Diyatsah, Matinya Kecemburuan dan Lumpuhnya Kepekaan Terhadap Islam

Manusia memiliki fitrah, yaitu tabiat dasar yang cenderung pada kebaikan. Merasa malu, hidup bersosial, suka kebersihan, ingin memiliki keturunan, adalah beberapa contohnya. Islam datang membimbing manusia agar tetap berada pada fitrah sucinya dan membawanya menuju kebaikan yang sempurna.

Salah satu fitrah manusia adalah memiliki rasa cemburu. Dalam bahasa Arab disebut ghirah. Ghirah adalah ketidaksukaan hati pada orang yang dipandang merebut hak dan sesuatu yang dimiliki. Istilah ini identik pada hubungan lelaki dan wanita, yaitu saat mana salah satu dari keduanya merasa bahwa ada pihak ketiga yang berusaha menggoda atau bahkan merebut pasangannya. Ghirah sangatlah manusiawi. Oleh karenanya, dalam Islam rasa cemburu tidak dikekang, hanya dibatasi agar tidak berlebihan.

Rasa ini justru dijaga dan dipelihara karena merupakan pilar penjaga hubungan bahkan penanda cinta yang paling transparan. Baca saja hadits-hadits yang mengisahkan kecemburuan istri-istri Nabi dan respon bijak nan lemah lembut Beliau kepada para isterinya yang tengah cemburu. Aisyah bahkan pernah memukul gelas yang dibawa oleh seorang budak wanita karena cemburu sampai pecah berkeping. Luar biasanya, respon Nabi tak lebih dari memunguti pecahan sembari menenangkan sang budak wanita dengan berkata, “Ibunda kalian sedang cemburu.” Itu saja. Tidak ada hardikan atas kecemburuan Aisyah.

Baca Juga: Ghirah, Cemburu Karena Allah

Bahkan tidak hanya manusia saja yang cemburu, ternyata dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah pun cemburu. Cemburunya Allah adalah ketika hamba yang beriman: orang-orang yang menyatakan diri cinta kepada-Nya, dan Allah pun cinta pada mereka, melakukan kemaksiatan. Allah cemburu karena maksiat adalah kosongnya hati dari Allah dan terisi oleh nafsu dan bisikan setan hingga lebih menuruti keduanya daripada syariat-Nya.

Jadi, cemburu atau ghirah memang baik asal proporsional. Sebaliknya, hilangnya rasa cemburu adalah petaka. Dalam bahasa Arab musnahnya rasa cemburu disebut diyatsah. Pelakunya disebut Dayuts. Dayuts adalah orang yang tak lagi cemburu pada pasangan atau pada apapun yang dilakukan orang pada pasangannya. Dan diyatsah adalah tanda paling kentara dari musnahnya rasa cinta. Hilangnya rasa cinta bukan ditandai dengan benci, tapi dengan tidak lagi peduli. Berapa banyak orang membenci namun masih menyisakan ruang untuk cinta di hati. Namun, jika sudah tak peduli, hati telah tertutup dan telinga ta mau lagi mendegar apapun yang terjadi. Inilah klimaks dari kosongnya cinta.

Rasulullah ﷺ bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

Dari Salim bin Abdullah (bin Umar), dari bapaknya, dia (Abdullah) berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sudi melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts.” (HR. Ahmad)

Lihatlah, balasan bagi dayuts adalah Allah tidak peduli padanya bahkan memadang pun tak sudi. Persis sama dan setimpal dengan ketidakpeduliannya pada orang atau sesuatu yang seharusnya dia pedulikan. Lantas bagaimanakah orang yang sudah tidak lagi dipedulikan oleh Allah? Wal iyadzu billah. Semoga kita dijauhkan dari tiga dosa dalam hadits ini.

 

Diyatsah yang Mengerikan

Pada tataran praktik,diyatsah memang mengerikan. Rasa cemburu yang harusnya ada pada seseorang yang memang seharusnya dicemburui, musnah sama sekali dari hati. Suami tak lagi cemburu melihat istrinya bersama orang lain, atau sebaliknya. Apa yang tersisa dari cinta dan hubungan jika seperti ini? Kasus paling parah, dikisahkan dalam sebuah berita bahwa ada isteri yang rela bahkan membiarkan suaminya berzina dengan pelacur asal tidak nikah lagi atau menceraikan dirinya. Naudzubillah min dzalik.

Seorang ayah tak cemburu saat anaknya digoda atau bahkan dipermainkan laki-laki yang entah bakal jadi suaminya atau tidak. Atau seorang saudara tak ambil pusing manakala saudari atau bahkan ibunya sendiri, diganggu dan diseret ke dalam maksiat oleh orang tak bertanggung jawab. Subhanallah, akan seperti apa sebuah hubungan tanpa kecemburuan? akan seperti apa keluarga jika penanggungjawabnya sudah tak lagi peduli?

 

Skala Lebih Luas

Diyasath akan lebih mengerikan jika diseret pada skala yang lebih luas dari hubungan suami isteri dan keluarga, menuju hubungan antar mukmin kepada mukmin lain dan hubungan mukmin dengan agamanya.

Cemburunya seorang mukmin kepada saudaranya adalah rasa tidak rela saat saudaranya dihina, dizhalimi apalagi ditindas. Kecemburan ini muncul dari rasa cinta kepada sesama mukmin. Cinta melahirkan cemburu, cemburu menggerakkan jiwa dan raga untuk melakukan pembelaan. Bagaimana jika rasa ini mati?

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka. Diyatsah seperti kaca pembatas hati yang telah buram dan tebal hingga menghalangi suara. Sebenarnya masih bisa terlihat, namun karena tidak jelas, apa yang tampak tak mengundang perhatian. Sebenarnya masih terdengar, namun jeritan hanya terdengar seperti teriakan kecil hingga hati pun tak terpanggil.

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka.

Seperti apapun bombardir media menginformasikan bagaimana penderitaan saudara seiman di Palestina, Suriah, atau Rohingya, semuanya hanya disikapi dengan dingin. Dinding diyatsah dalam hati telah diblok stiker berbunyi, “Itu urusan bangsa dan negara lain, bukan urusan bangsa dan negaraku.” Atau slogan yang sepertinya indah nan bijaksana, namun sebenarnya menunjukkan matinya rasa cinta dan ukhuwah, yang berbunyi, “Kita harus netral dalam menyikapi apapun yang terjadi di negara lain.” Jika netral berarti diam, maka netral adalah bebal. Inti cinta dan ukhuwah bukanlah sekadar kata yang diucapkan atau senyum yang disunggingkan melainkan pembelaan dan keberpihakan.

Baca Juga: Taubat yang Batal dan Hijrah yang Gagal

Kasus pelecehan terhadap Islam, Syiar islam, kalimat tauhid, syariat dan al-Quran akan memunculkan banyak wajah-wajah dayuts. Oknum-oknum yang dianggap tokoh Islam namun ghirahnya kepada al-Quran malah layak dipertanyakan. “Allah Maha Kuat, tidak butuh dibela”, katanya. Kalimat yang benar tapi ditujukan pada konteks yang salah. Allah memang Maha Kuat, Allah juga tidak pernah butuh pada pembelaan siapapun. Namun, pembelaan umat Islam pada Allah dan syariat-nya bukan karena kasihan dan menganggap lemah tapi karena cinta dan kecemburuan. Kalimat itu justru menjadi penghinaan Bagi Dzat Yang Maha Kuasa.

 

Nahi Mungkar adalah Ekspresi Kasih Sayang

Nahi mungkar atau gerakan pemberantasan kemaksiatan juga lahir dari rahim cinta kepada Islam dan kecemburuan kepada sesama muslim. Seorang muslim tidak rela saudaranya dibelenggu setan dan dijerumuskan ke dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, muslim lain pun berusaha memberantas semua sarana yang digunakan setan untuk menjebak seorang muslim. Sayangnya, kepekaan ini tidak dimiliki oleh dayuts. Dia justru menganggap nahi mungkar sebagai arogansi dan intoleransi, meski nahi mungkar sudah dilakukan dengan hati-hati. Wajar, hati dayuts memang tak pernah terusik oleh maksiat. Dalam pikirannya, biarlah manusia memilih apa yang diinginkan asal tidak terjadi konfrontasi.

Demikian juga yang terjadi saat peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Jawa Barat beberapa waktu lalu. Kaum muslimin berbondong-bondong mengecam dan tidak mentolelir perbuatan tersebut karena telah merendahkan simbol islam dan kaum muslimin. Namun, sangat disayangkan ternyata banyak juga umat islam yang kecemburuannya sudah tumpul dan sudah tersemai benih dayuts dalam jiwanya, hingga ia mencari pembenaran dan pembelaan atas kasus tersebut. Wal iyadzubillah.

Bahkan saat merebaknya fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat, fitrah manusia bahkan norma masyarakat pun, para dayuts tetap bebal hatinya untuk bisa tergerak. Propaganda yang justru mampu merasuk dalam hati dan pikirnya adalah propaganda setan yang menyatakan bahwa LGBT adalah hak asasi setiap manusia yang tidak perlu diributkan. Dan dengan itu, dirinya merasa paling bijaksana. Adapun orang-orang yang dengan keras menentang, dicitrakan sebagai barbar yang intoleran, tidak memiliki kedewasaan berpikir dan kebijakan kultural, padahal semua itu adalah indikasi bahwa iman di hatinya telah mati. Penentangan orang-orang beriman adalah wujud hidupnya hati dan kasih sayang mereka serta ketidakrelaan mereka jika saudara-saudara mereka menjadi karib setan dan dimurkai Allah. Lantas siapakah di antara keduanya yang lebih pengasih, lebih toleran dan lebih bijaksana? Wal iyadzu billah wallahul musta’an. 

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah

Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Para Pelacur, Gay dan Lesbian termasuk dalam katagori Fasik. Dan fasik secara bahasa berasal dari ‘fasaqa ‘ yang artinya keluar. Orang Arab menyebutkan : “ Fasaqa ar-Rutabu “ (Kurma basah yang terkelupas dari kulitnya ). Maka Orang Fasik adalah seorang muslim yang banyak meninggalkan ( keluar ) dari ajaran-ajaran Islam dengan melakukan dosa- dosa besar, seperti berzina, mencuri, membunuh orang tanpa hak, minum khamr dan perbuatan sejenis. Atau yang melakukan dosa-dosa kecil yang sangat banyak dan secara terus menerus. ( ar-Raghib al-Ashfahani(W.502 H), al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, hlm.380 ) 

Salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadh fasik yang berarti “keluar” adalah firman Allah :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

 

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia keluar (durhaka )dari perintah Tuhannya.  Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.( Qs. al-Kahfi : 50)

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa ta’ziyah disunnahkan untuk orang yang meninggal dunia dalam keadaan fasik dan bermaksiat. Sebagian kecil dari ulama asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ta’ziyah untuk orang fasik hukumnya makruh. ( Nihayatu al-Muhtaj : 3/13, Hasyiatu al-Qalyubi :1/432)

Adapun dalil disunnahkan ta’ziyah untuk mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Keumuman hadist-hadist yang menunjukkan anjuran dan keutamaan ta’ziyah  untuk kaum muslimin yang terkena musibah secara umum. Dan belum ada dalil yang membatasi ta’ziyah khusus orang-orang yang taat saja.

Kedua : orang yang fasik ahli maksiat termasuk dalam katagori muslim selama tidak melakukan hal-hal yang menyebabkannya keluar dari Islam. Diantara dalilnya adalah firman Allah :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“ Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.’ (Qs.al-Hujurat: 9)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 7/374 ) :

 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال. وبهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج من الإيمان بالمعصية وإن عظمت، لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم من المعتزلة ونحوهم

“ Mereka masih disebut orang-orang beriman walaupun saling berperang. Dengan ayat ini, al-Bukhari dan lainnya berdalil bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan dengan maksiat walaupun berupa dosa besar, tidak seperti yang dikatakan oleh al-Khawarij dan pengikutnya seperti al-Mu’tazilah dan sejenisnya. “

Begitu juga firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

 

“  Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang dengan sengaja membunuh  orang muslim lainnya masih disebut saudara, yaitu saudara seiman. Ini menunjukkan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.

 

Berkata Syekh Abdul Aziz bin Baz di dalam Majmu’ Fatawanya : “ Tidak apa-apa, bahkan dianjurkan untuk berta’ziyah, walaupun yang mati adalah  pelaku maksiat seperti bunuh diri atau yang lainnya. Begitu juga dianjurkan berta’ziyah kepada keluarga yang salah satu anggotanya dihukum qishas karena membunuh orang lain, atau dirajam sampai mati karena berzina padahal dia sudah menikah, begitu juga peminum khamer yang mati karenanya. Maka tidak dilarang untuk berta’ziyah kepada keluarganya, dan tidak dilarang pula  mendo’akannya untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. “

 

Hukum Mensholatkan Orang Fasik

 

Boleh mensholatkan orang fasik atau ahli maksiat yang meninggal dunia, karena dia masih dianggap muslim. Diantara dalilnya adalah hadist Zaid bin Khalid al-Juhani  radhiyallahu ‘anhu :

 

 أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تُوُفِّىَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ». فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.

                “ Bahwa seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal dunia dalam perang Khibar. Maka mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliaupun bersabda :“Sholatkanlah teman kalian.” Maka wajah para sahabat berubah(merasa aneh) dengan pernyataan tersebut. Maka beliaupun bersabda :“Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan kecurangan di jalan Allah.” Kemudian kami periksa barangnya, maka kami dapatkan dompet miliknya orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.“(HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Ini hadist shahih )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan mensholatkan orang yang berbuat curang (mengambil ghanimah sebelum dibagi) dalam perang. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memilih untuk tidak mensholatkannya sebagai bentuk teguran kepadanya dan kepada siapa saja yang berbuat seperti perbuatannya.

Ibnu Abdil Bar al-Maliki di dalam al-Istidzkar(5/85) berkata : “ Hadist di atas merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menshalatkan pelaku dosa. Akan tetapi tidak boleh juga melarang shalat jenazah terhadapnya. Bahkan dia harus menyuruh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alihi wa sallam : ‘Shalatkanlah teman kalian.”

 

Ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu :

 أُتِيَ اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ, فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

 

“ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mensholatkannya.” ( HR. Muslim )

Selain orang fasik dan ahli maksiat, beliau juga tidak mau mensholatkan orang yang mempunyai utang dan belum melunasinya sampai meninggal dunia, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: ” هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? ” فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: ” أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam suatu ketika dihadirkan kepadanya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan punya utang. Maka ditanyakan:“ Apakah meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya ?“ Jika dijawab bahwa ada yang ditinggalkan untuk membayarnya, maka beliau mensholatkannya, jika tidak, maka beliau bersabda:“ Sholatlah kalian untuk saudara kalian ini.“ Ketika terjadi pembukaan kota-kota, beliau bersabda : “ Saya lebih berhak ( untuk membantu ) kaum muslimin daripada mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka saya yang bertanggung jawab untuk membayarnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Akan tetapi jika orang fasik atau pelaku tersebut sudah bertaubat dan dihukum oleh pemerintah Islam, maka beliaupun ikut mensholatkannya. Seperti dalam hadist  Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَرَفَ بِالزِّنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ آحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرًا وَصَلَّى عَلَيْهِ

“Bahwa seseorang yang berasal dari suku Aslam datang kepada nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina, nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menanggapinya, sehingga dia bersaksi kepada dirinya empat kali, maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepadanya : “ Apakah anda sudah gila ?” Dia menjawab :“Tidak”, Nabi bertanya : “Apakah anda sudah menikah “? Dia menjawab :‘Ya‘, maka beliaupun memerintahkan agar orang tersebut dirajam di musholla (tempat lapang), ketika batu-batu menimpanya, diapun lari, dan berhasil ditangkap lagi dan dirajam sampai mati. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentangnya dengan sesuatu yang baik dan mensholatkan jenazahnya.“ ( HR. Bukhari, 6820)

Memang ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mensholatkannya, tetapi Imam Ahmad ketika ditanya masalah ini, beliau mengatakan :

 

لا يعلم أن النبي – صلى الله عليه وسلم – ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه.

“ Tidak diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau mensholatkan jenazah sahabatnya kecuali orang yang mencuri harta rampasan perang dan yang melakukan bunuh diri. (al-Hasan ash-Shan’ani( 1276H), Fathu al-Ghaffar, 2/721)

 

Hal ini dikuatkan dengan hadist Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

 “ Bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, aku telah melanggar sesuatu yang menyebabkan hukuman rajam, maka tegakkanlah hukuman tersebut atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkatanya : “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku.”Maka diapun melaksanakan perintah tersebut. Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita diikat pakaiannya dengan erat dan dilaksanakan hukuman rajam. Kemudian beliaupun mensholatkannya. Saat itu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau mensholatkannya wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang jika taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”  (HR. Muslim)

Bangkitnya ‘Kaum Luth’ LGBT di Indonesia

Tentang kisah kehancuran kaum Nabi Luth AS  al Qur`an memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini.

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Jadi, ayat-ayat al Qur`an memberikan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa diazabnya kaum Luth itu ada kaitannya dengan perilaku seksual yang menyimpang, yaitu perilaku homoseksual. Prof. Hamka mengutip sejumlah hadits Rasulullah SAW dalam Tafsirnya, yakni Tafsir al-Azhar: “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

 

Baca Juga: Suka Sesama Jenis Bawaan Atau Penyimpangan

 

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).

 

Kebangkitan ’Kaum Luth’

Manusia memang makhluk yang mudah sekali melupakan peringatan Allah. Lihatlah, fenomena yang terjadi di daerah-daerah bekas bencana. Beberapa hari setelah bencana, masjid-masjid dipenuhi manusia yang meratap dan berdoa kepada Allah. Tapi, ketika tahun berganti tahun, ketika bangunan-bangunan mulai direnovasi, saat sisa-sisa bencana mulai sirna, maka banyak lagi yang melupakan masjid. Shalat jamaah yang sebelumnya sempat ramai, kemudian menjadi sepi kembali.

Dalam soal perilaku ‘kaum Luth’ ini, marilah kita simak apa yang sedang terjadi di negeri kita? Televisi kita setiap hari menayangkan tontonan yang mengajak masyarakat untuk bersikap menerima perilaku kaum Luth, baik secara halus maupun secara terang-terangan, bahkan seringkali ditampilkan dengan sangat vulgar. Sering, tayangan ’kaum Luth’ ini dimunculkan dalam bentuk lawakan dan humor-humor segar, sehingga bisa membuat orang terlena dan terbuai dalam dunia tawa. Lama-lama, dia menganggap bahwa ’kaum Luth’ dan orientasi seksualnya adalah sesuatu yang normal dan absah, sama dengan manusia-manusia lainnya.

Lebih parah lagi, gerakan legitimasi praktik ’kaum Luth’ di Indonesia semakin mengerikan dengan munculnya sejumlah cendekiawan bidang agama yang secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis. Tahun 2004, dari Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang terbit sebuah Jurnal bernama ’Justisia’  (edisi 25, Th XI, 2004) dengan judul sampul yang mencolok mata: ”Indahnya Kawin Sesama Jenis.”  

Gerakan ’kaum Luth’ dengan justifikasi keagamaan mendapatkan momentumnya dengan kedatangan Irshad Manji, wanita lesbian, di Yogyakarta dan Jakarta pada Mei 2008. Kedatangan Manji mendapatkan liputan media massa nasional yang sangat luas. Nong Darol Mahmada, aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menulis artikel di Jurnal Perempuan (Maret 2008) dengan judul: Irshad Manji: Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad.

 

Baca Juga: Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

 

Dukungan yang sangat berarti bagi ’kaum Luth’ kemudian juga datang dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen pasca sarjana UIN Jakarta yang juga aktivis AKKBB. Dalam satu makalahnya yang berjudul ” Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, Prof. Mudah menulis: ”Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Lihat, Majalah Tabligh MTDK Muhammadiyah, Mei 2008)

Dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan (Maret 2008), Prof. Musdah menyatakan: ”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”  Lalu, katanya lagi, ”Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad SAW serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”

Dukungan dan justifikasi keagamaan dari ”Doktor Terbaik IAIN Jakarta tahun 1996/1997” ini tentu sangat berarti bagi ’kaum Luth’ di Indonesia. Dengan justifikasi keagamaan seperti ini, bisa-bisa ’kaum Luth’ di Indonesia akan bersikap lebih garang lagi jika diberi peringatan. Dengan dalih menghalangi kebebasan beragama dan berkeyakinan dan jaminan HAM, para penolak perkawinan sesama jenis, nanti dapat dicap sebagai manusia biadab, tidak manusiawi, tidak toleran, anti-HAM,  anti-kebebasan, dan sebagainya, sebagaimana ditulis dalam Jurnal Justisia edisi perkawinan sejenis tersebut: 

“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun,  untuk melarang perkawinan sejenis.”

Inilah musibah besar bagi negeri ini. Sebagai orang beriman, kita tentu yakin, bahwa hancurnya suatu peradaban erat kaitannya dengan perilaku dan akhlak manusia. Maka, tidak ada pilihan lain, kecuali kita diwajibkan berdakwah sekuat mungkin agar virus yang disebarkan ’kaum Luth’ ini tidak semakin meluas di masyarakat kita. Wallahu A’lam

 

Oleh: Adian Husaini