Maksiat Yang Paling Menjijikan Permisalannya

Ghibah, gosip, isu, rumor atau apapun namanya, yang intinya adalah menggunjing orang lain adalah dosa besar atau al kabirah. Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam menukil salah satu pernyataan Imam al Qurthubi bahwa ghibah adalah dosa besar. Pendapat ini didukung oleh banyak dalil.

Diantara dalil tersebut adalah hadits dari Said bin Zaid, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (HR. Abu Daud, dishahihkan al Albani).

Dua perumpamaan yang sangat buruk, bahkan menjijikkan pun tak ayal melekat pada perbuatan tercela ini. Pertama Allah mengibaratkan ghibah dengan “memakan bangkai saudara sendiri” seperti dalam surat al Hujurat ayat 12. Kedua, Rasulullah SAW menyamakan ghibah dengan perumpamaan yang sama dan menambahkan bahwa saking kotornya, andai saja ghibah dicampur dengan air laut, niscaya, ghibah bisa mencemari samudra.

 

Ghibah Tetangga, Lebih Besar Dosanya

Dengan status buruk seperti diatas, apapun caranya, kita harus bisa menghindarkan diri dari berbuat ghibah. Selain itu kita juga harus pandai-pandai menjaga diri agar tidak ikut terseret ke dalam majelis ghibah. Lebih-lebih jika yang dighibah adalah tetangga sendiri. Dimana dosanya bisa jadi lebih besar. Sebab, Rasulullah SAW telah banyak mewasiatkan agar kita benar-benar menghormati dan menjaga tetangga agar tidak terkena gangguan kita dalam bentuk apapun. Rasulullah SAW bersabda, ” Jibril tak henti-hentinya mewasiatkan padaku agar berbuat baik pada tetangga, hingga aku mengira mereka akan mewarisi (warisanku).”  (Mutafaq ‘alaih).

 

Baca Juga: Jihad Setan Melawan Manusia

 

Memang, bisa jadi tetangga kita justru beruntung karena dosanya terkurangi. Namun tetap, perbuatan ghibah adalah haram dan termasuk menyakiti. Sebab, pelaku ghibah ikut andil dalam menyebarkan aibnya pada orang lain. Jika kemudian orang lain tersebut membenci atau merendahkan tetangga yang dighibah, maka ia juga terkena dampak dosanya.

Alasan ghibah karena ingin berbuat baik pada tetangga dengan mengurangi dosanya tanpa sepengetahuannya hanyalah persepsi konyol. Biasanya, hal itu datang dari orang-orang yang suka bermain dengan logika-logika terhadap ketentuan-ketentuan agama.

Dari sini kita juga bisa mengukur, bagaimana seandainya yang dighibah adalah para ulama dan orang-orang shalih? Tidakkah kemadharatannya akan jauh lebih besar?

 

Terlarang di Setiap Waktu dan Tempat

Dilihat dari segi objek yang dighibah, dosa ghibah bisa bertambah. Sekarang kita bisa mengkaji lebih dalam dari sisi waktu dan tempat yang dipakai untuk mengghibah. Kapan pun dan di manapun, ghibah tetaplah tercela. Tapi jika dilakukan pada waktu dan di tempat tertentu, bahayanya bisa jauh lebih besar. Misalnya ghibah pada saat shaum. Tak hanya berdosa, ghibah juga akan menggerogoti pahala shaum. Bahkan Ibnu Hazm menegaskan, dengan ghibah, shaum bisa batal. Yang lain, ghibah saat majelis ta’lim yang dilangsungkan di masjid. Majelis ilmu adalah majelis mulia yang dinaungi sayap malaikat. Lantas, balasan seperti apa yang akan kita terima jika kita nodai dengan ghibah? Masjid juga merupakan Baitullah. Tidakkah perbuatan kita mengghibah di masjid bisa dikatakan perbuatan yang sangat lancang karena melakukan dosa di rumah Allah?

Tak bisa dibayangkan jika semua perkara itu dikumpulkan. Mengghibah tetangga saat pengajian di masjid pada saat shaum. Na’udzubillah. Dosa ghibah saja sudah terlampau berat untuk dipikul apalagi ditambah semua itu.

 

Diperbolehkan Tapi Bukan Untuk Permainan

Imam an Nawawi menjelaskannya dalam Riyadhus Shalihin Hal. 525-526, bahwa ada jenis ghibah yang dibolehkan. Ghibah ini dilakukan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana perkara tersebut tidak bisa tuntas kecuali dengan ghibah.

Pertama,

orang yang teraniaya (mazhlum) boleh menceritakan kelakuan buruk saudaranya pada hakim atau yang berwenang memutuskan perkara. Tujkuannya untuk mendapatkan keadilan atau bantuan. Namun demikian memberi maaf dan menyembunyikan keburukan adalah lebih baik, dalam kondisi tertentu.

Kedua,

menceritakan kelakuan buruk atau maksiat seseorang pada orang lain dengan maksud meminta bantuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab setiap muslim harus bahu membahu dalam memberantas kebatilan.

Ketiga,

Istifta’ (meminta fatwa) tentang sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

Keempat,

ghibah dalam rangka memperingatkan saudara muslim dari beberapa cacat dan keburukan orang lain. Misalnya, di dalam ilmu hadits hal dikenal dengan al Jarh wa at Ta’dil. Yaitu ilmu tentang penilaian perawi hadits dari sisi positif dan negatifnya. Tentang ini ada pembahasan tersendiri. Contoh lain, misalnya, untuk memperingatkan agar saudara kita tidak tertipu saat membeli barang atau budak. Wallahua’lam, untuk saat ini mungkin bisa dianalogikan dengan mencari pembantu atau pegawai. Tujuannya agar terhindar dari keburukannya. Atau untuk memperingatkan seorang pelajar  agar tidak salah memilih guru yang ahli bid’ah dan fasik.Tentu dengan cara yang tidak berlebihan.

 

Baca Juga: Lima Do’a Penghuni Neraka

 

Kelima,

menceritakan perbuatan fasik yang dilakukan secara terang-terangan. Lebih-lebih jika si pelaku tak merasa terganggu, bahkan mungkin bangga, jika kefasikannya disebut-sebut. Misalnya peminum khamr, pezina, tukang palak dan lainnya. Al Hasan pernah ditanya, ” Apakah menyebut secara langsung orang yang melakukan kekejian secara terang-terangan disebut ghibah?” Jawabnya, ” Tidak, sebab ia tidak memiliki kehormatan diri.”

Keenam,

sekadar untuk menjelaskan karakter seseorang pada yang belum mengenal. Misalnya kita menyebut si A yang pincang, buta, tuli atau lainnya. Hal ini boleh jika tidak ditujukan untuk menghina atau menjadikannya bahan tertawaan.

Yang harus diingat bahwa, dispensasi yang diberikan dalam ghibah diatas haruslah dilakukan dengan proporsional, secukupnya dan melihat kondisi dan situasi yang pas. Kita juga harus hati-hati karena setan akan berusaha memanipulasi ghibah yang haram menjadi seakan-akan diperbolehkan.

 

Oleh: Redaksi/Muhasahah

 

Temanku Telah Menggunjingku

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ustadz, mohon pencerahannya; suatu kali seseorang datang kepada saya mengabarkan bahwa ada seorang teman saya menjelek-jelekkan saya di hadapan teman-teman saya yang lain. Terus terang ketika itu saya merasa sangat terganggu dan tidak nyaman. Rasa hormat saya kepada teman tersebut seketika berubah menjadi kebencian, dan itu seperti reflek begitu saja. Saya khawatir saya berdosa karenanya. Sebenarnya, bagaimana seharusnya saya menyikapi teman saya itu? Semoga Allah memberkahi Ustadz

 Binti Abdillah, Jawa Tengah

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Pertama yang harus dipahami bahwa keberadaan tiap-tiap manusia adalah sebagai ujian satu bagi yang lain. Sebagimana Anda diuji dengan keberadaan dan sikap orang lain, begitupun Anda juga menjadi ujian bagi orang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar?” (QS. al-Furqan: 20)

Maka yang paling penting adalah bagaimana kita merespon setiap ujian yang datang kepada kita dengan kesabaran. Selain berusaha menempuh usaha yang solutif, jangan sampai pahala luput dari kita sekecil apapun ujian datang menghampiri kita.

Terkait dengan kabar gunjingan yang disampaikan kepada Anda, berarti ada tiga pihak yang terlibat; orang yang menggunjing, pembawa kabar dan Anda sendiri. Untuk masing-masing pihak Anda bisa bersikap dengan sesuatu yang bermanfaat.

Baca Juga: Kencan di Dunia Maya

Bagi Anda sendiri, hadirkan bahwa gunjingan orang itu adalah terkuranginya dosa Anda atau berkurangnya dosa Anda. Maka hal ini menjadikan Anda lega, bahkan bisa saja Anda menyikapi sebagaimana Imam Hasan al-Bahsri berkata di saat menerima kabar yang semisal, “marhaban bil ajr, selamat datang pahala, tanpa berusaha ataupun beramal.” Yah, hanya diam otomatis dosa berkurang atau pahala bertambah, siapa yang tidak lega dengan kabar gembira ini?

Terhadap pelaku ghibah atau orang yang menjelek-jelekkan, Anda bisa mendoakan ia dan juga Anda, sebagaimana sikap Ali bin Husein rahimahullah saat diberi kabar serupa, “Jika memang apa yang ia katakan itu benar, semoga Allah memaafkan saya, dan jika apa yang dikatakannya salah, semoga Allah memaafkan ia.” Yah, memang butuh latihan dan mujahadah utuk bisa menata hati sedemikian rupa.

Adapun terhadap pembawa berita, maka Anda bisa memberi pelajaran kepadanya sebagaimana Imam asy-Syafi’i berkata kepada pembawa berita ghibah, “Apakah setan tidak mendapatkan perantara selain Anda?” Ini merupakan pelajaran beliau supaya pembawa berita sadar, apa yang dilakukannya itu justru akan menanamkan dendam, permusuhan atau setidaknya kegundahan bagi yang mendengar. Semestinya ia menegur pelaku ghibah dan bukan dengan menyampaikan gunjingan yang membuat si korban bersedih.

Semoga Allah memudahkan kita meraih setiap keutamaan, aamiin. (Abu Umar Abdillah/Jarhah/Konsultasi)

 

Tema Terkait: Pertemanan, Ghibah, Konsultasi

Ghibah Itu Boleh

Dalam islam, ghibah adalah perkara tercela yang sangat dilarang oleh Allah Ta’ala, hingga Ia memberi perumpamaan ghibah dengan memakan bangkai saudara sendiri. Bangkai haram dimakan dan ia sangat menjijikan, begitu juga ghibah, perbuatan ini haram dan sangat rendah nilainya. Hal tersebut digambarkan Allah dalam surat al-Hujurat ayat: 12,
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat: 12).

Ghibah sebagaimana disabdakan Nabi ‘Alaihisshalatu Wasallam adalah menyebut (membicarakan) orang lain yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang ia benci, meskipun benar adanya. Atau dalam bahasa ibu-ibu sosialita disebut dengan gosip ataupun ngerumpi atau bisa juga disebut menggunjing. Jadi bisa saja kita membicarakan sebuah fakta/kebenaran pada si A akan tetapi ia membencinya, maka perbuatan tersebut termasuk ghibah yang dilarang. Andai yang dibicarakan tidak benar, hal tersebut adalah fitnah yang dilarang juga.

Lalu apa maksud judul diatas?

Dalam sebuah Hadits Ibunda Aisyah meriwayatkan, Hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit. Dia tidak memberikan nafkah kepadaku yang cukup untuk diriku dan anakku kecuali kalau aku mengambil darinya yang dia tidak tahu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ambillah harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari).

Di Hadits lain Beliau berkata, “Seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau bersabda, “Izinkanlah dia, seburuk-buruk saudara satu kabilah.” Maka dia masuk, beliau melembutkan perkataan kepadanya. Aku (‘Aisyah) berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah berkata apa yang engkau katakana, lalu engkau berkata lembut kepadanya.” Beliau menjawab, “Hai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan/dijauhi manusia karena takut akan kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari).

Pada suatu kesempatan Nabi ditanya dengan menyebutkan cela seseorang yaitu Abu Sufyan, dan di kesempatan lain Nabi bersabda tentang kejelekan suatu kaum. Dalam hal tersebut, Nabi tidak berbuat ghibah, karena ada sebuah kebaikan yang akan beliau sampaikan. Demikian tidak semua membicarakan seseorang masuk dalam kategori ghibah yang dilarang. Adakalanya kita membicarakan seseorang justru ditekankan bahkan berpahala.

Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Diantara membicarakan orang lain yang boleh adalah ketika menjelaskan tentang kezhaliam seseorang pada diri kita. Meminta bantuan untuk mencegah kemungkaran seseorang, meminta fatwa seperti Shahabiyah Hindun diatas, menjelaskan keadaan calon mempelai bagi seseorang yang hendak nikah, menjelaskan kefasikan seseorang agar kaum muslimin tidak terpengaruh dan masih banyak lagi kebolehan ghibah selama ada maslahat yang lebih besar daripada keburukan orang yang dibicarakan.

Wal akhir, membicarakan keburukan seseorang adalah haram. Tidak diperkenankan seorang muslim membicarakan saudaranya dengan apa yang tidak ia sukai. Kecuali dalam beberapa hal yang tersebut diatas. Berupa hal-hal yang membawa pada kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Itulah ghibah yang diperbolehkan. Wallahu A’lam