Khutbah Jumat: Tak Takut Celaan, Tak Haus Pujian

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Kita bersyukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan nikmat dan karunianya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi agung Muhammad n, keluarga juga siapapun yang mengikuti sunahnya hingga akhir zaman.

Tak lupa, kami sampaikan wasiyat takwa kepada hadirin semuanya, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah ta’ala. Kita tingkatkan kepatuhan kita, ketaatan kita dan keihklasan kita.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia, mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak, dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia, meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Tak satupun pula tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas-jelas jahat dan buruk.

Karena itu, mengharapkan ridho dan dukungan semua manusia hanyalah khayalan semata. Ini mustahil untuk terjadi, betapapun kita menginginkan. Anehnya, masih ada orang yang ingin menarik simpati semua kalangan. Ingin ‘bersahabat’ dengan malaikat, tapi berkawan dengan setan. Sesekali berbuat taat untuk menyenangkan teman-temannya yang taat, sesekali menyengaja berbuat dosa untuk meraih simpati para durjana.

Kalaupun cara ini ditempuh, pun tidak bisa menyenangkan kedua belah pihak. Maka, orang yang beramal dan berbuat untuk dipuji semua orang, atau meningalkan sesuatu karena ingin menghindar dari celaan semua orang, dipastikan bakal menjadi orang bingung. Langkahnya terus dibayangi kebimbangan, ingin berbuat begini, takut dicela pihak yang ini, ingin begitu takut dicaci pihak yang itu.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Orang yang berakal, senantiasa menjadikan kebenaran sebagai acuan setiap tindakan. Bukan karena landasan pujian atau celaan. Karena apapun pilihan yang diambil, tetap tidak mampu memuaskan semua orang. Pada kebenaran ada potensi celaan, pada keburukan ada pula peluang cercaan. Hanya saja, bersabar menghadapi celaan karena menjalankan ketaatan bernilai pahala besar, sedangkan dicela karena maksiat adalah kehinaan di dunia, kesengsaraan di akhirat.

Janganlah kita takjub, kenapa pada kebenaran juga menuai celaan. Karena memang kebenaran memiliki musuh, pada ketaatan ada pula penghalang. Bahkan, bisa jadi musuh kebenaran itu lebih banyak daripada musuh kesesatan. Karena kebanyakan manusia justru cenderung kepada kesesatan. Sebagaimana firman Allah,

 

,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am: 116)

Ayat ini sekaligus menjadi rambu-rambu bagi kita, agar tidak menjadikan suara kebanyakan sebagai barometer kebenaran. Kebenaran adalah apa yang dikatakan benar oleh Allah dan Rasul-Nya, meski sedikit pendukungnya. Allah berfirman,

 

الْحَقَُ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. al-Baqarah: 147)

Menyimak dua ayat di atas, tergambar oleh kita, bahwa kebenaran tak selalu berada dipihak mayoritas. Malah seringnya, kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang saja, wajar jika mereka menuai celaan dari para penentangnya.

Karena itulah, tatkala menyebutkan cirikhas orang yang mencintai dan dicintai Allah, Al-Qur’an menyebutkan salah satu karakternya, “Dan tidak takut celaan orang yang suka mencela.” (QS. al-Maidah: 54)

Ibnu Katsier menyebutkan, “Yakni tidak ada yang menghalangi mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan memerangi musuh-musuh-Nya, untuk menegakkan hukum-Nya, menyeru yang ma’ruf, mencegah yang mungkar. Para pencegah tidak akan menghentikan mereka, para penghalang tidak akan menyurutkan langkahnya, dan para pencela tidak mengendorkan mereka untuk itu.”

Bergabung di jalan kebenaran berarti bersabar untuk menghadapi celaan dari para penentang kebenaran. Dan ini adalah mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah. Ketika seseorang menyadari konsekuensi ini, maka selagi dia di atas kebenaran, lalu menuai kritikan dan celaan, justru semakin menguatkan apa yang dia lakukan. Celaan yang ditimpakan orang kepada kita sebenarnya tidak akan memadharatkan kita, bahkan madharatnya akan kembali kepada si pencela. Kecuali jika kita menganggapnya besar, memikirnya dalam-dalam, atau melekatkannya dalam ingatan, ketika itu, umpan akan menemukan korbannya. Karena itu, jangan hiraukan celaan selagi Anda berada di atas kebenaran, sesuai dengan tuntutan kondisi, tempat dan zaman menurut syariat.

Janganlah kita seperti orang-orang munafik, mereka bingung lantaran tidak siap berhadapan dengan celaan orang-orang kafir atau dan cercaan orang-orang sesat. Karena itu, mereka datang kepada orang mukmin dengan membawa bendera keimanannya, lalu datang kepada orang-orang fajir dengan bendera kefajirannya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Bagi orang yang menjadikan Allah sebagai tujuan ketika beramal kebaikan, maka pujian atau celaan tak memengaruhi kebaikan yang ia lakukan. Tidak lantas loyo karena dicela, tidak pula terbuai karena disanjung orang. Dia senantiasa bersemangat dalam menjalankan ibadah yang terkait langsung kepada Allah. Baik dalam kesendiriannya, maupun di tengah keramaian. Karena dia sadar, Allah melihatnya saat dia sendirian, Allah juga memantaunya saat ia di keramaian. Meski tak ada seorangpun melihat, ibadahnya tak berkurang dibanding ketika banyak orang. Minimal kadarnya sama, atau bahkan sebagian ulama menjadikan amal sirriyah (rahasia)nya lebih bagus dibanding amal jahriyahnya. Imam al-Mawardi dalam Kitabnya Adabud Dunya wad –Dien, ketika menafsirkan firman Allah,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…” (QS. an-Nahl: 90)

Beliau berkata, “Makna berbuat adil adalah ketika amalnya untuk Allah sama bagusnya antara saat sendiri dan saat di tengah keramaian. Makna ihsan (berbuat kebajikan) adalah ketika amalnya di saat sendiri lebih bagus dari amalnya di tengah keramaian. Sedangkan makna keji dan mungkar adalah ketika amalnya yang terang-terangan lebih bagus dari amalnya saat sendirian.”

Meskipun makna ayat lebih luas dari itu, tapi setidaknya ini menunjukkan perhatian ulama akan pentingnya memperbaiki amal saat sendirian. Karena hal ini bisa lebih melatih keikhlasan. Untuk itulah, dalam banyak hal, terutama ibadah yang sifatnya tathawwu’, para ulama memilih untuk merahasiakan amalnya lebih banyak dari yang ditampakkan. Seperti untuk shalat sunnah, bersedekah, berdzikir, membaca al-Qur’an dan lain-lain. Diantara hikmah dianjurkannya memperbanyak shalat sunnah dirumah adalah untuk menjaga keikhlasan karena lebih minim dari pandangan orang.

Secara otomatis, jika amalnya saat sendirian bagus, amalnya yang terlihat orang juga baik. Maka jika suatu kali sebagian orang mengapresiasi bagusnya amal yang dia lakukan, ini diluar tujuan yang diidamkannya. Sebagai langkah hati-hati, ada baiknya dia tidak menegaskan atau mengukuhkannya, meskipun dia tidak harus mengingkari amal yang telah dilakukannya. Seperti Muhammad bin Samak rahimahullah. Ketika utusan Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin telah mengutusku kepada Anda, Beliau tlah mendengar perihal kebaikan Anda, banyaknya dzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan banyaknya do’a Anda bagi umat.”

Maka Ibnu Samak berkata, “Adapun berita yang telah sampai kepada amirul mukminin tentang kebaikan kami, semata-mata itu karena Allah menutupi aib kami. Kalau saja Allah menampakkan dosa-dosa kami kepada manusia, niscaya tak seorangpun menaruh simpati kepada kami, tak satupun lisan yang akan memuji kami.. “

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Sebagaimana ibadah yang terkait langsung dengan Allah, seperti itu pula perbuatan baik yang terkait dengan manusia. Orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya orang yang melihat atau mendengar. Tidak mengharapkan balas budi, dan bahkan tidak terpengaruh oleh sikap orang yang telah dibantunya.

Dia tidak menyesal atas bantuan yang telah dia berikan, meski si penerima tidak membalasnya dengan ucapan terima kasih. Bahkan meskipun maksud baiknya justru mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan. Keadaannya seperti orangyang dikisahkan oleh Allah,

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. al-Insan: 9)

Selain lebih bisa menjaga keikhlasan, sikap ini juga lebih menenangkan jiwa. Sungguh kita akan kecewa, jika setiap berbuat baik kepada orang lain kita menunggu ucapan terimakasih atau ‘kembalian’ yang lebih besar. Karena kebanyakan manusia memang tidak mau berterima kasih,

“dan (kebanyakan) manusia itu selalu tidak berterima kasih…” (QS. al-Isra’: 67)

Berbuat dan bertindak sesuai petunjuk Allah, dan mengharapkan pahala Allah adalah pangkal kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Maka, tidak sepantasnya kita takut dicela selagi berbuat karena Allah dan dia atas jalan yang telah digariskan-Nya. Tidak pula kita haus pujian, karena jika kita berada di atas ketaatan, semata-mata itu adalah  karena karunia-Nya, Allahlah yang layak untuk dipuji. Wallahu a’lam bishawab.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga dapat diambil manfaatnya. Kurang dan salahnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

 

 

Khutbah Jumat- Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Puji Syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan nikmat iman dan Islam. nikmat yang dengannya, kita akan selamat di dunia dan akhirat. Karenanya, nikmat ini harus kita jaga, sampai ajal tiba.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunah beliau hingga hari Kiamat.

Kemudian, kami wasiyatkan kepada khatib pribadi dan kepada para hadirin sekalian agar meningkatkan takwa kepada Allah Ta’ala. Takwa adalah penentu arah kehidupan manusia. Arah yang akan menentukan nasibnya; bahagia atau sengsara, selamat atau celaka.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Bagaikan siang dan malam, begitulah warna hidup manusia. Tak ada manusia yang mencapai segala yang diinginkan, atau terhindar dari segala yang dibenci. Ada kalanya senang, tapi juga pernah bersedih, ada kalanya sehat, tapi pasti juga pernah merasakan sakit.

Allah memang menguji manusia dengan dua hal, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang menyedihkan,

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS al-Anbiya’ 35)

Yakni Allah menguji  manusia, sesekali dengan musibah, sesekali dengan nikmat, agar terbukti siapa yang bersyukur, siapa pula yang kufur, siapa yang bersabar, siapa pula yang berputus asa, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsier dalam tafsirnya.
Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut, “Yakni menguji dengan kesempitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kaya dan miskin, halal dan haram, taat dan maksiat, hidayah dan kesesatan.”

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Sehat dan sakit sama-sama bermakna ujian, maka keduanya berpotensi mendatangkan selaksa manfaat, tapi juga tak jarang membuat orang menjadi sesat, yakni ketika salah dalam mengelola dan mengambil sikap.

Adalah keliru orang yang memandang bahwa ujian bagi jasad hanya saat terjangkit penyakit saja. Kesehatan hakikatnya adalah ujian yang berupa kenikmatan, yang hasil akhirnya ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.

Siapapun mengakui, meskipun kerap tidak menyadari, bahwa sehat adalah nikmat yang agung. Bahkan ia adalah sayyidu na’imid dunya, nikmat paling besar bagi kemasalahatan hidup di dunia, sebagaimana Islam adalah sayyidu na’imil akhirah, nikmat yang paling agung bagi akhirat. Sebagai bukti, manusia berani mengorbankan harta berapapun demi kesembuhannya, dan tak ada yang berani menjual kesehatannya meski dengan imbalan yang tinggi.

Suatu kali, seseorang mendatangi Yunus bin Ubaid rahimahullah, ulama di kalangan tabi’in. Dia mengeluhkan perihal kesempitan yang dialaminya. Seakan dia tidak memiliki apa-apa. Lalu Yunus bertanya, “Relakah kamu tukar penglihatanmu dengan seratus ribu dirham?” Ia menjawab, “Tidak.” Yunus, “Bagaimana dengan tanganmu, bolehkah ditukar dengan seratus ribu dirham?” Ia menjawab, “Tidak rela.” Yunus, “Bagaimana dengan kedua kakimu?” Ia menjawab, “tidak juga.” Lalu Yunus berkata, “Perbanyaklah mengingat nikmat Allah, aku melihat kamu memiliki ratusan ribu dirham, tapi masih juga banyak mengeluh?”

Namun sayang, agungnya nikmat kesehatan tak banyak disadari oleh umumnya orang. Karena kesadaran akan tingginya nilai nikmat itu biasanya lebih terasa justru di saat nikmat tersebut telah lenyap dari genggamannya. Seperti orang yang akhirnya menyandang kebutaan, barangkali dia amat sadar betapa nikmat mata adalah karunia yang sangat besar. Namun kesadaran ini jarang hadir dalam benak manusia saat nikmat masih melekat. Kebanyakan manusia seperti yang digambarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

 

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua nikmat yang dilupakan oleh kebanyakan manusia, yakni sehat dan waktu luang.” (HR Al-Bukhari )

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Hasil positif ujian berupa sehat adalah syukur. Tanda mensyukuri nikmat sehat adalah dengan mengakui dan mengingat bahwa kesehatan yang dirasakannya adalah semata-mata karena karunia Allah, dan tidak menganggapnya sebagai suatu pemberian yang remeh. Karena faktanya, dengan sehat  manusia bisa melakukan banyak maslahat, dengannya pula sesuatu yang enak dan nikmat akan terasa enak dan nikmat, berbeda dengan orang sakit yang tidak merasakan nikmatnya sesuatu yang nikmat.

Selain mengingat, mengakui nikmat dan juga memuji Allah atas nikmat sehat, yang tidak kalah pentingnya adalah syukur dengan anggota badan, yakni menggunakan sehat sesuai dengan kehendak Allah, memanfaatkan badan yang sehat untuk taat dan hal-hal yang bermanfaat. Di antara salaf berkata, asy-syukru tarkul ma’ashi, tanda syukur adalah dengan meninggalkan maksiat. Maka barangsiapa yang bermaksiat dengan anggota badannya yang sehat, maka dia telah mengkufuri nikmat Allah.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Hadirnya penyakit adalah ujian yang tidak diingini oleh kebanyakan manusia. Pun begitu, tak ada orang yang sehat sepanjang masa. Setiap orang pasti pernah mengalami sakit. Beragam cara orang menyikapi musibah sakit. Namun secara garis besar, ada empat  macam sikap, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,

Pertama, orang yang marah dan jengkel. Baik rasa jengkel yang dipendam dalam hati, maupun dilampiaskan dengan lisan dan anggota badan. Misalnya berburuk sangka kepada Allah, merasa dizhalimi oleh Allah dan semisalnya. Atau yang diungkapkan dengan lisan seperti keluhan yang mengindikasikan putus asa dan mencela takdir. Apalagi jika ditunjukkan dengan anggota badan, seperti dengan sengaja bermaksiat, meninggalkan perintah padahal mampu menjalankan dan tingkah laku lain sebagai pelampiasan atas kekesalannya. Dia adalah orang yang gagal dalam menjalani ujian. Dia juga mendapatkan dua musibah, musibah dunia dan musibah agama sekaligus.

Kedua, orang yang bersabar terhadap penyakit yang dideritanya. Ia tidak menyukai sakit, tapi ia menahan diri dari segala sesuatu yang diharamkan, demi mendapatkan pahala dari Allah. Tidak mengucapkan apa-apa yang dimurkai oleh Allah,  tidak pula anggota badannya melakukan sesuatu yang dibenci oleh Allah, bahkan hatinya tidak menaruh kebencian atau kejengkelan terhadap Allah sedikitpun.

Sikap ketiga adalah ridha dalam menghadapi musibah sakit. Ini masih masih dalam bingkai kesabaran, namun lebih tinggi dari sekedar bersabar untuk tidak berprasangka buruk kepada Allah, mengeluh atau melampiaskan dengan anggota badannya. Dia merasa ridha dengan ketetapan Allah atas dirinya. Dia memahami, bahwa ujian adalah tanda cinta Allah atas hamba-Nya, selagi hamba itu ridha atas ujian yang menimpanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 

 

 وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya dengan musibah, maka barangsiapa ridha, maka Allah ridha kepadanya, dan barangsiapa marah, maka Allahpun marah kepadanya.” (HR Tirmidzi, beliau berkata, hadits hasan gharib)

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Tingkatan paling tinggi dalam menghadapi musibah sakit adalah sikap keempat, yaitu tingkat syukur. Dia bukan saja sabar dan ridha, bahkan dia bersyukur lantaran diberi sakit. Karena baginya, sakit adalah wahana penghapus dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Dia yakin akan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ

“Tiada seorang muslim yang tertusuk duri atau musibah yang lebih berat dari itu, melainkan dicatat baginya satu derajat, dan dihapus dengannya satu kesalahan.” (HR Muslim)

Minimal ada empat alasan menurut Syuraih al-Qadhi, mengapa musibah bisa membuahkan rasa syukur, bahkan beliau bertahmid empat kali karenanya. Pertama karena Allah memberikan taufik kepadanya untuk membaca istirja’ (bacaan inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un) yang dengannya dia mengharap pahala dari Allah.

Kedua, karena Allah memberi karunia kesabaran, padahal Allah melimpahkan pahala tanpa hitungan bagi orang yang wafat dalam keadaan bersabar. Apalagi, Allah juga memberikan 3 hal bagi orang yang bersabar, dan masing-masing lebih baik dari pada dunia dan seisinya, yakni shalawat dari Allah, rahmat dan hidayah-Nya, seperti disebut dalam QS. al-Baqarah 155-157.

Yang terakhir, selayaknya dia bersyukur karena rasa sakit yang dialami tidak lebih berat dari itu. Masih banyak orang lain yang mengalami sakit lebih berat. Keempat, bersyukur karena musibah sakit hanyalah musibah duniawi, bukan ukhrawi. Sehingga akibatnya tidak seberapa bila dibandingkan dengan musibah akhirat. Inilah tingkatan paling tinggi dalam menyikapi rasa sakit. Pun begitu, bukanlah kebaikan jika seseorang berdoa supaya dijangkiti suatu penyalit, tidak pula berobat itu mengurangi nilai sabar, ridha dan syukurnya.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan, semga bermanfaat. kita berdoa semoga Allah menganugerahkan kita sabar dan syukur. Amien.

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ 

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Islam Akan menang Bersama Atau Tanpa Kita