Kultum Ramadhan: Kisah Para Pendamba Pintu Ar-Rayyan

Kebiasaan shaum telah mengantarkan orang-orang pilihan ke derajat yang tinggi. Shaum telah membuat kecenderungan mereka adalah memperbanyak amal shalih. Mereka rajin melakukan ketaatan, tak ada gairah untuk melakukan dosa, mereka jauh dari maksiat, sebagaimana hal itu menjadi inti tujuan shaum, yakni takwa.

Seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau melakukan beragam ketaatan di saat menjalankan shaum. Bukan saja ketika di bulan Ramadhan, tapi di bulan-bulan selainnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

“Suatu ketika Nabi Muhammad bermajelis bersama para sahabat, lalu beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini melakukan shaum?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi n bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini telah mengantar jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi n bertanya lagi, Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?” Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, “Saya.” Kemudian Nabi n bersabda, “Tiadalah semua itu ada pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk jannah.” (HR Muslim)

Begitulah, shaum telah membawa suasana yang ringan untuk melakukan banyak kebaikan. Lihatlah, sepagi itu, ash-Shiddiq telah melakukan amal sebanyak itu.

Mereka yang Terbiasa Menjalani Shaum

Adalah Utsman bin Affan, beliau orang yang sangat rajin menjalankan shaum. Seperti yang diungkapkan oleh Abu Nuaim, “Waktu siangnya adalah kemurahan berderma dan untuk shaum, sedang malamnya untuk sujud dan qiyam (shalat).” Ini menjadi kebiasaan beliau setiap harinya. Adapun di bulan Ramadhan, lebih menakjubkan. Beliau mengkhatamkan al-Quran dalam sehari dalam shalatnya. Perutnya kosong karena Allah, sementara lisannya senantiasa sibuk dengan dzikir dan bacaan al-Quran.

Beliau sangat rajin shaum di hari biasa, hingga di hari terbunuhnya, beliau dalam keadaan shaum sementara mushhaf al-Quran berada dalam dekapannya.

Baca Juga: Ia Ingin Memiliki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Memang ada hari-hari dimana sebagian sahabat tidak menjalankan shaum, seperti Abu Thalhah. Bukan karena malas, tapi karena tenaganya sangat dibutuhkan di saat perang, untuk menyerang dan menangkis serangan maupun berteriak untuk memberi motivasi kepada para mujahidin, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, suara Abu Thalhah di tengah-tengah pasukan lebih hebat dari seribu orang tentara.”

Tentang Abu Thalhah, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah tidak melakukan shaum (sunnah) di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena selalu terjun dalam kancah perang. Akan tetapi, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, aku tidak melihat dia meninggalkan shaum, kecuali di hari-hari Iedul Adha dan tasyriqnya, maupun di hari Iedul Fithri.”

Adapun Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang dikenal sebagai sahabat yang paling antusias dalam berittiba’ kepada Nabi , selalu menjalankan shaum, kecuali di saat safar. Putera beliau, Nafi’ bin Abdullah bin Umar berkata, “Ibnu Umar tidak melakukan shaum sunnah dalam keadaan safar, akan tetapi ketika tidak dalam keadaan safar, beliau hampir tidak pernah meninggalkan shaum. Inilah kebiasaan sahabat yang dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ni’mal ‘abdu Abdullah,” sebaik-baik hamba adalah Abdullah.

 

Hafshah ash-Shawwaamah dan Rahmah al-Abidah

Di kalangan wanita sahabiyat, tercatat seseorang yang digelari shawwamah, ahli shaum. Bukan gelaran yang disematkan oleh teman-temannya, atau generasi setelahnya, tetapi malaikat Jibril yang mengesahkannya. Dialah Hafshah, ummul mukminin, istri dari Rasulullah, sekaligus puteri dari Umar bin Khathab.

Seperti yang diceritakan oleh Qais bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mentalak Hafshah, lalu dua orang paman beliau dari pihak ibu, yakni Qudamah dan Utsman bin Mazh’un menemui beliau. Hafshah menangis sambil berkata, “Demi Allah Nabi mentalakku bukan karena saya senang makan kenyang…demi Allah Nabi mentalakku bukan karena saya senang makan kenyang…”

Tak lama kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan bersabda, “Jibril berkata kepadaku, “Ruju’lah Hafshah, karena ia itu shawwaamah (rajin shaum), qawwaamah (rajin shalat), dan ia nanti menjadi istrimu di jannah.” 

Subhanallah, pengesahan makhluk manakah yang lebih meyakinkan dan lebih berharga dari pengesahan Jibril? Semoga Allah meridhai Hafshah, beliau wafat di saat menjalani shaum, sebagaimana disebutkan oleh Nafi’, keponakannya.

Baca Juga: Shafiyah bintu Huyay, Putri Tercantik Khaibar

Satu lagi teladan menakjubkan dari kaum salaf. Seorang wanita yang dikenal dengan sebutan Rahmah al-Abidah, pelayan Muawiyah. Begitu rajinnya ia dalam melakukan shalat dan shaum, sampai-sampai beberapa orang mendatanginya untuk membujuk, supaya ia mengasihi dirinya. Maka beliau berkata, “Apa yang perlu dikasihani dari saya. Saya hanyalah bilangan hari yang bergulir dengan cepat, ketika satu hari berlalu maka tak mungkin lagi didapatkan di hari esok. Sungguh, saya akan bersungguh-sungguh shalat selagi jasadku terkandung nyawa, aku akan senantiasa shaum selagi masih hidup. Siapakah di antara kalian yang ingin hamba sahayanya berleha-leha tak bekerja keras?” Yakni, Allah yang menjadi majikannya yang sesungguhnya tentu menyukai jika ia bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya. Semoga Allah meridhai Rahmah al-Abidah.

Kiranya, beberapa penggal kisah di atas mampu mengatrol semangat kita untuk menjalankan shaum yang wajib maupun yang sunnah, serta mengisi saat-saat shaum dengan amal kebaikan. Agar kita termasuk kaum yang diijinkan masuk jannah melalui pintu yang istimewa, pintunya orang yang rajin menjalankan shaum, yakni ar-Rayyan.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan

Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Hidup memang tak mudah. Dengan kelemahan manusia, banyak kewajiban yang senantiasa menunggu untuk ditunaikan. Godaan dan rayuan dunia, berikut setan yang selalu menggoda sewaktu-waktu bisa menjerusmukannya ke dalam dosa. Tentu, untuk mampu menjalani hidup dengan selamat dan aman hingga tujuan, membutuhkan bekal dan sarana yang tidak ringan.

Dalam hal dunia, tidak gampang pula bagi manusia untuk menggapai apa yang menjadi cita-cita dan harapannya. Sementara musibah dan perkara yang tak dikehendaki, justru datang bertubi-tubi. Untuk ini, manusia juga membutuhkan alat bantu untuk menggapai tujuannya, juga sarana yang membuatnya tegar dan tidak goyah saat menghadapi peristiwa yang tak diharapkan terjadinya.

 

Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Di antara bukti kasih sayang Allah kepada manuasia, Dia telah menunjukkan dua sarana untuk itu. Jika kita memiliki keduanya, segalanya akan menjadi mudah. Dua hal itu adalah sabar dan shalat. Allah berfirman,

 

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya (yang demikian itu) sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 45)

Secara eksplisit bahwa sabar dan shalat adalah dua instrumen yang bisa kita gunakan sebagai alat penolong. Dalam hal apa? Tidak ada keterangan khusus. Ini menunjukkan bahwa sabar dan shalat bisa menjadi sarana penolong kita dalam hal apa saja. Dalam menjalani ibadah, mencegah maksiat, menggapai cita-cita, dan menjauhkan dari marabahaya, baik di dunia maupun di akhirat. Ibnu Katsier rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat.” Artinya, dengan sabar dan shalat, segala hal menjadi mudah.

 

Sabar Sebagai Penolong

Makna sabar adalah al-habsu, menahan diri. Yakni menahan diri terhadap perkara yang tidak disukai, dan maupun menahan diri dari kemauan hawa nafsunya. Demikian urgen arti kesabaran, hingga kata ini disebut tidak kurang dari 90 tempat dalam al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah. Bahkan saat kita menelusuri kebaikan, keutamaan serta tuntutan keimanan, maka kita akan menemukan bahwa sabar selalu menjadi ruh dan nyawanya. Shaum misalnya. Inti shaum adalah kesabaran. Karena dia  harus menahan diri dari makan, minum, ‘bercampur’ dengan istri di siang hari dan hal-hal lain yang disukai hawa nafsunya.

Jihad fie sabilillah juga hanya mampu dikerjakan oleh orang yang memiliki kesabaran. Sabar dalam meninggalkan keluarga yang dicintainya, melawan rasa takut di dada, dan dalam bersusah payah tatkala harus menghadapi musuh. Birrul walidain juga membutuhkan kesabaran, apalagi jika orangtua telah lemah dan pikun. Sabar dalam merawatnya, menerima sikapnya yang kembali seperti anak-anak, juga ucapannya yang makin tua makin ngelantur. Begitulah, segala amal kebaikan dan tuntutan iman membutuhkan kesabaran untuk menjalaninya. Tepat sekali jika shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sabar dengan ungkapan,

 

وَاعْلَمُوا أَنَّ مَنْزِلَةَ اْلصَّبْرِ مِنَ الْإِيْماَنِ كَمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ اْلجَسَدِ فَإِذاَ ذَهَبَ الرَّأْسُ ذَهَبَ الْجَسَدُ فَإِذاَ ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ اْلإِيْماَنُ

“Ketahuilah bahwa kedudukan sabar bagi iman laksana kedudukan kepala bagi jasad. Jika kepala hilang, lenyaplah (tiada bernyawa) jasad, jika sabar lenyap, lenyap pula keimanan.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq).

Kesabaranlah yang membuat seseorang mampu menahan beratnya cobaan. Dengannya, orang menjadi tidak berputus asa, tidak stress, tidak mencela takdir, tidak berprasangka buruk kepada Allah dan tidak terhalang mendapatkan pahala kesabaran yang tak terhitung banyaknya (bighairi hisab).

Baca Juga: Bahagia di Penghujung Usia

Dengan kesabaran pula seseorang akan mampu mencegah dirinya dari dosa dan maksiat. Andai seseorang tidak memiliki kesabaran, maka tak ada lagi alat penahan bagi nafsu untuk melampiaskannya. Dengan ringan mengumbar pandangan mata, atau bahkan berzina, ia akan makan dan minum sepuasnya yang ia bisa hingga yang haram sekalipun, atau akan berbicara dan berbuat sesukanya. Belum lagi jika ada kondisi yang memantik amarahnya, caci maki, pukulan atau bahkan membunuh menjadi kemungkinan yang tak jauh darinya. Sejauh mana tingkat kesabaran yang dimiliki seseorang, sejauh itulah ia mampu meninggalkan dosa dan maksiat.

Ringkasnya, kesuksesan manusia dalam menjalani misi hidup di dunia tergantung pada tingkat kesabaran. Termasuk hasil akhirnya kelak, kesabaran menjadi penentu utama. Kesabaran akan menuntun pemiliknya ke dalam Jannah. Karena itulah, ucapan selamat malaikat penjaga Jannah bagi mereka yang masuk Jannah adalah,

Salamun `alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian, karena kalian telah bersabar).” (QS. ar-Ra’du: 24).

 

Shalat Sebagai Penolong

Makin sempurna sarana untuk meraih multi maslahat, ketika kesabaran dipadu dengan shalat. Karenanya, tidak hanya di satu ayat Allah menggandengkan sabar dengan shalat. Para sahabat juga berusaha mempraktekkan keduanya secara beriringan untuk merealisasikan ayat tersebut. Seperti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Zaid bin Ali mengisahkan, ketika dalam perjalanan, ada kabar yang sampai kepada beliau bahwa seorang anaknya meninggal. Beliaupun turun dari kendaraan, shalat dua rakaat kemudian membaca istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un), lalu beliau berkata, “Kami melakukan sebagaimana yang Allah perintahkan, “ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Shalat merupakan sarana paling efektif untuk teguh di atas ketaatan. Ia memengaruhi seseorang dalam segala aktivitas. Tidak heran jika Umar bin Khathab mengatakan, “man dhayya’ash shalah, fahuwa limaa siwaaha adhya’,” barangsiapa yang meremehkan shalat, pasti untuk urusan lain lebih meremehkan. Makna sebaliknya, jika shalatnya baik, urusan yang lain akan ikut baik.

Baca Juga: Masuk Surga Bermodal Cinta

Hal ini tak terbatas pada baiknya karakter di dunia, tapi juga pahala di akhirat, shalat menempati urutan pertama yang akan dihisab, sekaligus menjadi penentu bagi amal-amal yang lain. Bila shalat baik, ia akan selamat. Jika tidak baik, apalagi tidak shalat, siksa neraka menanti di hadapannya. Allah menceritakan apa yang akan terjadi besok di hari Kiamat, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,” (QS. al-Mudatsier: 42-43)

Shalat juga menjadi pencegah paling efektif dari dosa. Allah berfirman,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45)

Abu al-Aliyah menjelaskan kronologinya, mengapa shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Beliau berkata, “Sesungguhnya pada shalat itu terdapat tiga unsur, maka setiap shalat yang tidak mengandung tiga unsur ini, bukan shalat namanya. Ketiga unsur itu adalah ikhlas, khasyyah (rasa takut) dan dzikrullah. Ikhlas akan mendorongnya untuk berbuat baik, rasa takut akan mencegahnya dari perbuatan mungkar, sedangkan dzikrullah akan memerintah yang baik dan mencegah dari keburukan sekaligus.”

Jika dalam suatu kasus, ada orang yang shalat, namun ia belum berhenti dari perbuatan keji, bukan berarti resepnya yang salah. Allah tidak mungkin salah. Hasil yang sempurna akan didapat dengan usaha yang sempurna, begitupun sebaliknya. Perbuatan mungkar yang dilakukannya otomatis menunjukkan bahwa shalatnya belum beres.

Mungkin dari sisi kaifiyah (tata cara) atau dari kekhusyu’an dan keikhlasannya. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa seseorang datang melapor kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya si fulan shalat malam, tapi pagi harinya dia mencuri!” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya shalat yang ia lakukan itu akan mencegah ia dari apa yang kamu katakan itu.” Artinya, jika memang ia benar-benar shalat, dan shalatnya benar-benar betul, maka pasti ia tidak akan mencuri. Shalat membuatnya mudah untuk menghindar dari perbuatan mungkar. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Telaah

 


tags: majalah islam online, majalah islam di indonesia, majalah islam wanita, majalah islam remaja, majalah islam pdf, majalah islami, media islam update, media cetak islam, majalah muslim 212, produk kaum muslimin, majalah islam semua usia, majalah keluarga muslim, artikel islami masa kini, artikel keluarga muslim