Khalid bin Said

Khalid bin Said, namanya memang tak sepopuler Khalid bin Walid. Namun, di balik sikap tawadhu’nya, sahabat muhajirin ini termasuk assabiqun al-awwalun, seorang pemimpin dan mujahid.

Khalid berasal dari dari keluarga terpandang di Makkah. Ayahnya bernama Said bin Ash. Dari nama kakeknya bisa ditebak jika Khalid adalah keponakan Amru bin Ash. Ayah Khalid sangat dihormati di kabilah Quraisy. Konon, setiap Said hadir di majelis, jika ia memakai `imamah, orang-orang akan melepas `imamahnya karena segan.

Kisah Khalid menemukan Islam begitu unik. Sebelum Muhammad SAW diutus sebagai Rasul, Khalid kerap melihat hal-hal aneh dalam mimpi. Suatu malam, Khalid bermimpi melihat Makkah diselimuti kegelapan. Begitu pekatnya hingga ia tidak bisa melihat telapak tangannya sendiri. Lalu tiba-tiba muncul cahaya dari sumur Zam-zam. Cahaya itu naik ke langit menerangi Ka’bah dan sekitarnya. Kegelapan akhirnya sirna, cahaya terang menerangi seantero Makkah. Kemudian cahaya itu melesat ke Yatsrib. Begitu terang sinarnya. Hingga Khalid bisa melihat pepohonan kurma di Yatsrib yang sedang berbuah.

Esok malamnya Khalid kembali bermimpi aneh. Kali ini dia melihat neraka. Dari pinggir neraka ia menyaksikan beragam siksaan mengerikan. Lalu, tiba-tiba ayahnya mendorongnya dari belakang. Hampir saja ia terperosok. Namun Rasulullah muncul dan berusaha menyelamatkannya.

Khalid yakin mimpi-mimpi tersebut bukan sekadar bunga tidur, pasti ada isyarat tertentu di baliknya. Karena itu, ia meminta Amru bin Said, saudara kandungnya, untuk mentakwilkannya. Berdasar mimpi itu Amru bin Said meramalkan bahwa dari Bani Abdul Muthallib akan lahir tokoh besar yang menyelamatkan umat manusia. Sumur Zam-zam adalah isyarat untuk Bani Abdul Muthallib, karena Abdul Muthallib menemukan kembali sumur itu setelah lama terkubur.

BACA JUGA: 5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

Khalid langsung teringat nama Muhammad. Semua orang di Makkah mengenalnya, karena cucu Abdul Muthallib tersebut sangat jujur dan bisa dipercaya. Khalid menemui Abu Bakar sahabat dekat Rasulullah. Setelah berbicara panjang lebar, Abu Bakar mengantarkannya menemui Rasulullah.

“Ajaran apa yang anda bawa?” tanya Khalid.

“Aku mengajak orang menyembah Allah. Tiada sekutu baginya. Muhammad adalah hamba dan utusannya. Tinggalkan ajaran menyembah batu yang tidak bisa mendengar, melihat, memberi manfaat dan petaka,” jawab Rasulullah mengenalkan Islam kepadanya.

Jawaban itu menghilangkan keraguan khalid. Ia langsung memeluk Islam dan tersadar bahwa inilah ajaran yang benar.

Menurut ahli tarikh Islam, Khalid adalah pria kelima yang masuk Islam. Ia bersyahadat setelah Ali bin Thalib, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah dan Saad bin Abi Waqqash. Meski demikian, Khalid merahasiakan agama Islam dari keluarga besarnya untuk menghindari risiko-risiko buruk. Terutama dari ayahnya yang sangat fanatik dengan ajaran syirik.

Ketika Rasulullah mulai berdakwah dengan terang-terangan. Identitas orang yang masuk Islam ikut terkuak satu persatu. Sebagaimana tokoh quraisy lainnya, amarah Said bin Ash meledak-ledak ketika tahu darah dagingnya telah meninggalkan agama nenek moyang. Said sangat murka hingga ia hantam kepala Khalid dengan tongkat sampai patah.

“Berani-beraninya kamu mengikuti Muhammad! Padahal dia menentang kaumnya. Ajarannya menghina tuhan-tuhan kami dan menista ajaran nenek moyang kami,” bentak said dengan mata memerah.

Said mengancam tidak tidak akan memberinya makan. Tapi khalid tidak menganggapnya sebagai masalah besar, “Jika engkau tidak memberiku makan, maka Allah yang akan memberiku rezeki. Dengan karunianya aku bisa terus hidup.”

Said pun mengusir Khalid dari rumah. Bahkan mengancam anaknya yang lain akan mendapat perlakuan serupa jika berani berbicara dengan Khalid. Meski harus kehilangan banyak fasilitas dan kenyamanan hidup, Khalid tetap tabah dan istiqomah.

Rasulullah SAW lalu menampung Khalid yang tinggal sebatang kara. Namun, ketika gangguan orang Quraisy semakin keras, Rasulullah SAW menghimbau Khalid dan beberapa sahabat lain untuk hijrah ke Habasyah. Rombongan muhajirin tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.

Sebagai tokoh yang disegani di Makkah, Said bin Ash sangat malu sekaligus geram karena anaknya memeluk Islam. Ia pun memutuskan pindah ke Dharibah untuk menenangkan diri. Namun, ia justru semakin tertekan ketika putranya yang lain, Amru bin Said, mengikuti jejak Khalid. Tak hanya itu, Amru mengajak Aban dan Al-Hakam hijrah bersama-sama ke Habasyah.

Beban pikiran bertubi-tubi membuat Said jatuh sakit. Dalam kondisi terpuruk itu sempat keluar omongan, “jika aku sembuh, maka tuhan anakku tidak akan disembah orang-orang Makkah selamanya.”

Khalid mendengar berita tersebut. Karena itu, ia berdoa agar ayahnya tidak diberi kesembuhan. Doanya pun terkabul karena akhirnya Said meninggal akibat sakit yang dideritanya.

Khalid dan Amru hidup bahagia di Habasyah. Di bumi hijrah Khalid diberi satu anak lelaki dan satu perempuan. Mereka diberi nama Said dan Amah.

Rombongan muhajirin di Habasyah baru kembali pada tahun 7 H. Saat itu Rasulullah berada di Khaibar mengepung orang yahudi yang berkhianat. Rombongan tersebut langsung menyusul Rasulullah membawa termasuk istri dan anak-anak mereka. Rasulullah begitu bahagia menerima kedatangan muhajirin, bahkan memberi mereka bagian ghanimah meski tidak ikut bertempur.

Dalam suatu kesempatan, Khalid mengungkapkan kesedihannya tidak bisa membantu Rasulullah berjihad.

“Kenapa kamu tidak bahagia? Jika sahabat-sahabatmu hanya berhijrah sekali. Kalian sudah berhijrah dua kali.” Rasulullah membesarkan hati Khalid.

“Aku bahagaia dengan hal itu, Rasulullah.”

“Nah, itulah keutamaan kalian.”

Setelah berada di Madinah, Rasulullah benar-benar memaksimalkan potensi yang dimiliki Khalid. Beliau menugaskannya sebagai sekretaris yang menulis surat dan dokumen penting. Khalid adalah sahabat yang menulis teks perjanjian antara Rasulullah dengan warga Thaif. Khalid pula yang menulis surat balasan Rasulullah untuk Musailamah yang mengikrarkan diri sebagai nabi palsu. Khalid pula yang dipilih untuk menulis surat-surat Rasulullah kepada para raja dan pemimpin kabilah di jazirah Arab.

Yang mengejutkan, cincin yang dipakai Rasulullah sebenarnya milik Khalid bin Said. Rasulullah pernah melihat cincin unik melingkar di jari Khalid.

“Apa ukiran dalam cincin ini?”

“Muhammad rasul Allah.”

Rasulullah lalu meminta cincin itu dan memakainya sebagai cincin kenegaraan hingga wafat. Setelah itu, cincin tersebut diwariskan kepada Abu Bakar, Umar hingga Utsman. Sayangnya, pada masa Utsman cincin legendaris itu hilang.

Selain sebagai sekretaris, Rasulullah pernah mengangkat Khalid sebagai petugas pengumpul zakat untuk wilayah Yaman. Dia dikirim bersama Muad bin Jabal yang bertugas sebagai dai. Kedua sahabat senior itu tinggal di Yaman hingga tersiar berita Rasullullah telah wafat. Akhirnya, mereka berdua kembali ke Madinah dan memulai peran baru di bawah kepemimpinan Abu Bakar As-Shiddiq. (*)

Shofiyah binti Huyay Putri Tercantik Khaibar

 

Tak pernah terpikir oleh Shofiyah binti Huyay dirinya akan menjadi pendamping Rasulullah dan ibu bagi kaum muslimin. Namun, Allah berkehendak menyatukannya dengan sang Nabi. Tidaklah Allah memilih wanita sebagai pendamping Rasulullah, melainkan ia memiliki kelebihan istimewa.
Shofiyah berbeda dengan istri Rasulullah lainnya yang umumnya berasal dari suku Arab. Wanita ini berasal dari Bani Nadhir yang beragama yahudi. Dalam dirinya mengalir darah Bani Israil. Ayah Shofiyah adalah Huyay bin Akhtab, pemimpin sekaligus pemuka agama Bani Nadhir.

Shofiyah menceritakan bahwa ayahnya tahu Yatsrib akan menjadi tujuan hijrah bagi nabi terakhir. Saat tersiar berita bahwa Muhammad SAW telah sampai di Quba’, ayah dan pamannya, Abu Yasir bin Akhtab bergegas menemui Rasulullah mewakili Bani Nadhir. Mereka berangkat sebelum matahari terbit dan baru pulang saat matahari telah terbenam.

Sejak pertama kali melihat Muhammad SAW, Huyay bin Akhtab langsung mengenalinya. Orang Yahudi mengenal ciri-ciri rasul terakhir seperti mengenal anaknya sendiri. Tapi kesombongan menutup cahaya hidayah dari hatinya. Ia kecewa karena Nabi yang ia tunggu ternyata berasal dari anak cucu Ismail, bukan berdarah Bani Israil seperti yang ia harapkan.

“Apakah dia nabi yang kita tunggu-tunggu?” tanya Abu Yasir bin Akhtab saat mereka sampai di gerbang Khaibar.
“Benar,” kata Huyay lunglai sambil mengabaikan Shofiyah yang datang menyambutnya.
“Kamu mengenalinya dari sifat dan ciri-cirinya?” tanya Abu Yasir.
“Ya. Sungguh. Ia nabi yang kita tunggu,” jawab Huyay.
“Lalu apa yang ada dalam hatimu saat pertama kali melihatnya?”
Huyay menjawab, “Kebencian. Sungguh. Sepanjang hayatku, aku akan menjadi musuhnya.”

Esok harinya, Bani Nadhir berkumpul untuk menentukan sikap. Abu Yasir menyarankan untuk mengikuti Muhammad SAW. “Wahai kaumku! Ikutilah aku. Sungguh, Allah telah mendatangkan orang yang selama ini kalian tunggu. Ikutilah dia dan jangan menyelisihinya,” kata Abu Ammar.
Namun Huyay bin Akhtab memilih menjadi musuh Nabi. Tak ia gubris nasehat dan peringatan saudaranya. Pada akhirnya, Bani Nadhir mengikuti pendirian Huyay bin Akthab karena ia ketua kaum.

Sejak awal, Huyay mengarahkan Bani Nadhir membenci Islam. Diam-diam mereka merusak kesepakatan Piagam Madinah untuk saling menghormati dan menjaga. Bahkan, dalam Perang Khandaq sisa-sisa orang Yahudi bekerja sama dengan Musyrikin Arab untuk melibas Islam. Pengkhiatan tersebut mereka tebus dengan harga mahal. Kaum muslimin menghukum mereka setelah kalah dalam Perang Khaibar. Para pria dijatuhi hukuman mati, sedangkan wanita dan anak-anak menjadi tawanan perang.

Shofiyah binti Huyay, putri tercantik dari Khaibar menjadi tawanan perang. Hampir saja Shofiyah menjadi budak Dihyah Al Kalbi. Namun, seorang sahabat mengarahkan Rasulullah SAW agar tidak menyerahkan Shofiyah kepada orang lain dengan beberapa pertimbangan. Rasulullah SAW lalu memanggil Dihyah bersama Shofiyah. Setelah melihatnya, Rasulullah SAW menyuruh Dihyah memilih tawanan lain. Sedangkan Shofiyah beliau pilih untuk beliau pinang. Sejak saat itu Rasulullah SAW memerdekakannya dan menjadikan hal itu sebagai mahar bagi Shofiyah.

Pernikahan Shofiyah dengan Nabi adalah pernikahannya yang ketiga. Sebelumnya, Shofiyah pernah menikah dengan penyair bernama Sallam bin Misykam. Setelah keduanya bercerai, Shofiyah menikah lagi dengan Kinanah bin Abi Huqaiq, seorang penyair yang tewas pada perang Khaibar.

Pernikahan Shofiyah dengan Rasulullah digelar dalam perjalanan pulang ke Madinah dengan acara yang sederhana. Saat itu beliau melihat ada bekas memar di kelopak mata Shofiyah. Beliau bertanya, “Ada apa di kedua matamu?”
Shofiyah lalu menceritakan kejadian unik yang ia alami, “Sebelum anda datang ke sini, aku bermimpi bulan purnama turun di kamarku. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada suamiku. Tiba-tiba suamiku marah dan menamparku. Ia membentak, Apakah engkau mengharapkan penguasa Yatsrib (Madinah)?”

Shofiyah tidak menyangka bahwa bulan purnama itu adalah Rasulullah. Secara fisik, wajah Rasulullah putih dan cerah bak bulan purnama. Mimpi yang dilihat Shofiyah sebenarnya adalah sebuah isyarat dari Allah.
Pernikahannya dengan Rasulullah mengantarkannya untuk memeluk agama Islam. Agama yang sebelumnya ia benci, kini sangat ia cintai. Rasulullah yang sebelumnya ia benci kini menjadi orang yang paling ia kagumi.

Kecantikan Shofiyah dibanding istri nabi yang kadang memancing kecemburuan. Suatu ketika, ia mendengar Hafshah dan Aisyah mengungkit-ungkit asal-usulnya dari orang Yahudi. Betapa sedih perasaannya, hingga ia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, “Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku? suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.”

Rasa cemburu terhadap Shofiyah juga pernah muncul dari Zainab. Ketika itu keluarga besar Rasulullah berangkat bersama untuk menunaikan Haji Wada’. Unta yang dikendarai Shofiyah kelelahan hingga tak mampu berjalan. Sementara itu, unta Zainab binti Jahsyi berlebih. Rasulullah meminta Zainab memberikan salah satu untanya untuk membawa Shofiyah.
Namun Zainab menjawab ketus, “Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?”
Kata-kata itu berbuntut panjang. Rasulullah menegur zainab atas kalimat pedasnya. Tak hanya itu, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan hingga zainab sangat menyesal.

Asal-usul Shofiyah juga pernah mengundang masalah. Suatu ketika salah satu budak wanitanya menemui Umar dan mengatakan omongan miring tentang Shofiyah. Dua hal yang disebutnya; Shofiyah masih suka hari sabtu dan kerap mengunjungi orang-orang yahudi. Umar yang saat itu menjabat sebagai khalifah tak langsung percaya dengan berita itu. Ia pun menemui Shofiyah untuk mengklarifikasi berita tersebut.

Shofiyah lalu meluruskan berita itu. “Adapun hari sabtu, aku tidak lagi menyukainya sejak Allah menggantikannya dengan hari jumat untukku. Lalu mengapa aku sering menjenguk orang Yahudi, karena aku sebagian keluargaku masih ada yang bergama yahudi. Sampai sekarang aku masih menjaga tali silaturrahim dengan mereka.”

Bagi Shofiyah, masalah-masalah yang dihadapinya itu tak lebih dari riak-riak ujian untuk membuktikan keimanan. Shofiyah memang pernah beragama Yahudi, tapi itu adalah masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam. Sejarah Islam mencatatnya sebagai Istri Rasulullah dan ibunda bagi kaum muslimin. []