Itsar, Akhlak yang Mulai Pudar

Istilah Itsar dalam keseharian mungkin sudah tidak asing lagi, tapi-untuk mengamalkannya tidak semua orang dapat melakukannya kecuali hamba Alloh yang ikhlash. Itsar adalah akhlaq mulia yang sudah jarang kita temui, apalagi di zaman modern, masa di mana orang lebih mementingkan kehidupan dunia yang fana daripada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Padahal akhlaq ini telah menjadi kebiasaan salafus shalih. Sudah seharusnya kita menjadikan mereka sebagai teladan hidup. Sungguh ironis, jika sifat mulia ini mulai terkikis dari diri kaum muslimin, seolah-olah sifat ini merupakan hal yang baru. Akankah sikap ini kembali menjadi melekat dikalangan kaum muslimin kembali?

          Imam Qurtubi menuturkan bahwa itsar adalah mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri dan masalah duniawi, sehingga sifat ini merupakan akhlak terpuji. Meskipun demikian, itsar tidak boleh diterapkan dalam hal akhirat dan ibadah.

Dalam kitab Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan al-Itsar adalah lawan daripada kikir. sesungguhnya orang yang mengutamakan orang lain, akan meninggalkan apa yang ia butuhkan untuk dirinya. Yang demikian itu merupakan posisi kedermawanan, kemurahan dan perbuatan baik dan disebut dengan kedudukan itsar karena merupakan tingkatan yang paling tinggi. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan keyakinan yang kuat, kecintaan yang mendalam dan sabar atas kesusahan yang menimpanya.

Tingkatan Itsar

Itsar memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan pertama, mengutamakan orang lain di atas kepentingan pribadi. Misalnya, anda memberi makan mereka sedang anda lapar, memberi minum mereka sedang anda kehausan. Hal ini sangat dianjurkan oleh Islam, selama tidak melanggar perintah-Nya maupun menerobos larangan-Nya. Sebab, tidak setiap saat orang harus itsar. Jika ternyata membuat pikiran dan hati sibuk dan melupakan Alloh, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pribadi yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Maka, itsar tidak diperlukan.

Tingkatan yang kedua, mendahulukan keridhaan Alloh di atas kehendak pribadi dan orang lain. Sehingga muncul tekad kuat untuk melaksanakan perbuatan yang mendatangkan keridhaan Alloh, walaupun orang-orang membencinya. Itsar tingkat ini telah dicontohkan dengan sempurna oleh para nabi, para rasul dan ulul ‘Azmi, para rasul pilihan dari kalangan nabi dan rasul.

Contoh paling ideal adalah nabi kita Muhammad SAW. Beliau membeli keridhaan Alloh daripada simpati manusia dengan cara mendakwahkan Islam pada saat semua orang tengah musyrik. Meski banyak orang membeci, beliau tetap teguh pendirian untuk menyampaikan risalah Alloh hingga kalimat Alloh tinggi dan agamanya menang atas agama yang lain.

Imam Syafi’i berkata, “keridhaan seluruh manusia merupakan suatu hal yang tidak mungkin dapat diwujudkan. Oleh karena itu engkau harus berpegang teguh pada hal-hal yang bisa memperbaiki dirimu. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada yang dapat memperbaiki jiwa kecuali dengan mendahulukan ridha Alloh atas ridha manusia.”

Tingkatan yang ketiga, mendahulukan apa yang Alloh cintai atas selera pribadi. Itsar pada tingkatan ini mengubah persepi dan tolak ukur seeorang dalam menilai sesuatu. Apa yang ia sukai adalah hal-hal yang Alloh sukai yang dikhabarkan lewat al-quran dan sunnah. Begitu pula kala ia membenci. Rasa suka dan benci ia atur gerak-geriknya sesuai ketentuan Alloh. Seolah-olah menyerahkan pengukuran prioritas kepada Alloh, karena pada hakikatnya dialah pengutama yang sebenarnya.

Teladan Istimewa

Para sahabat adalah orang-orang yang patut diteladani dalam bersikap itsar mereka benar-benar suatu generasi unggulan yang pantas mendapat julukan dengan sebaik-baik generasi hingga karena sifat mereka Alloh benar-benar memuji sifat mereka yang sangat jarang kita temukan pada zaman kita sekarang ini Alloh berfirman dalam memuji mereka:

“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Alloh memuji kaum Ansar, dimana mereka telah mendahulukan orang lain yang membutuhkan atas diri mereka sendiri, mempersilahkan orang lain sebelum diri mereka sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan hal tersebut.

Dari Abu Hurairah dia bercerita, bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi SAW seraya mengatakan: “Sesungguhnya aku sangat lelah dan lapar” kemudian beliau menemuisalah satu istrinya. Ternyata istrinya berkata, “Demi Alloh yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak mempunyai apa-apa kecuali air saja”. Kemudian beliau mengutus seseorang kepada istrinya yang lain maka istrinya tersebut mengatakan hal yang sama. Hingga akhirnya semua istrinya mengtakan hal yang sama . kemudian Nabi SAW bersabda: “Siapakah yang sanggup menjamu orang ini pada malam ini? Kemudian salah seorang dari kalangan Ansar mengatakan: “Aku wahai Rasulullah” kemudian orang tersebut bersama sahabat tersebut. Selanjutnya ia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ini”. Lalu sahabat tersebut berkata kepada istinya: “Apakah kamu mempunyai sedikit makanan? Istrinya mejawab: “Tidak kecuali makanan untuk anak-anakku. “ Dia berkata sibukkanlah mereka dengan sesuatu, dan jika mereka ingin makan maka tidurkanlah mereka. Dan jika tamu kita masuk, matikanlah pelita itu dan perlihatkanlah kepadanya bahwa kita seolah-olah ikut makan. Kemudian merekapun duduk dan tamu itupun makan, sedang suami istri tersebut tetep kelaparan sepanjang malam. Dan ketika pagi hari tiba, mereka betemu Nabi, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Alloh kagum dengan apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian tadi malam. ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Katsir dalam mengomentari ayat tersebut mengatakan bahwa Alloh memuji kaum Ansar serta mejelaskan kemuliaan, keagungan, kesucian diri mereka dari rasa iri, serta tindakan mereka mendahulukan orang lain atas diri mereka sendiri padahal mereka lebih membutuhkannya. Karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, mereka mencintai kaum Muhajirin dan memberkan bantuan untuk mereka.

Keteladanan dalam Itsar

Ibnu Umar berkata: salah seorang dari sahabat Nabi diberi hadiah berupa kepala kambing maka sahabat tersebut berkata: “Sesunguhnya saudaraku fulan lebih membutuhkan daging ini daripada diriku, kemudian ia memberikan daging tersebut kepada sahabatnya, ternyata sahabat tersebut juga memberikan daging yang ia dapatkan kepada sahabat yang lain hal ini berlangsung hingga kepala kambing tersebut berputar sampai tujuh rumah sahabat hingga daging tersebut kembali kepada sahabat yang pertama mendapatkan daging itu untuk yang pertama kali.

Dikisahkan bahwa telah berkumpul lebih dari pada tiga puluh orang yang mereka semua itu berada di satu tempat yaitu di sebuah desa dekat Ar-Ray (daerah Iran). Mereka hanya mempunyai beberapa potong roti yang tidak akan cukup untuk mengenyakan mereka semua. Lalu untuk memakannya mereka memecahkan roti tersebut dan memadamkan lampu, kemudian mereka duduk berkeliling untuk memakan roti tersebut.

Kemudian tatkala makanan itu di angkat dan lampu di nyalakan ternyata roti tersebut masih dalam keadaan semula tidak berkurang sedikitpun, karena mereka satu sama lain saling mengutamakan saudaranya sehingga mereka berfikiran agar saudaranya saja yang memakan roti tersebut biarlah ia tetap lapar yang penting saudaranya kenyang.

Ketika peperangan Yarmuk kaum muslimin mendapat kemenangan yang cukup gemilang pada peperangan tersebut diantara kaum muslimin ada yang mengalami luka dan cedera tersebutlah tiga orang mujahidin yaitu: Al-Haris bin Hisyam, ‘Ayyas bin Abi Rabi’ah dan Ikrimah bin Abi Jahal. Ketika mereka mengalami masa-masa kritis dan membutuhkan pertolongan justru pada saat itulah mereka melakukan perbuatan yang sungguh luar biasa mereka berbuat itsar dengan menakjubkan yang sulit kita dapatkan pada jaman sekarang ini, hal ini sebagaimana diceritakan sendiri oleh Hudzaifah Al-‘Adawi ia menceritakan, ”Pada saat itu aku membawa air yang sedikit yang akan aku berikan kepada Al-Haris yang pada saat itu ia tengah berteriak meminta air karena ia tengah sangat kehausan ketika air sudah dihadapannya dan ia bersiap untuk meminumnya tiba-tiba ia mendengar orang lain juga berteriak kehausan yaitu sahabatnya Ikrimah ketika itu pula ia mengisyaratkan untuk memberikan air tersebut untuk Ikrimah, ketika air sudah dihadapan Ikrimah dan ia sudah bersiap untuk meminumnya ketika itu pula ia mendengar sahabat lain yaitu ‘Ayyas memita air maka Ikrimahpun mengisyaratkan untuk memberikan air tersebut kepadanya, ketika air tersebut dibawa kehadapan ‘Ayyas ternyata ia sudah meninggal terlebih dahulu tanpa sempat meminum air tersebut, ketika air tersebut dibawa kembali kepada dua orang sahabat yang meminta air tadi ternyata ajal juga telah menjemput mereka akhirnya para sahabat tersebut meninggal dunia tanpa salah seorang pun diantara mereka yang meminum air tesebut.

Sungguh luar biasa sikap para sahabat rasulullah saw dalam melakukan itsar diantara mereka, tapi- hari ini sulit kita dapati di zaman modern, zaman yang penuh dengan fitnah, baik fitnah syubhat dan fitnah syahwat yang benar-benar menggoda hamba-Nya yang beriman. Lalu bagaimana dengan kita, di mana tingkatan itsar kepada saudara kita. Semoga ini menjadi motivasi untuk kita semua dalam melalukan itsar terhadap saudara kita, Amiin.

Bijaksana Begitu Mempesona

Karakter bijaksana senantiasa mencuri perhatian massa. Orang-orang yang bijaksana selalu menarik simpati siapapun yang memandangnya. Mereka diberi kemampuan menyikapi apapun dengan penuh kearifan dan perhitungan yang matang, sehingga di belakang tidak muncul penyesalan yang kadang tak bisa lekang. Mereka pun bisa menikmati kehidupan ini. Hari-harinya tidak disibukkan dengan dramatisasi beratnya terpaan cobaan. Dia sikapi masalah dengan hikmah, tenang dan proporsional.

Sebagaimana didefinisikan dalam kamus Lisan Al-‘Arab, bahwa orang yang dianugerahi hikmah sangat menguasai masalah apapun secara profesional dan luas pengalamannya. Orang yang dikaruniai hikmah akan jauh dari celaan dan kenistaan, seperti dikatakan Ibnu Hajar dalam Fat-h Al-Bari dimana beliau menafsirkan hikmah sebagai segala sesuatu yang dapat mencegah dari kebodohan dan celaan akibat perbuatan tercela.

Mereka yang disinari Allah dengan cahaya kebijaksanaan (hikmah) tidak risau bila dunia pergi darinya dan tidak terpukau bila harta datang sepenuh pulau. Hati yang dipancari sinar hikmah akan dapat melihat segala sesuatu dari perspektif Al-Qur`an dan As-Sunnah, yang sejatinya keduanya merupakan sumber hikmah, sehingga respon yang diberikannya sebisa mungkin bersih dari noda dosa yang nista. Kalaupun pernah terjatuh dalam lubang dosa, akan segera bisa bangkit bertaubat dan tidak akan lagi terjatuh padanya, sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah, “Seorang mu`min tidak akan tersandung dua kali karena satu batu.” (HR. Bukhari no. 6133)

Sebelum berbuat, apapun, pemilik karakter hikmah akan mempersiapkan diri menghadapi segala konsekuensi. Senantiasa waspada dari keterpurukan dan ketergelinciran. Nabi Muhammad menyarankan,

وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ

 

“Jangan berucap dengan suatu perkataan yang menjadikan engkau nantinya menyesal.” (HR. Ibnu Majah no. 3363)

Berkenaan dengan hadits ini, ada ucapan Al-Khaththabi yang bagus, “Hendaklah mu`min senantiasa teguh dan waspada, jangan sampai lalai dan tertipu beberapa kali, kadang dalam persoalan din (Islam), sebagaimana dalam persoalan dunia, dan persoalan din lebih utama untuk diwaspadai.” (Fat-h Al-Bari 1/530)

Karenanya pernah kita mendengar Imam Bukhari mengutarakan prinsip hidup yang simple namun penuh manfaat, “Berilmu sebelum beramal.” Sangat tepat sekali. Atau motto para pakar kesehatan, “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Prinsip yang sangat simbolik-holistik.

 

Pilar Kebaikan

Beruntunglah orang yang dikaruniai oleh Allah hikmah, karena hikmah adalah karunia kebaikan yang melimpah. “Barangsiapa dianugerahi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269)

Pantaslah bila Allah tidak melarang iri kepada orang-orang yang Allah beri hikmah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam menyatakan, “Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang; orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia mengalokasikannya dalam kebenaran; dan orang yang dianugerahi hikmah kemudian ia melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 7141)

Hikmah adalah pilar kebaikan, darinya lahir kemuliaan dan keagungan kepribadian muslim. Pemilik hikmah akan memiliki tiga inti akhlak mulia, sebagaimana ditulis Doktor Sa’id Al-Qahthani dalam Al-Khuluq Al-Hasan fi Dhau` Al-Kitab wa As-Sunnah, adil yang dapat mencegah si empunya dari zhalim, hilm (lemah lembut) yang bisa menghindarkan si empunya dari amarah, dan ilmu yang mampu menghalangi si empunya dari sikap bodoh.

Sementara orang yang tidak dikehendaki Allah memiliki hikmah, sehingga ia tidak memiliki tiga inti akhlak mulia itu, maka ia akan jauh dari kemuliaan akhlak. Dalam Madarij As-Salikin 2/294, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan, “Sumber munculnya semua akhlaq yang rendah dan tercela ada empat hal yang menjadi pilar dan penyangganya, (1) Al-Jahlu (kebodohan), (2) Azh-Zhulm (kezhaliman), (3) Asy-Syahwah (syahwat/nafsu yang tak terkendali), (4) Al-Ghadhab (kemarahan).”

Kita berlindung kepada Allah dari terhalang mendapatkan karakter hikmah. Pasalnya, Allah memerintahkan kita untuk menghiasi dakwah dengan hikmah agar dakwah tak berbuah sepah. “Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan penuh hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

‘Ali bin Abi Thalib pernah memberikan masukan kepada para da’i, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka mengerti, atau inginkah kalian Allah di-dustakan?” Apa yang dinyatakan ‘Ali ini merupakan bagian dari dakwah yang bijak, penuh hikmah. Mendakwahkan Islam adalah kebaikan. Tapi kalau metodenya salah, bisa-bisa Islam dianggap sebuah rekayasa belaka.

Begitu urgennya hikmah bagi kejayaan Islam, sampai-sampai Allah membekali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dengan hikmah. Yaitu tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam hendak menjalani momentum isra` dan mi’raj. Ketika itu beliau masih tinggal di Makkah. Suatu malam, atap rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membuka, kemudian Jibril turun dan membuka dada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan membasuhnya dengan air zamzam. Jibril membawa bejana emas yang berisi hikmah dan iman kemudian menuangkannya ke dalam dada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Setelah Jibril menutup kembali dada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, Jibril memegang tangan beliau dan mengajak beliau naik ke langit. (HR. Bukhari no. 3164, HR. Muslim no. 163)

Peristiwa penuangan hikmah ke dada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ini telah diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur`an beberapa kali. “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang mu`min ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)

 

Jalan Menggapai Hikmah

Hikmah itu ada dua dari segi sumbernya, pertama hikmah dari judzur fithriyyah (bawaan semenjak lahir). Orang yang dari lahir sudah ditaqdirkan Allah memiliki sifat hikmah adalah orang yang paling beruntung lagi bahagia. “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 269) Namun orang yang semenjak lahir belum memiliki sifat hikmah tidak berarti selamanya tidak mungkin memilikinya, karena hikmah bisa didapatkan dari usaha.

Diutarakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam,

لاَ حَلِيْمَ إِلاَّ ذُوْ عثرَةٍ, وَلاَ حَكِيْمَ إِلاَّ ذُوْ تَجْرِبَةٍ

 

“Tidak akan berkarakter hilm (lembut nan santun) kecuali yang pernah berbuat salah. Dan tidak akan berkarakter hikmah kecuali yang berpengalaman.” (HR. Bukhari, Al-Adab Al-Mufrad)

Ini artinya, ada peluang besar untuk meraih karakter bijaksana, yaitu memperbanyak pengalaman, kemudian mengambil pelajaran darinya. Pengalaman pun tidak hanya dari diri sendiri tapi juga dari orang lain, sesama mu`min. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam telah mengisyaratkan perlunya memetik ibrah dari pengalaman hidup saudara seiman, “Mu`min itu cermin bagi mu`min yang lain. Dan mu`min itu saudara bagi mu`min yang lain.” (Hasan: Shahih Al-Jami’ no. 6656)

Selanjutnya, langkah meraih karakter hikmah adalah bergaul dengan para ulama, sebagaimana pesan Luqman Al-Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, bersimpuhlah di hadapan mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah menghidupkan qalbu dengan cahaya hikmah, sebagaimana Allah menghidupkan tanah yang tandus dengan tetes air hujan.” (Al-Muwaththa` Malik)

 

Pesan Luqman ini sangat imperatif bagi kita. Tidak heran, Luqman telah dipuji oleh Allah, “Dan Kami telah memberi Luqman hikmah, untuk bersyukur kepada Allah, barangsiapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)

Ada cara lain untuk memupuk karakter hikmah, yaitu membaca dan merenungi syair-syair yang bagus, yang tidak tercemari kata-kata yang merusak, kata-kata yang melenceng dari Islam apalagi yang menyelisihi Islam. Karena Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam pernah menyebutkan, “Sesungguhnya di antara syair itu ada yang mengandung hikmah.” (HR. Bukhari no. 5793)

Lihatlah! Syair yang baik saja, Rasulullah  shalallahu ‘alaihi wasalam memujinya sebagai jalan mendapatkan hikmah. Sebetulnya, ini merupakan sindiran bagi sebagian orang yang meninggalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, lalu lebih memilih syair-syair, dalam rangka meraup hikmah. Rasulullah menggunakan kata ‘di antara’ itu menunjukkan tidak semua syair mengandung hikmah. Sementara Al-Qur`an dan As-Sunnah sudah jelas-jelas mengandung hikmah, karena Allah-lah pemilik hikmah, dan Allah-lah yang memberikan hikmah kepada manusia.

Lantas mengapa malah meninggalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, lantas beralih kepada syair, kalau memang menginginkan hikmah? Seharusnya, mencari hikmah itu diawali dengan mendalami Al-Qur`an dan As-Sunnah, baru kemudian ditambah dengan mengkaji syair-syair yang baik, untuk memperkuat qalbu meyakini kebenaran hikmah-hikmah dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Bijaksana memang begitu mempesona. Cara meraihnya pun harus dengan tindakan yang mempesona. Adakah diri kita termasuk orang yang bijaksana?