Enam Kaidah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Inti dari ajaran Islam adalah mengajak ummat menuju kebaikan dan mencegah kemungkaran. Oleh karenanya, ummat ini layak menyandang gelar ummat terbaik selama menjalankan praktik amar ma’ruf nahi munkar.

Saat kemungkaran terjadi, maksiat dilakukan secara vulgar tanpa malu-malu lagi, seorang muslim tak boleh hanya diam membisu. Sebab, perbuatan maksiat apalagi yang terjadi secara berjamaah merupakan bukti penentangan atas perintah Allah. Oleh karenanya, setiap musim harus tergerak untuk mengubah kemungkaran itu menjadi kebaikan. Mulai dengan aksi fisik dengan tangan, lisan hingga batasan paling minim, dengan hati.

Namun, menghentikan kemungkaran tak boleh dilakukan secara membabi buta dan tanpa perhitungan tepat. Karena dalam hal ini objek yang dihadapai adalah manusia. Sehingga seeorang yang bermaksud mencegah kemungkaran dan menyebarkan kebaikan membutuhkan panduan ilmu agar tujuan yang diidamkan dapat terwujud. Oleh karena itu, sebagaimana yang tertulis dalam buku “Hukmu Tagyirul Munkar Bil Yad Liahadi Raiyyah.” karya syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi. Ada beberapa panduan bagi yang ingin mewujudkan kebaikan di tengah ummat dan ingin membasmi kemungkaran yang kian marak. Berikut ini beberapa pedoman yang seyogyanya diperhatikan oleh seorang muslim,

 

Enam Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar

Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh ulama dalam menjalankan aksi amar ma’ruf nahi munkar. Syarat tersebut merupakan intisari dari pemahaman para ulama terhadap nash-nash alquran dan hadits serta maksud dari tujuan syariat. Syarat-syarat terpenting dalam mengatasi kemungkaran yaitu:

Pertama: Pelaku tertangkap basah sedang melakukan kemungkaran

Perbuatan mungkar yang yang dilakukan secara vulgar dan diketahui oleh publik harus dicegah.

Imam Ghazali merinci perbuatan kemungkaran yang sering terjadi menjadi tiga kondisi:

  • Pertama: ketika perbuatan itu menjadi dilakukan secara terang-terangan. Kewajiban ini diserahkan kepada penguasa untuk segera menghukum dengan hukuman had atau ta’ir. Sebab, hukuman tersebut ditegakkan oleh institusi kekuasaan.
  • Kedua: perbuatan maksiat terjadi di hadapan seseorang. Seperti melihat pemabuk meminum minuman keras atau melihat pria memakai sutera. Maksiat tersebut wajib dihilangkan dengan cara apa saja selama tidak menimbulkan maksiat yang sama atayu lebih besar. Tindakan ini boleh dilakukan oleh setiap orang.
  • Ketiga: ketika bibit-bibit perbuatan mungkar baru dalam tahap awal. Sehingga muncul kemungkinan perbuatan itu akan dilakukan. Seperti melihat orang menata tempat untuk kegiatan maksiat. Yang dilakukan dalam keadaan ini adalah memberi nasehat kepada pelaku dengan cara yang ma’ruf dan tepat. Tidak boleh melakukan aksi fisik kecuali jika diketahui bahwa oang itu telah terbiasa melakukan kemungkaran.
Kedua, Kemungkaran terjadi secara vulgar tanpa ada upaya memata-matai

Memata-matai orang muslim hukumnya haram. Namun, larangan ini tidak berlaku jika untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرً‌ا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dari zaid bin wahab yang menceritakan bahwa seorang pria dibawa dibawa ke hadapan Ibnu Masud. Janggutnya masih meneteskan minuman keras. Abdullah bin masud pun mengatakan, “Kita dilarang melakukan tajassus. Namun, jika maksiat dilakukan secara terang-terangan, kita akan membabatnya.”

Larangan ini berlaku umum, kecuali dalam keterpaksaan ketika tindakan ini menjadu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Imam Al-Nawawi pernah mengutip Keterangan Imam Al-Mawardi. Seseorang yang ingin mencegah kemungkaran dilarang mencari-cari kemungkaran yang tersembunyi. Jika terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya perbuatan kemungkaran yang terjadi secara diam-diam maka terdapat dua kondisi:

Pertama, Kemungkaran akna menyebabkan musibah dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Contohnya yaitu pembunuhan atau perzinahan. Dalam kondisi tersebut dibolehkan untuk memata-matai demi menggagalkan kemungkaran tersebut.

Kedua, kondisi di mana tingkat kemungkaran tidak separah yang pertama. Sehingga tindakan tajassur tidak perlu dilakukan.

Ketiga, Mengikuti tahapan yang telah ditentukan oleh syariat dalam menghilangkan kemungkaran

Tahapan mengubah dan membasmi kemungkaran diawali dengan peringatan secara lisan. Memberi tahu pelaku bahwa ia telah melakukan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat. Jika kemungkaran terus berlanjut. Dilakukan tindakan atau aksi fisik dengan kekuatan.

Ibnu arabi berkata, “Mengubah kemungkaan dimulai dengan nasihat dan penjelasan. Jika tidak berhasil maka dengan tangan.”

Hal ini berdasarkan hadits nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Orang yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahkan dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubah dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Keempat, Hanya melakukan tindakan yang diperlukan

Jika suatu kemungkaran dapat dicegah dengan cara minimal, tidak boleh berlebihan dalam membasminya. Misalnya, kemungkaran dapat dicegah dengan tangan tanpa perlu memukul pelakunya. Maka, dilarang memukul atau menggunakan kekerasan lainnya.

Imam al-jashshash mengatakan, “jika kita yakin bahwa si pelaku dapat dicegah dengan tangan tanpa senjata. Maka dilarang menghilangkan nyawanya.”

Ibnu qayyim juga menjelaskan, jika seseorang melakukan tindakan berlebihan dalam aksi babat kemungkaran sehingga menyebabkan kerusakan benda atau aset, ia harus mengganti nilainya. Sebab kita diperintahkan hanya untuk mengubah kemungkaran. Kita dilarang memukul si pelaku selama dapat dicegah tanpa pemukulan. Selama kemungkaran dapat dicegah dengan sedikit mencederai pelaku, dilarang memukuli pelaku hingga terluka parah.

Kelima, Aksi tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar

Walaupun amar makruf nahi mungkar dapat membawa maslahat dan mencegah kerusakan, namun perlu melihat efek dan dampaknya. Jika mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang lebih besar, tidak boleh dilakukna. Bahkan bisa menjadi haram hukumnya jika kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari dampak positifnya.

Ibnu Taimiyah memberikan contoh untuk kaidah ini. Nabi Muhammad SAW membiarkan dan tidak menghukum Abdullah bin ubay dan para pemimpin munafik lainnya karena mereka memiliki basis masa yang besar. Menumpas kemungkaran dengan menghukum Abdullah bin Ubay berpotensi menyebabkan hilangnya kebaikan karena massa tersebut dapat marah dan tak terkendali. Demikian juga akan tersebar fitnah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh shahabatnya sendiri.

Contoh lainnya. Pada zaman penjajahan Tartar, beliau dan murid-muridnya melewati sekelompok tentara Tartar yang sedang mabuk-mabukan. Sebagian murid memarahi mereka. Tapi beliau mencegah dan mengatakan, “Allah mengharamkan khamer karena menghalangi orang dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Sedangkan khamer sekarang menghalangi mereka dari membunuh, menculik wanita dan merampok. Biarkan mereka meminum-minuman.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merinci aksi nahi mungkar menjadi 4 tingkatan:

  • Pertama, kemungkaran hilang dan berganti menjadi kebaikan.
  • Kedua, kemungkaran berkurang meski tidak bisa hilang seratus persen.
  • Ketiga, kemungkaran hilang, tapi muncul kemungkaran baru yang sama kadarnya.
  • Keempat, kemungkaran hilang, tapi  berganti dengan kemungkaran baru yang lebih besar.

Kedua tingkatan pertama disyariatkan. Tingkatan ketiga bergantung pada ijtihad. Sedangkan yang keempat haram dilakukan. Namun harus diingat bahwa kebaikan dan kerusakan dinilai menurut ukuran syar’I bukan menurut akal dan hawa nafsu.

Keenam, Orang awam tidak diperingatkan kecuali dalam pelanggaran yang sudah jelas dan tidak memerlukan kedalaman ilmu dan ijtihad

Imam an-Nawawi mengatakan, orang yang berusaha mengajarkan yang makruf dan mencegah kemungkaran harus memahami apa itu kebaikan dan kemungkaran. Jika dalam hal ushul atau pokok seperti perbuatan wajib dan haram yang jelas dan diketahui oleh banyak orang. Seperti, shalat, shaum, zina dan khamer semua orang Islam boleh terlibat di dalamnya. Namun jika termasuk hal-hal spesifik yang sulit dan tidak dipahami oleh orang awam, maka mereka tidak boleh ikut campur dalam masalah tersebut. Karena hanya ulama yang kapabel dalam membahas hal tersebut.

Syarat ini berlaku karena orang yang belum tahu terkadang mengajak kepada kemungkaran dan melarang perbuatan baik akibat ketidaktahuannya. Allah berfirman:

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf: 108)

Inilah syarat-syarat penting yang harus diperhatikan dalam mencegah kemungkaran dengan tangan. Syarat ini berlaku kepada siapa saja, mulai dari orang awam hingga ulama. Dari individu hingga kelompok atau penguasa. Syarat di atas tidak khusus dalam aksi nahi mungkar dengan tangan, tetapi tetap harus terpenuhi ketika mengubah kemungkaran dengan lisan.

 

Oleh: Redaksi/Biah/Sekitar Kita

Urus Saja Dirimu Sendiri!

Menjadi perkara yang maklum dalam Islam tentang kewajiban mengajak yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, membenarkan yang benar dan membathilkan yang bathil. Namun banyak kasus di mana orang-orang yang mencegah kemungkaran  menjadi salah tingkah saat menghadapi respon yang tidak menyenangkan dari orang yang didakwahi. Seperti ucapan, “Urus saja dirimu sendiri!”

Inilah respon yang sering membuat para da’i tercekat, terdiam seketika saat berusaha meluruskan kesalahan orang lain atau mengajak saudaranya muslim untuk melaksanakan perkara kebaikan. Kadang kalimat ini keluar langsung dari obyek dakwah, dan kadang pula muncul dari orang lain yang merasa risih dengan dakwah kita. Atau justru kita pernah merespon dengan ungkapan itu saat di tegur oleh saudara kita yang muslim.

Ucapan yang Dibenci Allah

Selayaknya ungkapan itu tidak muncul dari lisan seorang muslim siapapun dia. Karena sesama muslim itu saudara, dan di antara hak bersaudara adalah saling menasehati. Setiap saudara kita punya hak atas nasehat dari kita. Begitu pula kita, punya hak atas nasehat dari saudara-saudara kita. Sedangkan ungkapan ini adalah respon untuk berkelit dari nasihat dan berpotensi memangkas hak persaudaraan. Itulah di antara hikmah kenapa Allah sangat membenci ungkapan tersebut sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

وَإِنَّ أَبْغَضَ اْلكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ اتَّقِ اللهَ فَيَقُوْلُ عَلَيْكَ نَفْسَكَ

“Kalimat yang paling dibenci oleh Allah, seseorang menasehati temannya, ’Bertaqwalah kepada Allah’, tapi ia menjawab,”Urus saja dirimu sendiri.” (HR. Baihaqi dan Nasa’i).

Setidak suka apapun kita atas nasehat yang teman atau saudara kita sampaikan kepada kita, sekuat mungkin tahan mulut untuk tidak berkomentar yang menunjukkan kesombongan. Jangan sampai keluar dari mulut kita kalimat “Urus saja dirimu sendiri” atau yang serupa dan senada dengan itu.

Baca Juga: Siapa Yang Intoleran? 

Lebih utama lagi jika kita berlapang dada menerima nasihat baik dengan kalimat sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat.

Jawaban “urus saja dirimu sendiri!” adalah respon yang menunjukkan rasa tidak suka terhadap nasihat dan kesombongannya dengan menampik nasihat. Dan sikap ini menjadi cirikhas orang-orang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. al-Baqarah: 206)

Kalimat “dikatakan”, tidak disebut secara definitif siapa yang berkata atau memberi nasihat menunjukkan tuntutan siapapun yang memberi nasihat, kita tidak boleh merespon dengan sombong dan merendahkan orang yang mengingatkan atau memberi nasihat kebaikan. Karena sikap ini menyerupai orang munafik dan pelakunya terancam dengan neraka, wal iyadzu billah.

Maka sebagai obyek yang ditegur, diingatkan atau dinasihati pantang bagi kita mengucapkan kalimat itu.

Adapun jika kita sebagai orang yang mengingatkan atau menyampaikan dakwah, janganlah berkecil hati dan jangan pula berhenti dari memberi nasihat saudaranya saat diperlukan, karena agama itu adalah nasihat. Tentu Dengan terus berusaha memperbaiki diri sendiri, juga memperbaiki cara menasihati agar ajakan bisa diterima dengan ijin Allah.

Ada yang berdiam diri atas kemungkaran yang dilakukan saudaranya, dengan alasan yang penting dirinya tidak ikut-ikut. Ia merasa sikapnya ini sebagai sikap yang dewasa dan toleran, lalu menyandarkan pada firman Allah Ta’ala,

Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (QS. al-Maidah: 105)

Ayat ini kemudian dimaknai agar mengurus diri sendiri, tak perlu merisaukan kemungkaran yang dilakukan orang lain. Pemaknaan ini disebut oleh Abu Bakar ash-Shidiq dengan menyalahgunakan ayat atau meletakkan ayat tidak pada tempatnya.

Baca Juga: Islam Nusantara dan Islam Arab 

Ayat ini sama sekali tidak mengandung pengertian yang membolehkan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah bahwa suatu kali Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq berkhutbah; ia memulainya dengan memanjatkan puja dan puji serta syukur kepada Allah, kemudian menyerukan kepada orang-orang, “Hai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, ”( yaitu firman-Nya) Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk, “ tetapi kalian meletakkan pengertiannya tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya aku (Abu Bakar radhiyallahu anhu) pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya manusia itu apabila melihat kemunkaran; lalu mereka tidak mencegahnya, maka hampir-hampir Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada mereka semua.”

Penempatan yang Benar

Lantas bagimana penempatan ayat yang benar? Allah berfirman, memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar mereka memperbaiki diri dan mengerjakan kebaikan dengan segala kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki. Allah memerintahkan agar mereka berbuat demikian seraya memberitahukan kepada mereka bahwa “barang siapa yang memperbaiki urusannya, maka kerusakan yang dilakukan orang lain tidak akan membahayakannya, baik dia sebagai kerabatnya ataupun orang yang jauh darinya.”

Termasuk kebaikan adalah mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Selagi seseorang beruasaha berbuat baik, lalu juga mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, maka keburukan orang yang tidak mau mengikuti ajakan yang ma’ruf dan tidak pula berhenti dari kemungkaran setelah diberi peringatan tidak akan mengenai orang yang menyeru. Tugasnya adalah menyeru semampunya, sedangkan hidayah adalah kekuasaan Allah, wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar A/Syubhat/Kajian

 

Tema Terkait: Syubhat, Amar Ma’ruf, Kemungkaran 

Antara Menutup Aib dan Nahi Mungkar

Yang seharusnya dilakukan seorang muslim adalah menutupi aib saudaranya, bukan malah mengekspos dan menyebarkannya. Para ulama menyatakan, menyebarkan aib adalah dosa besar. Ada kecaman keras dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dalam hal ini. Beliau bersabda,

“Wahai orang-orang yang baru beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan jangan pula menyelidiki aib mereka, barangsiapa yang suka menyelidiki aib mereka, Allah akan menyelidiki aibnya, dan jika sudah seperti itu, Allah akan membeberkan aibnya sampai dirumahnya sendiri.” (HR. Abu Daud).

Hanya saja, aib wujudnya bisa bermacam-macam. Perbuatan dosa yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga merupakan aib yang tentunya yang pastinya pelakunya tidak ingin hal itu disebarluaskan. Lantas, bagaimana dengan perintah amar makruf nahi mungkar? Bukankah saat melihat saudara kita berbuat dosa kita wajib mengingatkan? Dan bukankah hukuman had seperti zina, mencuri dan lainnya justru dipertontonkan kepada khalayak?

Di sini ada beberapa persoalan yang perlu didudukkan. Aib atau sesuatu yang memalukan yang ada pada seseorang bisa dibagi menjadi dua kategori:

Pertama, aib yang sifatnya khalqiyah. Yaitu aib atau hal-hal memalukan yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan maksiat. Misalnya cacat di salah satu organ tubuh, penyakit yang membuat si sakit malu jika diketahui orang seperti lemah syahwat atau bahkan impotensi, ketidak suburan dan hal semisal.

Aib pribadi seperti ini adalah aurat yang harus dijaga. Menyebarkannya, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan adalah dosa besar menurut sebagian ulama. Khusus aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti menghina Penciptanya. Demikian sebagaimana dijelaskan Imam al Ghazali dalam Ihya’ juz II/342, versi asy Syamilah.

Atau bukan aib tapi urusan pribadi yang bukan maksiat dan tidak ingin diketahui orang lain seperti masalah keluarga, hutang dan lainnya. Atau sebuah rahasia yang disimpan dan tidak ingin diketahui orang lain.

Menyebarkan rahasia orang lain (ifsa’us sirri) merupakan perbuatan tercela. Imam al Jahidz mengatakan, membocorkan rahasia itu merupakan paduan antara sikap bodoh dan khianat. Bukanlah orang terhormat yang tidak mampu menjaga lisan dan melapangkan dada untuk menjaga apa yang seharusnya ditutupi. (Tahdzibul  Akhlaq, hal.30).

Meskipun begitu, Imam al Izz bin Abdis Salam dalam Syajartul Ma’arif wal Ahwal, hal. 389 menjelaskan,kecuali jika ada manfaat yang benar-benar bisa dibuktikan dengan membocorkan rahasia, maka hal itu boleh. Seperti Nabi Yusuf yang membeberkan aib isteri raja bahwa wanita itulah yang menggoda Yusuf. Hal itu dilakukan untuk membela dirinya.

Kedua, aib berupa perbuatan maksiat. Dari segi caranya, maksiat dapat diIakukan secara sembunyi-sembunyi atau dilakukan terang-terangan.

Maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga terbagi menjadi dua; yang hanya merusak hubungannya secara pribadi dengan Allah seperti minum khamr, berzina, sengaja membatalkan shaum dan lainnya. Kedua yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain seperti mencuri atau korupsi. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena pada dasarnya maksiat memang perbuatan yang memalukan.

Jika kita memergoki saudara kita melakukan maksiat jenis pertama pada paragraf di atas, hendaknya kita tidak menyebarluaskannya. Karena bagaimanapun si pelaku masih merasa malu dengan kemaksiatannya. Namun begitu, bukan berarti membiarkan begitu saja dan menihilkan amar makruf nahi mungkar. Nasihat dan peringatan tetap harus diberikan. Tentunya dengan cara yang baik, secara rahasia dan tidak dengan mengumbar keburukannya kepada orang banyak. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesiapa yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaan berarti dia benar-benar menasehatinya dan memperbaikinya. Sedang yang menasehati tanpa menjaga kerahasiaan, berarti telah mengekspos aibnya  dan mengkhianatinya. (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi, 1/131). Hal serupa dinyatakan al Fudhail bin Iyadh, “Orang yang beriman itu tetap berusaha menjaga rahasia aib dan menasehati, sedang pendosa itu mengumbar aib orang dan mempermalukannya.” (Jami’ul ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, keterangan hadits ke-7).

Ini jika kita memergoki. Adapun jika baru melihat gelagat atau hanya mendengar gosip, kita dilarang menyelidiki maksiat jenis ini. Larangan ini termuat dalam firman Allah, “ Dan janganlah kalian melakukan tajassus…” (QS. Al Hujurat: 12) juga dalam hadits Nabi tentang larangan tajassus. Tajassus adalah sengaja menyelidiki sesama muslim tentang perbuatan maksiat yang dilakukannya atau mencari-cari aibnya. Hal ini haram dan rawan menimbulkan permusuhan. Dalam tafsir ayat ini, Imam as Suyuti menyebutkan kisah dari Abdurrahman bi Auf saat berjaga malam bersama Umar bin Khattab. Ketika mereka berkeliling, terlihat ada rumah yang masih lampunya masih menyala terang. Mereka pun mendekatinya. Rumah itu terbuka dan di dalamnya terdengar suara-suara keras dan gaduh. Umar bertanya, “Rumah siapa ini?” Abdurrahman menjawab, “Rumah Rabiah bin Umayah bin Khalaf dan mereka sedang minum khamr, apa yang akan anda lakukan?” Umar menjawab, “Menurutku kita telah melanggar larangan Allah agar jangan memata-matai.” Lalu mereka pun pergi. (ad Durrul Mantsur 9/257).

Adapun maksiat yang merugikan orang lain, apalagi orang banyak seperti mencuri dan korupsi tentunya boleh untuk diselidiki dan diungkap. Sangat berbahaya jika hal seperti ini dibiarkan. Lebih dari itu, dosa ini pada akhirnya juga akan diketahui khalayak karena hukumannya adalah potong tangan yang disaksikan kaum muslimin. Berbeda dengan zina, jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi tidak diperbolehkan memata-matai agar dapat menghukumnya, menurut keumuman dalil di atas.

Jenis maksiat kedua adalah maksiat yang dilakukan secara terang-terangan. Ini mencakup seluruh jenis maksiat. Dalam hal ini sudah tidak berlaku lagi kaidah menutupi aib, menjaga rahasia dan nasihat secara sembunyi-sembunyi demi menjaga martabat. Bahkan menggunjingnya pun tidak lagi berdosa. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

“Setiap umatku dimaafkan kecuali yang melakukan dosa secara terang-terangan (mujaharah). Dan termasuk mujaharah itu adalah seseorang melakukan dosa di malam hari, lalu di pagi hari Allah telah menutupinya, tapi dia malah mengatakan “Wahai Fulan aku tadi malam melakukan ini dan ini.” Di malam hari Rabbnya telah menutupi dosanya lalu paginya dia malah menyingkap tirai Allah yang ditutupkan padanya.” (HR. Bukhari)

Imam ath Thayibi mengatakan, “Setiap umatku tidak boleh digunjing kecuali orang yang melakukan maksiat terang-terangan.” Imam an Nawawi menjelsakan, “Sesiapa yang terangan-terangan menampakkan kefasikan atau bidah, apa yang dilakukannya boleh diperbincangkan. (disebutkan dalam al Fath, XVII/238). Wallahua’lam. (T. anwar)