Enam Kaidah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Inti dari ajaran Islam adalah mengajak ummat menuju kebaikan dan mencegah kemungkaran. Oleh karenanya, ummat ini layak menyandang gelar ummat terbaik selama menjalankan praktik amar ma’ruf nahi munkar.

Saat kemungkaran terjadi, maksiat dilakukan secara vulgar tanpa malu-malu lagi, seorang muslim tak boleh hanya diam membisu. Sebab, perbuatan maksiat apalagi yang terjadi secara berjamaah merupakan bukti penentangan atas perintah Allah. Oleh karenanya, setiap musim harus tergerak untuk mengubah kemungkaran itu menjadi kebaikan. Mulai dengan aksi fisik dengan tangan, lisan hingga batasan paling minim, dengan hati.

Namun, menghentikan kemungkaran tak boleh dilakukan secara membabi buta dan tanpa perhitungan tepat. Karena dalam hal ini objek yang dihadapai adalah manusia. Sehingga seeorang yang bermaksud mencegah kemungkaran dan menyebarkan kebaikan membutuhkan panduan ilmu agar tujuan yang diidamkan dapat terwujud. Oleh karena itu, sebagaimana yang tertulis dalam buku “Hukmu Tagyirul Munkar Bil Yad Liahadi Raiyyah.” karya syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi. Ada beberapa panduan bagi yang ingin mewujudkan kebaikan di tengah ummat dan ingin membasmi kemungkaran yang kian marak. Berikut ini beberapa pedoman yang seyogyanya diperhatikan oleh seorang muslim,

 

Enam Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar

Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh ulama dalam menjalankan aksi amar ma’ruf nahi munkar. Syarat tersebut merupakan intisari dari pemahaman para ulama terhadap nash-nash alquran dan hadits serta maksud dari tujuan syariat. Syarat-syarat terpenting dalam mengatasi kemungkaran yaitu:

Pertama: Pelaku tertangkap basah sedang melakukan kemungkaran

Perbuatan mungkar yang yang dilakukan secara vulgar dan diketahui oleh publik harus dicegah.

Imam Ghazali merinci perbuatan kemungkaran yang sering terjadi menjadi tiga kondisi:

  • Pertama: ketika perbuatan itu menjadi dilakukan secara terang-terangan. Kewajiban ini diserahkan kepada penguasa untuk segera menghukum dengan hukuman had atau ta’ir. Sebab, hukuman tersebut ditegakkan oleh institusi kekuasaan.
  • Kedua: perbuatan maksiat terjadi di hadapan seseorang. Seperti melihat pemabuk meminum minuman keras atau melihat pria memakai sutera. Maksiat tersebut wajib dihilangkan dengan cara apa saja selama tidak menimbulkan maksiat yang sama atayu lebih besar. Tindakan ini boleh dilakukan oleh setiap orang.
  • Ketiga: ketika bibit-bibit perbuatan mungkar baru dalam tahap awal. Sehingga muncul kemungkinan perbuatan itu akan dilakukan. Seperti melihat orang menata tempat untuk kegiatan maksiat. Yang dilakukan dalam keadaan ini adalah memberi nasehat kepada pelaku dengan cara yang ma’ruf dan tepat. Tidak boleh melakukan aksi fisik kecuali jika diketahui bahwa oang itu telah terbiasa melakukan kemungkaran.
Kedua, Kemungkaran terjadi secara vulgar tanpa ada upaya memata-matai

Memata-matai orang muslim hukumnya haram. Namun, larangan ini tidak berlaku jika untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرً‌ا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dari zaid bin wahab yang menceritakan bahwa seorang pria dibawa dibawa ke hadapan Ibnu Masud. Janggutnya masih meneteskan minuman keras. Abdullah bin masud pun mengatakan, “Kita dilarang melakukan tajassus. Namun, jika maksiat dilakukan secara terang-terangan, kita akan membabatnya.”

Larangan ini berlaku umum, kecuali dalam keterpaksaan ketika tindakan ini menjadu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Imam Al-Nawawi pernah mengutip Keterangan Imam Al-Mawardi. Seseorang yang ingin mencegah kemungkaran dilarang mencari-cari kemungkaran yang tersembunyi. Jika terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya perbuatan kemungkaran yang terjadi secara diam-diam maka terdapat dua kondisi:

Pertama, Kemungkaran akna menyebabkan musibah dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Contohnya yaitu pembunuhan atau perzinahan. Dalam kondisi tersebut dibolehkan untuk memata-matai demi menggagalkan kemungkaran tersebut.

Kedua, kondisi di mana tingkat kemungkaran tidak separah yang pertama. Sehingga tindakan tajassur tidak perlu dilakukan.

Ketiga, Mengikuti tahapan yang telah ditentukan oleh syariat dalam menghilangkan kemungkaran

Tahapan mengubah dan membasmi kemungkaran diawali dengan peringatan secara lisan. Memberi tahu pelaku bahwa ia telah melakukan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat. Jika kemungkaran terus berlanjut. Dilakukan tindakan atau aksi fisik dengan kekuatan.

Ibnu arabi berkata, “Mengubah kemungkaan dimulai dengan nasihat dan penjelasan. Jika tidak berhasil maka dengan tangan.”

Hal ini berdasarkan hadits nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Orang yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahkan dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubah dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Keempat, Hanya melakukan tindakan yang diperlukan

Jika suatu kemungkaran dapat dicegah dengan cara minimal, tidak boleh berlebihan dalam membasminya. Misalnya, kemungkaran dapat dicegah dengan tangan tanpa perlu memukul pelakunya. Maka, dilarang memukul atau menggunakan kekerasan lainnya.

Imam al-jashshash mengatakan, “jika kita yakin bahwa si pelaku dapat dicegah dengan tangan tanpa senjata. Maka dilarang menghilangkan nyawanya.”

Ibnu qayyim juga menjelaskan, jika seseorang melakukan tindakan berlebihan dalam aksi babat kemungkaran sehingga menyebabkan kerusakan benda atau aset, ia harus mengganti nilainya. Sebab kita diperintahkan hanya untuk mengubah kemungkaran. Kita dilarang memukul si pelaku selama dapat dicegah tanpa pemukulan. Selama kemungkaran dapat dicegah dengan sedikit mencederai pelaku, dilarang memukuli pelaku hingga terluka parah.

Kelima, Aksi tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar

Walaupun amar makruf nahi mungkar dapat membawa maslahat dan mencegah kerusakan, namun perlu melihat efek dan dampaknya. Jika mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang lebih besar, tidak boleh dilakukna. Bahkan bisa menjadi haram hukumnya jika kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari dampak positifnya.

Ibnu Taimiyah memberikan contoh untuk kaidah ini. Nabi Muhammad SAW membiarkan dan tidak menghukum Abdullah bin ubay dan para pemimpin munafik lainnya karena mereka memiliki basis masa yang besar. Menumpas kemungkaran dengan menghukum Abdullah bin Ubay berpotensi menyebabkan hilangnya kebaikan karena massa tersebut dapat marah dan tak terkendali. Demikian juga akan tersebar fitnah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh shahabatnya sendiri.

Contoh lainnya. Pada zaman penjajahan Tartar, beliau dan murid-muridnya melewati sekelompok tentara Tartar yang sedang mabuk-mabukan. Sebagian murid memarahi mereka. Tapi beliau mencegah dan mengatakan, “Allah mengharamkan khamer karena menghalangi orang dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Sedangkan khamer sekarang menghalangi mereka dari membunuh, menculik wanita dan merampok. Biarkan mereka meminum-minuman.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merinci aksi nahi mungkar menjadi 4 tingkatan:

  • Pertama, kemungkaran hilang dan berganti menjadi kebaikan.
  • Kedua, kemungkaran berkurang meski tidak bisa hilang seratus persen.
  • Ketiga, kemungkaran hilang, tapi muncul kemungkaran baru yang sama kadarnya.
  • Keempat, kemungkaran hilang, tapi  berganti dengan kemungkaran baru yang lebih besar.

Kedua tingkatan pertama disyariatkan. Tingkatan ketiga bergantung pada ijtihad. Sedangkan yang keempat haram dilakukan. Namun harus diingat bahwa kebaikan dan kerusakan dinilai menurut ukuran syar’I bukan menurut akal dan hawa nafsu.

Keenam, Orang awam tidak diperingatkan kecuali dalam pelanggaran yang sudah jelas dan tidak memerlukan kedalaman ilmu dan ijtihad

Imam an-Nawawi mengatakan, orang yang berusaha mengajarkan yang makruf dan mencegah kemungkaran harus memahami apa itu kebaikan dan kemungkaran. Jika dalam hal ushul atau pokok seperti perbuatan wajib dan haram yang jelas dan diketahui oleh banyak orang. Seperti, shalat, shaum, zina dan khamer semua orang Islam boleh terlibat di dalamnya. Namun jika termasuk hal-hal spesifik yang sulit dan tidak dipahami oleh orang awam, maka mereka tidak boleh ikut campur dalam masalah tersebut. Karena hanya ulama yang kapabel dalam membahas hal tersebut.

Syarat ini berlaku karena orang yang belum tahu terkadang mengajak kepada kemungkaran dan melarang perbuatan baik akibat ketidaktahuannya. Allah berfirman:

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf: 108)

Inilah syarat-syarat penting yang harus diperhatikan dalam mencegah kemungkaran dengan tangan. Syarat ini berlaku kepada siapa saja, mulai dari orang awam hingga ulama. Dari individu hingga kelompok atau penguasa. Syarat di atas tidak khusus dalam aksi nahi mungkar dengan tangan, tetapi tetap harus terpenuhi ketika mengubah kemungkaran dengan lisan.

 

Oleh: Redaksi/Biah/Sekitar Kita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *