Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Hidup memang tak mudah. Dengan kelemahan manusia, banyak kewajiban yang senantiasa menunggu untuk ditunaikan. Godaan dan rayuan dunia, berikut setan yang selalu menggoda sewaktu-waktu bisa menjerusmukannya ke dalam dosa. Tentu, untuk mampu menjalani hidup dengan selamat dan aman hingga tujuan, membutuhkan bekal dan sarana yang tidak ringan.

Dalam hal dunia, tidak gampang pula bagi manusia untuk menggapai apa yang menjadi cita-cita dan harapannya. Sementara musibah dan perkara yang tak dikehendaki, justru datang bertubi-tubi. Untuk ini, manusia juga membutuhkan alat bantu untuk menggapai tujuannya, juga sarana yang membuatnya tegar dan tidak goyah saat menghadapi peristiwa yang tak diharapkan terjadinya.

 

Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Di antara bukti kasih sayang Allah kepada manuasia, Dia telah menunjukkan dua sarana untuk itu. Jika kita memiliki keduanya, segalanya akan menjadi mudah. Dua hal itu adalah sabar dan shalat. Allah berfirman,

 

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya (yang demikian itu) sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 45)

Secara eksplisit bahwa sabar dan shalat adalah dua instrumen yang bisa kita gunakan sebagai alat penolong. Dalam hal apa? Tidak ada keterangan khusus. Ini menunjukkan bahwa sabar dan shalat bisa menjadi sarana penolong kita dalam hal apa saja. Dalam menjalani ibadah, mencegah maksiat, menggapai cita-cita, dan menjauhkan dari marabahaya, baik di dunia maupun di akhirat. Ibnu Katsier rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat.” Artinya, dengan sabar dan shalat, segala hal menjadi mudah.

 

Sabar Sebagai Penolong

Makna sabar adalah al-habsu, menahan diri. Yakni menahan diri terhadap perkara yang tidak disukai, dan maupun menahan diri dari kemauan hawa nafsunya. Demikian urgen arti kesabaran, hingga kata ini disebut tidak kurang dari 90 tempat dalam al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah. Bahkan saat kita menelusuri kebaikan, keutamaan serta tuntutan keimanan, maka kita akan menemukan bahwa sabar selalu menjadi ruh dan nyawanya. Shaum misalnya. Inti shaum adalah kesabaran. Karena dia  harus menahan diri dari makan, minum, ‘bercampur’ dengan istri di siang hari dan hal-hal lain yang disukai hawa nafsunya.

Jihad fie sabilillah juga hanya mampu dikerjakan oleh orang yang memiliki kesabaran. Sabar dalam meninggalkan keluarga yang dicintainya, melawan rasa takut di dada, dan dalam bersusah payah tatkala harus menghadapi musuh. Birrul walidain juga membutuhkan kesabaran, apalagi jika orangtua telah lemah dan pikun. Sabar dalam merawatnya, menerima sikapnya yang kembali seperti anak-anak, juga ucapannya yang makin tua makin ngelantur. Begitulah, segala amal kebaikan dan tuntutan iman membutuhkan kesabaran untuk menjalaninya. Tepat sekali jika shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sabar dengan ungkapan,

 

وَاعْلَمُوا أَنَّ مَنْزِلَةَ اْلصَّبْرِ مِنَ الْإِيْماَنِ كَمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ اْلجَسَدِ فَإِذاَ ذَهَبَ الرَّأْسُ ذَهَبَ الْجَسَدُ فَإِذاَ ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ اْلإِيْماَنُ

“Ketahuilah bahwa kedudukan sabar bagi iman laksana kedudukan kepala bagi jasad. Jika kepala hilang, lenyaplah (tiada bernyawa) jasad, jika sabar lenyap, lenyap pula keimanan.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq).

Kesabaranlah yang membuat seseorang mampu menahan beratnya cobaan. Dengannya, orang menjadi tidak berputus asa, tidak stress, tidak mencela takdir, tidak berprasangka buruk kepada Allah dan tidak terhalang mendapatkan pahala kesabaran yang tak terhitung banyaknya (bighairi hisab).

Baca Juga: Bahagia di Penghujung Usia

Dengan kesabaran pula seseorang akan mampu mencegah dirinya dari dosa dan maksiat. Andai seseorang tidak memiliki kesabaran, maka tak ada lagi alat penahan bagi nafsu untuk melampiaskannya. Dengan ringan mengumbar pandangan mata, atau bahkan berzina, ia akan makan dan minum sepuasnya yang ia bisa hingga yang haram sekalipun, atau akan berbicara dan berbuat sesukanya. Belum lagi jika ada kondisi yang memantik amarahnya, caci maki, pukulan atau bahkan membunuh menjadi kemungkinan yang tak jauh darinya. Sejauh mana tingkat kesabaran yang dimiliki seseorang, sejauh itulah ia mampu meninggalkan dosa dan maksiat.

Ringkasnya, kesuksesan manusia dalam menjalani misi hidup di dunia tergantung pada tingkat kesabaran. Termasuk hasil akhirnya kelak, kesabaran menjadi penentu utama. Kesabaran akan menuntun pemiliknya ke dalam Jannah. Karena itulah, ucapan selamat malaikat penjaga Jannah bagi mereka yang masuk Jannah adalah,

Salamun `alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian, karena kalian telah bersabar).” (QS. ar-Ra’du: 24).

 

Shalat Sebagai Penolong

Makin sempurna sarana untuk meraih multi maslahat, ketika kesabaran dipadu dengan shalat. Karenanya, tidak hanya di satu ayat Allah menggandengkan sabar dengan shalat. Para sahabat juga berusaha mempraktekkan keduanya secara beriringan untuk merealisasikan ayat tersebut. Seperti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Zaid bin Ali mengisahkan, ketika dalam perjalanan, ada kabar yang sampai kepada beliau bahwa seorang anaknya meninggal. Beliaupun turun dari kendaraan, shalat dua rakaat kemudian membaca istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un), lalu beliau berkata, “Kami melakukan sebagaimana yang Allah perintahkan, “ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Shalat merupakan sarana paling efektif untuk teguh di atas ketaatan. Ia memengaruhi seseorang dalam segala aktivitas. Tidak heran jika Umar bin Khathab mengatakan, “man dhayya’ash shalah, fahuwa limaa siwaaha adhya’,” barangsiapa yang meremehkan shalat, pasti untuk urusan lain lebih meremehkan. Makna sebaliknya, jika shalatnya baik, urusan yang lain akan ikut baik.

Baca Juga: Masuk Surga Bermodal Cinta

Hal ini tak terbatas pada baiknya karakter di dunia, tapi juga pahala di akhirat, shalat menempati urutan pertama yang akan dihisab, sekaligus menjadi penentu bagi amal-amal yang lain. Bila shalat baik, ia akan selamat. Jika tidak baik, apalagi tidak shalat, siksa neraka menanti di hadapannya. Allah menceritakan apa yang akan terjadi besok di hari Kiamat, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,” (QS. al-Mudatsier: 42-43)

Shalat juga menjadi pencegah paling efektif dari dosa. Allah berfirman,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45)

Abu al-Aliyah menjelaskan kronologinya, mengapa shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Beliau berkata, “Sesungguhnya pada shalat itu terdapat tiga unsur, maka setiap shalat yang tidak mengandung tiga unsur ini, bukan shalat namanya. Ketiga unsur itu adalah ikhlas, khasyyah (rasa takut) dan dzikrullah. Ikhlas akan mendorongnya untuk berbuat baik, rasa takut akan mencegahnya dari perbuatan mungkar, sedangkan dzikrullah akan memerintah yang baik dan mencegah dari keburukan sekaligus.”

Jika dalam suatu kasus, ada orang yang shalat, namun ia belum berhenti dari perbuatan keji, bukan berarti resepnya yang salah. Allah tidak mungkin salah. Hasil yang sempurna akan didapat dengan usaha yang sempurna, begitupun sebaliknya. Perbuatan mungkar yang dilakukannya otomatis menunjukkan bahwa shalatnya belum beres.

Mungkin dari sisi kaifiyah (tata cara) atau dari kekhusyu’an dan keikhlasannya. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa seseorang datang melapor kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya si fulan shalat malam, tapi pagi harinya dia mencuri!” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya shalat yang ia lakukan itu akan mencegah ia dari apa yang kamu katakan itu.” Artinya, jika memang ia benar-benar shalat, dan shalatnya benar-benar betul, maka pasti ia tidak akan mencuri. Shalat membuatnya mudah untuk menghindar dari perbuatan mungkar. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Telaah

 


tags: majalah islam online, majalah islam di indonesia, majalah islam wanita, majalah islam remaja, majalah islam pdf, majalah islami, media islam update, media cetak islam, majalah muslim 212, produk kaum muslimin, majalah islam semua usia, majalah keluarga muslim, artikel islami masa kini, artikel keluarga muslim

Majalah Arrisalah Maret 2018 – Edisi 201

Majalah islam

Telah terbit majalah islam Arrisalah edisi 201 Maret 2018, “Sandang Taat Tanggalkan Maksiat”

dengan tema unggulan:

  1. Fikrah Dakwiyah : Dakwah: Mencari Kawan atau Mencari Lawan
  2. Ahla Hikayah : Isroiliyat Seputar Kisah Nabi Idris
  3. Himmah Aliyah  : Semangat Dalam Senyap

Daftar Isi Majalah Ar-Risalah

001 IFTITAH

002 Biah
Mengokohkan Iman Kepada Hari Akhir

003 RUANG PEMBACA

006 RISALAH
Mahar Tak Terbawa

007 DAFTAR ISI

008 MUTHALA’AH
09 Sandang Taat Tanggalkan Maksiat
12 Taubat Yang Gagal & Hijrah Yang Gagal

016 FATAWA
Shalat Di Sajadah Yang Ada Gambar Ka’bah

017 ASMAUL HUSNA
Meresapi Kebesaran Allah

019 AKHDATS NIHAYAH
Fitnah-Fitnah Dajjal

021 MAKALAH
Menjadi Muslim Problem Solver

024 ADAB NABAWIYAH
Dosa, Sesuatu Yang Membuat Hatimu Ragu

026 FIKRAH
Al-Mutrafun

029 FIKih NAZILAH
Hukum Membatalkan Transaksi

031 KHUTBAH JUM’AT
Makna Hakiki Dari Cinta Pada Bangsa Tanah Air

035 FIKRAH DAKWIYAH
Dakwah: Mencari Kawan Atau Mencari Lawan?

037 AHLA HIKAYAH
Isroiliyat Seputar Kisah Nabi idris039 HIMMAH ALIYAH
Semangat Dalam Senyap041 TIPS
Tips Menjaga Kualitas Ruhani

042 KALAM QALBI
Menjadi Perantara Kebaikan

046 HADHARAH
Runtuhnya Perdagangan Jawa

048 TAJRIBAH
Harga Sebuah Hidayah

050 AHWAL NISAIYAH
Mukminah Dan Ujian Iman

052 SHIFAT INSANIYAH
Manusia Dan Perilaku Tergesa-gesa

054 HIWAR UKHRAWI
Awal Kebahagiaan Bagi Orang Beriman

057 KITABAH
Bagaimana Mendapat Kawan Ala Nabi

058 FURSAH NAFISAH
Saat Menunggu Lelap

061 AKIDAH
Kalamullah Bukanlah Makhluk

063 DZATU IBRAH
Dua Ayat Penyebab Taubat

064 MUHASABAH
Antara Pamer Dan Pencitraan

majalah islam arrisalah edisi 201 maret 2018

Majalah Ar-Risalah

Saat Allah telah membukakan pintu kesadaran dan insaf dari khilaf maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah merawat kesadaran dan menjadikannya sebagai titik tolak perubahan dari kegelapan kepada cahaya. Keinsafan yang tidak diiringi dengan langkah nyata meninggalkan kemaksiatan rawan kembali terjerumus kedalam lubang yang sama. Bukankah kita sering mendengar orang-orang yang batal taubatnya dan gagal hijrahnya lantaran takut kehilangan teman dan mata pencaharian? Di sinilah perlunya hijrah.

Hijrah menuntut keberanian seseorang untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan pemicunya. Yang paling mendesak adalah meninggalkan teman-temannya yang buruk, lalu mencari teman atau komunitas baru yang lebih diridhai oleh Allah. Karena teman adalah penentu. Tanpa dukungan teman yang baik, sulit bagi orang yang bertaubat untuk berubah dan istiqamah di jalan hijrah.

Baca selengkapanya di majalah ar-risalah edisi bulan ini.

Belum punya majalahnya? Atau bingung cara membelinya? hubungi agen terdekat di kota Anda atau

hubungi kami di =

 085229508085

@Majalah.Arrisalah

 Majalah_Arrisalah

website: arrisalah.net

 

Alamat Redaksi:

Jl. DR. Muh. Hatta Kp. Maddegondo RT. 05

RW. 04 Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Telp: (0271) 624421

Antara Mukjizat dan Teknologi

Baru-baru ini, Ulil Abshar Abda dedengkot JIL yang hobi bikin PR untuk kaum muslimin ini mengoceh lagi. Menurutnya, kecanggihan teknologi itu lebih hebat dari mukjizat Nabi manapun.

“Ini revolusi yang jauh lebih hebat dari mukjizat nabi manapun, termasuk mukjizat Musa yang membelah lautan atau mengubah tongkat menjadi ular,” kata Ulil di akun Facebook-nya beberapa waktu yang lalu.
Dia menampakkan sok update terhadap perkembangan teknologi, tapi sebenarnya justru menunjukkan dirinya itu ‘gaptek’, gagap teknologi. Sehingga terheran-heran dan tertakjub-takjub dengan era teknologi hari ini. Saking ‘gumun’-nya, sampai menganggap hal itu lebih hebat dari mukjizat para Nabi alaihimussalam. Entah, apa definisi mukjizat yang dimengerti oleh Ulil.

Makna Mukjizat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Tapi secara asal, kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز  (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan (pihak lain) tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة  (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).

Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:

أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تابدا لنبوته

“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya”.

Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah:

أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدى, سالم من المعارضة

“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”

Syeikh Manna’ al-Qattan dalam Mabahits Fie Uluumil Qur’an menyimpulkan bahwa mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Sebagaimana Al-Qur’an dikatakan mukjizat karena Al-Quran menantang orang-orang Arab maupun yang lain, atau bahkan seluruh jin dan manusia, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat. Begitupul halnya dengan mukjizat Nabi-nabi yang lain.

 

BACA JUGA: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ustadz dan Ulama’

 

Jika sekarang ada yang mendakwa bahwa teknologi lebih hebat dari mukjizat, maka dia orang yang kesasar dan sesat. Teknologi itu sesuatu yang netral, bisa menjadi keutamaan bila kemudian menjadi acuan untuk bersyukur. Akan tetapi, jika seseorang menjadi pongah, maka kepongahannya akan membinasakan dirinya.

Maka sebenarnya, membandingkan antara mukjizat dan teknologi itu tidaklah proporsional, karena keduanya bukan tandingannya dan berbeda pula jenisnya.

Satu sisi mukjizat adalah peristiwa yang bersifat supranatural atau keluar dari hukum alam, sedangkan temuan ilmiah dan teknologi modern masih bersifat natural atau dalam lingkup hukum alam. Oleh karena itu, mukjizat tidak dapat terjadi kepada semua orang, akan tetapi khusus kepada para Nabi.. Sedangkan temuan ilmiah dapat ditiru oleh siapapun yang mempunyai kemauan, karena sifatnya masih natural dan alamiah.

Kedua, mukjizat sebagai peristiwa yang keluar dari batas hukum alam, tentu terjadi secara spontan dan bukan hasil usaha. Sementara temuan ilmiah modern adalah hasil usaha, eksperimen dan penelitian yang memakan waktu tidak sebentar. Mengapa demikian, karena mukjizat identik dengan kenabian yang memang tidak dapat dicapai dengan usaha, akan tetapi murni anugerah dari Allah.

Ketiga, mukjizat hanya terjadi pada seorang nabi, yaitu orang-orang yang diberi anugerah sekian banyak sifat kepribadian yang luar biasa, baik zhahir maupun batin. Sementara temuan ilmiah modern dapat dilakukan oleh siapa saja dan bahkan bisa dilakukan oleh orang yang kemampuan otaknya tidak begitu istimewa.

‘Kehebatan’ Umat Terdahulu

Jika memaksa untuk membandingkan antara keduanya, maka tentulah mukjizat tidak dikalahkan oleh teknologi. Jika mengambil sampel yang telah berlalu, adakah teknologi mampu membelah bulan menjadi dua lalu disatukan kembali sebagaimana mukjizat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam?

Teknologi sekarang juga belum mampu membelah tengah samudra yang begitu luasnya lalu menyatu kembali sebagaimana mukjizat Nabi Musa alaihis salam?

Dari sisi lai, teknologi yang merupakan hasil eksperimen dan temuan manusia, sangat bergantung pada sumber daya alam yang terbatas. Jika sumber itu musnah, maka tiada berlaku ‘kesaktian’ teknologi. Dan amatlah mudah bagi Allah untuk menghancurkan apa yang diupakan manusia-manusia yang sombong.

Sejarah umat terdahulu juga menunjukkan kecanggihan dan kekuatan, namun kemudian Allah menghancurkan mereka karena kekafiran dan kesombongan mereka.

Seperti Kaum Tsamud yang mampu memahat gunung-gunung yang tinggi, lalu Allah membinasakan mereka dan meluluhlantakkan usaha mereka. Sebagaimana firman-Nya,

“Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah,” (QS. al-A‘raf [7]: 74). Dan pada akhirnya Allah meluluhlantakkan mereka karena keingkaran mereka, sebagaimana firman-Nya, “Mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan,” ungkap Surat Al Araaf Ayat 78.

Begitupun dengan kaum ‘Ad yang menyombongkan diri dengan kekuatannya,Allah berfirman tentang mereka, “Adapun kaum ‘Aad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.(QS. Fushshilat [41]: 15).

Maka para ‘pemuja’ teknologi telah menentang kekuasaan Allah jika menganggap hasil karyanya atau teknologinya lebih hebat dari mukjizat yang datang dari Allah Ta’ala. Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari kaum yang terdahulu? Fa’tabiruu yaa ulil abshar…!

 

 

 


Jangan terlewat untuk membaca motivasi islami lainnya hanya di Majalah islam ar-risalah. Belum memiliki majalahnya? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085