Suami Memaksa Istri Bekerja

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, bagaimana sikap seorang istri yang memiliki suami tidak menunaikan kewajibannya? Selain jelek budi pekerti, dia juga memaksa istrinya untuk ikut mencari nafkah dengan alasan kebutuhan rumah tangga yang banyak. Salahkah si istri meminta cerai jika dia sudah tidak kuat lagi menjalani kehidupannya yang sangat berat ini?

Saya mengharap Ustadz berkenan memberi solusi. Jujur, saya melihat banyak wanita yang mengalami hal seperti ini. Saya ucapkan jazakumullah khairan atas nasihat Ustadz.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ummahat – Malang

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Ummahat yang dirahmati Allah, seorang suami diwajibkan untuk bermu’asyarah secara makruf kepada istri dan anak-anaknya. Memimpin, mengayomi, melindungi mereka dan memenuhi kebutuhan mereka secara pantas sesuai batas kemampuan terbaiknya. Kecuali ada alasan syar’i, mencari nafkah adalah salah satu kewajiban suami yang harus ditunaikannya. Itulah salah satu kelebihan suami yang membuatnya berhak memimpin dan mendapatkan ketaatan dan pelayanan dari anggota keluarganya.

Untuk itu, suami hendaklah memaksimalkan upayanya dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Bukan masalah besar kecilnya karena kadar nafkah disesuaikan dengan kemampuan suami, tetapi lebih kepada upaya maksimal yang dilakukannya. Tentu saja kecilnya nafkah karena kerja keras tidaklah sama dengan kadar yang sama namun dengan cara malas-malasan.

Ummahat yang shalihah, adapun jika dengan alasan tertentu seorang suami meminta istrinya untuk membantu mencari nafkah, hal ini boleh-boleh saja selagi istri ridha melakukannyadan tidak keluar dari aturan agama. Misalnya istri menjadi selalu diluar rumah, membuka hijab, bergaul dengan non mahram, melakukan pekerjaan terlarang, dan hal-hal lain semisalnya. Jika kondisi pekerjaan istri sampai melanggar aturan agama, wajib baginya untuk mendahulukan ketaatan kepada Allah daripada suaminya. Dan kalau nasihat istri kepada suaminya sudah tidak mempan lagi, hendaklah dia meminta pihak ke 3 untuk menasihati suaminya atau mencarikan solusi terbaik.

Dalam hal kesempitan nafkah dan penderitaan yang dijalaninya, bersabar bagi istri adalah pilihan terbaik seraya berharap Allah memudahkan semuanya. Namun, boleh baginya meminta berpisah jika sudah tidak lagi mampu menjalaninya dengan ikhlas dan sangat berat penderitaan yang dijalaninya. Wallahua’lam.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Nafkah Istri yang Diceraikan

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Ustadz yang dirahmati Allah, saya seorang istri yang telah bercerai dari suami. Apakah istri yang sudah bercerai dari suaminya seperti saya masih berhak menerima nafkah? Kalau masih, berapa besarannya dan sampai kapan si istri berhak menerimanya?

Atas jawabannya ana sampaikan Jazakumullah khaira jazaa’

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Hamba Allah, Solo

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh  

Hamba Allah yang shalihah, salah satu kewaiban suami terhadap istrinya adalah menafkahinya. Hal itu berlangsung selama mereka terikat dalam perkawinan yang sah. Adapun wanita yang sudah bercerai dari suaminya, maka dia masih berhak atas nafkah selama berstatus menjalani iddah raj’i (masih bisa rujuk dengan mantan suaminya) atau iddah hamil.

Allah berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At-Thalaq 6).

 

Baca Juga: Hukum Berkali-kali Bilang Cerai

 

Selama menjalani masa iddah raj’i, yaitu selama 3 kali suci bagi yang masih mengalami haidh, dan 3 bulan bagi yang sudah menopause, seorang wanita berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah materi sesuai dengan kemampuan suami. Semisal dengan apa yang dia dapatkan dari suaminya selama menjalani pernikahannya kemarin.

Tentang berapa besarnya jumlah nafkah yang harus diberikan suami,para ulama berbeda pendapat. Adapun wujudnya bisa berupa sembako, pakaian, obat-obatan, atau sejumlah uang sebagai penggantinya. Dalam hal ini syariat tidak menetapkan besarannya secara pasti, sehingga ia bisa berubah sesuai keadaan yang mengikutinya. Intinya pada kebutuhan istri secara makruf, kelaziman yang ada di masyarakat sesuai status sosial si suami, serta jangan sampai memberatkan suami dalam menunaikannya.

Allah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq 7).

Demikian yang bisa saya sampaikan dan semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.