik yang secara turun temurun dialami oleh kaum muda. Yaitu kebingungan antara menikah atau menundanya demi meraih cita-cita dan obsesi. Biasanya dilema ini muncul saat angka depan dari umur sudah berganti menjadi angka 2. Kalau sudah kepala tiga, statusnya bukan dilema lagi tapi beban.

Dua pilihan ini memang membingungkan. Di satu sisi, saat umur-umur duapuluhan ke atas keinginan untuk menikah memang mulai menguat. Secara psikis maupun fisik, seseorang memang sudah berada dalam fase menuju matang dan siap berumah tangga. Anjuran syariat untuk segera menikah berikut berkah dan anugerah yang dijanjikan semakin menguatkan keinginan. Lebih dari itu, kekhawatiran pada  fitnah lawan jenis adalah alasan utama untuk segera melaksanakannya. Fitnah yang satu ini memang seringkali membuyarkan fokus dan tujuan. Ditambah bayang-bayang romantisme saat bertemu belahan jiwa nanti, seakan-akan tidak ada lagi alasan untuk menunda.

 

Baca Juga: Katanya, Adik tak Boleh Mendahului Kakaknya Menikah?

 

Tapi di sisi lain, kegamangan juga sama kuatnya merambati pikiran. Secara kodrati seseorang pasti menyadari bahwa menikah akan membelah dirinya; waktunya, tenaganya dan pikirannya. Padahal masih ada cita-cita, target dan obsesi yang ingin dicapai. Dan menurut prediksi rasio, rasanya sulit meraih obsesi jika hanya bermodalkan kebulatan tekat tanpa kebulatan fokus, pikiran, tenaga dan waktu. Soal anjuran syariat, toh beberapa ulama menjelaskan, menikah masih boleh ditunda demi sebuah target yang membawa kemashlahatan yang nyata serta mampu bersabar.

Menghadapi kebingungan ini tidak sedikit yang akhirnya hanya bisa berujar, “Biarlah waktu yang menjawabnya.” Sebenarnya, kalau kita cermat dalam mengurai masalah, kita tidak perlu menyerahkan jawabannya kepada waktu karena pilihannya ada di tangan kita. Yang kita perlukan adalah memahami secara proporsional konsekuensi dan tuntutan yang ada pada tiap pilihan.

Kalau kita ingin memilih segera menikah, perlu diketahui bahwa prediksi rasio di atas ada benarnya. Menikah memang tidak akan menghalangi tujuan dan cita-cita sama sekali. Namun, menikah pasti menuntut waktu, tenaga, sepertiga, separuh atau bahkan lebih dari itu. Padahal secara kauniyah hanya tiga fasilitas inilah yang dapat kita jadikan alat untuk meraih target dan cita-cita. Untuk meraih cita-cita tertentu dalam menuntut ilmu misalnya, tidak sedikit para ulama yang menunda nikah atau bahkan ada yang sampai tidak menikah. Imam Ahmad menunda nikah demi ilmu hingga umur 40. Ibnu Taimiyah dan Imam ath Thabari bahkan rela membujang hingga akhir hayat, meski tidak pernah menganjurkan hal itu kepada murid-muridnya.

 

Baca Juga: Orang Tua Belum Mengizinkan Menikah

 

Sebagian orang menasehatkan, menikah tidak akan menghalangi seseorang menuntut ilmu. Bisa saja kuliah sambil menikah. Tapi kadangkala persoalaannya tidak sesimpel itu. Menikah dan berumah tangga adalah pekerjaan yang tidak mungkin dijadikan sambilan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan rumah tanggalah yang akan menjadikan urusan lain sebagai sambilan. Apalagi jika sudah punya momongan.

Silahkan saja bertanya pada yang sudah menikah, berapa persen waktu yang harus mereka berikan untuk mengurusi rumah tangga. Tentunya jangan bertanya pada yang menelantarkannya.

Namun begitu, hanya berpatokan pada logika di atas juga tidak sepenuhnya benar. Banyak juga yang mendapatkan track menuju kesuksesan justru setelah menikah. Menjadi penulis, mendapat banyak ilmu dan meraih obsesi justru bisa didapat setelah menikah. Hati yang lebih tenang, bantuan dan kerjasama dengan isteri menjadi faktor yang sangat memengaruhi. Tantangan memenuhi ma’isyah sekaligus hasrat  meraih obsesi justru melecut semangat yang menjadikan usaha dua kalipat kuatnya dari sebelum menikah. Tuntutan hidup juga semakin memupuk kedewasaan dan membuat jiwa lebih sadar akan arti hidup, cita-cita dan masa depan.

Imbang. Dua-duanya memiliki nilai kebenaran argumentatif masing-masing. Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan dan membikin bingung bukanlah pilihannya, tapi kesiapan kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Karena bagaimanapun kita pasti akan memilih salah satu. Bukankah kalau kita menghindari dilema ini dengan membiarkannya, dan tidak menikah, berarti kita sudah memilih?

 

Baca Juga: Berwasiat Tidak Boleh Menikah Lagi

 

Pilihan apapun tetap akan membawa kita meraih apa yang kita inginkan asal punya target yang jelas, program yang terukur dan tak kalah penting komiten untuk mencapainya. Menikah benar-benar akan ‘menghambat’ kita dalam meraih obsesi jika kita ’nekat’ nikah tapi tidak siap dengan segala tuntutannya. Tidak siap memenej waktu dan bekerja cerdas untuk memenuhi konsekuensinya. Kalau begini, jangan sesali pernikahannya kalau ternyata cita-cita tak kesampaian. Karena seperti terbukti di atas, tidak sedikit yang bisa meraih asa justru setelah menikah.

Demikian pula menunda nikah tetap tidak akan membuat kita lebih mudah meraih keinginan jika pada akhirnya, membujang hanya membuat kita santai-santai dan buang waktu. Yang akan terjadi adalah, kita tetap menjadi bujangan, tetap rawan kena godaan, tak merasakan manisnya pernikahan, dan tidak ada progres alias kemajuan dari apa yang kita cita-citakan. Jadinya nikah tidak, semakin pinter dan sukses juga tidak.

Kesimpulannya, kalau kita dihadapkan pada dilema ini, yang penting adalah kesiapan kita.  Menikah atau single masing-masing  memiliki resiko dan konsekuensi. Asal ada tekat,  target dan program serta komitmen, apapun pilihan kita insyaallah kita akan bisa meraihnya. Wallahua’lam.(aviv)