Kawan tapi Lawan

Banyak orang bilang, persahabatan itu butuh pembuktian, pengorbanan untuk sang kawan. Yang karenanya, kita rela mengorbankan sesuatu untuk sang kawan. Tapi apakah setiap orang yang mengharap pengorbanan kita itu benar-benar kawan? Jika sang kawan itu menuntut pengorbanan iman dan menanggalkan keyakinan, sesungguhnya dia bukanlah kawan, tetapi lawan. Karena yang dianggap kawan itu justru menjerumuskan kita kepada kesengsaraan dan penyesalan. Seperti apa yang Allah kisahkan dalam firman-Nya,

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an, ketika al-Qur’an telah datang kepadaku. Dan syaitan itu tidak akan menolong manusia”. (QS. Al-Furqan: 28-29)

Imam Ath Thabary rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang kondisi orang yang menzalimi diri sendiri dan menyekutukan Rabbnya, kelak di hadapan-Nya dia sangat menyesal atas apa yang ia lakukan semasa di dunia. Dan ia juga mencela dirinya, menyalahkan dirinya karena telah mematuhi teman-teman akrabnya yang telah menyesatkannya dari jalan Allah. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith yang telah murtad setelah ia masuk Islam karena mengharapkan keridhoan teman akrabnya Ubay bin Khalaf. Yakni ketika Uqbah duduk di sisi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan mendengarkan ucapan beliau, lalu Ubay bin Khalaf memakinya dan dia terus memaki Uqbah, hingga akhirnya dia pun murtad dari Islam untuk menghindar dari cacian Ubay bin Khalaf, ia lebih condong kepada apa yang diinginkan kawannya daripada apa yang dikehendaki oleh Allah.

Disangka Kawan

Ayat ini tak hanya berlaku khusus bagi Uqbah dan Ubay, namun bagi siapapun yang menjalin persahabatan dengan temannya, hingga ke tingkat akrab yang dapat memberikan pengaruh dalam sikap dan perilakunya, bahkan mengorbankan keimanannya demi keinginan kawannya. Maka hakikatnya yang dianggap kawan itu adalah lawan. Karena pengorbanan terhadapnya demi mendapatkan ridhanya tak berbuah selain sengsara. Pun kawan yang menjerumuskan itu tak mampu menolongnya dari siksa. Seperti setan yang membujuk manusia untuk kufur lalu tidak mau bertanggung jawab terhadap akibatnya.

Baca Juga: Teman Beda Agama 

“Seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kair, maka ia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.” (QS. al-Hasyr: 16).

Ada lagi yang mengatakan, bahwa kawan adalah yang membersamaimu dalam suka dan duka; senang ketika kamu senang, menghiburmu di saat susah. Namun apakah setiap orang yang berperilaku kepada kita sedemikian rupa benar-benar menjadi kawan sejati? Tidak, bahkan sebagiannya adalah musuh. Jika ia senang melihatmu terjerumus dalam kesenangan yang mengandung dosa, maka sejatinya dia adalah musuh dan bukan kawan. Rasa senang yang ditampakkannya akan semakin membuatmu semakin semangat dalam bermaksiat. Makin percaya bahwa apa yang andai peroleh itu sah-sah saja, bahkan utama. Padahal itu adalah perkara yang mengandung dosa. Seperti ucapan selamat kepada teman yang memiliki pacar baru, atau kepada rekan yang ‘sukses’ dengan bisnis riba atau pendapatan haram yang lain. Atau seperti turut kegirangan saat kawannya memenangkan suatu perjudian. Termasuk juga ketika kawannya berhasil menyakiti orang lain secara zhalim.

Terlebih jika ia turut mendukung dan membantu mewujudkan suatu keinginan yang bertentangan dengan syariat, maka ini termasuk praktik ta’aawun ‘alal itsmi wal ‘udwan, bersekongkol dalam dosa dan permusuhan yang jelas dilarang oleh Allah.

Ternyata adalah Lawan

Tidak setiap orang yang mendukungmu untuk meraih keinginanmu itu layak dijadikan kawan. Sebagian bahkan layak untuk disebut sebagai musuh atau lawan. Pada saat terlintas keinginan pada kesenangan nisbi yang mematikan hati, yang diperlukan saat itu adalah teman yang bias ‘ngerem’ dan menyadarkan kekhilaanmu. Tapi jika yang hadir itu justru mendorongmu untuk terus maju, maka sebenarnya dia adalah musuhmu. Seperti Haman di sisi Fir’aun, seorang teknolog yang mewujudkan keinginan-keinginan Fir’aun untuk berlaku sewenang-wenang dan ingkar kepada Allah, maka hakikatnya Haman itu adalah musuh bagi Fir’aun, karena menjadi sebab Fir’aun terus dengan tindakannya yang melampaui batas.

Sama saja dengan para penguasa dari zaman ke zaman, ketika kesewenangan dan kekafirannya disahkan dan didukung oleh para tokoh dan bawahannya, maka sebenarnya mereka itu menjadi musuh satu sama lain yang saling menjerumuskan kepada kebinasaan dan kesengsaraan.

Baca Juga: Berteman Dengan Orang-Orang Shalih

Maka tidak setiap orang yang mendukungmu itu bisa dianggap sebagai kawan. Bahkan Iblis pun berlagak empati lalu memberi ‘nasihat’ dan dukungan kepada Adam alaihissalam. Iblis tahu, betapa Adam ingin terus hidup di surga sebagaimana Iblis juga tahu betapa penasarannya Adam terhadap pohon yang dilarang oleh Allah meski sekedar didekati, apalagi untuk dinikmati. Melihat celah itu, mulailah Iblis beraksi. Ia melakukan ‘cuci otak’ terhadap Adam dengan hembusan yang memperdayakan, yang seakan dia berada di pihak Adam. Iblis sebut pohon larangan itu sebagai syajaratul khuldi, pohon kekekalan. Ini seperti yang Allah kisahkan,

“Kemudian setan membisikan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata, “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa” (QS. Thaha: 120)

Iblis juga meyakinkan bahwa ia berada di pihak Adam dan bahwa dirinya sebagai kawan hanya bisa menasihati,

“Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.” (QS al-A’raf: 21)
Lalu merasuklah racun pemikiran itu di benak Adam, ia pun tersihir oleh kata-kata Iblis dan menganggap Iblis berada di pihaknya, ingin dirinya tetap berada di dalam surga, hingga kemudian Adam melakukan usulan Iblis yang berbuah penyesalan tiada tara. Maka jelaslah akhirnya, bahwa Iblis adalah musuh yang nyata bagi Adam dan keturunannya.

Sekarang Kawan Nanti Menjadi Lawan

Tanpa kita harus berlaku su’uzhan kepada orang di sekitar kita, tapi hendaknya kita tetap waspada siapa orang-orang yang berada dekat dengan kita. Jangan sampai kecolongan menjadikan orang yang menjerumuskan kita kepada dosa sebagai kawan. Apalah artinya keakraban di dunia jika nantinya menjadi musuh yang akan saling mencela dan menyakiti di akhirat. Apalah artinya senang bersama di dunia jika berakhir dengan penderitaan neraka selamanya.  

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”(QS. az-Zukhruf: 67)

Syeikh as-Sa’di dalam tafsirnya Taisir al-Kariimir Rahman menjelaskan bahwa jika kasih sayang dalam persahabatan yang kita jalin dengan teman kita bukan didasari karena Allah, maka kelak hal itu akan berbalik menjadi permusuhan di hari kiamat. Apalagi jika teman kita itu mengajak dan menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang dimurkai oleh Allah seperti kesyirikan dan kemaksiatan, maka bisa dipastikan dia akan menjadi musuh yang nyata bagi kita di hari kiamat.

Adapun Imam al-Baghawi dalam Tasir al-Baghawi menyebutkan bahwa kelak orang-orang yang berteman di atas kemaksiatan dan kesesatan akan berkata, “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya si fulan dahulu mencegahku untuk berbuat taat kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu, dan ia (justru) menyuruhku untuk berbuat dosa dan melarangku dari berbuat kebaikan. Dia juga mengabarkan kepadaku bahwa kelak aku tidak akan pernah bertemu dengan-Mu. Lalu ia berkata, “Alangkah ia seburuk-buruk saudara, sejahat-jahat sahabat dan sejelek-jelek teman.”

Maka jangan salah memilih kawan jika tak ingin berbuah penyesalan (Abu Umar Abdillah/Pertemanan/Muthalaah

 

Tema Terkait: Pertemanan, Keimanan, Muthalaah

Cari Aman di Tempat Rawan

Manusia diciptakan memiliki sisi lemah. Lemah menghadapi penyakit, lemah menghadapi kefakiran, lemah kesiapannya menghadapi kenyataan yang berbeda dengan harapan. Ia juga lemah secara fisik dan lemah untuk menggapai cita-cita yang tinggi.  Begitupun untuk menghindar dari besarnya bahaya yang datang silih berganti mengancam sepanjang hayat. Terlebih lagi untuk menggapai kenikmatan surgawi dan terbebas dari neraka yang siksanya tak terperi.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. an-Nisa’: 28).

Bahkan manusia juga memiliki sisi lemah dalam hal kemuan dan tekad. Mudah berubah pendirian, mudah tergoda dan putus asa. Ibnu Katsir menafsirkan makna lemah dalam ayat tersebut, lidha’fihi fi nafsihi wa dha’fi ‘azmihi wa himmatihi, yakni lemah jiwanya, lemah tekad, dan semangatnya.

 

Tempat Perlindungan yang Rawan

Dengan kelemahan itu manusia berusaha mencari ‘kekuatan lain’ untuk menolong dirinya meraih apa yang dicita dan melindungi diri dari bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi, amat disayangkan di antara manusia justru mencari perlindungan kepada makhluk yang lemah seperti dia atau bahkan lebih lemah lagi.

Padahal, tempat perlidungan selain Allah yang mereka sangkakan itu sejatinya tempat yang rawan dari bahaya yang menimpa. Bahkan Allah mengumpamakannya dengan sarang laba-laba. Allah berfirman,

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Ankabut [29]: 41).

Secara fisik, rumah laba-laba adalah rumah yang lemah, rapuh, tidak bisa melindungi dari panas dan hujan, dari angin, dari dingin, apalagi dari timpukan batu atau ranting yang patah menimpanya. Meskipun secara unsur pembuatannya konon sangat kuat dan bentuknya tampak indah.

Itulah perumpamaan orang yang mengambil perlindugan selain Allah dan bertawakal kepada selain-Nya, hakikatnya ia sedang berlindung di sarang laba-laba.

Seperti orang yang mencari keselamatan ketempat para dukun yang dianggap memiliki kekuatan lebih. Mendatangi dukun berarti mendatangi bahaya, seperti layaknya bersembunyi di sarang laba-laba. Ia seperti serangga yang masuk ke jaring laba-laba, tidak tahunya itu adalah jerat laba-laba untuk menjebak mangsanya.

Hal ini persis dengan kehidupan para dukun yang memasang jaring untuk mencari mangsa dan memeras masyarakat yang bodoh. Dan tak jarang kita dengar, ada dukun yang akhirnya membunuh pelanggannya setelah memerasnya.

Ada yang menjadikan jin sebagai tambatan pengharapan dan tempat perlindungan. Dia mengira bahwa jin mampu mengatasi segala problemnya, dan melindungi segala kepentingannya. Ini juga tempat yang rawan bahaya, bukan tempat perlindungan yang aman. Karena jin hanyalah makhluk seperti manusia juga, sama-sama lemah, menanggung beban dan memiliki masalah sendiri dalam hidupnya. Jikalau jin memberikan sebagian ‘keuntungan’, maka kerugian dan kemadharatan yang ditimpakan lebih banyak. Maka, tidaklah dihasilkan dari usaha manusia ini selain dosa dan kerugian. Maksud hati terhindar dari bahaya dan gangguan, tapi yang dimintai perlindungan justru menjadi sumber dosa dan bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. al-Jin: 6)

Ada dua kemungkinan makna dari ayat tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh as-Sa’di. Pertama bahwa perbuatan tersebut menambah dosa dan keburukan bagi jin yang dimintai bantuan. Dikarenakan jin tersebut akan menjadi sombong, pongah merasa dirinya hebat dan semakin suka memperdaya manusia. Kemungkinan kedua, perbuatan tersebut menambah dosa dan keburukan bagi manusia yang meminta bantuan. Dikarenakan manusia itu akan senantiasa was-was dan takut akan gangguan jin sehingga akhirnya selalu ber-isti’adzah kepada jin ketika menemui sesuatu yang membuatnya khawatir, dan jatuhlah ia kepada kesesatan.

Ibnu Katsier rahimahullah menjelaskan ayat tersebut, “Yakni kami dahulu berpandangan bahwa kami (jin) lebih utama daripada manusia karena manusia sering meminta perlindungan kepada kami. Bila mereka berada di sebuah lembah atau suatu tempat yang mengerikan seperti hutan dan tempat-tempat lain yang dianggap angker. Sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab di masa jahiliyah mereka. Mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin ‘penunggu’ di tempat mereka beristirahat agar mereka tidak diganggu oleh kaumnya. Persis seperti ketika seseorang memasuki kota musuh mereka di bawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di kota itu. Ketika jin melihat bahwa manusia itu selalu meminta perlindungan  kepada mereka karena takut kepada para jin, maka justru jin-jin itu makin berulah untuk membuat manusia lebih takut, lebih was-was dan kecut hatinya. Dan ketika manusia semakin takut kepada jin, maka mereka lebih banyak meminta perlindungan kepada jin, inilah yang dijelaskan oleh Qatadah rahimahullah sehubungan dengan firman-Nya, “Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS al-Jin 6)

Yakni makin menambah manusia berdosa dan jin pun makin bertambah berani kepada manusia. Maka, meminta perlindungan kepada jin berarti menjerumuskan diri ke jurang sengsara dan dosa.

 

Tempat Rawan yang Disangka Aman

Ada lagi orang yang menggantungkan keselamatan dan pengharapannya kepada jimat yang dikalungkan di leher, atau dipakai sebagai gelang tangan. Atau diletakkan di bagian tertentu di rumahnya untuk melindungi harta dan rumah tangga mereka dari bahaya yang tampak dan tidak tampak sebagaimana yang mereka yakini. Sungguh, ini juga menjadi sarana perlindungan yang rapuh dan rawan dengan bahaya. Dia sudah terlanjur mempercayakan keselamatannya kepada jimat itu, sementara jimat itu tidak tak berfaedah apa-apa dan tak mampu berbuat apapun untuk meolongnya. Sedangkan Allah juga tidak sudi menolong mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat pemudah urusan), maka Allah tidak akan menyempurnakan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (jimat penangkal bahaya), maka Allah tidak akan menjamin (keselamatan)nya. ” (HR. Ahmad, hadits hasan)

Bahkan, selagi dia masih menggantungkan keselamatannya kepada jimat, maka selamanya dia tidak akan bahagia dan beruntung. Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria ada gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “Ini adalah wahinah (pengusir sial dan kelemahan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً

 “Justru ia tdiak menambah untukmu selain kelemahan. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Adapun sebagian manusia yang mengaku modern, ada yang mengandalkan perlindungan keselamatan mereka dengan teknologi. Bukanlah sisi cela itu pada kreasinya dalam mengembangan teknologi. Namun jika hal itu disertai kesombongan dan menantang murkanya Allah dengan maksiat, lalu mengandalkan teknologi sebagai antisipasi, maka sungguh murka Allah tak dapat dicegah oleh teknologi. Jikalau mereka menemukan alat pencegah bencana, Allah Mahakuat untuk menimpakan adzab dengan cara yang lebih kuat atau jenis bencana yang tidak akan mampu mereka hadapi. Simaklah firman Allah Ta’ala,

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. al-Hajj: 73).

Berapa banyak juga manusia yang menyangka bahwa harta kekayaan yang ia miliki akan dapat menjaganya dari kemiskinan. Atau penguasa yang ia pilih dan dukung akan dapat melindungi kepentingannya, atau melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang ia kira akan dapat menjaganya. Namun demikian semua ternyata tidak dapat melindungi mereka dari marabahaya di dunia, apalagi kelak di akhirat. Harta bisa ludes seketika, penguasa bisa ingkar janji atau tumbang, dan ilmu pengetahuan serta teknologi tidak dapat menangkal beragam bahaya dan bencana. Maka tidak ada tempat perlindungan paripurna selain Allah, dengan mendekat kepada-Nya, memohon belas kasih-Nya dan mentaati segala aturan-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

(Abu Umar Abdillah)

 

 

Selamat Dengan Satu Kalimat

Ada kisah yang sangat dramatis, namun bukan drama rekaan atau sandiwara. Melainkan kenyataan yang kelak terjadi di hari Kiamat. Kisah yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara shahih oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad.

 

Kisah Pelaku Banyak Dosa

Kisah tentang anak manusia yang dibebaskan dari neraka, dan disaksikan oleh seluruh manusia, dari yang awal hingga yang paling akhir. Mari kita ikuti kisah berikut ini.

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.”

Termasuk kita, kelak juga akan menyaksikan peristiwa itu.

“Ketika itu dibentangkan 99 tumpukan buku catatan (keburukan) miliknya. Setiap buku catatan dosa panjangnya sejauh mata memandang.”

Ini menggambarkan betapa banyak dosa yang dilakukannya. Bayangkan juga dosa-dosa kita, berapa kali dalam sehari berbohong, berucap kotor, atau menggunjing, padahal setiap kata yang terucap itu ada catatannya, ada malaikat pencatat yang senantiasa menyertai. Begitupun dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan, kaki dan anggota jasad yang lain. Semuanya tercatat dan tak satupun terlewat.

Banyak manusia kelak akan terbelalak melihat akumulasi dosa yang semua tercatat dengan detil. Seperti yang dikisahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam ini. Dia melihat 99 tumpukan buku catatan yang berisi segala keburukan yang telah dilakukannya. Tak terbayang betapa malu, takut dan paniknya ketika itu.

 Kemudian Allah berfirman,

“Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah berlaku curang kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rabbku.”

Di dunia, mungkin banyak yang bisa berkilah dengan lidah, mengelak dengan trik dan mencari kambing hitam, namun ketika itu dia tak berkutik. Karena tidak ada satupun yang meleset, keliru atau salah tulis. Semua persis dengan kejadian nyata yang memang dialaminya, baik waktu maupun tempatnya. Tak ada lagi celah untuk berkilah.

Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?” Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku.”

Tak sanggup lagi dia beralasan. Karena dakwah telah sampai di telinganya, dia juga sudah tahu bagaimana seharusnya dan apa yang semestinya tidak dilakukannya. Tapi, ia cenderung mengikuti hawa nafsu yang tergiur mencicipi dosa demi dosa yang tampak menggiurkan. Seperti kita, berbagai kewajiban yang telah kita ketahui ilmunya, dan Allah memberi kita kesempatan, namun tak semua kewajiban kita tunaikan. Begitupun berbagai dosa yang telah kita ketahui keharamannya, tak serta merta kita tinggalkan semuanya. Semestinya kita banyak mengingat saat-saat seperti ini, untuk mempersiapkan jawaban di akhirat nanti.

Orang tersebut, saking takutnya dan merasa bakal celaka lantaran begitu banyaknya dosa-dosa, ia melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya, lalu Allah mengingatkannya.

 Allah berfirman, “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun.”

Sebagaimana keburukan diperlhatkan dari yang besar hingga yang kecil, maka kebaikanpun juga ditampakkan, meskipun itu dianggap kecil. Dalam keadaan takut karena banyaknya dosa, tentu ia berharap masih punya simpanan kebaikan yang akan mengimbangi keburukannya, atau minimal mengurangi beban timbangan keburukan yang begitu berat. Bayangkan jika orang itu adalah kita, pasti akan penasaran dan harap-harap cemas, kiranya apakah gerangan kebaikan yang belum dia ingat itu. Dan ternyata terlihat hanya sebuah kartu kecil…

“Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu kecil) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.”

Ya, kartu yang hanya bertuliskan satu kalimat syahadatain, yang jika dilihat ketebalan dan ukurannya amatlah jauh dari tumpukan buku catatan keburukan miliknya.

 Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’.

Saat itu, ia pun pesimis pada saat didatangkan timbangan, sementara ia melihat begitu jauh perbandingan antara kebaikan dan keburukannya. Harapannya nyaris sirna setelah melihat kebaikannya hanya berupa satu kalimat yang singkat tertulis dalam satu kartu yang kecil.

Dia berkata, “Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh buku catatan keburukan itu?”

Ini menggambarkan betapa pesimisnya ia. Akan tetapi,

Allah berfirman, “Sungguh kamu tidak akan dianiaya.”

 

Selamat dengan Satu Kalimat

Allah tidak menganiaya hamba-Nya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan akan ditimbang, apalagi kebaikan yang memiliki nilai yang besar dan agung. Dan apa yang terjadi kemudian sangat dramatis. Nabi melanjutkan kabarnya,

فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَىْء

Kemudian diletakkanlah tumpukan buku catatan keburukan tersebut pada satu daun timbangan, sedangkan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka tumpukan buku catatan keburukan tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Allahu Akbar, peristiwa yang menegangkan tersebut berakhir dengan keberuntungan orang itu. Ia akhirnya selamat dengan modal satu kalimat, yakni syahadatain. Ini menunjukkan betapa agung kalimat ini. Akan tetapi, apakah hanya dengan ucapan kosong tanpa tahu konsekuensi dan maknanya? Tentu saja tidak.

 

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Sebagian menyangka bahwa sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Seakan tak ada ketentuan lain kecuali ucapan. Padahal, apalah artinya ucapan jika hati dan tindakannya berseberangan dengan apa yang diucapkannya. Para munafik pun tak hanya mengucapkan syahadat, bahkan berbagai amal wajib dan sunnah dikerjakan, tapi mereka mendekam di neraka yang paling dalam. Karena apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan isi hati dan perbuatannnya.

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih ketika beliau ditanya,

“Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Ya, memang benar. Akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi yang sesuai, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.”

Begitupun tatkala memahami hadits yang diriwayatkan oleh Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemaknaan hadits-hadits yang mengandung pernyataan muthlaq seperti dalam hadits pertama dan kedua tersebut haruslah dibawa kepada makna yang muqayyad, yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan pantangan-pantangan yang harus dihindarkan. Sehingga tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain.

Setidaknya orang yang mengucapkannya mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, sekaligus konsekuensi yang harus dilakukannya. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

 “Barangsiapa yang meninggal, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, ia pasti masuk surga” [HR Ahmad].

Kalimat “la ilaha illallah” memiliki makna dan konsekuensi yang besar. Kalimat inilah yang menjadi poin permusuhan antara yang haq dan yang dan bathil. Karena kalimat inilah orang-orang musyrikin Arab dahulu memerangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mereka tidak mengingkari bahwa Allah lah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, bahkan mengatur alam semesta. Hanya saja mereka tak sudi mentauhidkan Allah dalam ibadah tanpa menyekutukan dengan sesuatu yang merupakan inti dan konsekuensi dari kalimat la ilaha illallah.

Jikapun seseorang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat, atau berulangkali melantunkan kalimat thayibah la ilaha illallah menjadi tidak berfaedah jika kemudian dia melakukan kesyirikan. Bahkan teramasuk seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan, sebagaimana firman Allah,

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar 65)

Wallahu a’lam bishawab

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muthalaah