4 Laknat Malaikat

Beruntunglah orang yang mendapatkan bagian shalawat dari malaikat.  Namun begitu malang orang yang mendapat laknat darinya, karena laknat malaikat berarti do’a malaikat untuk kebinasaan orang yang dilaknat.

Yang paling banyak dilaknat malaikat adalah orang-orang kafir. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.“ (QS.al-Baqarah:161)

Bukan hanya orang Kafir

Malaikat tak hanya melaknat orang-orang kafir, namun juga pelaku dosa tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits. Diantaranya adalah,

   1.Orang yang mencela sahabat Nabi

Dalam Mu’jam at-Thabrani dari Ibnu Abbas dengan sanad yang hasan disebutkan bahwa Nabi bersabda,

 من سب أصحابي فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين

“Barangsiapa yang mencela para sahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. at-Tirmidzi)

Begitu terecela ada sebuah sekte yang mencela para sahabat agung Nabi semisal Abu Bakr dan Umar dan menganggapnya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah. Na’udzubillah

 

   2.Orang yang mengacungkan senjata kepada saudarnya

Baik untuk mengancam ataupun sekedar main-main. Nabi bersabda yang artinya,

 “Barangsiapa yang mengacungkan besi (senjata) untuk saudaranya, maka maaikat melaknatnya, meskipun ia saudara se bapak dan se ibu.” (HR. Muslim)

 Hikmah dari larangan tersebut adalah menghindari campur tangan setan yang bisa jadi membisiki pelakunya untuk benar-benar membunuh atau menyakiti saudaranya.

 

   3.Orang yang membuat bid’ah dalam agama, mencampakkan hukum islam, memusuhi syari’at atau membantu dalam hal tersebut.

 Nabi bersabda,

 مَنْ أَحْدَثَ فِي الْمَدِينَة حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam agama (bid’ah), atau mendukung pelakunya, maka dia dilaknat oleh Allah, malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)

 

   4.Seorang istri yang menolak ajakan suaminya ke tempat tidur

 Nabi bersabda yag artinya,

“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk jima’) tetapi istri menolaknya hingga membuat suami marah, maka para malaikat melaknat sang istri hingga pagi hari.” (HR. al-Bukhari)

Laknat yang dimaksud ialah yang membuat sang suami marah, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar. Bila tidak sampai membuat marah, maka tidak mengapa. Karena suami yang beriman tentunya memperhatikan kondisi sang istri, bilamana ia sedang sakit, haidh atau yang lainnya.

 

Marilah bersama-sama kita mendulang syafaat sebanyak-banyaknya dari para malaikat dan menjauh dari segala perbuatan yang mengundang laknat mereka.

Hukuman Menghina Nabi

Ustadz, benarkah orang yang menghina Nabi boleh dibunuh? Bagaimana sikap kita sebagai muslim bila nabi dihina? (Abu Syamil—Kediri)

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ

Menghina, mencela, dan melecehkan Nabi Muhammad saw adalah perbuatan kekafiran. Allah berfirman, “Orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka adzab yang pedih.” (At-Taubah: 61)

Berdasarkan ayat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa mencela, menghina, atau melecehkan Nabi adalah suatu bentuk kekafiran. Hanya, ini berbeda dengan perbuatan kekafiran lainnya. Pada perbuatan kekafiran lainnya, sebelum pelakunya dijatuhi vonis kafir diberlakukan padanya dhawabith takfir (rambu-rambu memvonis kafir) dan sebelum dijatuhi hukuman mati ia diberi waktu tiga hari untuk bertaubat dimana jika ia bertaubat hukuman mati tidak diberlakukan baginya. Pada perbuatan kekafiran yang berupa menghina, mencela, dan melecehkan Nabi tidak berlaku lagi dhawabith takfir. Sebab, tidak ada yang tidak tahu bahwa penghinaan, pencelaan, dan pelecehan adalah manifestasi kebencian dan permusuhan. Dan satu lagi, jika perbuatan kekafiran lainnya yang akan terkena hukum kafir dan vonis hukuman mati hanya orang-orang Islam, pada kasus menghina, mencela, dan melecehkan Nabi, siapa pun yang melakukannya, ia terkena hukum itu—sekalipun ia adalah seorang kafir. Perkara orang-orang Islam mampu melaksanakan ketetapan Allah ini atau belum, itu adalah perkara yang lain.

Sehubungan dengan sangsi bagi orang-orang yang menghina atau mencela Nabi ini, Ibnu Taymiyah menulis buku khusus berjudul ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul (Pedang Terhunus buat Pencela Rasul). Dalam buku ini Ibnu Taymiyah mengumpulkan penjelasan para ulama dan atsar sahabat serta tabi’in terkait dengan hukum orang yang menghina dan mencela Nabi.

BACA JUGA : Hukum Mengumrahkan Orang Lain

Imam Ahmad berkata, “Setiap orang yang mencela Nabi saw dan melecehkannya, baik ia muslim ataupun kafir, maka hukumannya adalah dibunuh. Dan menurutku, ia tidak diberi waktu untuk bertaubat.”

Ketika ditanya oleh puteranya, Abdullah, tentang hukum orang yang mencela Nabi, Imam Ahmad menjawab, “Telah wajib baginya hukum bunuh dan tidak perlu diberi waktu untuk bertaubat. Adalah Khalid bin Walid membunuh seseorang yang mencela Nabi saw dan ia tidak memberinya waktu untuk bertaubat.”

Al-Qadhi Husain berkata, “Apabila seseorang mencela Nabi saw, ia harus dibunuh dan taubatnya tidak diterima, baik ia muslim ataupun kafir.”

Alasan kenapa orang yang mencela Nabi tidak diberi waktu untuk bertaubat adalah karena dalam hinaan, celaan atau pelecehan ini menyangkut hak Nabi dan hanya Nabi yang berhak memberi maaf. Lantaran Nabi sudah wafat dan tidak ada seorang pun yang berhak memberi maaf kepada orang yang melakukan hinaan, celaan, atau pelecehan, maka orang itu tidak diberi waktu untuk bertaubat. Demikian dinyatakan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ‘Uqail.

Al-Qadhi Husain menjelaskan, “Sebab hak Nabi itu berkaitan dengan dua hak: hak Allah dan hak manusia. Jika suatu sangsi berhubungan dengan hak Allah dan hak manusia, sangsi itu tidak gugur dengan taubat.”

Abul Mawahib al-‘Akbariy berkata, “Orang yang menuduh Nabi berbuat zina (adalah salah satu bentuk peghinaan terhadap Nabi) wajib dikenai hukuman had yang berat, yakni dihukum mati baik ia bertaubat ataupun tidak, baik ia seorang kafir ataupun muslim.”

Ibnul Mundzir berkata, “Semua ulama sepakat, hukuman bagi orang yang mencela Nabi saw adalah hukuman mati.”

Di antara yang mengatakannya adalah Imam Malik, al-Laits bin Sa’d, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan ini adalah pendapat para ulama madzhab asy-Syafi’i.

Abu Bakar al-Farisiy—salah seorang sahabat Imam asy-Syafi’i menyatakan, kaum muslimin telah berijmak bahwa barangsiapa mencela Nabi saw wajib dibunuh.

Ibnu Taymiyah mengomentari pernyataan Abu Bakar di atas berkata, “Ijma’ ini kemungkinan adalah ijma’ yang terjadi pada masa sahabat atau tabi’in.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Kaum muslimin telah berijma’ bahwa barangsiapa menghina Rasulullah saw atau menolak satu perkara yang diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla atau membunuh salah seorang Nabi Allah, ia telah kafir dengan perbuatannya itu, meskipun ia mengakui (percaya kepada) semua yang diturunkan oleh Allah.”

Al-Khaththabi berkata, “Saya tidak mendapati adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin mengenai wajibnya hukuman mati baginya.”

Muhammad bin Sahnun berkata, “Para ulama telah berijma’, orang yang mencela Nabi saw dan melecehkan beliau adalah kafir. Ancaman berlaku atasnya, yakni dengan adzab Allah baginya. Hukumannya menurut umat Islam adalah dibunuh. Dan barangsiapa yang meragukan kekafiran dan sangsi baginya, ia telah kafir.”

Abu Shafra’ berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdullah (yakni Imam Ahmad bin Hambal) tentang orang kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal dan dilindungi di negara Islam dengan syarat membayar jizyah) yang menghina Nabi saw, apakah hukumannya? Beliau menjawab, ‘Jika ada bukti yang tak terbantahkan, maka orang yang menghina Nabi itu hukumannya dibunuh, baik ia muslim ataupun kafir.”

‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Barangsiapa yang mencela Nabi saw hukumannya adalah dibunuh.”

‘Umar bin ‘Abdul’aziz berkata, “Orang yang mencela Nabi hukumannya dibunuh karena ia telah murtad.”

Demikianlah sebagian keterangan para ulama dan atsar dari sahabat maupun tabi’in, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Taymiyah dalam buku beliau. Wallahu a’lam.