Seni Menjawab Keingintahuan Anak

 

“Ma, katanya Allah Maha Melihat. Tapi mengapa Allah menyuruh malaikat untuk mencatat dan melaporkan  semua amal manusia? Bukankah Allah bisa melakukannya sendiri?”

 

#senyum

Pernahkah Bunda menghadapi anak dengan pertanyaan seperti ini? Inilah sebuah keingintahuan yang terlontar dari mulut seorang balita. Mengapa begini atau mengapa begitu. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun yang pasti, setiap orang tua maupun para pendidik yang berinteraksi aktif dengan anak, harus selalu siap menjawab semua pertanyaan mereka.

Pertanyaan anak-anak jaman sekarang, memang jauh berbeda dibanding masa kecil kita dulu. Media informasi yang diwakili oleh gadget dan televisi, telah banyak mereformasi cara berpikir setiap orang, termasuk anak-anak. Terlebih gaya pendidikan masa kini telah menjadikan mereka untuk bebas bertanya kepada orang-orang terdekatnya.

Namun bila kita perhatikan, pertanyaan yang muncul biasanya tidak jauh dari apa yang mereka lihat,amati dan rasakan. Ya, semua didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar terhadap segala sesuatu.

Bekal rasa ingin tahu ini memang telah ada sejak manusia lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan dan bicara. Selanjutnya rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak seseorang. Ketika seorang bunda berkata “Tidak boleh!” Reflek mereka akan berkilah, “Memangnya kenapa kok tidak boleh?”

Baca Juga: Parenting Islami; Mama Galak, Kasihan si Anak

Sayangnya, tak sedikit orang tua yang memberikan intervensi negative sehingga naluri penting ini terkubur begitu saja. Sebagian mereka terkadang merasa tidak perlu menjawab pertanyaan anak yang terdengar konyol, lugu dan dibuat-buat. Bahkan menganggapnya tak berarti dan hanya membuang waktu. Tahukah bunda, hal membuat anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahu. Ketika pertanyaan-pertanyaan mereka tidak terjawab dengan baik, mereka menjadi malas bertanya, apatis, dan tidak peduli dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tentu saja, ini sangat tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak kelak.

Kita mungkin mengira, balita masih terlalu kecil dan tidak mengerti apa-apa tentang semesta kehidupannya. Padahal salah besar kalau kita menganggap seperti itu. Mereka justru memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari apa yang kita pikirkan. Dari sekian pertanyaan yang diajukan, pasti ada yang masuk dan direkam baik dalam otaknya. Mengapa? Karena otak mereka yang masih terus berkembang ini belum terpengaruh untuk memikirkan hal-hal komplek. Sehingga satu pertanyaan saja, bagi mereka ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka setiap jawaban atas pertanyaan yang diajukannya akan mengasah ketajaman otaknya.

 

TRIK MENJAWAB PERTANYAAN ANAK

 

  1. Sabar

Orang tua biasanya merasa tidak punya waktu mendengarkan dan menjawab semua pertanyaan anak karena sempitnya waktu bersama mereka. Seorang ibu yang sudah disibukkan oleh berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu pertanyaan yang diajukan mereka. Ujung-ujungnya, tak jarang si anak malah mendapat bentakan, “Sudah diam. Ibu capek!” Jadi, salut kepada orang tua yang bersedia duduk diam menghentikan pekerjaannya, demi menjawab setiap keingintahuan anak.


  1. Jawab dengan Benar

Jawablah setiap pertanyaan anak dengan bahasa mereka yang singkat dan mudah dimengerti. Jika tidak tahu jawaban yang benar, lebih baik katakan tidak tahu. Jadi jangan bersikap sok tahu. Alih-alih mendapat jawaban yang tepat, anak justru menelan informasi yang ternyata salah. Respon yang baik dari orang tua akan membantu proses berpikir dan pemahaman mereka kelak. Tidak masalah bila ternyata mereka belum puas dengan jawaban yang diberikan sehingga kemudian bertanya lagi, lagi dan lagi. Orang tualah yang kemudian dituntut mencari jawab dengan bertanya, membaca, dan sebagainya.


  1. Mengajak Anak Ikut Mencari Jawab atas Pertanyaan yang Sulit

Mengajak anak membuka buku bersama atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. “Yuuk… kita tanya ayah. Siapa tahu ayah lebih mengerti.” Dengan demikian si kecil akan belajar, bila kelak menghadapi masalah ia akan mencari orang yang bisa membantunya memecahkan masalah atau mencarinya di berbagai literatur.


  1. Adakalanya Tidak Langsung Dijawab.

Untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’, biarkan mereka berpikir dengan ikut mencari jawabnya. Maklumi jika jawabannya juga masih sangat sederhana karena kemampuan berpikirnya juga masih sangat terbatas. Khusus untuk pertanyaan ‘mengapa’ yang berhubungan dengan akidah, ibadah dan akhlak, giringlah mereka kepada perintah ittiba’ Rasul yang telah disyari’atkan.

 

Jadi, biarkan anak-anak bertanya. Karena itu adalah bagian dari hak mereka. Sesungguhnya selama 24 jam penuh, kitalah yang bertanggungjawab atas titipan Allah ini. Ya, untuk meluruskan, memperbaiki kesalahan dan membiarkan mereka berbuat kebaikan. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

Parenting Islami: Mama Galak, Kasihan Si Anak

Karakter ‘galak’ tidak semata dimiliki oleh ibu saja. ‘Galak’ bisa pula tersematkan menjadi sebuah hiasan sikap yang nggegirisi dalam pribadi seorang ayah. Namun, melihat kedekatan anak dengan ibu yang secara fitrah jauh lebih lekat ketimbang dengan ayahnya, terutama di masa kanak-kanak, maka fenomena ‘ibu galak’ patut diperbincangkan secara serius. Lebih serius lagi, kalau ternyata ayah dan ibu dalam sebuah keluarga sama-sama berkarakter galak dan keras dalam menyikapi perilaku anaknya. Sungguh, dentuman bentakan dan kegalakan yang terekspresikan dalam sikap ayah dan ibu, akan menjadi sebuah pupuk perdana yang akan menyemaikan watak keras dan nakal dalam diri anak. Dan, kerasnya anak maupun nakalnya anak merupakan bencana kehidupan bagi ayah-ibunya!

 

Dampak Buruk Sikap Galak

Banyak faktor yang menyebabkan ibu bersikap keras terhadap anaknya. Kondisi keluarga yang sedang dirundung masalah, atau suasana batin ibu yang tertekan oleh berbagai problema, sangat berpotensi memekarkan ‘sikap galak’ pada diri ibu. Sesekali bersikap keras mungkin masih bisa ditolerir, namun jika kegalakan itu hampir setiap hari ditembakkan kepada anaknya, maka jangan berharap kelembutan dan kesantunan budi akan menghiasi kepribadian anak Anda. Bukankah Rasulullah SAW menghasung kita untuk bersikap lembut dan kasih sayang? Beliau bersabda :

عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ

 “Hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, kasih sayang dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR. Bukhari)

Salah satu bentuk kegalakan yang sering dilakukan oleh orang tua adalah mengeluarkan kata-kata kasar dan ungkapan-ungkapan buruk yang ditujukan kepada si anak. Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya Siyasat Tarbawiyyah Khathi’ah mengutip beberapa contoh kalimat yang kerapkali diucapkan para orang tua –umumnya ketika sedang marah– dan disinyalir dapat melukai jiwa anak. Yakni ungkapan-ungkapan seperti, “Goblok!”, “Kamu tolol!”, “Diam, dungu!”, “Kemarilah, hai anak nakal!”, “Kamu seperti keledai, tidak paham juga!”, “Aku tidak merasa bangga kamu jadi anakku!”, “Kamu orang paling bodoh yang pernah saya lihat!”, “Mengapa kamu tidak seperti adikmu!”, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Ajarkan Muraqabah Pada Anak, Agar Selamat Dunia Akhirat

Kalimat-kalimat semacam itu, menurut Rasyid Dimas, sangat berbahaya bagi jiwa anak, dan hendaknya dihindari oleh para orang tua. Kalimat-kalimat seperti itu jika terlalu sering diucapkan akan menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan diitindas, sehingga menyebabkan luka di dalam jiwanya. Luka tersebut tidak akan hilang dalam waktu yang cepat, melainkan akan menempel kuat dan membuat parit yang dalam pada perasaan dan jiwanya. Dan itu akan menghambat proses perkembangan jiwa si anak dan membuatnya menjadi orang yang introvert (tertutup), murung, merasa tidak aman dan membenci diri sendiri; serta akan menumbuhkan sikap aprioiri, pembangkang, frustasi, pasif dan suka bermusuhan dengan orang lain. Yang lebih parah lagi, hal itu akan memangkas rasa percaya diri dan motivasi anak, sehingga anak menjadi mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.

Melihat efek negatif sikap galak terhadap kejiwaan anak, maka ibu (maupun ayah) dituntut harus bisa mengerem dan menahan diri. Jangan sampai kegalakan itu cepat tersulut setiap waktu, sehingga anak kerapkali menjadi bulan-bulanan kemarahan dan sikap keras orang tua. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh kasihan si anak!!

 

La Taghdhab!

Islam sebenarnya telah mengajarkan kepada kita untuk menghindari sifat marah dalam hidup ini, apalagi itu ditujukan kepada anak. Diriwayatkan dari Abu Hurairah a, bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi SAW, “Berilah wasiat kepadaku.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki tersebut mengulang-ulang perkataannya beberapa kali. Beliau pun selalu menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari)

Seseorang mendatangi Ibnul Mubarak –semoga Allah merahmatinya– dan berkata, “Coba rangkumkan akhlak yang baik dalam satu kalimat!” Maka, Ibnul Mubarak menjawab, “Hindari marah!”

Baca Juga: Salah Kaprah Dalam Mendidik Anak

Sungguh, wasiat la taghdhab (jangan marah) yang disampaikan oleh Nabi kepada kita, akan membawa kemaslahatan yang berlimpah jika kita bisa ‘membumikannya’ dalam realitas kehidupan kita, termasuk dalam keluarga kita. Seorang ibu yang mengedepankan kelembutan dan membuang jauh-jauh kegalakan saat berinteraksi dengan anaknya, akan lebih berpeluang menggapai kesuksesan dalam mencetak anak shalih-shalihah. Karena, Allah Ta’ala akan mencintai dan mencurahkan kebaikan kepada keluarga yang dinaungi oleh sifat kelembutan. Nabi SAW bersabda :

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ أَهْلَ بَيْتٍ أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

 “Sesungguhnya Allah jika mencintai penghuni sebuah rumah, Dia akan menanamkan kepada mereka sikap lemah-lembut.” (HR. Ibnu Abi Dunya dan selainnya, terdapat dalam Shahihul Jami’, no. 1704)

 

Tips Meredam Kegalakan

Apabila suatu ketika, karena beberapa faktor, ketegangan tak dapat dihindarkan, marah telah membuncah, emosi telah meninggi, dan kegalakan telah terpancing untuk diledakkan, maka Islam memberikan tips syar’i untuk meredam kemarahan. Yang jelas, pertama kali, ia harus segera sadar bahwa marah adalah penyakit kronis yang akan menimbulkan berbagai bencana yang hebat. Lalu, hendaklah ia menjauhi hal-hal yang bisa semakin membakar emosinya, dan hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Karena, pada hakikatnya, marah itu berasal dari setan. Berwudhu saat marah juga sangat positif untuk dilakukan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Maka, apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudhu.” (Sunan Abi Dawud, No. 4784, hal. 678)

Hendaklah ia tetap berada pada posisinya semula. Jika orang yang marah dalam kondisi duduk, maka janganlah ia berdiri, karena gerakan tertentu saat marah bisa membangkitkan emosi lebih besar lagi. Namun, mengubah posisi kepada yang lebih rendah lagi saat marah, bisa dilakukan. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dan ia sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk. Dan jika marahnya belum sirna dari dirinya, hendaklah ia berbaring” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah). Juga, hendaklah ia menahan diri dari berkata-kata saat sedang marah, karena ucapan yang meluncur dari bibir yang gemeretak karena marah, berpotensi untuk semakin menyulut emosi. Beliau bersabda, “Dan apabila salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia diam.” (HR. Ahmad)

Demikian. Semoga setelah membaca tulisan singkat ini, Anda tak lagi menjadi ibu yang galak. Anda akan berubah menjadi ibu yang ramah-menyejukkan saat berinteraksi dengan anak-anak dan suami Anda. Wallahul musta’an

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

Ajarkan Muraqabah Pada Anak, Agar Selamat Dunia Akhirat

Salah satu hal terpenting yang perlu diajarkan orang tua kepada anak adalah perasaan selalu dilihat oleh Allah atau muraqabah. Muraqabah merupakan landasan keshalihan seorang anak. Oleh karena itu, Luqman memberikan nasihat kepada anaknya, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman:  16)

Salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah menumbuhkan perasaan diawasi oleh Allah. Perasaan bahwa Allah dengan ilmu dan kekuasaan-Nya senantiasa melihat dan memberikan balasan sesuai dengan yang dikerjakan.

Dalam sebuh hadits diceritakan bagimana Rasulullah mengajarkan tentang muraqabah ini kepada Abdullah bin Abbas. “Suatu hari,” kata Abdullah bin Abbas, “saya diboncengkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda kepadaku, “Nak, maukah aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat:  Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Baca Juga: Beberapa Kiat Agar Anak Berbakti Kepada Orangtua

Dengan perasaan bahwa Allah selalu mengawasi, anak akan dengan mudah memutuskan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Anak akan terjaga dari kemaksiatan dan senantiasa dalam ketaatan baik saat ia sendiri maupun saat bersama orang lain. Anak akan senantiasa istiqamah di atas jalan Allah baik saat senggang maupun saat sibuk.

Dengan menanamkan sifat ini, muncullah pribadi-pribadi kuat layaknya Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Usaid bin Zhahir, Al-Bara bin Azib, Zaid bin Arqam, dan yang lainnya. Kita lihat bagaimana Ali bin Abi Thalib pada usia 10 tahun telah beriman kepada Rasulullah sehingga ia mengalami berbagai gangguan dan intimidasi dari kaum kafir. Meskiun demikian, ia tetap berpegang teguh pada prinsip yang ia pilih.

Mendidik anak untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah akan memunculkan ruh untuk senantiasa terkait dengan Allah di setiap keadaan. Apabila orang tua berhasil menanamkan  perasaan ini insyaallah anak akan terjamin keistiqamahan dan keselamatannya dari penyimpangan meskipun jauh keberadaannya jauh dari orang tua.

Ketika anak telah dapat membedakan baik dan buruk, orang tua perlu mengaitkan segala aktivitas anak dengan Allah. Bahwa manusia memiliki tanggung jawab di hadapan Allah dan kewajiban kepada Allah. Ketika anak melakukan kewajiban berupa melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya maka Allah akan memberikan balasan berupa kebahagiaan. Sebaliknya, ketika anak melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka Allah akan memberikan ganjaran yang buruk. Sedangkan manusia tidak bisa bersembunyi dari Penglihatan Allah.

Dalam hal ini orang tua dapat memotivasi anak dengan memujinya ketika si anak melakukan kebaikan. Misalnya dengan mengatakan, “Masyaallah, pinternya anak abi. Semoga Allah memasukkan kamu ke surga.” Selain itu, orang tua juga perlu mengingatkan anak bahwa Allah marah kepada orang yang melakukan keburukan. Untuk memperkuat hal tersebut, ajarkan kepada anak ayat dan hadits tentang surga dan neraka. Carilah waktu yang tepat untuk menyampaikannya, misalnya dalam perjalanan mengantarkan mereka ke sekolah. Orang tua dapat menyampaikan hadits dan ayat tersebut dengan penjelasan yang baik dan mudah diterima.

Baca Juga: Kenangan dan Bekas yang Baik Pada Anak

Orang tua dapat mengajarkan sifat ini dengan memberikan contoh dari kisah para orang shalih terdahulu. Seperti penjual susu yang tidak mau mencampur dengan air karena takut kepada Allah atau penggembala yang tidak mau menjual dombanya karena merasa diawasi oleh Allah.

Orang tua juga harus memberi teladan. Jangan sampai apa yang disampaikan orang tua bertolak belakang dengan perbuatannya. Karena anak akan selalu melihat dan meniru perilaku orang dekat, dan orang tualah orang yang paling dekat dengan mereka.

Penanaman perasaan muraqabah ini mencakup 4 hal, mengacu pada pendapat Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan, dalam kitabnya, “Tarbiyah Ruhiyah.”

1. Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah. Orang tua menanamkan keikhlasan dalam diri anak saat menjalankan segala perintah-Nya. Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah dan bukan karena faktor-faktor lainnya.

2. Muraqabah dalam kemaksiatan. Orang tua mengajarkan bahwa Allah murka pada orang yang berbuat maksiat sehingga ia harus menjauhi kemaksian, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya.

3. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah. Orang tua menanamkan adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, dan melakukan amalan kebaikan untuk mendapatkan pahala dari Allah.

4. Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran. Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.

Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Redaksi/Parenting


Baca juga artikel islami menarik penyubur iman dan penguat ketakwaan hanya di majalah islam ar-risalah. Segera miliki majalahnya dengan menghubungi agen terdekat atau kunjungi fanspage kami di FB: Majalah ar-risalah

Kesempatan Berharga Bersama Orang Tua

Foto-foto pengungsi Rohingya yang sedang memikul orang tuanya menjadi viral di media sosial. Beberapa video juga tersebar menunjukkan bagaimana mereka terseok menggendong ibu mereka menyeberangi lumpur dan sungai.

Hal tersebut mengingatkan kita pada kisah ibnu Umar saat ia melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.”

Semoga Allah memberi kemudahan kepada mereka lantaran bakti mereka kepada orang tua. Beruntunglah mereka yang masih diberikan nikmat kebersamaan dengan orang tua karena masih terbuka salah satu pintu dari pintu-pintu surga.

Keberadaan orang tua merupakan kesempatan berharga bagi anak untuk menimba pahala sebanyak-banyaknya.

 

وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَأَظُنُّهُ قَالَ أَوْ أَحَدُهُمَا

Rasulullah bersabda, “Celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam Surga (karena kebaktiannya).” Dan berkata Abdurrahman, “aku mengira ia mengatakan atau salah satunya.”

Raghima anfu rajulin dalam hadits tersebut adalah seseorang akan mengalami berbagai kehinaan di dunia jika ia hidup bersama orang tuanya sementara ia tidak bisa menjadikan keduanya faktor yang membuatnya masuk surga. Taat kepada orang tua adalah cara termudah untuk masuk surga.

Baca Juga: Pahala Sempurna Bagi Orangtua yang Anak Kecilnya Meninggal

Salah seorang sahabat pernah datang kepada Nabi dan bertanya, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah.” Nabi menjawab, “Shalat pada waktunya.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Birul walidain.”

Rasulullah menggunakan istilah berbakti bukan taat, karena kata bakti mencakup semua jenis kebaikan, kasih sayang, memberi, menolong, dan membahagiakan mereka berdua.

Kesempatan hidup bersama orang tua tak datang dua kali. Maka para sahabat dan orang-orang shalih memanfaatkan waktu tersebut dengan baik.

Anas bin Nadzr al-Asyja’I pernah bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.”

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan shalatnya, agar makin besar pahala yang didapatkan anaknya.

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar. Suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum!” Mendengar panggilan ibunya, beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya.

Baca Juga: Ziarah Kubur, Mengingat Mati Melembutkan Hati

Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kalajengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kalajengking tersebut. Beliaupun tersengat kalajengking.

Melihat tindakan seperti itu, ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu?” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kalajengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.”

 Muhammad bin Sirin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma).

Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian? Padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa kuberikan, pasti kuberikan.” (Shifatush Shafwah)

Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirin pada saat beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah, beliau bertanya kepada para sahabat Muhammad bin Sirin, ‘Ada apa dengan Muhammad? Apakah dia mengadukan suatu hal?’ Para sahabat Muhammad bin Sirin mengatakan, ‘Tidak. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya’.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’, karya adz-Dzahabi)

Bersegeralah untuk berbakti kepada orang tua sebelum kesempatan itu berlalu dan penyesalan selalu hadir dibelakang. Jika ingin memperoleh cinta Allah, mintalah ridha orang tua. Kita bahagiakan orang tua. Buat mereka tertawa, bantulah mereka, bersabarlah terhadap perilaku mereka yang membuat kita tak senang.

Jika salah seorang dari mereka berumur lanjut dalam pemeliharaan kita, jangan tinggikan suara dihadapan mereka dan tetaplah berkata dengan perkataan yang mulia. Berdoalah untuk keduanya baik ketika mereka masih hidup atau setelah mereka meninggal.

Seorang tabiin pernah ditanya, “Berapa kalikah saya harus berdoa kepada ayah dan ibuku?” Ia menjawab, “Lima kali dalam sehari.” Orang itu bertanya, “mengapa?” Ia menjawab, “Bukankah engkau telah diperintahkan untuk shalat lima waktu dalam sehari?” orang itu menjawab, “Benar.” Tabiin itu berkata, “Bukankah Allah berfirman, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu.’ (QS. Luqman: 14). Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Muhtadawan/Fadhilah

 


Segera miliki majalah islam keluarga, ar-risalah. Majalah pilihan keluarga muslim dalam meningkatkan kualitas hati dan ketakwaan. Hubungi agen terdekat atau sms/wa ke: 0852 2950 8085

Salah Kaprah Mendidik Anak

Ibu merupakan salah satu aktor pendidik yang utama dalam keluarga, di samping seorang bapak. Peran ibu sebagai pendidik dalam keluarga tak bisa diremehkan. Berapa banyak tokoh umat dan ‘orang besar’ yang muncul karena hasil sentuhan pendidikan seorang ibu muslimah yang bijak.

Sebagai alarm dan rambu bagi para ibu dalam mendidik anaknya, setidaknya ada dua pola pendidikan anak yang ‘salah kaprah’ tapi sudah menjamur di kalangan para orangtua dan pendidik lainnya.

 

Sikap keras yang menindas

Berangkat dari asumsi yang keliru, banyak para ibu dan orangtua pada umumnya agar anak mereka disiplin, langkah yang diambil adalah dengan kekerasan, keras dalam berinteraksi dan keras dalam menghukum. Dalam benak para pendidik, yang demikian akan menjadikan anak disiplin dan teratur. Ucapan kasar, terkadang juga pukulan diyakini dapat memperlihatkan kewibawaan orangtua. Dengan begitu anak akan terbius dengan wibawa sang orangtua dan tunduk patuh terhadap perintah mereka.

Dalam kondisi seperti ini, hubungan orangtua menjadi timpang-tindih antara atas dan bawah. Orangtua laksana majikan yang memiliki wewenang penuh untuk mendikte anak, memarahinya jika salah dan memberinya hukuman jika melakukan tindakan yang tidak diinginkan oleh orangtua. Anak bagaikan budak yang hanya bisa tunduk, ‘sendika dawuh’ terhadap permintaan juragannya. Dengan demikian anak telah kehilangan emas dari sakunya, usia emas pertumbuhan, kebebasan berekspresi dan bermain dengan ceria.

Orangtua yang demikian tidak sadar bahwa dalam diri anak ada gejolak pertumbuhan dan menggali potensi dini yang kelak akan jadi harta karun saat mereka menginjakkan usia dewasa. Adapun anak yang dibimbing dalam tekanan dan pukulan akan berpotensi menjadi anak yang nakal dan pembangkang ketika kelak dewasa. Karena ketidakpuasan dan bara dendam terhadap perilaku dan sikap orangtua kepadanya waktu masih kecil.

Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya ‘Siyasat Tarbawiyyah khati’ah’ menegasakan bahwa pola kekerasan dalam mendidik anak berbahaya bagi jiwa anak. Menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan ditindas akan membuat luka dalam diri anak yang akan menempel kuat dan sulit untuk menghilanginya dalam waktu cepat. Yang demikian akan menghambat proses perkembangan anak dan akan membuatnya menjadi orang yang tertutup, murung, pembangkang, dan akan mengikis rasa percaya diri anak, sehingga anak mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.

 

Sikap sayang yang memanjakan

Kebalikan dari yang diatas, jika yang pertama ibu atau orangtua terlalu keras dan kasar dalam mendisiplinkan anak, pola yang kedua inipun juga berbahaya dan seringkali dijumpai dalam sebuah keluarga. Sikap ibu yang terlalu sayang dan cinta pada anaknya, sampai ia sangat memanjakan dan memberi apa saja yang anak minta. Menyayangi dan mencintai anak itu baik, tapi terlalu memanjakan anak sangatlah berbahaya.

Para pakar pendidikan anak menegaskan bahwa memanjakan anak secara berlebih adalah kesalahan besar orangtua yang akan menyebabkan jiwa anak rapuh. Muhammad Al-Hamd dalam bukunya berkata bahwa mendidik anak dengan memanjakannya akan merusak fitrah (naluri) anak, melenyapkan keistiqamahan, merusak kewibawaan dan keberanian, sehingga anak akan tumbuh dan terbiasa hidup mewah, royal, egois, dan tidak peka dengan keadaan sekitar.

Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Dimas memanjakan anak akan menimbulkan 6 dampak buruk. Pertama, anak menjadi tidak mandiri, tidak mau melakukan sesuatu kecuali bila dibantu orang lain. Kedua, anak terus-menerus meminta perlindungan ke orangtua dan takut terlepas dari mereka. Ketiga, anak tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan tidak menghormati tanggung jawab. Keempat, anak memiliki sikap egois dan posesif. Kelima, anak kehilangan percaya diri, dan merasa selalu gagal. Keenam, anak tumbuh menjadi pribadi yang acuh tak acuh.

Demikian dua pola yang salah dan sudah menjamur di kalangan para pendidik. Adapun pendidik yang cerdas adalah yang mampu bersikap tegas dan bersikap lunak secara bervariasi sesuai keadaan dan kebutuhan si anak, bukan melulu mendidik dengan kekerasan dan bukan pula dengan kelembutan terus-menerus.

Semoga bermanfaat.

 

(Majalah ar-risalah edisi niswah, 104/2010)

Yang Paling Durhaka dan Paling Berbakti

Al-Ashma’I berkata, “Ada seorang Arab dusun bercerita kepadaku, “Suatu kali saya keluar dari kampungku untuk mencari orang yang paling durhaka kepada orangtuanya dan orang yang paling berbakti kepada orangtuanya. Maka saya berkeliling dari kampung ke kampung. Hingga saya mendapatkan seorang yang sudah tua, di lehernya ada kalung tali yang digantungi ember besar berisi air sangat panas. Di belakang orang tua itu ada seorang pemuda yang tangannya mencambuk oorangtua itu. Punggung orangtua itu babak belur karena cambukannya.

Akupun berkata, “Tidakkah kamu takut kepada Allah dalam memperlakukan orangua yang lemah ini? Tidakkah cukup bagimu membebaninya dengan tali di lehernya, mengapa kamu masih pula mencambuknya? Dia berkata, “(biarkan Saja), meskipun ini ayahku sendiri.” Aku berkata, “Allah tidak akan membalasmu dengan kebaikan!.” Dia berkata, “Diam! Beginilah dia dahulu telah memperlakukan ayahnya, dan begini pula ayahnya dahulu memperlakukan kakeknya.” Saya berkata,”Inilah orang yang paling durhaka.”

Kemudian aku berkeliling lagi, hingga bertemu dengan seorang pemuda yang mengalungkan keranjang di lehernya. Di dalam keranjang itu ada orang yang sudah tua, keadaannya lemah seperti bayi. Pemuda itu menggendongnya dengan kedua tangannya setiap saat, dia juga mencebokinya seperti seorang menceboki anaknya. Lalu saya berkata, “Ada apa ini?” pemuda itu menjawab, “Ini adalah ayahku, beliau telah pikun, dan saya yang merawatnya.” Maka saya katakan, inilah orang yang paling berbakti.” Akupun kembali dan telah bertemu dengan orang yang paling durhaka dan kemudian orang yang paling berbakti.”

(Majalah ar-risalah edisi 104, 2010)