Hukum Badal Haji; Menggantikan Orang Untuk Pergi Haji

 

Assalamu’alaikum warahmatullah. Ustadz, apa hukum badal haji? yaitu seseorang yang menyediakan dirinya menghajikan orang lain dengan biaya dari yang dihajikan. Apakah yang dihajikan mendapat pahala haji dan kewajibannya gugur? Bolehkah satu orang menghajikan 10 orang dengan satu kali haji? Syukran atas jawabannya.

 

Waalaikumussalam warahmatullah,

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Kebanyakan fuqaha empat madzhab berpendapat, dibolehkan—bahkan ada yang mewajibkan—melaksanakan ibadah haji atas nama orang lain yang sudah meninggal dan ia belum berhaji, atau atas nama orang yang sakit dengan tanpa kemungkinan sembuh, padahal ia memiliki harta yang cukup. Rincian pendapat mereka sebagai berikut:

Para ulama madzhab Hanafi menyatakan, jika seseorang menderita sakit atau berudzur sehingga ia tidak mampu menunaikan haji padahal ia punya harta, ia harus menghajikan seseorang atas nama dirinya. Syaratnya, udzur itu ada sampai ia mati. Adapun orang yang menunda-nunda sehingga ia mati belum menunaikan haji, sah untuk dihajikan, bahkan ia wajib berwasiat untuk itu.

Menurut para ulama madzhab Malik, tidak dibolehkan sama sekali mewakilkan haji, kecuali orang yang sudah meninggal dunia, itupun jika ia berwasiat. Maka, sah—tetapi makruh—dan hanya boleh menghabiskan 1/3 hartanya. Orang yang lumpuh tidak boleh dihajikan karena ia memang tidak mampu menunaikannya.

Baca Juga: Tanda Haji Kita Diterima

Para ulama madzhab Syafi’i membolehkan haji atas nama orang yang masih hidup dalam dua keadaan:

  • Pertama, ketika seseorang berudzur secara fisik, namun secara finansial mampu. Yakni orang yang sakit, lumpuh, atau sebab lain. Bahkan, jika jelas-jelas didapatinya orang yang bisa diupahnya dengan upah yang wajar untuk menunaikan haji atas namanya, ia harus melakukannya.
  • Kedua, orang yang menjelang ajal dan ia belum menunaikan haji. Orang ini wajib berwasiat kepada ahli warisnya untuk menunaikan haji atas namanya dari harta warisannya, sebagaimana dibayarkan hutang-hutangnya. Jika tidak ada biaya, maka meskipun tidak berwasiat, boleh bagi ahli waris atau orang lain untuk menunaikan haji atas namanya.

Seperti halnya para ulama madzhab Syafi’i, para ulama madzhab Hambali membolehkan mewakilkan haji dalam dua keadaan:

  • Pertama, orang yang punya udzur: usia lanjut, lumpuh, sakit yang nyaris tanpa harapan sembuh, dan perempuan yang tidak mempunyai mahram. Jika mendapati seseorang yang dapat mewakilinya, maka ia harus mewakilkan pelaksanaan haji kepadanya dengan biaya darinya.
  • Kedua, seseorang yang meninggal dunia dan ia wajib menunaikan haji, namun ia belum menunaikannya; baik karena ia menunda-nunda maupun karena ada udzur. Maka, wajib dikeluarkan dari hartanya, meskipun ia tidak berwasiat.

 

Dalil dan Syarat Badal Haji

Dalil dibolehkannya mewakilkan haji di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan empat penyusun kitab Sunan dari Ibnu ‘Abbas dan yang lain bahwa ada seorang perempuan dari Khats’am bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku baru mampu (secara finansial) untuk menunaikan haji setelah beliau tua renta. Beliau tidak dapat tegak duduk di atas onta.” Rasulullah saw menjawab, “Berhajilah atas namanya!”

Hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan bahwa mewakilkan haji atau badal haji dibolehkan.

Meskipun diperbolehkan, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat itu sebagai berikut:

  1. Niat—yang terbaik melafalkannya, misalnya, “Saya berhaji atas nama si Fulan.”
  2. Yang dibadali tidak mampu melaksanakan sendiri tetapi punya harta yang cukup untuk membiayai ONH. Jika yang dibadali sehat, haji badal tidak sah. Tentang ini para ulama sudah berijmak.
  3. Udzurnya berkelanjutan seperti lumpuh, ditawan musuh/dijatuhi hukuman seumur hidup, atau sakit tanpa harapan sembuh.
  4. Udzur sudah ada sebelum dihajibadalkan.
  5. Biaya haji dari harta yang dibadali. Kecuali, jika ahli waris dengan sukarela membiayai keberangkatan haji atas nama orang yang dibadali. Jika seseorang yang membadali pelaksanaan haji dengan sukarela membiayai sendiri keberangkatannya, maka tidak sah menurut para fuqaha madzhab Hanafi, tetapi sah menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali.
  6. Berihram dari miqatnya orang yang dibadali, bahkan menurut para fuqaha madzhab Hambali, harus berangkat dari negeri orang yang dibadali.
  7. Tidak boleh memungut biaya atas pelaksanaan badal haji.
  8. Orang yang membadali harus sudah baligh.
  9. Orang yang membadali harus sudah melaksanakan haji, menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali. Para fuqaha madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkannya.
  10. Orang yang membadali tidak boleh merusak hajinya.
  11. Tidak boleh juga menyelisihi keinginan yang dibadali. Misalnya orang yang yang dibadali menginginkan haji qiran, lalu orang yang membadalinya melaksanakan haji tamattu’; ini tidak boleh.
  12. Orang yang membadali hanya melaksanakan satu haji, atas nama dirinya atau atas nama orang lain.
  13. Orang yang membadali hanya membadali satu orang.

Kesimpulan

Badal haji dibenarkan menurut Islam, yang dihajikan gugur kewajibannya dan—insya Allah—mendapatkan pahala dari Allah serta gugur kewajibannya. Mengenai apakah boleh satu orang menghajikan lebih dari satu orang, para fuqaha sepakat hal itu tidak boleh. Wallahu a’lam.

 

Dijawab Oleh: Ust. Imtihan asy-Syafi’ie/Konsultasi

Akhwat Menolak Lamaran Ikhwan yang Berwajah Buruk

PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Ustadz, bagaimana hukumnya menolak lamaran laki-laki yang berwajah buruk namun memiliki agama yang baik? Di satu sisi kami ingin menjadi wanita shalihah yang seringkali dipersepsikan sebagai ‘menerima laki-laki yang memiliki agama dan akhlak yang baik tanpa memandang hal-hal selainnya’. Namun di sisi lain, kami juga takut tidak ikhlas menjalankan kewajiban sebagai istri karena kecewa dengan fisik suami.

Atas nasihat ustadz, ana sampaikan jazakumullah khaira jazaa’

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Seorang Akhwat yang gundah di bumi Allah

 

JAWABAN:

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh

Akhwat yang baik, esensi dalam sebuah pernikahan adalah kenyamanan batin (sakinah). Hal ini jika terwujud, akan memudahkan kita berkonsentrasi dalam membangun ketakwaan. Inilah yang terpenting untuk dibangun dalam sebuah keluarga islami. Bukan kumpulan materi bisu yang tidak menambah ibadah dan kebaikan seisi rumah, atau kebersamaan semu yang menyakitkan semua pihak di dalamnya.

Jika demikian adanya, maka ada banyak hal yang mestinya kita pertimbangkan ketika memutuskan untuk menerima lamaran seorang laki-laki. Standar agama dan akhlak pasti karena hal itu harga mati. Namun kebaikan agama dan akhlak saja, bagi banyak di antara kita, tidak menjadi jaminan adanya kenyamanan hati itu jika terdapat banyak sekali perbedaan antara suami dan istri. Baik yang berupa karakter, kebiasaan, kemampuan berfikir, kelancaran komunikasi, hingga penampilan fisik. Meski bagi sebagian yang lain, hal ini bisa saja tidak menjadi persoalan berarti.

Mengenai hal ini, Shahabat Umar bin Khattab pernah berkata, “Janganlah kalian nikahkan anak gadis kalian dengan laki-laki yang bertampang jelek karena wanita itu menyukai laki-laki yang ganteng sebagaimana laki-laki itu menyukai perempuan yang cantik!

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

Jadi, boleh saja seorang wanita menolak lamaran laki-laki ketika dia merasa tidak sreg dengannya. Hanya saja, jangan sampai hal ini menjadi sesuatu yang diprioritaskan untuk kemudian mengabaikan kualitas agama dan akhlak si pelamar. Sebab setelah berkeluarga nanti, keqawwaman laki-laki-lah yang mengambil peran terbesar guna teraihnya sakinah itu. Sehingga ketampanan fisik tanpa kemampuan mengayomi keluarga dan menyelesaikan masalah yang ada, juga akan mendatangkan kekecewaan yang besar.

Cobalah beristikharah agar Allah memilihkan yang terbaik, dan kita terhindar dari penyesalan di kemudian hari. Karena rencana Allah-lah yang akan terjadi, bukan keinginan kita. Sehingga kita harus belajar banyak untuk ridha dengan pilihan Allah.  Wallahu a’lam

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

 

Oleh: Ust. Triasmoro Kurniawan/Konsultasi

Katanya, Membunuh Cicak Dapat Pahala, Apa Iya?

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Langsung aja ya, ana mau tanya seputar hukum membunuh cicak, apakah dapat pahala apa tidak ketika membunuh hewan tersebut? Jazaakumullahukhair atas jawabanya. Demikian, Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Abdullah, di Bumi Allah   

 

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Benar, membunuh cicak memang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ. Dari Ummi Syuraik, Rasulullah memerintahkan agar membunuh cicak, Beliau bersabda, “Dia telah meniupkan api pada nabi Ibrahim.” (HR. Bukhari).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

 

مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً وَمَنْ قَتَلَهَا فِى الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً لِدُونِ الأُولَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِى الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً لِدُونِ الثَّانِيَةِ.

Barangsiapa yang membunuh cicak di pukulan yang pertama maka baginya sekian dan sekian pahala kebaikan. Barangsiapa yang membunuhnya di pukulan yang kedua maka baginya sekian dan sekian pahala kebaikan di bawah yang pertama. Dan barangsiapa yang membunuhnya di pukulan yang ketiga maka baginya sekian dan sekian pahala kebaikan di bawah yang kedua.” (HR. Abu Daud)

Menurut Abu Isa, hadits Abu Hurairah ini kedudukannya Hasan Shahih. Dan menurut Syeikh Al-Albani hadits ini Shahih.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang membunuh cicak di pukulan yang pertama maka ditulis baginya seratus kebaikan, di pukulan kedua pahala kebaikan di bawahnya (pukulan pertama), dan di pukulan yang ketiga kebaikan di bawahnya (pukulan yang kedua).” (HR. Muslim)

Dalam lafadz lain, “Di pukulan pertama mendapatkan tujuh puluh pahala kebaikan.” (HR. Muslim)

Baca Juga: Shalat Sambil Menggendong Bayi Berpopok

Dari beberapa keterangan di atas, ada riwayat yang menjelaskan seratus pahala di pukulan pertama dan riwayat lain tujuh puluh pahala. Menurut Imam An-Nawawi, kedua riwayat tersebut bukan berarti bertentangan, karena bisa jadi sebelumnya Allah telah memberitakan balasan tujuh puluh pahala tapi kemudian Allah menambahnya menjadi seratus pahala, atau bisa jadi juga jumlah itu disesuaikan dengan kondisi keikhlasan dan niat orang yang membunuh cecak tersebut. Maka seratus pahala bagi mereka yang sempurna keikhlasannya, dan tujuh puluh pahala bagi mereka yang tidak sempurna keikhlasannya. WaAllahu ‘Alam Bissawab .

Redaksi/ Ad-Dibaj ‘Ala Muslim: 5/255. Riyadhu Ash-Shalihin: 2/324