Jangan Menjilat Karena Ingin Mendekat

Ada yang berebut kekuasaan, ada yang berebut pengaruh supaya dekat dengan pemilik jabatan. Tak jarang untuk meraih kedekatan itu harus mengorbankan keyakinan, atau harus berhadapan melawan kebenaran. Ini karena manusia memandang bahwa kemuliaan terdapat pada jabatan dan kekuasaan, dan kedekatan dengan penguasa dianggapnya numpang mulia.

Di zaman Nabi Musa alaihissalam, mereka yang berani menghadapi mukjizat Nabi Musa alaihissalam dari pihak Fir’aun itu punya pamrih. Dan Fir’aun tahu apa pamrih mereka itu, maka ia pun menjadikannya sebagai iming-iming dan hadiah yang dijanjikan. Dan pamrih itu adalah beruapa kedekatan posisinya dengan Fir’aun. Allah kisahkan tentang hal ini,

Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, mereka bertanya kepada Fir’aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?” (QS. Asy Syu’araa’: 41)

Fir’aun menjawab: “Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku).” (QS. Asy Syu’araa’: 42)

Maka sepanjang sejarah ketika ada penguasa yang tidak pro kepada kebenaran, berseberangan dan berhadapan dengan Islam dan kaum muslimin, maka ia akan memberikan tawaran yang sama bagi siapapun yang dipandang mampu menahan arus dakwah kebenaran. Tak peduli dari pihak manapun asalnya. Inilah yang menarik orang-orang munafik untuk tampil menyambut tawaran. Yang dalam bahasa kasarnya adalah penjilat. Disebut penjilat karena kehinaannya mengorbankan prinsip demi kemengan orang lain, sementara ia hanya sekedar dekat dengannya. Bahkan ada yang rela menjilat hanya demi sekedar dekat atau dianggap kenal dekat dengan seseorang yang punya nama atau wibawa.

Orang-orang munafik mengira menjadi mulia dengan itu, padahal hakikatnya itu adalah kehinaan yang paling hina.

Ketika Imam Malik ditanya, “Siapakah orang yang hina itu?” Beliau menjawab, “Yakni orang yang mencari makan dengan menjual (mengorbankan) agamanya.” Beliau ditanya lagi, “Lantas siapakah orang yang paling hina di antara yang hina?” Beliau menjawab, “Orang yang mengorbankan agamanya demi dunia orang lain.”

[bs-quote quote=”Ketika Imam Malik ditanya, “Siapakah orang yang hina itu?” Beliau menjawab, “Yakni orang yang mencari makan dengan menjual (mengorbankan) agamanya.” Beliau ditanya lagi, “Lantas siapakah orang yang paling hina di antara yang hina?” Beliau menjawab, “Orang yang mengorbankan agamanya demi dunia orang lain.”” style=”default” align=”center” color=”#2878bf”][/bs-quote]

Sedang kemuliaan sesungguhnya adalah ketika seseorang berada di pihak Allah, Rasulullah dan membela orang-orang yang beriman. Firman Allah Ta’ala,

“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin.” (QS. Al-Munafiqun: 8)

Jika orang-orang munafik berlomba mendekat kepada para raja dengan menghalalkan segala cara, maka orang beriman berusaha mendekat kepada Pencipta para raja yang Mahakuasa lagi Mahamulia. Jika ada orang yang berbangga menjadi keluarga para raja, maka ahlul Qur’an berlomba menjadi keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya. Ahlul Qur’an hum ahlullah wa khaashatuh, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah

Rahib Yahudi dan Nashrani Menjual Agama Untuk Mengais Dunia

Allah menciptakan manusia tujuannya tak lain adalah untuk beribadah. Ibadah yang sudah ada juklak (petunjuk pelaksanaan) nya dan juga ibadah yang mencakup segala apa yang diridhai Allah. Namun, tak cukup di situ, manusia dituntut untuk berikhtiyar guna mencukupi kebutuhan jasmaninya yang berupa; sandang, pangan dan papan. Keduanya saling terkait dan tidak bisa mendominasi salah satunya, yang berakibat timpang salah satunya.

Maka siapa yang hidup  di dunianya dihabiskan hanya untuk melakukan Ibadah yang sudah ada juklaknya (Ibadah Mahdhah) sehingga kebutuhan fisiknya tercampakkan, padahal dia mampu melakukannya dan tidak terhalang, maka dia tercela. Barang siapa yang hanya sibuk mengurus kebutuhan jasmaninya tanpa mempedulikan ibadah mahdhah kepada yang menciptakan dan menjamin kebutuhan hidupnya, maka dia bak  binatang ternak.

 

Baca Juga: 411, 212 dan 412 Merupakan Fenomena Penyibak Tabir

 

Barang siapa yang menunaikan ibadah mahdhah sesuai yang diajarkan oleh Rasul, sementara pemenuhan kebutuhan fisiknya tidak mempedulikan arahan umum serta batas halal-haram yang telah ditentukan, maka akan berimbas kepada tidak diterimanya ibadah mahdhah yang diamalkannya dengan susah payah. Barang siapa yang menjadikan ibadah mahdhah-nya sebagai sarana untuk mendapatkan kebutuhan fisik-dunianya, apalagi digunakan untuk mengejar kemewahan, maka dia terjerembab kedalam kesalahan menjual agama untuk mendapatkan dunia. Allah berfirman:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan orang-orang ‘alim Yahudi dan rahib-rahib Nashrani benar-benar makan harta manusia dengan jalan bathil dan mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. [QS.At-Taubah : 34].

 

Para Rahib Memanipulasi Ummat Untuk Memenuhi Kebutuhan Dunia

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya Tafsir al-Qur-an al-‘Adhim menjelaskan bahwa para pendeta Yahudi dan para rahib Nashrani adalah merupakan para tokoh, para pemimpin di lingkungan mereka, dimana mayoritas mereka tidak beres dalam urusan harta; bukan hanya tidak ada transparansi dan akuntabilitas dalam penerimaan dan penggunaan dana, akan tetapi mereka juga cenderung memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin agama di tengah kaumnya yang dapat menetapkan berbagai pungutan untuk memuaskan syahwat mereka kepada harta dunia dengan mengatasnamakan Tuhan. Secara tegas beliau menulis, “Yang demikian itu karena mereka memenuhi hasrat dunia mereka dengan menjual agama, dengan menggunakan posisi dan dan kepemimpinannya di tengah umat manusia…”.

Ada dua hal dapat terpisah sendiri-sendiri dan dapat pula saling berjalin-berkelindan. Pertama, tidak transparan dan akuntabel dalam pendanaan umat semata-mata karena kelemahan teknis administrasi. Kedua, akuntabilitas-nya buruk dan kerakusan syahwatnya kepada dunia tinggi, sehingga buruknya administrasi sengaja digunakan untuk menutupi kerakusan itu. Ketiga, akuntabilitasnya bagus, mereka tidak malu melindungi kerakusannya terhadap dunia dengan justifikasi regulasi. Dengan demikian kerakusannya dilindungi secara legal.

Membantu memudahkan orang lain dalam melaksanakan ibadah mahdhoh merupakan perbuatan kebajikan yang dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah dan berbuah pahala, kecintaan, surga dan ridha-Nya. Tetapi tentu  ada syaratnya, yakni ketika pelaku kebaikan tadi tidak mengambil upah dari perbuatan baiknya kecuali sebatas kebutuhan dhoruriyah (primer) dan hajiyah (sekunder) saja. Lebih elok lagi jika kebutuhannya dipenuhi dari usaha yang tidak ada hubungannya dengan perbuatannya menolong dan membantu orang lain dalam melaksanakan amal ibadah mahdhah tersebut.

 

Baca Juga: Hilir Sekularisme Merusak Moral Bangsa

 

Kasus First Travel adalah gambaran rusaknya konstruksi pemahaman banyak pihak dari stake holder dalam mengurus urusan umat Islam khususnya. Pembuat dan pengontrol regulasi yang tidak peka terhadap masalah, lamban menangani gejala pelanggaran baik dari sisi regulasi maupun pengawasan. Pelaku kejahatan yang rusak pemahaman agamanya dan memanfaatkan celah kelemahan regulasi dan pengawasan untuk memuaskan syahwat dunianya.

Pelaku mengorbankan manusia banyak yang memanfaatkan jasa yang ditawarkannya, untuk meraih dunia dan keindahannya dengan cara curang. Alih-alih mencukupkan diri dengan mengambil sebatas kebutuhan saja, bahkan biaya ibadah tersebut digunakan secara curang untuk mengongkosi kehidupan mewahnya yang bak raja dan ratu. Jerih payah penjual kerupuk, tukang loundry dan orang-orang kecil yang menabung uang receh dari hari ke hari demi kerinduannya berziarah ke Baitullah kandas di tangan orang avonturir yang memburu dunia dengan menjual agamanya.

 

Oleh: Redaksi/fikrah