Strategi Portugis Melumpuhkan Islam Di Nusantara

Ekspansi Portugis ke Nusantara pada abad 16 diwarnai oleh semangat anti-Islam. Sebab, Semenanjung Iberia –negeri mereka– pernah dikuasai oleh pemerintahan Muslim (711-1492). Dengan semangat ini, armada Portugis menjelajahi Laut Merah, Laut Arab dan Samudra Hindia untuk mengkristenkan umat Islam dan melakukan perdagangan. Untuk itu, Pulau Socotra di Selat Aden direbut pada 1505. Pada 1507, Hormuz, salah satu pusat perdagangan di Teluk Persia, juga ditaklukkan. Agar bisa menaklukkan Jeddah, sebuah armada laut Mamluk dihancurkan di Laut Merah pada 1509.

 

Mengkristenkan Pribumi

Pada 1500 dibentuk suatu komite bernama komite Cabral. Komite ini bertugas memberikan informasi kepada penguasa Calicut tentang permusuhan Portugis terhadap Muslim. Komite Cabral mengultimatum umat Islam bahwa Portugis merampas kapal dan harta umat Islam sebanyak mungkin. Jika umat Islam tidak bersedia murtad ke Kristen, mereka akan dihadapi dengan senapan dan pedang. Mereka akan diperangi tanpa kasih sayang.

Alfonso D’Albuquerque berencana membelokkan Sungai Nil untuk melumpuhkan Mesir, salah satu pusat perlawanan Islam. Selanjutnya Portugis akan menaklukkan Aden sehingga terbukalah jalan untuk menghancurkan Mekah untuk selamanya. Meksipun rencana itu tidak berhasil, permusuhan terhadap Islam tetap berlanjut. Mereka merampas dan membakar kapal dagang Muslim dan mengurangi impor Mesir dari Asia sehingga Gujarat dan Aden, dua pelabuhan dagang utama itu, mengalami kerugian.

Mesir sebenarnya sudah diminta untuk mencegah Kristenisasi Muslim secara paksa dan agar Portugis tidak menghalangi pelayaran ke India. Akan tetapi, Portugis rupanya telah bertekad untuk tetap menjalankan program Kristenisasi itu, sebagaimana disampaikan Raja Manuel kepada penguasa Calicut dalam suratnya, “…kami boleh percaya bahwa Tuhan kami tidak menakdirkan sesuatu yang menakjubkan seperti perjalanan kami ke India hanya untuk meningkatkan hubungan duniawi, tetapi juga untuk keuntungan spiritual dan keselamatan jiwa yang kami harus memberikan penghargaan yang lebih tinggi.” (B. J. O Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 53-54)

Pada 1511 Portugis berhasil menaklukkan Malaka. Setelah peristiwa ini, datanglah kapal-kapal Portugis berikutnya. Orang Portugis yang datang itu membawa misionaris yang giat menyebarkan agama Kristen. Franciscus Xaverius, misionaris yang masyhur, sering mengunjungi Malaka. Gereja Kristen Roma segera berdiri. Jemaatnya tidak hanya terdiri dari orang Portugis, tetapi juga orang Indo-Portugis, India, dan Cina. Orang Melayu Islam dari semula susah menerima agama Kristen. Pada 1557 Malaka sudah menjadi tempat tinggal seorang uskup, tetapi jumlah orang Kristen hanya beberapa ratus. (J. D. Wolterbeek, Geredja-Geredja di Negeri-Negeri Tetangga Indonesia, hlm. 85)

Ekspansi misionaris Portugis kemudian berlanjut ke wilayah lain di Nusantara, seperti Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Di wilayah tersebut, misi Portugis bersaing dengan dakwah Islam. Kedatangan Portugis memang antara lain untuk membendung dakwah Islam. (Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hlm. 40-46)

 

Membangun Koalisi Melawan Islam

Untuk menghadapi kekuatan Islam, Portugis sengaja membangun koalisi bersama pihak-pihak yang berseteru dengan umat Islam. Dalam pertarungannya melawan Turki Sunni, Portugis bersekutu dengan Persia Syiah. Upayanya untuk menghancurkan monopoli perdagangan dari para pedagang Muslim di pesisir India mendapat dukungan mayoritas penduduk Hindu. Orang Portugis menyediakan senjata api bagi para penguasa Hindu. Mereka mengimpor kuda dari Arabia dan Persia ke negara-negara di India bagian selatan. Di negara-negara tersebut, binatang-binatang ini tidak dikembangbiakkan walaupun sangat berguna bagi para penguasa Hindu untuk menghadapi ekspansi Muslim di daratan utama India. Oleh karena itu, para Maharaja menjadi bergantung pada orang asing.

Di wilayah Nusantara, orang Portugis juga berupaya menjalin hubungan erat dengan negara-negara Hindu Jawa. Mereka berupaya bersikap baik dengan para pedagang Hindu di wilayah ini. Hasilnya di pelabuhan laut Malaka, elemen Hindu memajukan permukiman Portugis. Setelah penaklukan, mereka menduduki posisi paling penting dalam kehidupan perniagaan di pelabuhan. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara; Sejarah Perniagaan 1500-1630, hlm. 121-122)

Sejak dikudeta oleh Girindrawardhana pada 1478, hubungan penguasa Majapahit dengan umat Islam di Jawa menjadi buruk. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya yang menghormati Islam, Girindrawardhana sangat membenci dan memusuhi Islam. Pada masa pemerintahannya (1478-1498) itulah terjadi perang pertama antara Demak dan Majapahit. (Solichin Salam, Sekitar Walisanga, hlm. 12)

[bs-quote quote=”Untuk menghadapi kekuatan Islam, Portugis sengaja membangun koalisi bersama pihak-pihak yang berseteru dengan umat Islam. Dalam pertarungannya melawan Turki Sunni, Portugis bersekutu dengan Persia Syiah. ” style=”default” align=”center” color=”#1872a5″][/bs-quote]

Raja berikutnya, Prabu Udara, tidak jauh berbeda dengan Girindrawardhana. Karena tidak senang melihat kemajuan Demak, pada 1512 ia mengirim utusan ke Malaka menghadap Albuquerque. Utusan ini menyerahkan hadiah berupa 20 buah gamelan kecil yang terbuat dari logam, 13 batang lembing dan lainnya. Maksud pengiriman utusan tadi adalah meminta bantuan Portugis guna memerangi kerajaan Islam Demak. Hal inilah yang memaksa Demak mengangkat senjata melawan Majapahit kedua kalinya pada 1517. (Solichin Salam, Sedjarah Islam di Djawa, hlm. 43 dan Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 331)

Pada 1522 panglima Portugis Henrique Leme mengadakan perjanjian persahabatan dengan raja Pajajaran. Raja Sunda ini menganggap Portugis dapat membantunya dalam perang melawan orang Islam yang di Jawa Tengah telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja Majapahit. Sebelum bantuan Portugis datang, Demak mengirim Sunan Gunung Jati pada 1525 untuk menduduki Banten. Dua tahun berikutnya, Sunda Kelapa berhasil diambil alih juga. Karena tidak tahu peristiwa ini, orang Portugis sempat datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikan perkantoran berdasarkan perjanjian pada 1522. Oleh pasukan Sunan Gunung Jati, mereka ditolak dengan kekerasan senjata. (H. J. De Graaf, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm. 134-135)

 

Kolom ini ditulis oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Kedatangan Portugis di Bumi Nusantara

Portugis bersusah payah mencari jalan pelayaran ke Asia. Di bawah pimpinan Vasco da Gama, mereka berhasil tiba di India pada 1498. Pelayaran pertama ke India ini harus dibayar mahal. Hanya 54 dari 170 kelasi dan dua dari empat kapal yang kembali ke negeri mereka dengan selamat pada 1499. Meski demikian, pelayaran da Gama berhasil membangun rute laut dari Eropa ke India yang memungkinkan perdagangan dengan Timur Jauh tanpa menggunakan rute Jalur Sutera antara Timur Tengah dan Asia Tengah yang sering tidak aman.

Untuk kedua kalinya, Vasco da Gama kembali ke India pada 1502. Kali ini ia datang dengan armada yang terdiri dari 20 kapal perang. Ia memaksa orang India agar menerima cara dagang Portugis. Kota Calicut ditembaki karena melawan Portugis. Selain menguasai kota-kota di pantai India, Portugis juga berusaha meluaskan pengaruhnya ke wilayah lain. Terlebih akhirnya Portugis mengetahui bahwa India bukanlah tempat rempah-rempah berasal. Barang dagangan ini berasal dari negeri yang masih jauh berada di sebelah timur India. Pada 1509, mereka pun untuk pertama kali datang ke Nusantara.

 

Motif Kedatangan Portugis

Pada pelayaran kedua dan selanjutnya, semakin terlihat jelas motif kedatangan Portugis ke Asia umumnya dan Nusantara khususnya. Setidaknya ada tiga motif yang melatarbelakangi pelayaran mereka.

Pertama: motif ekonomi (gold/emas), yaitu merebut perdagangan Asia. Rempah-rempah merupakan komoditas terpenting di pasar Eropa. Barang itu harus didatangkan dari Asia dengan jarak tempuh yang sangat panjang sehingga harganya pun menjadi mahal. Pada waktu itu, rempah-rempah dikuasai oleh para pedagang Muslim dari Turki. Portugis ingin menemukan jalan ke Asia dan mengambil rempah-rempah langsung dari pusatnya.

 

Baca Juga: Kedatangan Si Perusak Kedamaian; Portugis

 

Kedua: motif politik (glory/kejayaan), yaitu menghancurkan kekuasaan negeri-negeri Islam. Kalau berhasil memperoleh jalan langsung ke Asia, mereka dapat mengalihkan lalu lintas perdagangan melalui jalan itu. Hal ini akan merugikan bangsa-bangsa yang sampai saat itu menguasai rantai perdagangan Asia-Eropa. Salah satu dari bangsa itu ialah bangsa Turki yang justru pada zaman itu sedang melancarkan serangan yang dahsyat terhadap negara-negara Eropa. Serangan mereka mungkin dapat dilumpuhkan kalau pendapatan yang diperoleh negara Turki dari perdagangan dapat dihancurkan.

Ketiga: motif agama (gospel), yaitu menyebarkan agama Kristen. Orang-orang Portugis ingin mengepung lawan yang beragama Islam dan menyiarkan agama Kristen di seberang lautan. (M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm.32)

 

Api Perang Salib

Semangat perang salib sangat kuat mendorong ekspansi mereka. Portugis memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. Oleh karena itulah ketika Alfonso d’Albuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, ia berpidato, “Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita adalah mengusir orang Moor dari negeri ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini… Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka, Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis.” (F. C. Danvers, The Portuguese in India, I/226)

 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

 

Api perang salib cukup kuat dalam diri Albuquerque sehingga mendorongnya menangkap dan menjarah semua kapal muslim yang bisa ditemukannya antara Goa dan Malaka. Ia memerangi orang Muslim sambil melayani kepentingan perniagaan Portugis. Demikianlah, sekali lagi terjadi perang salib antara orang Muslim dan orang Kristen. Sebelumnya, perang itu berkali-kali bergolak di Laut Tengah. Akan tetapi, kini perang itu berlangsung di Nusantara yang jauh. Dengan pukulan pertama, armada Portugis berhasil menjatuhkan Malaka, tetapi tiga kerajaan lain bangkit untuk tetap mengibarkan bendera Nabi Muhammad di Kepulauan Nusantara. Kerajaan tersebut adalah kesultanan Aceh, Demak, dan Ternate. (Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, hlm. 98)

 

Kristenisasi

Setelah berhasil menaklukkan Malaka, pada 1512 kapal-kapal Portugis mulai berlayar di Laut Jawa dan akhirnya sampai ke Maluku. Di kawasan inilah terletak kepulauan rempah-rempah. Pada mulanya Portugis hanya membeli rempah-rempah di kepulauan tersebut. Mereka juga meminta izin untuk mendirikan benteng sebagai tempat tinggal dan tempat penampungan rempah-rempah. Para sultan di Maluku memberikan izin kepada mereka karena mengharapkan laba besar dari hubungan dagang itu. Benteng Portugis pun berdiri di Hitu pada 1515 dan di Ternate pada 1523.

Akan tetapi, lama kelamaan Portugis berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah. Para pedagang Muslim tidak boleh lagi turut dalam perniagaan itu. Portugis juga mengedarkan dan menjual minuman keras di kalangan penduduk Muslim. Malah orang Portugis sendiri yang minum sampai mabuk serta membuat kekacauan dalam pasar cengkeh di Hitu. Lebih dari itu, Portugis juga menyebarkan agama Kristen Katholik Roma.

 

Baca Juga: Awal Islamisasi Maluku

 

Penyebaran Kristen Katholik di Maluku dimulai sekitar 1523, yaitu ketika Antonio de Brito datang untuk mendirikan benteng di Ternate. Pada waktu itu, beberapa biarawan Fransiscan ikut serta dalam kapal Portugis. Para misionaris Portugis itu menyebarkan agama Kristen Katholik dengan cara paksaan dan tidak mengenal toleransi beragama. Para misionaris Portugis tidak menghiraukan agama Islam yang telah dianut oleh penduduk di Maluku. Hal ini membangkitkan perlawanan dari kaum Muslim di Maluku.

Penyebaran Kristen Katholik oleh para misionaris Portugis di wilayah-wilayah Islam terkadang dilaksanakan pada hari Jumat tepat waktu shalat. Pada waktu itu semua orang laki-laki berada di masjid, sedangkan wanita dan anak-anak berada di rumah. Mereka yang dapat meloloskan diri dari kepungan Portugis terpaksa lari meninggalkan keluarganya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi di wilayah-wilayah Islam di pulau Ambon, seperti Negeri Lama (Pasolama), Suli, Wai dan lain-lain. (Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, hlm. 39-41)

 

Oleh: M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Kedatangan Si Perusak Kedamaian-Portugis

Pada abad 15 M, jalur perdagangan dari Malaka hingga Maluku sangat ramai. Berbagai suku bangsa terlibat di dalamnya, seperti Melayu, Jawa, Keling, Arab, Persia dan Cina. Meski berbeda ras dan agama, mereka mampu menjaga jalur tersebut tetap ramai, damai, dan tanpa monopoli salah satu pihak. Masing-masing pedagang saling menghormati. Akan tetapi, kedamaian jalur perdagangan itu hancur saat memasuki abad 16 M setelah Portugis datang. 

    

Euforia Kemenangan

Wilayah Portugis terletak di Semenanjung Iberia Eropa Barat. Sejak 711 M hingga beberapa abad kemudian, umat Islam pernah menguasai Semenanjung Iberia. Selanjutnya Semenanjung Iberia dikenal dengan nama Andalusia. Pada masa kejayaannya, Andalusia memancarkan sinar peradaban cemerlang yang menerangi Eropa. Selain Muslim, banyak orang Kristen dan Yahudi turut mengambil manfaat dengan menimba ilmu di sekolah-sekolahnya. Akan tetapi, sinar itu perlahan redup, kemudian padam. Kelemahan dan perpecahan internal di antara kaum Muslim menjadi celah bagi orang Kristen untuk menyerang mereka. Perebutan Andalusia dari tangan umat Islam ini oleh orang Kristen dinamakan Reconquista yang secara harfiah berarti “penaklukan ulang”. Di Portugis sendiri, kekuasaan Islam berakhir pada 1249 dengan ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III

Setelah berhasil mengusir orang Moor –sebutan untuk orang Muslim– dari Semenanjung Iberia, Portugis mengalami euforia kemenangan. Mereka pun melanjutkan peperangan ke wilayah lain. Pada 1400, Raja Portugis Joao I (1385-1433) memerangi wilayah tetangganya yang seagama, Castilia. Peristiwa ini menyebabkan Sang Raja merasa bersalah. Oleh karena itu, ia ingin menebus kesalahannya dengan “mencuci tangan-tangan yang berdosa tersebut dengan darah orang kafir”. Ia kemudian mengumumkan perang salib untuk merebut Ceuta, yang terletak di pantai utara Afrika di seberang Gibraltar, dari tangan orang Islam. Pada 1415, Ceuta jatuh ke tangan Portugis. Setelah peristiwa ini, mulailah serangan secara berturut-turut atas kedudukan umat Islam

Putra Joao I, Henrique, melanjutkan usaha ayahnya untuk mengekang kekuasaan Islam di Afrika Utara hingga Selatan. Ia mendirikan sekolah navigasi untuk mendorong usaha-usaha ekpansi Portugis berikutnya. Oleh karena itu, namanya sering disebut Henrique sang Navigator. Meskipun belum pernah berlayar jauh, ia mengatur banyak perjalanan ke wilayah-wilayah yang baru dikunjungi Portugis. (C.P.F. Luhulima, Motif-Motif Ekspansi Nederland dalam Abad Keenambelas, hlm. 9-10)

 

Baca Juga: Awal Islamisasi di Banjarmasin

 

Pada 1460, tahun meninggalnya Don Henrique, orang Portugis sampai di pantai Guinea. Di sini mereka mengambil emas dan penduduk pribumi sebagai budak. Dua puluh enam tahun kemudian, Bartholomeus Diaz sampai di ujung selatan Afrika. Ia sebenarnya berharap dapat melintasi ujung ini agar bisa melanjutkan perjalanan ke wilayah di baliknya. Akan tetapi, ia terpaksa kembali ke Portugis karena kapalnya diserang badai. Ujung selatan Afrika itu kemudian dinamakan Tanjung Harapan.

Ekspedisi Portugis berikutnya dipimpin oleh Vasco da Gama. Ekspedisi ini sukses melewati ujung selatan Afrika. Begitu sampai di Samudra Hindia, Vasco da Gama menyaksikan kawasan tersebut sangat ramai. Banyak kapal berukuran jauh lebih besar dari kapal Portugis. Kapal-kapal itu membawa berbagai macam barang berharga. Yang lebih mengejutkan lagi bagi Portugis, pelayaran di Samudra Hindia didominasi oleh musuh mereka, orang Moor. (J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, hlm. 96 dan Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, hlm. 97)

 

Menuju India

Tujuan Portugis selanjutnya adalah India, tempat yang mereka ketahui rempah-rempah berasal. Selain itu, Portugis juga menduga India adalah tempat kerajaan rahasia Pendeta John. Sejak lama Portugis ingin membangun sebuah persekutuan dengan sang Pendeta untuk mengobarkan kembali perang salib melawan orang Moor. (B.J.O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 53)

Oleh karena belum mengetahui jalur ke India, Portugis memanfaatkan jasa para navigator Muslim. J.C. van Leur menyebutkan bahwa Portugis dibantu oleh seorang Muslim Gujarat yang diberikan oleh penguasa Melinde (wilayah Kenya). Sementara itu, M.A.P. Meilink Roelofsz menyebutkan bahwa Ibn Iyas dan Ibn Majid –keduanya orang Arab– membantu pelayaran Portugis ke India.

Pada 1498, ekspedisi Vasco da Gama sampai di Calicut India. Di sini, orang Portugis disambut oleh para pedagang Maghribi dengan sikap mengejek dan menjelekkan mereka di hadapan penguasa Calicut, raja Zamorin. Tetapi apa daya, mereka juga memerlukan para pedagang Maghribi, yang mengerti bahasa setempat sekaligus bahasa Spanyol, itu. Mereka lalu mempersembahkan pemberian kepada raja, “dua belas lembar kain lakan bergaris-garis, dua belas buah jubah bertudung kepala, enam buah topi, empat cabang karang, enam buah pasu (bejana besar dari tanah untuk tempat air), sepeti gula serta dua gentong minyak dan madu.”

 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

 

Pemberian ini memicu sindiran para pedagang Maghribi. Mereka menertawakannya. Mereka memandang pemberian Portugis itu terlalu remeh. Menurut mereka, pedagang Mekah yang paling miskin pun akan menganggap pemberian itu sangat tidak layak. (Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid 2, hlm. 4)  

Portugis kemudian mendirikan kantor-kantor dagang di beberapa pelabuhan di India. Selain berdagang, Portugis juga menyebarkan agama Katholik. Dalam rombongan Vasco da Gama memang terdapat beberapa orang misionaris. Orang Portugis merasa bahwa penyebaran Katholik adalah tugas yang sejalan dengan penjajahan mereka. Pemimpin tertinggi Katholik saat itu, Paus Alexander VI, bahkan merestui hal ini. Dalam Perjanjian Tordesillas pada 4 Mei 1493, ia membagi dunia menjadi dua: bagian barat untuk Spanyol dan bagian timur untuk Portugis, dengan syarat kedua bangsa ini harus menyebarkan agama Katholik di wilayah yang mereka kuasai.

Setelah kunjungan pertama pada 1498, beberapa tahun kemudian Vasco da Gama kembali ke perairan India dengan perintah tegas dari raja Portugis untuk menghentikan semua pelayaran Arab antara Mesopotamia dan India. Setelah beberapa pertempuran dahsyat, ia berhasil mengontrol bagian barat Samudra Hindia bagi rajanya. Wallahu a‘lam.

 

Oleh: M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia