Bi’ru Ma’unah

Bulan Shafar tahun keempat hijriah, bulan yang sama terjadinya tragedi ar-Raji’, terjadi tragedi yang lebih memilukan. Ketika itu datang Abu Barra` ‘Amir bin Malik menemui Rasulullah  di Madinah, kemudian oleh beliau diajak kepada Islam. Ia tidak menyambutnya, namun juga tidak menunjukkan penolakan.

Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau mengutus shahabat-shahabat engkau kepada penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada Islam, aku berharap mereka akan menyambutnya.”

Beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Tapi kata Abu Barra`: “Aku yang menjamin mereka.”

Kemudian Rasulullah  mengutus 70 orang shahabat ahli baca Al-Qur`an, termasuk pemuka kaum muslimin pilihan. Mereka tiba di sebuah tempat bernama Bi`r Ma’unah, sebuah daerah yang terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan kampung Bani Sulaim. Setibanya di sana, mereka mengutus Haram bin Milhan, saudara Ummu Sulaim bintu Milhan, membawa surat Rasulullah  kepada ‘Amir bin Thufail. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu, bahkan memberi isyarat agar seseorang membunuh Haram. Ketika orang itu menikamkan tombaknya dan Haram melihat darah, dia berkata: “Demi Rabb Ka’bah, aku beruntung.”

Kemudian ‘Amir bin Thufail menghasut orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat lainnya, namun mereka menolak karena adanya perlindungan Abu Barra`. Diapun menghasut Bani Sulaim dan ajakan ini disambut oleh ‘Ushaiyyah, Ri’l, dan Dzakwan. Merekapun datang mengepung para shahabat Rasulullah  lalu membunuh mereka kecuali Ka’b bin Zaid bin An-Najjar yang ketika itu terluka dan terbaring bersama para mayat lainnya. Dia hidup hingga terjadinya peristiwa Khandaq.

Baca Juga: Serangan Balik Tentara Allah

Al-Imam Al-Bukhari t menceritakan hal ini dalam Shahih-nya:

 “Dari Anas, bahwa Nabi  mengutus pamannya (saudara Ummu Sulaim) bersama 70 orang berkuda. Ketika itu yang menjadi pemimpin kaum musyrikin ‘Amir bin Thufail. Dia memberi tiga pilihan, katanya: “Untukmu penduduk Sahl dan aku penduduk Madar, atau aku penggantimu, atau aku perangi engkau bersama penduduk Ghathafan dengan dua ribu pasukan.”

Akhirnya ‘Amir ditikam di rumah Ummu Fulan, katanya: “Ghuddah seperti ghuddah Al-Bakri, di rumah seorang wanita Bani Fulan. Bawakan kudaku, lalu dia mati di atas kudanya. Kemudian berangkatlah Haram saudara Ummu Sulaim, dia seorang laki-laki pincang, dan seorang dari Bani Fulan. Katanya: “Mendekatlah, sampai aku menemui mereka, kalau mereka menjamin keamananku, itulah urusan kamu. Kalau mereka membunuhku, maka carilah shahabat-shahabat kamu.”

Lalu dia berkata: “Apakah kamu memberiku keamanan untuk menyampaikan surat Rasulullah ? Kemudian dia mulai berbicara dengan mereka, namun ada yang memberi isyarat kepada seseorang yang mendatanginya dari belakang lalu menikamnya. Kata Hammam, aku kira sampai tombaknya menembus tubuhnya. Dia berkata: “Allahu Akbar, saya beruntung, demi Rabb Ka’bah.” Lalu dikejarlah temannya dan mereka semua dibunuh kecuali seorang yang pincang yang berada di puncak bukit.

Allah turunkan kepada kami ayat yang kemudian dimansukh: “Sesungguhnya kami telah menemui Rabb kami, lalu Dia ridha kepada kami dan membuat kami ridha. Maka Nabi  mendoakan kejelekan terhadap mereka selama 30 hari; terhadap Ri’l, Dzakwan, dan Bani Lihyan serta ‘Ushaiyyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.”

Akhirnya Rasulullah  melakukan qunut selama satu bulan mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang membunuh para qurra` shahabat-shahabat beliau di Bi`r Ma’unah. Belum pernah para shahabat melihat Rasulullah  begitu berduka dibandingkan ketika mendengar berita ini.

Baca Juga: Kekalahan Pertama Kaum Muslimin 

Al-Imam Al-Bukhari mernceritakan dari Anas bin Malik :

“Rasulullah qunut selama satu bulan ketika para qurra` itu terbunuh, dan aku belum pernah melihat Rasulullah  begitu berduka dibandingkan kejadian tersebut.” (Majalah ar-risalah/Maqtufah 194)

 

Tema Terkait: Tarikh Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia, Motivasi Islam 

 

Perang Uhud

Rasulullah berangkat dari Madinah bersama pasukan Muslim menuju Uhud. Sesampainya di suatu tempat yang bernama Syaikhan, Beliau melihat pasukan yang identitasnya belum diketahui. Akhirnya diperoleh informasi bahwa pasukan tersebut adalah orang-orang Yahudi sekutu dari Abdullah bin Ubay. Rasulullah pun memerintahkan pasukan Yahudi tersebut untuk kembali ke Madinah, Rasululah berkata, “Jangan meminta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam.”

Pagi berikutnya, Rasulullah dan pasukan Muslim melanjutkan perjalanan menuju Uhud. Sesampainya di Uhud, Rasulullah segera mengatur barisan kaum Muslim. Lima puluh pemanah ditempatkan di lereng-lereng Uhud, dan pemanah-pemanah tersebut diperintahkan untuk tidak meninggalkan pos mereka apapun yang terjadi.

Pasukan Quraisy pun sudah menyusun barisan, pasukan di sisi kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedang di sisi kiri dipimpin oleh Ikrima bin Abu Jahl. Bendera pasukan Quraisy diserahkan pada Talhah bin Abi Talhah. Wanita-wanita Quraisy, yang dipimpin oleh Hindun, berjalan di tengahtengah pasukan Quraisy sembari memukulmukul genderang dan meneriakkan katakata penyemangat.

Kedua pasukan telah berhadap-hadapan dan siap bertempur, masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Di kepala pasukan Quraisy selalu terbayang dendam dan kekalahan di perang Badar, sedangkan pasukan Muslim selalu terbayang janji-janji Allah dan pertolongan-Nya. Rasulullah berpidato dengan mengobarkan semangat menghadapi peperangan itu, Beliau mengingatkan bahwa janji-janji Allah itu pasti dan mereka akan meraih kemenangan bila mereka tabah.

Di antara pasuka Quraisy, ada seseorang dari Bani Aus yang bernama Abu Amir bin Shaifi al-Ausi. Abu Amir sengaja pindah dari Madinah ke Makkah dengan tujuan membakar semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Dia belum pernah terjun di perang Badar, sekarang ia menerjunkan diri di perang Uhud dengan membawa lima belas orang dari Bani Aus. Ia mengira nantinya apabila ia memanggil-manggil pasukan Muslim dari Bani Aus, mereka akan berpihak padanya dan membantu pasukan Quraisy.

“Saudara-saudaraku dari Aus, saya adalah Abu Amir!” teriaknya memanggil-manggil

Ternyata Muslimin dari Bani Aus membalas, “Allah takkan memberi kesenangan padamu penghianat!”

Perangpun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta Ikrima bin Abu Jahal yang berada di sisi kiri berusaha menyerang pasukan Muslim dari samping, tapi pasukan Muslim menghujani mereka dengan batu sehingga Abu Amir dan kawan-kawannya lari tunggang langgang.

Baca juga : Penentuan Strategi

Pasukan Qurasiy pun menyerbu ke tengah-tengah pertempuran tersebut. Darah mereka sudah mendidih hendak menuntut balas atas saudara dan pemuka mereka yang tewas di perang Badar. Dua kekuatan yang tak seimbang, baik jumlah pasukan maupun perlengkapannya, saling beradu senjata. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini bermotif balas dendam yang terus mereka pupuk semenjak kekalahan di Badar. Sedang kekuatan yang lebih kecil bermotifkan mempertahankan akidah dan agama Allah.

Gugurnya Singa Allah

Tak sedikit di antara pasukan Quraisy yang membawa budak-budak mereka dan menjanjikan hadiah yang besar apabila budak-budak tersebut dapat membalaskan dendam kematian ayah, saudara, suami atau orang-orang tercinta lainnya yang terbunuh di perang Badar. Hamzah bin Abdul Muthalib adalah salah seorang pembela agama Allah yang paling berani. Ketika terjadi perang Badar, Hamzah lah yang menewaskan ayah dan saudara Hindun. Seperti halnya dalam perang Badar, di perang Uhud pun Hamzah adalah Singa Allah yang pemberani. Di tangannya, nyawa dari setiap musuh yang dijumpainya tak lepas dari renggutan pedangnya.

Sementara itu, Hindun telah menjanjikan kepada Wahsyi, orang Habsyi dan budak milik Jubair bin Mut’im, hadiah yang besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Begitu pula Jubair bin Mut’im, yang pamannya terbunuh di perang Badar, berkata pada Wahsyi, “Kalau Hamzah bin Abdul Muthalib kau bunuh, kau akan kumerdekakan.”

Wahsyi sendiri dalam bercerita sebagai berikut: “Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Habsy yang mahir melempar tombak, jarang aku meleset jika melemparkannya. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengahtengah orang banyak seperti unta abu-abu yang lincah, ia mengobrak-abrik pasukan Quraisy. Lalu tombak kuayun-ayunkan, ketika aku telah yakin akan mengenainya, kulemparkan ke arahnya. Tombakku tepat mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku, lalu aku kembali ke tenda dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Makkah, ternyata aku dimerdekakan.”

Setelah peperangan usai, Rasulullah berdiri beberapa saat di samping jenazah Hamzah, yang telah terkoyak-koyak oleh Hindun, dan berkata, “Jibril datang di sisiku dan memeberikan kabar bahwa diantara penghuni tujuh lapisan langit tertulis, Hamzah bin Abdul Muthalib asadullah wa asadur rasuluhu (singa Allah dan singa Rasul-Nya).

Bara Dendam Kafir Quraisy

Dengan kekalahan kaum Quraisy di Perang Badar dan banyak terbunuhnya pemuka dan bangsawan Quraisy, Makkah penuh dengan kebenciam terhadap Rasulullah dan pengikutnya. Bagaimana kaum Quraisy dapat melupakan kekalahan itu, sedang mereka adalah kabilah yang angkuh dan mempunyai kedudukan terhormat. Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan meratapi, hati mereka dipenuhi hasrat untuk balas dendam.

Bara semakin menyala setelah kafilah dagang Quraisy kehilangan barang dagangan mereka di tangan pasukan Muslim yang dipimpin Zaid bin Haritsah, bahkan mengancam ekonomi mereka. Kesedihan dan kegalauan yang bertumpuk-tumpuk ini semakin mendorong kaum Quraisy untuk cepat-cepat mengadakan persiapan perang melawan Rasulullah dan kaumnya.

Akhirnya, semua pemuka Quraisy sepakat untuk berperang habis-habisan terhadap kaum Muslimin. Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah menghimpun kembali barang dagangan Abu Sufyan bin Harb –penyebab pecahnya perang Badar- yang bisa diselamatkan. Barang-barang tersebut akan dijual dan keuntungannya digunakan untuk membiayai pasukan. Mereka juga menghimbau orang-orang yang banyak hartanya untuk menyumbangkan harta mereka, hingga terkumpul sekitar seribu onta dan seribu lima ratus dinar. Kesempatan untuk turut berpartisipasi memerangi kaum Muslim pun dibuka lebar-lebar, entah mereka berasal dari Habasyah, Kinanah, atau pun Tihamah.

BACA JUGA : Gejolak Madinah Perang Dzi Amar

Abu Azzah, seorang penyair yang tertawan di perang Badar, namun dibebaskan Rasulullah dengan syarat tidak boleh memerangi kaum Muslim lagi dalam bentuk apapun. Dibujuk oleh Abu Shafwan agar membangkitkan semangat berbagai kabilah untuk memerangi Rasulullah dan kaumnya. Abu Shafwan berjanji jika Abu Azzah kembali dari perang dalam keadaan selamat, akan diberi harta yang melimpah. Jika tidak, maka anak-anaknya akan mendapat perlindungan.

Dalam perundingan persiapan, ada yang berpendapat supaya wanita diikut sertakan dalam pasukan, “Biar mereka bertugas membangkitkan kemarahan kalian, dan mengingatkan kepada korban Badar. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, pantang pulang sebelum Muhammad dan pengikutnya kalah, atau kita yang mati.”

“Mengikut sertakan wanita-wanita kita dalam peperangan bukanlah pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan lagi, wanita kitapun akan tercemar.” Sahut yang lain.

Tiba-tiba Hindun binti Utba, istri Abu Sufyan, berteriak kepada orang Quraisy yang menentang keikut sertaan kaum wanita. “Kalian yang selamat dari perang Badar dapat kembali kepada istri kalian. Sedangkan orang-orang yang kami sayangi terbunuh, tak ada yang menyemangati mereka. Kami akan berangkat ikut menyaksikan perang, jangan ada lagi yang melarang kami.”

Akhirnya kaum Quraisy sepakat membolehkan wanita mereka berangkat dengan dipimpin oleh Hindun. Hindun lah orang yang paling ingin membalas dendam, karena orang-orang yang dicintainya terbunuh di perang Badar.

Setelah genap setahun, dan persiapan yang benar-benar matang, diberangkatkanlah pasukan Quraisy sebanyak tiga ribu orang menuju Madinah. Diantaranya ada dua ratus pasukan berkuda dan tujuh ratus pasukan berbaju besi. Tidak sedikit perlengkapan dan senjata yang mereka bawa, dibutuhkan tiga ribu unta untuk mengangkut semua perlengkapan tersebut. Komandan tertinggi pasukan Quraisy dipegang oleh Abu Sufyan, komandan pasukan berkuda oleh Khalid bin Walid dibantu Ikrimah bin Abu Jahal. Adapun bendera perang diserahkan pada Bani Abdid-Dar.

Sementara itu Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah yang masih berada di Makkah, terus memata-matai persiapan pasukan Quraisy. Segala tindakan dan persiapan mereka digambarkan secara rinci dalam surat yang ditulisnya. Surat itu diserahkan pada salah seorang dari Bani Ghifar supaya disampaikan kepada Rasulullah. Akhirnya surat tersebut sampai di Madinah dan diterima Rasulullah hanya dalam jangka waktu tiga hari saja.

Ketika itu, pasukan dari Makkah mengambil jalur utama kea rah barat menuju Madinah. Sesampainya di Abwa, beberapa dari mereka mengusulkan untuk membongkar makam Aminah binti Wahab, Ibunda Rasulullah. Akan tetapi pemuka-pemuka mereka menolak hal ini. “Jangan melakukan hal tersebut, bisa-bisa kabilah lain ikut membongkar juga kuburan-kuburan kita.”

Maka, pasukan Quraisy melanjutkan perjalanan mereka hingga mendekati Madinah. Mereka melewati wadi Aqiq, lalu menuju arah kanan hingga tiba di bukit Uhud. Mereka berhenti di suatu tempat yang bernama Ainain, di sebelah utara Madinah.

Gejolak Pasca Kemenangan

Kemenangan Rasulullah dan pasukannya menimbulkan gejolak masyarakat jazirah Arab. Pada awalnya mereka tak terlalu peduli dengan munculnya seseorang yang mengaku sebagai Nabi dari suku Quraisy. ditambah pula dengan terusirnya Rasulullah dan pengikutnya dari tempat kelahirannya, Makkah.

Setelah Kemenangan Pasukan Muslim

Tetapi dengan kemenangan pasukan Muslim di perang Badar, mereka mulai menganggap bahwa Muhammad dan pengikutnya sebagai ancaman. Mereka yang menganggap Rasulullah dan kaum Muslim sebagai ancaman terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kaum musyrik, yahudi, dan munafik.

Suasana Makkah ketika itu penuh dengan kebencian terhadap Rasulullah, tak heran banyak pemuka kabilah Quraisy yang berencana menghabisi Rasulullah. Shafwan bin Umayyah, putra dari seorang tokoh Quraisy yang tewas di Perang Badar, membuat rencana dan siasat untuk membunuh Rasulullah.

Ia mengajak Umair bin Wahb al Jumahi, salah satu algojo Quraisy untuk mewujudkan rencananya. Shafwan menjanjikan akan membiayai kebutuhan keluarga Umair dan menutupi semua hutang-hutangnya jika ia mampu membunuh Rasulullah. Setelah mengasah pedangnya, segera Umair berangkat ke Madinah untuk mewujudkan rencananya.

Sesampainya di Madinah, Umair langsung mengarahkan untanya menuju masjid. Saat itu, Umar sedang membicarakan pertolongan-pertolongan Allah di perang Badar bersama beberapa orang. Melihat Umair datang, Umar segera berseru, “Musuh Allah ini adalah Umair, tentunya datang dengan niat jahat.”

Umar segera menemui Rasulullah dan mengabarkan perihal Umair kepada Beliau. Beliaupun memperbolehkan Umair menghadap Rasulullah. Karena ketidak percayaan Umar kepada Umair, Umar menyuruh beberapa orang Anshar untuk duduk dekat Rasulullah dan mewaspadai Umair.

“Apa maksud kedatanganmu wahai Umair?” Tanya Rasulullah ketika Umair sudah ada di hadapan Beliau.

“Aku datang untuk anakku Wahb bin Umair yang menjadi tawanan kalian.” Jawab Umair.

“Lalu untuk apa pedang di lehermu itu? Jujurlah padaku! Apa maksud kedatanganmu?”

“Hanya itulah tujuan kedatanganku,” jawab Umair

“bukankah kau pernah duduk bersama Shafwan bin Umayyah membicarakan rencana untuk membunuhku? Dan bukankah Shafwan bersedia menanggung semua hutang-hutangmu bila berhasil membunuhku?” ujar Rasulullah.

Terkejutlah Umair karena tak ada yang mengetahui rencana pembunuhan Rasulullah kecuali dirinya dan Shafwan bin Umayyah saja. Dari keterkejutan itulah akhirnya Umair mulai mempercayai bahwa Muhammad adalah seorang Rasul dan mulai memeluk Islam. Setelah beberapa hari tinggal di Madinah untuk mempelajari Islam, Umair kembali ke Makkah. Beberapa bulan kemudian Umair hijrah ke Madinah bersama beberapa orang Quraisy yang berhasil didakwahinya.

Di lain waktu, Abu Sufyan bersama dua ratus orang bersekongkol dengan kaum Yahudi Madinah untuk membunuh Rasulullah. Abu Sufyan telah bernadzar untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sampai ia bisa menyerang Madinah. Tetapi ketika telah berada di bukit Naib, sekitar 18 km di luar kota Madinah, hilang keberanian Abu Sufyan masuk ke Madinah dengan terang-terangan untuk melakukan pertempuran. Pada malam harinya barulah mereka mengendap-endap memasuki kawasan pemukiman kaum Yahudi. Pertama ia mendatangi rumah Huyai bin Akhtab, tetapi tokoh Yahudi ini menolak menampungnya karena takut menyalahi perjanjiannya dengan Rasulullah. Kemudian Abu Sufyan mendatangi Sallam bin Misykam, tokoh Yahudi lainnya yang mau menampungnya.

Keesokan harinya Abu Sufyan memerintahkan pasukannya untuk membabat dan membakar kebun kurma milik kaum muslimin di pinggiran kota Madinah. Dua orang Anshar yang berada di kebun itu juga dibunuh. Setelah itu Abu Sufyan berpendapat bahwa dia telah memenuhi nadzarnya, dan akhirnya Abu Sufyan kembali ke Makkah bersama pasukannya. Rasulullah langsung bereaksi atas tindakan Abu Sufyan tersebut dengan mengirim dan memimpin sendiri pasukan untuk melakukan pengejaran.

baca juga: Kabar Kekalahan Kaum Musyrikin

Mendengar adanya pengejaran itu, Abu Sufyan mempercepat gerak pasukan, bahkan memerintahkan untuk meninggalkan perbekalannya berupa sawiq (tepung gandum) untuk tidak memperlambat perjalanan. Pasukan muslim bergerak hingga Qarqaratul Kadr, tetapi tidak mungkin lagi mengejar pasukan kafir Quraisy tersebut. Mereka hanya mendapati perbekalan yang ditinggalkannya berupa sawiq, sehingga dalam sejarah Islam, peristiwa ini disebut dengan Perang Sawiq.

Serangan Balik Tentara Allah

“Kokohkanlah! Demi diri Muhammad yang ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara mereka berperang pada hari ini, berperang dengan sabar, mengharap keridhaan Allah, maju terus pantang mundur, melainkan Allah memasukkannya ke dalam surga.”” ujar Nabi Muhammad kepada kaum Muslimin di tengah perang Badar. “Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”

“Bakhin! Bakhin!” seketika itu Al-Umair bin Al-Hammam  berteriak.

“Apa yang membuatmu berkata bakhin bakhin?” Tanya Rasulullah.

“Ini sekedar harapan agar aku termasuk penghuninya Ya Rasulallah.”

“Sesungguhnya engkau memang termasuk penghuninya wahai Al-Umair bin Al-Hammam .”

Kemudian Al-Umair bin Al-Hammam  mengeluarkan beberapa kurma dari kantongnya lalu memakan sebagian, dan melempar sebagian sembari berkata, “Jika aku masih hidup dan memakan sisa kurmaku ini, maka ini adalah kehidupan yang sangat lama.” Menurut riwayat, Al-Umair bin Al-Hammam  kemudian menyerbu musuh hingga syahid di tangan pasukan Quraisy.

Ketika itu Auf bin Harits juga bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa membuat Allah tersenyum kepada hamba-Nya?”

“Kalau Dia melihat hamba-Nya menerjunkan diri menyerang musuh tanpa memakai baju besi,” jawab Rasulullah.

Mendengar jawaban Rasulullah, Auf bin Harits segera melepas baju besi yang dipakainya kemudian maju ke medan pertempuran. Tanpa memakai baju besi, dia lebih leluasa bergerak menebas musuh-musuh Allah. Tak ayal, tubuhnya yang tanpa pelindung itupun menjadi sasaran empuk berbagai macam senjata musuh hingga akhirnya Auf bin Harits menemui syahidnya.

Melihat semangat pasukan kaum Muslim yang tak surut, bahkan terus memuncak, semangat pasukan Quraisy mulai mengendor. Serangan mereka pun tak lagi gencar. Melihat keadaan ini, Rasulullah memerintahkan untuk memulai serangan balik. Setelah mendapat perintah Rasulullah, pasukan Muslimin mulai melancarkan secara serentak hingga banyak bergelimpangan korban dari pihak musuh. Semangat pasukan Muslim semakin berkobar setelah melihat Rasulullah terjun secara langsung ke medan pertempuran. Langkah ini sangat ampuh untuk mengukuhkan posisi pasukan Muslim di perang Badar.

Di perang ini, Allah menjawab doa Nabi Muhammad dengan mengirimkan pasukan malaikat. Disebutkan dalam riwayat, Ikrimah berkata “Pada saat itu ada kepala orang musyrikyang terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah menebasnya. Ada pula tangan yang terputus tanpa diketahui siapa yang memotongnya.”

Ibnu Abbas berkata, “Salah seorang lelaki Muslim yang sedang menghadapi seorang musyrik di depannya menerangkan kepada kita bahawa tiba-tiba dia mendengar suara pukulan cemeti di atasnya dan suara seorang yang mengatakan hadapilah Haizum (nama kuda tunggangan malaikat Jibril). Lalu ia melihat lelaki musyrik itu tergeletak. Dia melanjutkan, Lelaki Muslim itu mengamatinya, ternyata kepalanya telah remuk dan wajahnya terkoyak seperti bekas lecutan cemeti. Lalu ia menghadirkan sekelompok kaumnya. Kemudian orang Anshar itu datang dan menceritakannya kepada Rasulullah. Beliau bersabda, “Engkau benar bahwa itu bantuan langit yang ketiga.” Pada hari itu mereka membunuh tujuh puluh orang (musuh) dan menawan tujuh puluh orang lainnya.”

Dalam perang Badar, Iblis menjelma sebagai Suraqah bin Malik yang sejak awal menyertai pasukan Quraisy. Melihat para Malaikat yang turun membantu pasukan Muslimin, Iblis merasa gentar dan bersiap untuk melarikan diri. Al-Harits bin Hisyam yang mengira bahwa Iblis tersebut benar-benar Suraqah, memegangnya sembari berkata “Mau kemana kau Suraqah? Bukankah kau pernah berkata bahwa kau akan membantu kami dan tidak akan berpisah dari kami?”

Namun Iblis segera melepaskan genggaman Al-Harits bin Hisyam dan menendangnya hingga terjerembab. Kemudia Iblis berkata, “Sebenarnya aku telah melihat sesuatu yang tidak kau lihat, aku takut siksaan Allah yang amat pedih itu.”

Iblis lari dan terus berlari kemudian menceburkan dirinya ke dalam laut.

 

Kesabaran Berbuah Keimanan

Pada suatu ketika Rasulullah bersama kaum muslimin berencana mengadakan umrah ke Baitul Haram, sekaligus menengok kampong halaman yang telah lama ditinggalkan. Rasulullah menyadari bahwa bentrokan fisik bisa saja terjadi, maka beliau mengajak sebanyak mungkin orang.

Termasuk Badui pedalaman yang belum memeluk Islam sekalipun, untuk umrah bersama, tentu menurut tata cara yang diyakini masing-masing. Dengan begitu rombongan akan besar sekali dan menggetarkan musyrikin Quraisy bila menolak atau menyerang mereka.

Rasulullah mengenakan pakaian ihram untuk menegaskan bahwa perjalanan beliau bukan untuk menentang perang, melainkan beribadah umrah sekaligus melepas kerinduan terhadap kampong halaman. Rombongan Rasul saat itu berjumlah 1400 orang, menurut riwayat Jabir bin Abdullah.

 

Baca Juga: Sabar dan Shalat Kunci Dari Semua Maslahat

 

Mendengar hal tersebut, musyrikin Quraisy bersiap menghadang rombongan Rasulullah memasuki Makkah dan mengirimkan utusan-utusan untuk menakut-nakuti rombongan muslimin. Diantara utusan tersebut adalah ‘Urwah bin Mas’ud. ‘Urwah bin Mas’ud berasal dari bani Tsaqif, dan dikenal luas pengetahuannya, fasih bicaranya, serta arif pemikirannya.

Orang-orang Quraisy ingin memberikan kesan bahwa mereka telah bersatu dengan orang-orang Tsaqif dengan diutusnya ‘Urwah bin Mas’ud, sehingga membuat gentar pengikut Nabi. Mereka membayangkan bahwa barisan Muhammad akan berantakan melihat kedatangan ‘Urwah, apalagi menghadapi kelihaian diplomasinya.

Setibanya di hadapan Rasulullah, ‘Urwah menggertak Rasul dengan berkata, “Ya Muhammad, anda mengumpulkan orang-orang dari berbagai suku lalu menggiring mereka semua kemari untuk menghancurkan keluarga dan kaum anda sendiri? Tidaklah mereka itu membantu anda dengan sepenuh jiwa, melainkan akan bubar melarikan diri. Sesungguhnya kaum Quraisy telah keluar dengan segala kekuatannya dan mengenakan baju perang dan bersumpah tak akan membiarkan anda memasuki Makkah. Demi Tuhan, saya bisa melihat mereka menghabisi anda semua besok pagi!”

Mendengar gertakan ‘Urwah, dan tuduhan para sahabat akan melarikan diri meninggalkan Rasul, Abu Bakar tak bisa menahan amarahnya. “Lebih baik engkau menyusu pada Al-Laati (berhala orang Tsaqif). Kau kira kami akan lari karena ancamanmu itu?” kata Abu Bakar dengan keras dan kasar.

‘Urwah berusaha menahan emosinya dan bertanya, “Siapakah dia ini, ya Muhammad?”

“Dia adalah Abu Bakar,” jawab Rasulullah. Pada masa lalu ‘Urwah pernah berutang budi kepada Abu Bakar, sehingga ketika dihina sedemikian rupa ‘Urwah hanya mengatakan, “Demi Tuhan, sekiranya tidak karena apa yang engkau lakukan terhadapku pada masa-masa silam takkan kubiarkan begitu saja kata-katamu itu!”

Setelah itu ‘Urwah kembali melanjutkan pembicaraannya. Selama perundingannya dengan Rasulullah, ‘Urwah mengamati tingkah orang-orang disekilingnya. Didapatinya bahwa para pengikut Muhammad begitu cinta dan hormatnya kepada beliau. Mereka merendahkan suara ketika berbicara dengan Rasul dan menundukkan kepala bila mendengarkan Rasul berbicara. Melihat yang sedemikian itu, maka sadarlah ‘Urwah akan kekeliruan kata-kata sebelumnya. Tak mungkin para sahabat akan meninggalkan Rasul mereka seorang diri menghadapi kaum Quraisy. Pantas saja bila Abu Bakar marah sekali padanya.

 

Baca Juga : Kesabaran Para Pembela Kesyirikan

 

‘Urwah akhirnya kembali ke Makkah dan melaporkan kepada orang Quraisy. Disampaikan pula pendapatnya kepada orang Quraisy, “wahai Tuan-tuan, sesungguhnya saya sudah pernah menjadi utusan untuk mendatangi kaisar Persia dan Romawi, sebagaimana pernah pula menghadap Raja Najasy di Habasyah. Demi Tuhan, belum pernah saya jumpai seorang pemimpin begitu dimuliakan kaumnya seperti halnya Muhammad diantara para pengikutnya. Saya dapat melihat para pengikut Muhammad membelanya sampai titik darah penghabisan, maka sekarang terserah Tuan-tuan apa yang akan kalian lakukan.”

Tanpa mereka sadari, ‘Urwah telah berdiri sebagai pembela Nabi, dan ini makin mengobarkan kebencian orang-orang Quraisy. Pada prinsipnya pihak Quraisy telah gagal dalam diplomasinya, dan ‘Urwah telah terlunakkan hatinya.

Telah dilihatnya betapa taat para muslimin terhadap Rasulullah. Jangankan orang-orang Quraisy, pasukan dengan jiwa demikian akan mampu menghadapi kekuatan musuh seperti apapun di atas bumi. Abu bakar yang terkenal santun dan sabar pun telah ia rasakan amarahnya, garang bagai harimau lapar.

Rasulullah begitu lihai memanfaatkan orang yang tepat dan menggunakan kekerasan pada waktu yang tepat. Membuat mental kaum Quraisy jatuh, walaupun kekuatan muslimin hanya 1400 orang, tanpa senjata pula. Semangat dan persatuan muslimin mampu melipatgandakan kekuatannya menghadapi kaum Quraisy dan sekutu mereka.

Inilah pelajaran yang berguna bagi suatu gerakan islam. Pelajaran yang harus direnungkan oleh setiap pemimpin. Bagaimana mengembangkan muamalah dengan musuh, bagaimana menghancurkan mental dan semangat musuh, bagaimana mempersiapkan pasukan agar selalu siaga jiwa dan raga. Juga pelajaran bagi yang dipimpin agar menyadari arti disiplin, kesabaran, dan ketaatan terhadap pemimpin, terutama di hadapan musuh.

Silsilah Shirah Nabawiyah

Salah satu syarat yang wajib dimiliki bagi siapa saja yang melantunkan kalimat tauhid atau syahadat adalah mahabbah. dan mahabbah merupakan amalan hati, yang tercermin dalam amalan lisan dan arkan (angota badan). jika tidak ada mahabbah maka gugurlah syahadat yang diikrarkan. Orang yang bersyahadat namun tidak mencintai Allah atau salah menempatkan posisi puncak kencintaanya, serta tidak mencintai RasulNya, maka ia membatalkan syahadat yang diikrarkan oleh lisannya.

Mencintai Allah Kemudian RasulNya Adalah Tuntutan Tauhid

Ahlu tauhid mencintai Allah dengan kencintaan yang puncak, sebaliknya ahlu syirk mereka mencintai Allah dan disaat yang sama mencintai selain Allah dengan kadar yang sama.

Simak firman Allah ta’ala :

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

Ummat Muhammad mencintai Nabinya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, orang tua, pasangan hidup dan anaknya serta seluruh manusia. Rasulullah bersabda;

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidak beriman salah seoang diantara kalian hingga aku lebih dicintai melebihi kecintaanya kepada orangtuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari)

Dan bila benar kita cinta kepada Allah maka syaratnya hanya satu tiada duanya, yaitu mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, Allah Ta’ala berfirman :

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Belajar Shirah Untuk Memahami Islam Dan Meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Mengikuti, mencontoh dan meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berarti mewajibkan kita untuk mempelajari shirahnya. Perjalanan hidup Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah bagian dari agama ini. Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam kemudian memerintahkannya untuk menerangkan kepada manusia, sebagaimana firmanNya :

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, litubayyina (agar kamu menerangkan) pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44)

BACA JUGA : Simbol Keluarga Harmonis

Dan bayan (penjelasan/menerangkan) Al Qur’an mengandung makna penjelasan dengan perkataan dan perbuatan serta justifikasi (taqrir) terhadap suatu perbuatan. dan Sirah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam memuat aplikasi nyata dari pesan-pesan al qur’an. Setiap penjelasan yang diterangkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah bukan dari hawa nafsunya, akan tetapi wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya shallallahu’alaihi wasallam.

Pelajaran Dan Ibrah

Dengan mempelajari shirah atau perjalanan hidup Nabi, maka kita akan mendapati secara detail dan rinci mulai dari detik-detik kelahiran Nabi hingga beliau wafat; kehidupan masa kecil, kehidupan masa muda, bersama istri-istrinya, bersama para sahabatnya, dakwahnya, jihad dan kesabarannya.

Terdapat contoh bagaimana menghadapi suatu kaum, bagaimana memimpin suatu negri, menjadi komandan jihad, menjadi suami bagi para istrinya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, Hakim, guru, juru dakwah, sekaligus menjadi pribadi yang sangat zuhud.

Dengan mempelajari shirah berarti kita sedang belajar; aqidah, hukum, adab dan akhlak, kehidupan para sahabat Nabi yang berjuang bersama Nabi, serta ilmu berdakwah di jalan Allah.

pelajaran, ibrah dan hikmah yang layak untuk ditulis dengan tinta emas ini kita jadikan acuan dalam menjalankan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. menjadi solusi di setiap sudut permasalahan yang dihadapi manusia akhir zaman, karena memang syariat Nabi Muhammad inilah yang menjadi penutup syariat-syariat sebelumnya, yang berlaku umum baik untuk manusia maupun jin, cocok untuk setiap umat di setiap zaman dan tempat, dan dunia ini tidak butuh lagi kepada syariat yang baru, karena dunia tidak membutuhkan Nabi baru lagi setelah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.

Kesimpulannya, dengan mengenal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lewat shirahnya ini maka akan mengantarkan kita menuju ;

Kecintaan kita kepadanya shallallahu’alaihi wasallam, menghormati, menghargai serta mengasihi sang kekasih yang menjadi pilihan Allah, semuanya itu dengan dasar pengetahuan dan bukan karena perasaan semata yang terwarisi, sementara kecintaan yang didasari dengan ilmu itulah cinta yang dikehendaki.

Menjadikan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagai suri tauladan, karena kita diperintahkan Allah untuk mencontoh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Yang kemudian kita berharap agar Allah mencintai kita, dan mengampuni dosa-dosa kita sebagaimana janji Allah; “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)