Baca Surat Yusuf Saat Hamil, Anak Jadi Setampan Nabi Yusuf?

 

Seorang ibu yang hamil muda tampak rajin membaca al-Qur’an, namun berulang-ulang yang dibaca hanyalah Surat Yusuf. Tatkala ditanya alasannya, ternyata ia mendambakan seorang anak laki-laki. Ada lagi yang hamil tua, melakukan hal yang sama. Ketika ditanya sebabnya, ternyata hasil USG menunjukkan janin berkelamin laki-laki, maka si ibu ingin anaknya terlahir dengan fisik setampan Nabi Yusuf alaihissalam. Bahkan ada yang menjadikan bacaan surat Yusuf atau sebagiannya sebagai alat untuk membuat wanita tertarik kepadanya, sebagaimana para wanita bangsawan terpukau oleh ketampanan Yusuf alaihissalam.

 

Antara Surat Yusuf dan Ketampan Keturunan.

Memang ada fadhilah-fadhilah khusus dari ayat maupun surat-surat tertentu di dalam al-Qur’an. Tapi, surat apa dan berkhasiat apa tidak boleh didasari oleh dugaan, rekaan atau pengalaman pribad seseorang. Harus ada dalil shahih yang kemudian bisa dijadikan sandaran keyakinan dan diamalkan.

Meskipun telah menjadi tradisi yang diyakini dan dijalani, ternyata tak ada dalil yang menyebutkan bahwa bacaan Surat Yusuf  berkhasiat menjadikan anak menjadi tampan. Dan bahkan di dalamnya juga tidak menyebut suatu doa permohonan supaya mendapatkan anak yang tampan. Para ulama salaf terdahulu pun tak ada yang memberikan anjuran bagi ibu hamil untuk menjalani ritual khusus tersebut.

Baca Juga: Suka Sesama Jenis, Bawaan Atau Penyimpangan?

Barangkali tradisi itu didasari oleh asumsi bahwa kandungan Surat Yusuf dominan mengisahkan kehidupan Nabi Yusuf alaihissalam. Sayangnya, ‘image’ yang ditangkap oleh kebanyakan kaum muslimin perihal kisah hanyalah sebatas bahwa beliau seorang Nabi yang terkenal ketampanannya.  Lalu diambillah kesimpulan, bahwa bacaan Surat Yusuf diduga bisa menjadi sebab datangnya anugerah anak yang tampan. Mestinya amal didasarkan atas ilmu, bukan karena dugaan atau sangkaan.

Ayat yang mengandung makna permohonan agar dikaruniai anak, justru ada di surat lain. Bukan permohonan supaya anaknya tampan, tapi supaya shalih. Yakni pada Surat ash-Shaffaat yang menyebutkan doa Nabi Ibrahim alaihissalam,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Wahai rabbi, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”(QS. ash-Shaffat: 100).

Atau doa lain yang Allah ajarkan:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا  [الفرقان/74]

“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan: 74).

Permohonan untuk mendapatkan anak shalih dan keturunan yang bertakwa jauh lebih baik daripada permohonan mendapatkan anak tampan. Karena penilaian Allah tergantung pada amal, bukan pada bentuk fisik. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk fisik maupun harta kalian, akan tetapi Dia melihat pada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).

Ringkasnya, tak ada khasiat khusus bacaan Surat Yusuf yang berhubungan dengan permohonan untuk  mendapatkan anak laki-laki yang tampan.

 

Faedah Surat Yusuf

Meski tak ada khasiat khusus yang berkaitan dengan permohonan keturunan, keutamaan dan faedah Surat Yusuf tetap luar biasa, dan tidak terkurangi sisi kesempurnaannya. Maka wajib bagi kita mengkaji kandungan isinya yang bertabur faedah di dalamnya.

Bahkan Allah membuka kisah tentang Yusuf dengan firman-Nya:

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu.” (QS. Yusuf: 3).

Allah yang mengisahkan, Allah pula yang menyebutnya sebagai sebaik-baik kisah, maka pastilah banyak pelajaran  berharga  yang bisa kita dapatkan dalam kisah Yusuf yang terkandung dalam surat ini.

Baca Juga: Daripada Zina di Sembarang Tempat, Mending Dibikinin Tempat?

Memang begitulah adanya. Bagi yang membaca, mendengar, apalagi yang mengetahui maknanya, ayat-ayat di dalam surat Yusuf  akan membawa ketenangan hati. Bukan sekadar sastranya yang super indah, tapi juga sangat menyentuh. Karenanya, para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika mereka mengalami kebosanan, mereka datang kepada Rasulullah, lalu beliau membacakan surat Yusuf  sebagai penghibur. Dengannya kegundahan menjadi sirna, harapan menjadi tumbuh kembali dan semangat kembali menyala.

Kisah Yusuf alaihissalam mengajarkan kepada kita bahwa dibalik musibah yang menimpa, ada rencana indah yang Allah siapkan. Berapa kali Yusuf  alahissalam menghadapi makar dan musibah, namun selalunya itu menjadi jembatan kemuliaan dan kebahagiaan bagi beliau. Beliau pernah dibuang ke sumur, dijadikan budak, dijebloskan ke dalam penjara, hingga akhirnya menjadi insan yang paling mulia di zamannya. Baik dalam pandangan manusia maupun Penciptanya.

Beliau juga menghadapi bujuk rayu dan godaan yang menggiurkan, namun beliau tetap teguh pendirian. Ini menjadi permisalan dan teladan manusia dalam menghadapi ujian; baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Syubhat

 

Kabar Gembira Untuk Para Wanita

Setelah seorang wanita memiliki banyak anak, mungkin saja akan ada perasaan bosan dan ogah untuk hamil lagi. Kalau kondisinya tidak hamil, ya menyusui, tidak lama setelah menyusui juga hamil lagi dan melahirkan anak lagi. Sementara suami masih ngebet ingin kembali memiliki keturunan baru, apalagi bila belum punya anak laki-laki. Sehingga ada yang dengan nada bercanda berkata pada istrinya, “Umi, pilih tambah anak atau tambah istri?”. Tak mau kalah mungkin istri akan menjawab, ” Boleh dua-duanya asal gaji Abi berlipat dua kali.”

Semua masalah harus dikomunikasikan. Suami boleh meminta, tapi juga harus melihat kesehatan isteri secara fisik maupun psikis. Sedang bagi isteri, jika memang kondisi kesehatan memungkinkan, kiranya tak perlu banyak kekhawatiran. Lain itu ada banyak fadhilah -keutamaan- yang bisa diraih saat hamil, melahirkan dan memiliki banyak anak.

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

Seorang wanita akan terhibur ketika membaca hadits-hadits Nabi SAW yang menjelaskan besarnya pahala wanita yang bersabar ketika hamil atau melahirkan.

 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمَرْأَةُ فِيْ حَمْلِهَا إِلَى وَضْعِهَا إِلَى قَضَائِهَا كاَلْمَرَابِطِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَإِذَا مَاتَتْ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ فَلَهَا أَجْرُ شَهِيْدٍ

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Seorang wanita itu bila hamil sampai ia melahirkan dan sampai ia menemui kematiannya, seperti seorang yang ribath fi sabilillah. Bila ia meninggal dalam kondisi tersebut maka mendapatkan pahala syahid.” (HR. Thabrani)

Dalam hadits lain disebutkan, bahwa wanita pengasuh Ibrahim bin Muhammad saw berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah banyak memberitakan kabar gembira kepada kaum laki-laki, tapi tidak kepada para wanita.” Maka Nabi bersabda, “Apakah kalian tidak suka bila salah seorang dari kalian hamil dengan mendapatkan kecintaan dari suami, bahwa baginya pahala orang yang berjuang fi sabilillah dalam keadaan shaum? Dan bila ia merasakan sakit (ketika melahirkan), maka semua penghuni langit dan bumi akan memberitahukan apa yang tersembunyi dari sesuatu yang diinginkannya. Bila ia melahirkan, maka tidak keluar darinya setetes susu dan satu isapan air susu kecuali dari setiap tetesan dan isapan susu tersebut bernilai kebaikan. Bila ia terbangun di malam hari oleh anaknya, maka baginya pahala seperti orang yang telah memerdekakan tujuh puluh budak fi sabilillah.” (HR. Thabrani)

Walaupun hadits-hadits tentang masalah ini dipermasalahkan oleh sebagian ulama tentang keshahihannya, tapi tetap bisa dijadikan dalil, apalagi dalam masalah keutamaan beramal. (Fatwa Asy-Syabakah Al-Islamiyah: 4/1894).

Demikian pula hadts-hadits yang menjelaskan bahwa wanita hamil atau melahirkan yang meninggal, maka syahidah. Maknanya kondisi hamil adalah kondisi yang mulia, sebab ada semacam ‘asuransi’ yang diberikan jika ia gagal berupa kesyahidan.

Baca Juga: Hukum Wanita Yang Mengalami Keguguran 

Ketika mengomentari hadits syahidnya wanita yang meninggal ketika hamil, Ibnu Hajar berkata, “Yaitu wanita yang meninggal dan di dalam perutnya ada seorang bayi.” Imam An-Nawawi berkata, “Mereka yang mendapatkan pahala syahid karena pedih dan beratnya rasa sakit yang mereka rasakan.” Ibnu Ath-Thin berkata, “Mereka yang mendapatkan pahala syahid merupakan keutamaan yang telah Allah berikan, lalu menjadi pembersih dosa-dosa, dan menambah pahala mereka, sehingga mencapai derajat syahid.”

 

Diampuni Segala Kesalahannya

Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa wanita yang mengandung itu menanggung yang sangat berat. Beban di atas beban. Sedang dalam sebuah hadits dijelaskan, kesusahan yang menimpa setiap mukmin akan menjadi kafarat atau tebusan baginya atas dosa-dosanya. Rasulullah bersabda,

 

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

Tidaklah seorang mukmin ditimpa sakit, atau siksaan, atau cobaan, atau kesedihan, sampai sebuah kesusahan yang dialaminya, kecuali akan diampuni kesalahan-kesalahannya.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil. Karena dalam beberapa hadits yang serupa, kafarah dosa dari beberapa amal adalah untuk dosa-dosa kecil. Sedang dosa-dosa besar akan diampuni dengan taubat atau hukuman (had).

 

Pilih Tambah Anak

Kalau demikian besarnya pahala wanita yang hamil, tentu seorang wanita akan lebih mantap memilih tambah anak, bukan karena takut dimadu tapi karena keinginannya yang besar untuk mendapatkan semua pahala yang sudah dijanjikan oleh Nabi SAW. Nabi SAW pun teramat bangga kepada umatnya yang memiliki keturunan yang banyak.

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Nikahilah wanita yang penuh cinta dan (mampu) memiliki banyak keturunan, karena aku akan membanggakan jumlah kalian di antara nabi-nabi pada hari Kiamat. ” (HR. Abu Daud)

Jadi, sudah menjadi sebuah kemestian bagi sebuah keluarga muslim adanya keinginan besar memiliki banyak keturunan, itu semua lebih karena didasari oleh adanya kesadaran untuk mengikuti anjuran Nabi SAW. Asalkan dengan niat yang lurus, insyaallah akan dimudahkan rezeki dan urusannya. Wallahu A’lam Bisshawab

 

Oleh: Redaksi/Wanita 

 

Ujian Berat yang Dianggap Ringan

Seorang shahabiyah (sahabat wanita) mulia, yang bapaknya, saudaranya dan suaminya terbunuh di Perang Uhud tatkala dikabari berita duka tersebut justru ia malah bertanya bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dikatakan kepadanya, “Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) baik-baik saja seperti yang engkau harapkan.” Dia menjawab, “Biarkan aku melihatnya.” Tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia mengatakan, “Sungguh semua musibah terasa ringan wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali bila hal itu menimpamu.” (Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 2:99).

Setiap istri memiliki ujian masing-masing dalam keluarga. Ada seorang wanita yang takdir Allah mempertemukannya dengan lelaki tak berharta. Hidup pun harus ia jalani dengan apa adanya. Rumah, dari tahun ke tahun harus berpindah dari kontrakan ke kontrakan berikutnya. Kendaraan, yang dipunya hanya motor butut  satu-satunya di mana sang istri harus rela duduk di bagian paling belakang karena berbagi dengan anak-anaknya. Duduk di atas bagian besi, itu pun kadang hanya separuh bagian yang bisa diduduki. Belanja harian harus benar-benar disiplin, tidak boleh melebihi kuota yang cuma beberapa rupiah. Jika harga cabai melambung, misalnya, berarti menu harian bisa dipastikan minus rasa pedas. Sekolah, ingin hati menyekolahkan anak di sekolah Islami, namun apa daya, sekolah islami favorit biasanya tarifnya tinggi, tidak bersahabat dengan kantong suami.

Di keluarga lain, ada istri yang hidup berkecukupan tapi diuji dengan minimnya kesehatan. Terkena diabates misalnya. Makan terbatasi, aktifitas harus selalu dalam kendali, dan hidup terasa sempit karena banyak hal yang harus dihindari. Atau terkena kanker rahim yang mengakibatkan peluang memiliki anak hilang selamanya. Tentu bukan hal ringan membayangkan kehidupan berkeluarga tanpa satu pun momongan. Atau justru sang suamilah yang sakit hingga istri yang seharusnya merupakan tulang rusuk harus menjadi tulang punggung keluarga.

Ada pula istri yang ujiannya adalah sang mertua. Tinggal seatap dengan mertua, bahkan meskipun sang mertua kaya harta, biasanya tetap seperti hidup dalam penjara. Keluarga adalah rumah tempat segala privasi mendapatkan tempatnya. Ada banyak sekali perkara-perkara yang hanya layak dan baik untuk diketahui oleh pasangan saja. Keberadaan orang lain di dalam rumah, sedekat apapun hubungannya, tentu akan menghilangkan privasi ini. Dan pada level tertentu, hal itu bisa membuat istri jadi frustrasi.

Beragam dan setiap istri telah mendapat jatah ujiannya sendiri-sendiri. Bentuk ujiannya tidak akan beralih dari paket-paket ujian hidup yang terangkum dalam ayat 155 surat al Baqarah: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Nah, lantas apa hubungannya ujian-ujian ini dengan kisah shahabiyah tersebut di atas? Kita lihat bagaimana sikap sang shahabiyah menghadapi ujian dan musibah yang menimpa; kehilangan ayah, saudara bahkan suaminya. Dalam timbangannya, ujian itu terasa ringan karena tidak menimpa agamanya. Rasulullah adalah representasi tunggal eksistensi Islam dan agama bagi semua orang. Keselamatan Beliau adalah keselamatan bagi Islam dan terluka atau bahkan terbunuhnya beliau adalah kematian bagi Islam, kecuali setelah syariat disempurnakan. Intinya, bagi seorang shahabiyah, apapun ujian yang menimpa, asal bukan menimpa agamanya, ujian itu tidak ada apa-apanya.

Ini soal pemetaan ujian diprioritas dalam menyikapinya. Selagi ujian tersebut bukan kategori ujian bagi agama, tak perlu terlalu mempermasalahkan. Tetap bersabar, berusaha untuk memperbaiki keadaan dan berdoa agar Allah berkenan meringankan. Namun jika ujian yang dihadapi adalah ujian bagi agamanya, sudah sewajarnya jika seseorang merasa gusar, merasa berat dan entah bagaimana caranya harus segera keluar darinya. Masalahnya, ujian yang menimpa dien (agama) seseorang ini sering tidak dianggap ujian, bahkan tidak sedikit yang menyangkanya sebagai kebaikan.

Seorang istri, meskipun mendapat suami berkecukupan, sehat sejahtera, punya rumah dan mobil pribadi tapi penghasilan suaminya mengandung riba, itu adalah musibah dalam agama. Inilah ujian berat yang sesungguhnya. Mengapa? Karena dengan riba adalah pangkal segala petaka. Dunianya boleh saja sejahtera tapi akhiratnya terancam binasa. Ujian seperti inilah yang seharusnya membuat seseorang selalu risau dan tidak bisa hidup tenang. Ujian ini berat karena sang istri harus segera memperingatkan suami dan memaksanya berganti profesi.

Atau, seorang isteri yang suaminya tak peduli dengan keshalihan pasangan dan keluarga dan malah membiarkan kemaksiatan memasuki rumahnya, ini juga musibah dalam agama. Sebanyak apapun hartanya, seromantis apapun hubungannya, seharmonis apapun rumah tangganya, hakikatnya, sang isteri tengah menghadapi ujian luar biasa. Rumahnya yang terlihat indah dan bersih,  di mata Allah jauh lebih buruk dari kuburan karena tak terdengar bacan al Quran. Tawa canda bahagia keluarga hanyalah awal sementara dari kesengsaraan tak terkira di akhirat sana.

Jadi, marilah kita petakan musibah yang kita hadapi dengan sudut pandang shahabiyah tadi. Jika yang menimpa adalah ujian-ujian duniawi; kurangnya harta, rumah yang jelek, rezeki yang mepet, hutang yang menggunung, penyakit yang tak kunjung sembuh atau mertua yang cerewet, anggaplah semua itu ujian ringan. Asalkan pribadi, suami dan keluarga masih senantiasa berusaha taat dalam syariat-Nya, insyaallah ujian itu hanyalah ujian ringan. Penyelesaiannya pun gampang; sabar dan berdoa. Insyaallah semua ada pahala dan semua ada akhir masanya. Namun jika musibah menimpa agama, sabar bukanlah pilihan karena seseorang harus segera keluar darinya. Harus segera menyelesaikannya sebelum ajal menjemputnya. Jika tidak, apalagi malah berdiam menikmatinya, bersiap-siaplah menghadapi kehidupan yang sengsara di alam baka. Bukankah ini lebih berat?.Wallahua’lam.

 

(Ust. Taufik Anwar)