Konsultasi: DP hangus Karena tidak Jadi Beli

Ustadz, di sekitar kita sering kita jumpai seseorang membeli suatu barang dengan memberikan uang muka atau DP (down payment) kepada penjual barang agar barang itu tidak dijual ke orang lain. Yang umum berlaku, uang muka itu hangus atau tidak bisa diminta lagi oleh pembeli, apabila ia tidak jadi melakukan pembelian. Apakah yang seperti itu diperbolehkan? (Muslim—Sukoharjo)

 

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ

Jual beli dengan memberikan uang muka kepada penjual barang dalam istilah fiqhnya disebut dengan bay’u al-‘urban atau bay’u al-‘urbun. Ada hadits berkenaan dengan larangan jual beli dengan uang muka ini.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ

“Rasulullah saw melarang jual beli dengan uang muka.”

 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hanya,  keshahihan hadits ini diperselisihkan oleh para ulama hadits. Dan bertolak dari tidak shahihnya—juga beberapa alasan lain—para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli dengan uang muka atau DP seperti tergambarkan dalam pertanyaan saudara Muslim.

Para ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengharamkan bay’u al-‘urbun ini. Selain adanya hadits, menurut mereka, jual beli dengan uang muka ini mengandung perkara-perkara yang diharamkan Allah dalam jual beli. Perkara-perkara itu adalah: mengambil harta orang lain secara batil, adanya syarat yang rusak, dan adanya spekulasi antara jadi beli atau tidak (gharar).

Adapun para ulama madzhab Hambali—juga kebanyakan ulama masa kini—membolehkan bay’u al-‘urbun. Selain karena dhaifnya hadits, ada atsar dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau melakukannya. Ada juga keterangan bahwa Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Musayyib, dan Muhammad bin Sirin membolehkannya.

Menanggapi klaim dari mereka yang mengharamkan jual beli ini mengenai uang muka atau DP yang diambil oleh penjual jika transaksi tidak jadi, bahwa itu termasuk mengambil harta orang lain secara batil, para ulama yang membolehkan jual beli ini menyatakan, “Uang muka (DP) adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia telah kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Jadi, tidaklah benar pandangan yang mengatakan bahwa uang muka diambil begitu saja.”

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka yang membolehkan jual beli dengan uang muka ini mensyaratkan adanya batasan waktu menunggu bagi penjual, selain kerelaan dari kedua belah pihak. Maknanya jika pada saat jatuh tempo pembeli tidak datang atau tidak ada kabar kepastian darinya, pembeli boleh menjualnya ke pihak lain dan dia berhak atas uang muka yang diberikan oleh pembeli. Meskipun demikian, jika penjual mengembalikan uang muka kepada pembeli, itu adalah yang terbaik. Wallahu al-Muwaffiq.

Oleh: Redaksi ar-risalah

Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

Riba itu haram, semua sepakat. Riba itu buruk dan dosa besar yang ancamannya adalah dimusuhi Allah, sudah banyak yang tahu. Lantas mengapa masih banyak yang melakukan transaksi ribawi?

Faktor paling mendasar adalah perbedaan pemahaman mengenai bentuk-bentuk transaksi ribawi. Ada bentuk-bentuk riba yang dianggap oleh sebagian orang bukan sebagai riba. Jika begini, jangankan berhenti dari riba, menyadari bahwa yang dilakukan riba saja tidak.

Riba secara umum digolongkan menjadi riba duyun dan riba buyu’. Riba duyun (hutang) adalah riba dalam transaksi hutang dan riba buyu’ (jual beli) adalah riba dalam transaksi jual beli. Adapun riba buyu’ dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang disebabkan adanya penambahan kuantitas sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang disebabkan adanya penambahan tempo, dalam transaksi amwal ribawiyah.

Teori tentang riba cukup panjang jika dijelaskan. Pembahasan akan lebih efektif jika langsung to the point pada praktek-praktek riba yang banyak dilakukan namun dianggap bukan riba.

 

Bunga Bank

Hampir semua lembaga fatwa telah memfatwakan bahwa bunga bank haram. Misalnya, Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo memfatwakan haramnya bunag bank sejak tahun 1965, Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah sejak tahun 1985, Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Makkah sejak tahun 1406 H, Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah memafatwakan haramnya bunga bank sejak 2003. Sementara Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Munas ke-27 di Malang juga menetapkan haramnya bunga bank. Adapun NU dalam Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992 masih merincikan hukum bunga bank dan tidak menyatakan haram secara mutlak. Untuk bunga bank pada kepentingan konsumtif hukumnya haram sementara bunga produktif tidak haram.

Jadi, menurut hampir semua fatwa, bunga bank adalah haram. Abaikan saja pendapat-pendapat kaum lberal yang menyatakan bahwa bunga bank halal karena tidak ada unsur eksploitasi. Riba haram bukan karena eksploitasi, berlipat ganda, atau mencekik. Itu bukan illat atau alasan pengharaman riba. Asalkan sudah terpenuhi syarat akad ribawi, maka riba tetaplah riba meski sedikit dan kedua pihak saling ridho.

Adapun bagi warga NU atau anda yang ingin melandaskan pendapatnya pada hasil Munas NU tersebut, silakan pelajari rincian dalam keputusan tersebut. Pasalnya, hasil Munas NU tahun 1992 tersebut memiliki rincian antara bunga bank yang haram dan yang tidak. Rincian ini tidak boleh diabaikan lalu mengambil kesimpulan bahwa bunga bank boleh secara mutlak.

 

Simpan Pinjam Koperasi

Koperasi biasanya menerapkan bunga yang lebih ringan dari bank. Hasil koperasi memang bukan hanya dari simpan pinjam, namun bagaimanapun, sistem simpan pinjam koperasi juga menerapkan bunga. Meskipun kecil dan merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat, namun tetap saja bunga yang ditetapkan pada simpan pinjam adalah riba.

Pada Credit Union (UC) bunganya biasanya malah jauh lebih besar. Misalnya pada perkumpulan RT yang mengumpulkan dana dari semua anggota lalu digunakan untuk transaksi simpan pinjam khusus antar anggota. Pinjaman sebesar 1.000.000 rupiah selama 10 bulan akan dikenai 10 % dari cicilan = 10 % x 100.000 = 10.000. Ada juga yang langsung memotong uang pinjaman. Misalnya seorang anggota pinjam 1 juta, maka dia hanya menerima 900 ribu tapi harus mengembalikan 1 juta. 

Meskipun dinamai dengan biaya administrasi, 10% tersebut adalah bunga dari pinjaman. Jika yang dimaksud biaya operasional untuk administrasi, pinjaman 1 juta dengan 1,5 juta semestinya tidak berbeda. Kenyataannya, biayanya jadi beda karena menggunakan prosentase dari pinjaman.

Ada yang beralasan, bunga semacam ini bukan riba karena pada akhirnya, laba pinjaman akan dibagi ke semua anggota.

Perlu diketahui bahwa riba duyun adalah segala bentuk kelebihan dalam pinjaman. Rasulullah bersabda,

 

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap hutang yang menarik kemanfa’atan adalah perbuatan riba.”

Kepada siapapun keuntungan diberikan, jika ada kelebihan dalam pengembalian pinjaman, statusnya adalah riba. Sama saja apakah dibagi ke sesama anggota atau bukan. Alasan bahwa bunga itu hanya untuk menyejahterakan anggota, tidak bisa diterima. Bagaimanapun, anggota yang kaya tetap akan mendapat keuntungan karena tabungannya bisa selalu bertambah, sementara dia akan sangat jarang melakukan peminjaman. Sebaliknya, orang yang miskin akan lebih sering melakukan peminjaman tapi tabungan konstan.

 

Kredit Emas

Yaitu membeli emas dengan pembayaran berangsur. Menurut jumhur ulama, emas, apapun bentuknya adalah amwal ribawiyah (barang ribawi) yang ketika hendak dijualbelikan harus dilakukan dengan cara kontan. Jika ditukar dengan sesama jenis, gelang emas dengan kalung emas misalnya, beratnya haruslah sama.

Dalam persoalan ini memang ada ikhtilaf. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim menyatakan, jika emas dalam bentuk perhiasan, hukumnya tidak lagi menjadi amwal ribawiyah, hanya komoditas biasa yang boleh dikreditkan atau ditukar dengan sesuatu yang beratnya berbeda. Lain halnya jika bentuknya uang.

Namun jumhur ulama menyatakan bahwa emas apapun bentuknya adalah amwal ribawi. Di dalam hadits tentang amwal ribawi, Rasulullah menyebut “dzahab” (emas) dan “Fidhdhoh”(perak), ini unsur bukan mata uang (dinar dan dirham).

Jadi, mengacu pada pendapat jumhur ulama, emas tidak boleh dikreditkan. Pembelian emas dengan cara kredit termasuk riba. Bahkan Dewan Fatwa Saudi Arabia pada fatwa no. 3211 menyatakan bahwa emas tidak boleh dijualbelikan secara online, dimana pembeli membayar dengan transfer, lalu barang baru sampai ke tangannya 3 hari kemudian. Alasannya, pembelian emas benar-benar harus kontan tangan di atas tangan. Uang dan barang diseahkan dalam tempo bersamaan.

 

Akad Pembiayaan yang Mengandung Ribawiyah

Akad ini disebut juga al murabahah lil amir bisy syira’.  Yaitu seseorang mengatakan kepada pemilik dana (perorangan maupun lembaga) untuk membelikan suatu barang secara cash, lalu dia akan membeli barang tersebut secara kredit. Pada dasarnya, akad semacam ini dibolehkan. Namun realitanya, ketidak hati-hatian dalam mempraktikan akad ini menjadikan akad yang seharusnya jual beli menjadi hutang berbunga.

Bentuk praktik pertama: Pembeli datang ke lembaga keuangan (LK), menyatakan ingin beli mobil kijang seharga 100 juta. Lalu pihak LK menyetujui dan menyatakan langsung menjual mobil tersebut secara kredit dengan harga 110 juta selama 1 tahun kepada pembeli. Setelah itu, pihak bank menyerahkan uang sebesar 100 juta kepada pembeli untuk membeli mobil kijang dimaksud.

Ini jelas bukan akad murabahah tapi peminjaman uang dengan bunga. Dalam hal ini tidak ada transaksi pembelian sama sekali, yang ada, pembeli mendapat uang 100 juta, dan harus mengembalikan 110 juta selama 1 tahun. Ini jelas akad riba. Bisa jadi pula pembeli tidak membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang dimaksud.

Kedua: sama dengan di atas, tapi pihak lemabaga keuangan langsung menelpon dealer dan mentransfer uang seharga mobil ke dealer. Pembeli diminta ke dealer mengambil barang tersebut. Akad ini juga cacat karena pihak lembaga keuangan belum memiliki mobil tersebut secara penuh. Tidak tahu kondisinya dan resiko masih ada di tangan dealer. Akad ini mirip akad dropship barang di internet.

Masih ada beberapa masalah penting terkait akad pembiayaan ini yang harus diwaspadai. Menyepelekannya hanya akan menjerumuskan kita pada akad riba.

 

Diskon GoPay dan Sejenisnya

GoPay adalah dompet virtual pada layanan Gojek (ojek online). Pengguna layanan melakukan top up atau deposit uang dan akan mendapatkan saldo GoPay yang kemudian dapat digunakan untuk membayar berbagai layanan pada aplikasi Gojek. Keuntungan membayar layanan dengan GoPay adalah pengguna akan mendapatkan potongan harga. Go Ride (jasa ojek) misalnya, jika dibayar dengan cash Rp 18.000 tapi dengan GoPay menjadi Rp 16.000.

Depositn uang yang dibayarkan pengguna pada GoPay adalah pinjaman. Alasannya, dalam FAQ (Frequntly Asking Question) pada pembayaran GoPay dijelaskan bahwa, uang yang dibayar pengguna kepada GoPay dapat dimanfaatkan oleh GoPay untuk semua keperluan. Ini merupakan poin dalam akad hutang, dimana yang orang yang berhutang boleh memanfaatkan uang hutang untuk keperluannya. Adapun uang titipan tidak boleh digunakan oleh rang yang dititipi. Kedua, GoPay akan mengembalikan uang tersebut dalam bentuk layanan dan bisa pula ditransfer ke sesama pengguna atau ditarik kembali dalam bentuk cash via transfer bank. Ini juga merupakan poin dari akad pinjaman.

Padahal seperti dijelaskan di atas, pinjaman tidak boleh menarik suatu manfaat tambahan baik berupa nominal atau jasa. Jadi, jika anda adalah pengguna layanan Gojek dengan GoPaynya, atau Grab dengan GrabPaynya, lakukanlah pembayaran jasa secara cash. Memang sedikit lebih mahal tapi jelas bebas dari riba.

Demikianlah. Persoalan bentuk riba ini memang masuk ranah fikih. Akan ada banyak ikhtilaf dan diskusi lebih dalam. Namun begitu, sikap hati-hati sangatlah bermanfaat bagi kita mengingat ancaman riba yang luar biasa mengerikan. Hendaknya kita tidak bosan mempelajari dan mewaspadai akad-akad yang kita lakukan agar terhindar dari riba. Wallahulmusta’an.

 

Oleh: Ust. Taufikanwar, Lc

 

Baca Juga:

Jual Beli Makanan Kaleng Untuk Hewan

Tanya :
Bagaimana hukum menjual makanan kaleng untuk hewan peliharaan termasuk untuk anjing?

Jawab :

Alhamdulillah wasshalatu wassalamu’ala rasulillah wa’ala aalihi washahbihi waman tabi’a hudah, wa ba’du

Memelihara hewan di dalam Islam pada asalnya diperbolehkan bahkan tiap muslim diperintahkan untuk memiliki akhlaq yang baik termasuk didalamnya adalah berbuat ihsan kepada hewan, hanya saja perlu diperhatikan dalam pemeliharaannya dan tidak menzhaliminya misalnya dengan mengurung dan tidak memberinya makan. Dan tidak semua hewan boleh dipelihara, misalnya Ular, tikus, memelihara anjing tanpa ada keperluan yang diperbolehkan syar’i.

Rasulullah shallalahu’alihi wasalam bersabda :

مَنْ اقْتَنى كَلْباً لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ وَلاَ مَاشِيَةٍ وَلاَ أرْضٍ فَإنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أجْرِهِ قِيْرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ

Siap saja yang meiliki anjing selain anjing pemburu, anjing penjaga ternak atau penjaga tanah (tanaman), maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirath (satu qirath adalah sebesar gunung uhud). (HR. Muslim)

Menjual makanan hewan peliharaan termasuk makanan untuk anjing pada asalnya boleh, namun bila dalam makanan hewan yang dijual tersebut terkandung materi yang diharamkan harganya maka hukumnya menjadi haram, misalnya terdapat campuran daging babi, campuran bangkai, atau darah.

Baca juga : Istri Bekerja Membantu Suami Memenuhi Kebutuhan Keluarga

Rasulullah shallalahu’alihi wasalam bersabda :

إنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ وَالمَيْتَةِ وَ الخِنْزِيْرِ وَ الأصْنَامِ

“Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Utsamin pernah ditanya tentang makanan kaleng untuk kucing yang didalamnya terdapat campuran daging babinya apakah boleh membelinya?, beliau menjawab “tidak boleh membeli makanan kaleng tersebut disebabkan ketidak bolehan menjual dan membeli daging babi, namun bila ada yang membuangnya dan ia menemukan dijalan dan kemudian diberikan ke kucingnya maka hal ini tidak mengapa, wallahua’lam.

Begitu pula tidak boleh menjadi pekerja pada suatu perusahaan yang memproduksi makanan tersebut atau bekerja menjadi pelayan toko yang menjual barang tersebut, dikarenakan tidak boleh tolong menolong dalam dosa dan maksiat. Walahua’lam bis shawab

Beli lalu Titip

Saya membeli semen 1 sack seharga Rp. 55.000 dan menitipkannya di toko tempat saya membeli tersebut selama 2 bulan. Ketika saya hendak mengambilnya, harga semen telah naik menjadi Rp. 57.000. Haruskah saya menambah Rp. 2.000? (Fauzan—Solo)

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ

Transaksi yang saudara lakukan telah terjadi dan sah dengan dilakukannya serah terima barang dan uang. Mengenai penitipan yang saudara lakukan, maka itu tidak mengapa. Dengan catatan, 1 sack semen yang 2 bulan kemudian saudara ambil adalah 1 sack semen yang saudara beli 2 bulan yang lalu. Bendanya sama, bukan benda yang lain. Dan saudara tidak perlu menambah selisih harga.

Pemilik toko tidak berhak dan tidak boleh menggantinya dengan semen yang lain, meskipun hal itu menguntungkannya—karena ia telah mendapatkan tambahan modal meskipun sedikit dalam waktu yang tidak seberapa lama—dan menguntungkan saudara—karena mendapatkan semen yang baru. Demikian pula meskipun semen itu dititipkan lebih dari 2 bulan sehingga semen itu membatu. Saudara tidak boleh mendapatkan gantinya. Itu adalah risiko yang harus saudara tanggung. Wallahu a’lam.

Mengambil Keuntungan Lebih dari 100 Persen

Assalamu’alaikum. Ustadz, sebagai pedagang yang kulakan di luar pulau, bolehkah saya mengambil keuntungan lebih dari 100 % dari harga kulakan? Bahkan terkadang saya mengambil keuntungan sampai 200 %. Perlu saya sampaikan bahwa di kampung saya harga umum barang yang saya jual memang 2 kali harga kulakan dan ada pula yang 3 kali harga kulakan. Jika saya menjualnya lebih murah, saya merasa tak enak hati dengan teman-teman sesama pedagang. Terima kasih atas jawabannya. (Abu Zaky—Pekanbaru)

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ

Mencari keuntungan dalam berdagang itu diperbolehkan dan dibenarkan oleh syariat. Bahkan itu merupakan salah satu tujuan dalam berdagang. Jika seseorang berdagang namun ia sengaja merugi, maka ia telah keluar dari tujuan perdagangan. Demikian dinyatakan oleh Prof. DR. Wahbah Az-Zuhailiy dalam Tafsir Al-Munir, 5/31.

Allah berfirman,

إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan asas saling ridha di antara kamu.” (An-Nisa`: 29)

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Setelah para ulama sepakat bahwa mencari keuntungan merupakan salah satu tujuan perdagangan, mereka membahas tentang batas maksimal pengambilan keuntungan yang diperbolehkan oleh syariat.
Masih menurut Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, pada dasarnya Islam tidak memiliki batasan atau standar baku tentang pengambilan laba atau keuntungan. Pedagang bebas menentukan laba yang diinginkan dari suatu barang. Hanya saja, keuntungan yang berkah adalah keuntungan yang tidak melebihi sepertiga harga modal.

Syaikh Fauzan bin Shalih al-Fauzan juga berpendapat, tidak ada batas keuntungan yang boleh diambil dalam penjualan. Karena Allah ta’ala menghalalkan jual beli tanpa mengkaitkannya dengan batas keuntungan tertentu.
Pernyataan dua ulama di atas selaras dengan hadits shahih berikut ini. Sahabat ’Urwah al-Bariqiy menyatakan bahwa Nabi saw pernah memintanya untuk membeli seekor kambing. Beliau memberinya uang 1 dinar untuk itu. Lantas ’Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang 1 dinar itu dan menjual salah satunya seharga 1 dinar. Maka ia datang kepada Rasulullah dengan seekor kambing dan uang 1 dinar. Nabi pun mendoakan keberkahan baginya dalam transaksinya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, Imam Abu Dawud, dan Imam at-Tirmidziy.

Hadits di atas jelas-jelas memberitahukan bahwa ’Urwah mengambil keuntungan 100 %; ia membeli seekor kambing seharga ½ dinar dan menjualnya seharga 1 dinar. Dan hal itu tdk diingkari oleh Rasulullah. Sekiranya hal itu tidak diperbolehkan, niscaya Rasulullah saw mengingkarinya.

Juga selaras dengan riwayat yang menceritakan perdagangan yang pernah dilakukan oleh Zubair bin ’Awwam—salah seorang sahabat yang dijamin masuk jannah. Zubair pernah membeli sebidang tanah yang cukup luas di wilayah Madinah seharga 170.000, kemudian ia menjualnya dengan harga 1.600.000. Maknanya, Zubair mengambil keuntungan lebih dari 9 kali lipat dari harga belinya.

Kebebasan yang dimiliki oleh penjual barang ini mestinya diikuti dengan etika, adab, dan akhlak islami. Seyogianya pedagang memperhatikan kondisi perekonomian di daerah tempat dia berdagang. Jangan sampai seorang pedagang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya saat orang-orang membutuhkan barang. Jangan sampai terjadi kemudharatan dialami oleh lingkungan sekitarnya gara-gara ia menjual barang terlalu mahal sehingga mereka tidak mampu membelinya. Apalagi jika ia adalah pemasok utama atau bahkan pemasok satu-satunya.

Para ulama juga mensyaratkan, dalam mengambil keuntungan itu seseorang tidak boleh melakukan praktik penipuan, kecurangan, dan kezhaliman.
Dalam hal ini Syaikh Fauzan memberikan keterangan lebih lanjut bahwa mengambil keuntungan berapa pun boleh jika memang keuntungan yang direncanakan tersebut masih dibenarkan dan masih sesuai dengan aturan syariat. Ia tidak boleh jika tidak sesuai dengan aturan syariat, misalnya keuntungan ribawi atau berupa tambahan pembayaran yang tergolong riba.

Syaikh menambahkan, tidak boleh juga apabila besarnya keuntungan tersebut membuat orang-orang fakir tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Seseorang tidak boleh membuat orang lain tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika keuntungan yang direncanakan tersebut masih wajar (tidak jauh dari harga pasaran), atau memang dipengaruhi oleh kenaikan harga-harga barang, maka hal ini tidak mengapa.

Sementara menurut Ibnu Arabi, meskipun penjual diperbolehkan mengambil keuntungan tanpa batasan tertentu, namun biasanya tidak terlalu besar. Terlebih lagi jika kondisi pembeli tidak mengetahui harga pasar. Ibnu ’Arabi mengategorikan hal tersebut dengan orang yang makan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, di samping itu juga masuk dalam kategori penipuan. Demikian beliau sebutkan dalam Ahkamul Quran, 1/521-522.

Dari semua keterangan di atas, apa yang saudara alami bukanlah suatu yang terlarang, selama etika, adab, dan akhlak islami dijaga dengan baik. Wallahu a’lam.