Kesabaran Berbuah Keimanan

Pada suatu ketika Rasulullah bersama kaum muslimin berencana mengadakan umrah ke Baitul Haram, sekaligus menengok kampong halaman yang telah lama ditinggalkan. Rasulullah menyadari bahwa bentrokan fisik bisa saja terjadi, maka beliau mengajak sebanyak mungkin orang.

Termasuk Badui pedalaman yang belum memeluk Islam sekalipun, untuk umrah bersama, tentu menurut tata cara yang diyakini masing-masing. Dengan begitu rombongan akan besar sekali dan menggetarkan musyrikin Quraisy bila menolak atau menyerang mereka.

Rasulullah mengenakan pakaian ihram untuk menegaskan bahwa perjalanan beliau bukan untuk menentang perang, melainkan beribadah umrah sekaligus melepas kerinduan terhadap kampong halaman. Rombongan Rasul saat itu berjumlah 1400 orang, menurut riwayat Jabir bin Abdullah.

 

Baca Juga: Sabar dan Shalat Kunci Dari Semua Maslahat

 

Mendengar hal tersebut, musyrikin Quraisy bersiap menghadang rombongan Rasulullah memasuki Makkah dan mengirimkan utusan-utusan untuk menakut-nakuti rombongan muslimin. Diantara utusan tersebut adalah ‘Urwah bin Mas’ud. ‘Urwah bin Mas’ud berasal dari bani Tsaqif, dan dikenal luas pengetahuannya, fasih bicaranya, serta arif pemikirannya.

Orang-orang Quraisy ingin memberikan kesan bahwa mereka telah bersatu dengan orang-orang Tsaqif dengan diutusnya ‘Urwah bin Mas’ud, sehingga membuat gentar pengikut Nabi. Mereka membayangkan bahwa barisan Muhammad akan berantakan melihat kedatangan ‘Urwah, apalagi menghadapi kelihaian diplomasinya.

Setibanya di hadapan Rasulullah, ‘Urwah menggertak Rasul dengan berkata, “Ya Muhammad, anda mengumpulkan orang-orang dari berbagai suku lalu menggiring mereka semua kemari untuk menghancurkan keluarga dan kaum anda sendiri? Tidaklah mereka itu membantu anda dengan sepenuh jiwa, melainkan akan bubar melarikan diri. Sesungguhnya kaum Quraisy telah keluar dengan segala kekuatannya dan mengenakan baju perang dan bersumpah tak akan membiarkan anda memasuki Makkah. Demi Tuhan, saya bisa melihat mereka menghabisi anda semua besok pagi!”

Mendengar gertakan ‘Urwah, dan tuduhan para sahabat akan melarikan diri meninggalkan Rasul, Abu Bakar tak bisa menahan amarahnya. “Lebih baik engkau menyusu pada Al-Laati (berhala orang Tsaqif). Kau kira kami akan lari karena ancamanmu itu?” kata Abu Bakar dengan keras dan kasar.

‘Urwah berusaha menahan emosinya dan bertanya, “Siapakah dia ini, ya Muhammad?”

“Dia adalah Abu Bakar,” jawab Rasulullah. Pada masa lalu ‘Urwah pernah berutang budi kepada Abu Bakar, sehingga ketika dihina sedemikian rupa ‘Urwah hanya mengatakan, “Demi Tuhan, sekiranya tidak karena apa yang engkau lakukan terhadapku pada masa-masa silam takkan kubiarkan begitu saja kata-katamu itu!”

Setelah itu ‘Urwah kembali melanjutkan pembicaraannya. Selama perundingannya dengan Rasulullah, ‘Urwah mengamati tingkah orang-orang disekilingnya. Didapatinya bahwa para pengikut Muhammad begitu cinta dan hormatnya kepada beliau. Mereka merendahkan suara ketika berbicara dengan Rasul dan menundukkan kepala bila mendengarkan Rasul berbicara. Melihat yang sedemikian itu, maka sadarlah ‘Urwah akan kekeliruan kata-kata sebelumnya. Tak mungkin para sahabat akan meninggalkan Rasul mereka seorang diri menghadapi kaum Quraisy. Pantas saja bila Abu Bakar marah sekali padanya.

 

Baca Juga : Kesabaran Para Pembela Kesyirikan

 

‘Urwah akhirnya kembali ke Makkah dan melaporkan kepada orang Quraisy. Disampaikan pula pendapatnya kepada orang Quraisy, “wahai Tuan-tuan, sesungguhnya saya sudah pernah menjadi utusan untuk mendatangi kaisar Persia dan Romawi, sebagaimana pernah pula menghadap Raja Najasy di Habasyah. Demi Tuhan, belum pernah saya jumpai seorang pemimpin begitu dimuliakan kaumnya seperti halnya Muhammad diantara para pengikutnya. Saya dapat melihat para pengikut Muhammad membelanya sampai titik darah penghabisan, maka sekarang terserah Tuan-tuan apa yang akan kalian lakukan.”

Tanpa mereka sadari, ‘Urwah telah berdiri sebagai pembela Nabi, dan ini makin mengobarkan kebencian orang-orang Quraisy. Pada prinsipnya pihak Quraisy telah gagal dalam diplomasinya, dan ‘Urwah telah terlunakkan hatinya.

Telah dilihatnya betapa taat para muslimin terhadap Rasulullah. Jangankan orang-orang Quraisy, pasukan dengan jiwa demikian akan mampu menghadapi kekuatan musuh seperti apapun di atas bumi. Abu bakar yang terkenal santun dan sabar pun telah ia rasakan amarahnya, garang bagai harimau lapar.

Rasulullah begitu lihai memanfaatkan orang yang tepat dan menggunakan kekerasan pada waktu yang tepat. Membuat mental kaum Quraisy jatuh, walaupun kekuatan muslimin hanya 1400 orang, tanpa senjata pula. Semangat dan persatuan muslimin mampu melipatgandakan kekuatannya menghadapi kaum Quraisy dan sekutu mereka.

Inilah pelajaran yang berguna bagi suatu gerakan islam. Pelajaran yang harus direnungkan oleh setiap pemimpin. Bagaimana mengembangkan muamalah dengan musuh, bagaimana menghancurkan mental dan semangat musuh, bagaimana mempersiapkan pasukan agar selalu siaga jiwa dan raga. Juga pelajaran bagi yang dipimpin agar menyadari arti disiplin, kesabaran, dan ketaatan terhadap pemimpin, terutama di hadapan musuh.

Menggapai Pahala Saat Hujan Tiba

Beberapa bulan ini kita merasakan guyuran air hujan menyapa bumi. Siksaan musim panas sudah tidak terasa lagi. Udara yang panas menyengat, debu yang beterbangan di mana-mana hingga kekeringan tanpa setetes air, akhirnya sirna. Sungguh kegembiraan yang luar biasa di dada orang-orang beriman tatkala Allah berkehendak menurunkan hujan meski hanya sekejap saja.

Namun hujan bisa mendatangkan dua hal: rahmat dari Allah atau justru musibah.

Rahmat bagi Alam

Aisyah ra pernah bercerita: “Apabila hari mendung dan angin bertiup kencang, maka hal itu dapat diketahui dari wajah Rasulullah saw. Beliau bolak-balik ke depan dan ke belakang. Dan ketika hujan telah turun, beliau pun bergembira dan hilanglah kekhawatirannya”. ‘Aisyah berkata : “Lalu aku bertanya tentang hal itu pada beliau. Beliau saw menjawab : “Aku khawatir hal itu akan menjadi adzab yang ditimpakan kepada umatku”. Ketika melihat hujan turun, beliau bersabda : “Ini adalah rahmat” (HR. Muslim).

 

Baca Juga: Doa Saat Turun Hujan

 

Ya… hujan adalah rahmat. Tanah tandus dan gersang yang tidak bertanaman, akhirnya tumbuh berbagai macam tanaman enak dipandang. Sungai dan mata air kembali mengalir setelah sebelumnya kering kerontang. Udara pun terhirup segar menghadirkan kesejukan dan ketenangan bagi jiwa dan raga.

Allah Ta’ala telah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat : 39).

Begitulah, Allah menjadikan hujan sebagai nikmat dan rahmat bagi makhluk-makhluk-Nya, tidak terkecuali manusia. Bahkan Al-Qur’an menyebutkannya sebagai sumber kehidupan.

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)

Awal Petaka dan Bencana

Hujan bisa juga menjadi awal petaka yang mengerikan. Hujan lebat yang disertai angin kencang kerapkali menghadirkan suasana yang mencekam di hati setiap orang. Banjir, angin topan, dan bencana tanah longsor adalah bunga berita yang menghiasi televisi dan surat kabar di musim penghujan.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana satu desa di Banjarnegara rata dengan tanah, disapu tanah longsor setelah turunnya hujan lebat. Korban berjatuhan, warga terpaksa hidup di tempat pengungsian. Banjir yang menggenangi sebagian kota-kota besar seolah menjadi tandingan headline berita banjir yang menjadi langganan kota Jakarta. Korban jiwa dan kerugian material tak terhitung banyaknya.

Demikianlah, Allah kuasa mengubah hujan yang penuh rahmat menjadi bencana.

Maka agar hujan tersebut membawa rahmat dan kebaikan, hendaknya kita lakukan beberapa tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah saw, diantaranya:

Berdoa saat hujan tiba

Saat hujan turun, Rasulullah biasa berdoa:

اللهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Ya Allah, jadikanlah ia hujan yang membawa manfaat.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Kenapa Rasul berdoa dengan lafadz tersebut? Karena hujan bisa mendatangkan manfaat namun kadang penyebab timbulnya petaka sebagaimana telah disebutkan di muka.

Maka saat hujan deras, beliau berdoa:

«اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ وَالآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ»

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, jangan menjadi musibah bagi kami! Ya Allah, turunkanlah hujan pada dataran tinggi, pegunungan, perbukitan, lembah-lembah dan tempat-tempat tumbuhnya tanaman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah selesai hujan beliau kembali berdoa sebagai wujud syukur kepada Allah ta’ala:

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

“Kita telah diberi hujan dengan karunia dan rahmat Allah semata.” (HR. Muslim)

Menyingkap Sebagian Pakaian

Anas ra berkata: “Kami pernah diguyur hujan bersama Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw menyingkap pakaiannya hingga terkena hujan. Kami pun bertanya kepada beliau : ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan itu ?’. Beliau menjawab : ‘Karena hujan baru saja diturunkan oleh Rabb-nya” (HR. Muslim).

Rasulullah mengerjakan hal tersebut agar mendapatkan berkah dari air hujan. Air hujan adalah mubarak (diberkahi), karena Allah swt mendatangkan keberkahan dengan hujan tersebut. Dengannya manusia dan binatang memperolah minum, pepohonan tumbuh subur, menghasilkan buah-buahan dan dengannya pula Allah membuat segala sesuatu menjadi hidup. Dan hal ini merupakan bentuk tabarruk (mengambil barakah) yang tidak dilarang, karena ada tuntunan dari Rasulullah saw. Sehingga, sebagian sahabat pun ikut melakukannya.

Apabila hujan turun, Ibnu Abbas ra berkata : ‘Wahai pelayan, keluarkanlah pelanaku dan pakaianku”. Kemudian ia (Ibnu ‘Abbas) membaca ayat : ‘Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi’ (QS. Qaaf : 9)

Saat Mustajab

Setiap orang di dalam kehidupannya pasti selalu berdoa, atau setidaknya pernah berdoa. Yang menjadi pertanyaan, kenapa banyak orang merasa doanya selalu gagal, kenapa Allah tidak segera mengijabahi permintaannya? Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kurang pasnya dia dalam memilih waktu yang mustajab untuk berdoa.

Saat turun hujan adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak doa, karena Allah akan mengabulkan permohonan hambaNya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan.” (HR. Al-Hakim)

Itulah di antara sunnah Rasul yang bisa kita lazimi saat hujan. Semoga dengan mengamalkannya kita bisa mendapatkan hujan yang membawa rahmat dan nikmat, bukan adzab. Wallaahul Musta’an.

Nafkah Istri yang Diceraikan

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Ustadz yang dirahmati Allah, saya seorang istri yang telah bercerai dari suami. Apakah istri yang sudah bercerai dari suaminya seperti saya masih berhak menerima nafkah? Kalau masih, berapa besarannya dan sampai kapan si istri berhak menerimanya?

Atas jawabannya ana sampaikan Jazakumullah khaira jazaa’

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Hamba Allah, Solo

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh  

Hamba Allah yang shalihah, salah satu kewaiban suami terhadap istrinya adalah menafkahinya. Hal itu berlangsung selama mereka terikat dalam perkawinan yang sah. Adapun wanita yang sudah bercerai dari suaminya, maka dia masih berhak atas nafkah selama berstatus menjalani iddah raj’i (masih bisa rujuk dengan mantan suaminya) atau iddah hamil.

Allah berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At-Thalaq 6).

 

Baca Juga: Hukum Berkali-kali Bilang Cerai

 

Selama menjalani masa iddah raj’i, yaitu selama 3 kali suci bagi yang masih mengalami haidh, dan 3 bulan bagi yang sudah menopause, seorang wanita berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah materi sesuai dengan kemampuan suami. Semisal dengan apa yang dia dapatkan dari suaminya selama menjalani pernikahannya kemarin.

Tentang berapa besarnya jumlah nafkah yang harus diberikan suami,para ulama berbeda pendapat. Adapun wujudnya bisa berupa sembako, pakaian, obat-obatan, atau sejumlah uang sebagai penggantinya. Dalam hal ini syariat tidak menetapkan besarannya secara pasti, sehingga ia bisa berubah sesuai keadaan yang mengikutinya. Intinya pada kebutuhan istri secara makruf, kelaziman yang ada di masyarakat sesuai status sosial si suami, serta jangan sampai memberatkan suami dalam menunaikannya.

Allah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq 7).

Demikian yang bisa saya sampaikan dan semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.