Anak Indigo, Kelebihan atau Karena Gangguan?

Pada 28 Desember 2014, kita dikejutkan dengan jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 yang terbang dari Surabaya ke Singapura. Pesawat tersebut jatuh di perairan saat menuju ke Changi. Namun, ternyata jatuhnya pesawat ini telah diprediksi oleh anak indigo Naomi. Pada Oktober 2014, di salah satu acara televisi nasional, Naomi memprediksikan akan ada kecelakaan yang dialami pesawat. Seperti dikutip jadiberita.com, “Bakal ada kejadian lagi di transportasi udara”, kata Naomi pada presenter acara.

Di kasus yang lain, Sebut saja Riska, tatkala ia sedang mengadakan pesta kecil merayakan ulang tahun ke-36, suasana bahagia melingkupi rumah keluarga di kawasan Pondok Jaya Raya, Mampang, Jakarta Selatan. Namun suasana sedikit berubah ketika Tasya, putrinya yang berusia 2,5 tahun, berujar bahwa sang opa( kakek Tasya) ikut datang kedalam pesta. “ Padahal si kakek telah meninggal. Konon, anak itu memiliki karakter sebagai anak indigo.

 

Apa Itu Indigo

Dua kasus di atas sekedar gambaran kejadian yang melibatkan anak yang disebut-sebut sebagai anak indigo. Secara bahasa, indigo adalah sebutan untuk warna antara biru dan violet. Ada pula yang menyebutnya dengan warna nila. Lalu istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. Interpretasi mengenai indigo pun bermacam-macam, asal ada sisi-sisi keunikan dan kejanggalan yang tak dimiliki umumnya anak, orang-orangpun menyebutnya sebagai anak indigo.

Konsep anak indigo pertama kali dikemukakan oleh cenayang Nancy Ann Tappe pada tahun 1970-an. Cenayang adalah orang yang dianggap bisa menjadi medium bagi roh. Pada tahun 1982, Tappe menerbitkan buku Understanding Your Life Through Color (Memahami Hidup Anda Melalui Warna) yang menjelaskan bahwa semenjak pertengahan tahun 1960-an, ia mulai menyadari bahwa ada banyak anak yang lahir dengan aura indigo (dalam publikasi lain Tappe juga mengatakan bahwa warna indigo atau nila berasal dari “warna kehidupan” anak yang ia dapatkan melalui sinestesia). Sehingga, anak indigo adalah anak yang memiliki warna aura indigo (nila).

Gagasan dukun ini kemudian dipopulerkan oleh sebuah buku yang berjudul The Indigo Children: The New Kids Have Arrived (Anak Indigo: Anak-anak Baru Telah Tiba) pada tahun 1998. Lee Carroll sendiri juga seorang cenayang yang mengklaim sebagai medium bagi roh  yang bernama Kryon. Menurutnya, roh Kryon telah memberikan kepadanya beberapa cara untuk mengenali anak Indigo.

Dalam konteks Islam, cenayang adalah dukun, sedangkan apa yang dianggap sebagai roh Kryon itu tak lain adalah setan dari golongan jin dan bukan roh orang yang telah mati. Ibnul Qayyim mengistilahkan dukun sebagai ‘rasul’nya setan. Setan memberikan bisikan kepada dukun, lalu dukun yang menyebarkan di tengah-tengah manusia. Dengan kata lain, dukun adalah medium bagi setan untuk menyampaikan ‘wahyu’ dari setan. Inilah ‘kerjasama’ setan jin dan setan manusia yang Allah sebutkan ‘yuuhii ba’dhuhum ilaa ba’dhin’, masing-masing (setan dari golongan manusia dan setan dari golongan jin ) mewahyukan satu sama lain seperti tersebut dalam Surat al-An’am: 112, yang kemudian dibahasakan orang sebagai wangsit atau bisikan.

Dan jelas sudah, kita tidak boleh mempercayai pengakuan seorang dukun. Lantas bagaimana halnya dengan anak indigo dalam pandangan syariat?

 

Kelebihan atau Gangguan?

Karena diangap memiliki kemampuan bisa melihat apa yang tidak dilihat orang lain, memiliki bayangan kejadian yang akan datang, bisa mengobati penyakit dengan cara yang unik dan tanpa belajar, maka merekapun dianggap memiliki kelebihan. Jarang yang mengatakan mereka sebenarnya tengah mendapat gangguan.

Apa yang dilihat anak sebagai arwah yang telah mati sesungguhnya jin yang mengaku sebagai orang yang telah mati. Begitupun roh yang berhubungan dengan cenayang (dukun). Karena orang yang telah mati telah terputus amalnya. Roh orang yang beriman dan beramal shalih berada di ketinggian ‘illiyyin’ yang dimuliakan, sementara ruh orang kafir dan fajir terpenjara di kedalaman ‘sijjiin’ seperti disebutkan dalam hadits yang panjang. Ada yang mendapatkan siksa di alam barzakh, dan ada yang mendapatkan nikmat, bagaimana mungkin mereka sempat menghadiri ulang tahun cucunya, mendatangi undangan sebagai jaelangkung dan klaim-klaim lain yang semisalnya.

Jika ada anak yang melihat ‘penampakan’, bukan karena si anak yang sakti atau memiliki kelebihan, tapi bisa jadi jin sedang mengganggunya, atau membidiknya sebagai calon rekanan. Karena hakikatnya manusia tidak melihat jin, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. al-A’raf: 27)

Bahwa ada orang yang melihatnya, itu sebenarnya bukan karena kehebatannya, tapi karena jin yang menampakkan diri kepada manusia dengan wujud yang tidak aslinya.

Begitupula, tatkala anak indigo bisa meramal atau mengobati penyakit. Sebenarnya ia sedang dipromosikan setan untuk menjadi paranormal. Dengan cara itu, manusia banyak yang mencari jalan kesembuhan dengan cara isti’anah (meminta pertolongan) kepada jin.

Ringkasnya, anak indigo itu sebenarnya sedang mengalami gangguan, atau setidaknya menjadi bidikan setan dari golongan jin. Mereka mestinya diselamatkan, bukan justru dihebatkan dan distimuli keanehan-keanehannya.

Ketika mereka kemudian diasah kemampuannya, ujung-ujungnya akan menjadi paranormal, na’udzu billah. Semestinya anak yang memiliki karakter-karakter indigo diarahkan untuk berlaku pasif terhadap bisikan atau apa yang dilihatnya. Jika keadaannya masuk kategori parah, bisa menjalani terapi ruqyah syar’iyyah, wallahu a’lam.

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Syubhat

Katanya, Adik tak Boleh Mendahului Kakaknya Menikah?

Di zaman serba canggih begini, ternyata masih banyak khurafat dipelihara. Seperti dalam pernikahan, nama calon harus cocok, urutan anak ke berapa juga harus sinkron dengan primbon, tanggal lahir kedua calon juga harus pas dengan ‘hitung-hitungan’ sang dukun.  Kalau itu sudah lolos, masih terganjal pula dengan keharusan menikah secara urut. Tidak boleh seseorang menikah mendahului kakaknya, apalagi kakak perempuan. Katanya, itu akan membuat sang kakak tidak laku, dan sang adik juga akan menerima akibatnya karena lancang melangkahi kakaknya menikah.

Yang paling alot dalam memegang kepercayaan ini, tetap tidak mentolelir meskipun akhirnya keduanya harus menjadi perawan atau jejaka tua. Sebagian yang merasa terpaksa ‘melanggar’ adat itu mengharuskan sang adik untuk mengadakan ritual plangkahan. Yakni sebagai ungkapan permisi terhadap sang kakak yang dilangkahi adiknya untuk menikah. Jenis ritualnya bermacam-macam, dari yang sekedar hadiah, menuruti kemauan kakak, hingga ritual aneh yang bernuansa bid’ah dan syirik.

Adapun Islam mengajarkan untuk menyegerakan jika dirasa sudah mampu.

 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu, hendaklah segera menikah, karena hal itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaknya dia shaum, karena shaum adalah perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak menjadi soal apakah ketika menikah kakaknya didahului atau tidak. Karena datangnya rejeki tidak harus urut tua, sebagaimana datangnya kematian juga tidak harus urut usia. Anggapan bahwa kakak menjadi tidak laku, itu hanyalah takhayul yang tak didasari oleh argumen yang sehat maupun dalil shahih dalam syariat. Yang harus diperbaiki adalah (stigma anggapan buruk) sebagian masyarakat yang menabukan pernikahan seperti ini. Karena stigma ini pula, beberapa orang merasa malu dan terpukul jika adiknya lebih dulu menikah. Terkadang, untuk mencegah rasa malu itu, mereka rela menikah dengan sembarang orang, yang penting bisa cepat dan tidak dilangkahi sang adik.

Padahal, tak ada yang tabu, tak ada yang membuat mereka harus merasa malu ketika didahului adiknya menikah. Dilangkahi adik atau tidak, sama sekali tidak memengaruhi cepat lambatnya mendapat jodoh. Bahkan, dengan sebab memudahkan urusan sang adik, bisa jadi Allah akan memudahkan urusannya, dan membantunya untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Nabi SAW bersabda,

 

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

“Dan Allah akan membantu urusan seorang hamba, selagi hamba itu mau membantu saudaranya.” (HR Muslim)

Jadi, tak perlu khawatir lagi.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Khurafat

 

Baca Juga: 

Nasib Sial Karena Terkena Karma, Begini Islam Menjelaskan

Kepopuleran istilah karma tidak terlepas dari peran sastra dan kesalah pahaman awam terhadap konsep karma yang ingin mencari kedamaian hidup dan tertarik dengan aura misteri dan mistik.
Dalam bahasa sanskerta, karma berarti perbuatan. Dalam arti umum, meliputi semua kehendak (baik dan buruk, lahir dan batin, pikiran, kata-kata atau tindakan). Karma dikenal juga dengan hukum sebab-akibat. Mereka yang percaya karma yakin bahwa di masa yang akan datang orang akan memperoleh konsekuesi dari apa yang telah diperbuat di masa lalu. Masa lalu adalah kehidupan sebelum kehidupan sekarang, dan masa depan adalah kehidupan setelah kehidupan kembali. Karma meliputi apa yang telah lampau dan keadaan saat ini yang akan memengaruhi hal yang akan datang.

 

Baca Juga: Apakah Dewa itu Malaikat?

 

Sepintas, ajaran ini mirip dengan Islam, yang mengenal istilah ‘al-jaza’ min jinsil amal’, bahwa hasil itu sepadan dengan dengan usaha yang dilakukan. Karena dianggap mirip, ada yang kemudian menisbatkan keburukan yang dialaminya sebagai karma atas apa yang telah dilakukannya. Begitupun, ketika melihat bencana yang dialami oleh orang lain, itu dianggap karma yang harus diterima, sebagai akibat dari hasil perbuatan jahatnya yang telah lalu.

Padahal, ada perbedaan menyolok antara karma dengan kaidah dalam Islam tersebut. Karma adalah bagian dari kepercayaan Hindu-Budha. Karma tidak terpisahkan dengan ajaran reinkarnasi, yang menyatakan bahwa setelah seseorang meninggal akan kembali ke bumi dalam tubuh yang berbeda. Jadi, mereka meyakini hidup berulang kali di dunia, meskipun dengan wujud yang berbeda. Tentang nasib, tergantung karma yang diperbuatnya di kehidupan sebelumnya. Orang yang lahir cacat misalnya, itu karena karma atas tindakan buruknya di kehidupan sebelumnya. Maka tidak heran, ada seorang warga Thailand menikah dengan ular, karena meyakini bahwa ular itu adalah titisan orang yang menjadi istrinya di kehidupan sebelumnya. Mengapa jadi ular? Itu juga karena karma. Yang seperti ini jelas tidak dikenal di dalam Islam.

 

Baca Juga: Membalik Bantal Bisa Menghilangkan Mimpi Buruk?

 

Di dalam Islam, orang yang telah mati, bukan menjelma menjadi makhluk baru, tapi berada dalam Barzakh, hingga hari dibangkitkan. Allah berfirman,

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Wahai Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. al-Mukminun; 99-100)

Tentang musibah, memang kadang bisa diartikan balasan, tapi kadang pula berarti pembersih dosa, dan terkadang berarti ujian. Seperti yang dialami oleh para Nabi, mereka adalah kaum yang paling berat ujiannya.

Orang yang terlanjur berbuat dosapun tidak menutup kemungkinan untuk bertaubat, sehingga efek dosa bisa tercegah, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar A/Khurafat

Membunuh Dua Burung Dengan Satu Lemparan

Sebuah tulisan semacam ‘kesaksian intern’ dari dalam tubuh organisasi kebangkitan Islam membuka fakta bahwa ghazwul-fikri dalam beragam tampilannya, pemikiran, seni, maupun ekspresi tindakan riel liberalisme, efektif untuk menghadang gerakan kebangkitan Islam. Revolusi di Tunisia sebagai bagian dari rangkaian peristiwa ‘Arab Spring’ membuka kenyataan tersebut. Presiden Zainal Abidin bin Ali di Tunisia, termasuk rezim yang tumbang tersapu badai protes massa tersebut. Tulisan berjudul ‘Haula Asbab al-Intisyar al-Ghuluw fie Syabab at-Tunis’ (Seputar sebab-sebab tersebarnya sikap berlebihan di lingkungan pemuda Tunisia) yang ditulis oleh aktivis jihad di Suriah asal Tunisia dengan nama ‘kun-yah’ Abu Lubabah at-Tunisiy memaparkan analisis aksi-reaksi yang memantik dan menyuburkan tersebarnya paham ekstrem dan sikap berlebih-lebihan di kalangan pemuda-pemuda Tunis.

Kejatuhan Sistem Tiran dan Terbukanya Kebebasan

Setelah jatuhnya rezim Ben Ali, kondisi represif berganti dengan suasana kebebasan, meski masih dalam bayang-bayang kekuatan militer yang terus menunggu momentum untuk kembali berkuasa, juga para pemeluk agama sekularisme yang sangat giat melakukan aksi untuk agendanya sendiri. Di celah-celah kebebasan semu tersebut, gerakan Islam juga berkembang cepat terbantu oleh kondisi umum yang berubah tersebut. Sosialisasi dakwah Islam berkembang cepat melalui dauroh-dauroh syar’iyyah (training-training keagamaan), diikuti dengan implementasi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga suasana komitment keagamaan di tengah masyarakat Tunisia marak.

 

BACA JUGA: KARMA MEMBUNUH BINATANG

 

Perubahan kondisi tersebut menumbuhkan konfidensi para aktivis gerakan Islam untuk melangkah lebih lanjut, membawa agenda pelaksanaan syari’at Islam sampai tingkat pemerintahan. Mereka membentuk organisasi Anshar asy-Syari’ah yang bergerak secara terbuka dengan berbagai devisi yang kompleks, termasuk sayap jihad bersenjata. Perkembangan program dan proyek-proyek ke-Islaman yang cepat dan progresif tersebut ternyata belum diimbangi dengan kesamaan pemikiran dalam masalah-masalah tahapan-tahapan, tuntutan-tuntutan dan penopang-penopang yang diperlukan pada setiap tahapannya. Hal itu menimbulkan perbedaan cara pandang dan perselisihan. Perselisihan itu bahkan berlanjut kepada sikap saling memvonis dan bahkan ada yang jatuh pada sikap mengkafirkan sesama gerakan Islam.

Ada ketidakselarasan antara kecepatan tumbuhnya komitment karena terbukanya celah kebebasan pasca revolusi rakyat menjebol sistem tirani, sehingga terjadi euforia massa, termasuk dalam mengimplementasikan ajaran Islam, dengan ketersediaan bimbingan dari para ‘ulama yang jujur dan berani menjelaskan, membimbing para pemuda tersebut untuk melaksanakan agama secara sabar, bertahap, bersungguh-sungguh sampai matangnya keadaan, siapnya umat melaksanakan syariat, lengkap penopang-penopangnya dan mewaspadai makar musuh-musuh yang sangat ingin menggagalkan proyek tersebut dan meng-aborsi gerakan Islam dengan memasuki tahapan sebelum matang dan lengkap penopangnya.

Makar Kaum Sekularis

Para penganut sekularisme telah diuntungkan sejak rezim tiran masih berdiri. Mereka berhasil menempati posisi strategis, terutama di bidang media ; audio, cetak maupun elektronik. Ketika melihat gelombang bahaya baru dari kalangan Islam yang menemukan momentum untuk kembali komitment kepada agamanya, mereka memikirkan segala daya upaya untuk menghambat, bahkan jika mungkin menghentikannya. Mereka melakukan kampanye media siang-malam untuk menandingi gelombang kebangkitan tersebut dengan menampilkan tulisan, tayangan film dan hiburan, berbagai bentuk talk show yang bernuansa melawan dan menjelekkan, membangun image buruk tujuan revolusi dan melakukan assasination (pembunuhan karakter) terhadap tokoh-tokoh Islam terutama para mujahidin.

Para tokoh liberal dan jurnalis fasiq memulai kampanye perlawanannya dengan memerangi syiar-syiar Islam dan hukum-hukum syari’at. Syariat seputar kewajiban syar’iy kaum wanita merupakan prioritas pertama yang mereka serang dan lemahkan. Kemudian mencela dan melemahkan kenabian RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam, diikuti dengan menjelekkan para shahabat radliyalLahu ‘anhum, mengolok-olok agama dan mencela tuhan. Mereka juga mengkampanyekan kebebasan seks, zina, homoseks, lesbian dan minuman keras. Channel TV Hannibal adalah salah satu yang melakukan peran busuk itu, channel  TV Nismah bahkan lebih dari itu, mereka berani menayangkan film yang menghina Allah. Dengan dalih kebebasan individu, kaum sekularis di Tunisia menyuguhkan tayangan ‘Gay dan Homoseksual’, bahkan mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi yang melindungi mereka sehingga para pelaku itu hidup bebas sebagai manusia normal.

Melempar Dua Burung dengan Satu Batu

Kampanye kebebasan secara massif itu memiliki tujuan utama menggagalkan kebangkitan komitment umat Islam terhadap agamanya dengan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif. Mencegah mereka yang belum terpengaruh oleh magnet kebangkitan tersebut agar melemah dan memudar, tetap berada pada milliu yang liberal dan permissif. Di sisi lain, mereka yang tidak dapat dipengaruhi dengan gaya hidup liberal dan serba boleh, tetap komitment kepada agama dan akhlaq Islam, terus diisolir dan diserang dengan berbagai hinaan dan pencitraburukan.

Kondisi seperti itu, bagi para pemuda yang sedang dan baru tumbuh kecemburuannya kepada agama menimbulkan tekanan psikhologis terpendam yang sewaktu-waktu dapat meletup menjadi reaksi yang ekstrem. Kebencian kepada penganut sekuler-liberal semakin dalam, apalagi sistem dan regulasi yang ada pasca revolusi ternyata masih tetap berpihak dan melindungi musuh-musuh dakwah dan agama tersebut. Tidak hanya kepada mereka, bahkan para ulama dan elemen kebangkitan Islam yang dipandang kurang, atau tidak tegas menghadapi fenomena tersebut ikut terkena vonis kefasikan bahkan kekafiran.

 

BACA JUGA: Hukum Minum Kopi Luak

 

Di titik ini, inteligent yang bekerja untuk para pendukung rezim yang telah ditumbangkan rakyat, yang kepentingan mereka searah dengan kepentingan barat menemukan celah untuk diekslopitasi. Tidak hanya itu, mereka juga telah menemukan momentum yang tepat dan menguntungkan untuk mengabdi kepada kepentingan yang lebih besar. Bibit sikap berlebihan yang merupakan buah dari tekanan psikhologis massa akibat kampanye massif anti-Islam dari kaum liberal-sekuler tersebut dapat menjadi bahan bakar untuk membesarkan api ekstrimitas yang mulai menampakkan gejalanya di pergolakan sekitar Syiria dan Irak.

Mulailah invisible hand dari kalangan inteligent rezim bekerja mempermudah dan mengarahkan agar para pemuda bersemangat tersebut berangkat ke bumi persemaian yang menurut mereka sudah ‘gembur’ dan kondusif untuk menanam benih ekstremitas yang kedepannya akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi gerakan kebangkitan Islam. Mereka bak melempar dua burung dengan satu timpukan batu. Di satu sisi mengosongkan Tunisia dari anasir Islam ‘fundamentalis’ dan kelompok jihadis yang akan membahayakan rezim, di sisi lain para pemuda bersemangat yang belum matang ilmu dan kurang pengalaman tersebut akan mudah diarahkan untuk menjadi bahan bakar demi menghidupi tungku ekstremitas yanag telah mulai menyala di Irak dan Syiria.

Umat Islam perlu waspada, boleh jadi proyek seperti itu akan di-kloning dan diterapkan dimana saja umat Islam menemukan kembali kesadaran agamanya, banyak pemuda bersemangat yang kurang ilmu dan pengalaman, sedikitnya ulama rabbaniyyun yang mendedikasikan dirinya untuk membimbing kebangkitan Islam tersebut  agar selamat menempuh jalannya hingga sampai tujuan dan tidak di-aborsi oleh musuh-musuhnya dan para pendengki yang tidak senang panji tauhid berkibar di bumi Allah. Wa Allohu al-Musta’an wa ‘alayhi at-Takalan

 

 

Baca Artikel Konsultasi Lainnya Di Sini!

 


Belum membaca Majalah ar-risalah terbaru? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Benarkah Karma Itu Ada

Dalam kitab Majma’uz Zawaid, Imam al Haitsami menyebutkan sebuah kisah tentang wafatnya al Husain bin Ali. Disebutkan ada seorang lelaki bernama Zur’ah yang ikut andil dalam pembunuhan Husain bin Ali dengan panahnya. Saat al Husain mendekati ajal, Beliau meminta air. Akan tetapi para penjahat itu, termasuk Zur’ah tak mengijinkan seorangpun memberinya minum. Singkat cerita, al Husain wafat. Dan manakala Zur’ah mendekati ajalnya, dia dihukum dengan deraan rasa haus yang tak kunjung terpuaskan meski telah minum hingga kembung. Akhirnya dia pun tewas karena kehausan. (Disebutkan juga dalam Nihayatuzh Zhalimin:3/88)

Membaca kisah di atas, kita jadi teringat satu hal; hukum karma. Kejahatan seseorang akan membuahkan keburukan serupa atas dirinya. Namun, benarkah hukum karma itu ada? Dan apakah Islam juga mengakui hukum karma? Mari kita cermati persoalan ini.

Karma menurut bahasa Sanksekerta artinya berbuat. Secara istilah, karma dipahami sebagai hukum sebab akibat atau  “samsara”. Konsep ini diakui dalam filsafat Hindu, Sikh dan Budhisme. Hasil atau buah dari perbuatan disebut karma-phala. Ini bukan hanya berlaku untuk hal buruk, yang baik juga demikian. Hanya saja konotasi makna karma atas perbuatan buruk lebih masyhur.

Dalam filsafat Jawa, konsep karma juga diyakini keberadaaanya sebagai hukum sebab akibat. Pepatah Jawa mengatakan “ngunduh wohing pakarti” (seseorang akan memetik buah dari perbuatannya).  Yaitu bahwa perbuatan seseorang akan secara aktif berperan membentuk dan memengaruhi masa yang akan datang. Sesuatu yang positif akan membuahkan hasil positif dan yang negatif akan mendatangkan hal negatif. Banyak peribahasa mengibaratkan hal ini, misalnya: Siapa menanam akan mengetam, siapa menebar angin akan menuai badai atau menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Orang Eropa menyebutnya dengan hukum kausalitas.

 

Bagaimana dengan Islam?

Sebenarnya konsep sebab akibat merupakan sunah kauniyah Allah yang memang bisa diindera dan diambil sebagai “ilmu kehidupan” oleh manusia. Karenanya, tidak mengherankan jika hal tersebut diakui oleh berbagai agama dan ajaran. Semua orang tentu mengerti bahwa perbuatan jahat seperti mencuri, menyakiti atau membunuh pasti akan menyebabkan munculnya keburukan; dibenci orang, balas disakiti atau bahkan dibunuh. Demikian pula sebaliknya, yang berbuat baik akan menuai buah kebaikannya. Hanya saja, pada masing-masing agama pasti ada perbedaan dalam beberapa sisinya karena perbedaan keyakinan.

Di dalam Islam, konsep jaza’ (balasan atas perbuatan) merupakan bagian penting dalam ajarannya.  Pepatah mengatakan “kama tadinu tudanu”, bagaimana kamu memperlakukan, seperti itulah kamu akan diperlakukan. Ini bukan hadits, tapi menurut sebuah riwayat pepatah ini adalah nasihat bijak Abu Darda’, yang diriwayatkan secara mauquf oleh Abu Qilabah. Lengkapnya;

البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالذَّنْبُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ، اعْمَلْ مَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ

 

“Kebajikan itu tak akan pernah usang, dosa tak akan pernah dilupakan, sedangkan Allah Maha Pembalas tak akan mati. Lakukanlah apa yang engkau suka. Karena sebagaimana engkau memperlakukan, seperti itulah kau akan diperlakukan.” (Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 11/169, Asy Syamilah.)

Hanya saja, tentunya Islam tidak mengenal istilah karma. Di dalam Islam kita meyakini bahwa Allah Ta’ala membalas perbuatan baik dan mengganjar perbuatan buruk. Balasan itu bisa di dunia, bisa pula di akhirat atau bahkan dunia dan akhirat. Dan setiap balasan yang Allah berikan pasti akan setimpal dengan kadar perbuatan yang menyebabkannya, sesuai kebijaksanaan-Nya. Perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan, sedang perbuatan buruk akan mendatangkan keburukan pula. Dan Allah sedikitpun tidak pernah zhalim atas hamba-Nya. Sebagian salaf mengatakan;

فَإِنَّ جَزَاءَ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا كَمَا أَنَّ ثَوَابَ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا

 

“Sesungguhnya balasan keburukan adalah muculnya keburukan setelahnya sebagaimana balasan kebaikan adalah diperolehnya kebaikan sesudahnya.”(disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, II/498).

Yang membedakan Islam dengan ajaran lain adalah keyakinan mengenai siapa yang menjalankan hukum ini. Seoang muslim meyakini, Allahlah yang punya hak mutlak untuk membalas dan menghukum perbuatan manusia. Sifatnya sangat rahasia dan sesuai kehendak-Nya. Dan karenanyalah balasan atas suatu perbuatan manusia tidak semuanya bisa diterka. Bahwa kalau berbuat begini, besok pasti akan diperlakukan persis seperti dulu dia berbuat. Ada banyak aspek yang –atas izin-Nya- turut memengaruhi. Hal itu menjadi sesuatu yang rumit, kompleks dan tidak terduga. Bisa jadi seseorang memang dibalas persis seperti perbuatannya, atau seperti yang sudah diancamkan dalam nash.  Tapi bisa jadi pula dalam bentuk lain, atau tidak menutup kemungkinan tidak ada balasan sama sekali karena kasih sayang Allah atasnya. Semua in berjalan atas kekuasaan Allah.

Sebagian kekuasaan itu diwujudkan dalam aturan syariat yang harus dijalankan manusia. Misalnya, hukuman bagi pembunuh yang disengaja adalah hukuman mati, tentunya setelah melalui keputusan hakim yang berwenang. Dan sebagian besar lain merupakan hukuman yang sifatnya ghaib. Artinya hanya Allah sajalah yang tahu, apa, kapan dan bagaimana hukuman itu akan diberlakukan.

Hal lain yang membedakan adalah cara untuk menghindarkan diri dari efek negatif perbuatan buruk yang dilakukan, tentunya juga harus mengacu pada tuntunan-Nya. Yakni dengan taubat nashuha, memohon keridhoan dari yang dizhalimi dan mengembalikan haknya. Setelah itu berusaha memperbaiki diri dengan ketatan kepada-Nya dan menjauhi perbuatan zhalim yang lain. Sedang agama lain mungkin menyaratkan penebusan, sesaji, ritual tertentu yang semuanya tidak akan menyelesaikan masalah karena tidak berada di bawah bimbingan-Nya. Wallahua’lam, semoga dosa-dosa kita diampuni dan dihindarkan dari dampak buruknya. Amin. (T. Anwar)