Sa’ad bin Mu’adz, Kematiannya Menggetarkan ‘Arsy Ar-Rahman

Perang Badar menjelang. Rasulullah ﷺ dihadapkan pada pilihan harus menghadapi seribu pasukan kafir Quraisy, sementara jumlah pasukan kaum muslimin hanya sekitar tiga ratus orang. Beliaupun meminta pendapat para sahabat. Para pimpinan Muhajirin menyatakan siap menghadapi peperangan sampai titik darah penghabisan. Sedangkan para sahabat Anshar yang merupakan mayoritas peserta pasukan belum memberi pandangan. Beliapun meminta pendapat mereka.

Pemimpin pasukan Anshar yang tidak lain adalah Sa’ad bin Mu’adz dengan mantap berkata, “Kami sudah beriman dan membenarkan anda. Kami bersaksi bahwa apa yang anda bawa adalah kebenaran. Kami telah bersumpah dan berjanji untuk patuh dan taat. Maka majulah terus wahai Rasulullah seperti yang anda kehendaki. Demi Dzat Yang mengutus anda dengan kebenaran, andaikata anda berjalan bersama kami lalu terhalang lautan dan anda menghendaki untuk terjun, maka kami pun akan terjun pula bersama anda. Tak seorangpun yang akan mundur diantara kami. Sesungguhnya kami dikenal sebagai orang-orang yang sabar dan jujur di dalam pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepada anda apa yang menyenangkan anda. Maka majulah bersama kami dengan barokah Allah.”

Jaminan Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu melegakan hati Rasulullah ﷺ. Dan pasukan Islam itu pun bertekad untuk menghadapi musuh meskipun jumlah dan kekuatan tidak berimbang. Akhirnya, peperangan tersebut disudahi dengan kemenangan gemilang kaum muslimin.

Musuh-musuh Islam tak pernah berhenti dari keinginan menumpas gerakan Islam. Kali ini mereka bersekutu untuk mengadakan penyerangan habis-habisan ke Madinah. Pasukan gabungan yang dimotori kaum Quraisy dan dibantu kaum Yahudi yang telah bersekongkol dan mengompori para kabilah Arab untuk menyerang Rasulullah, telah bergabung dalam jumlah besar, sekitar sepuluh ribu orang. Melebihi jumlah penduduk Madinah saat itu.

Sebelum musuh masuk, kaum muslimin pun bersiasat membuat parit, sehingga pertempuran itu disebut perang  Khandaq. Akibatnya pasukan musyrik tidak bisa masuk. Mereka hanya menyerang dari jarak jauh dengan lemparan panah dan tombak. Saat berjaga, sebuah anak panah melesat dan berhasil memutuskan urat lengan pemimpin Anshar, Sa’ad bin Mu’adz. Darah segar pun mengucur dari tangan beliau. Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu kemudian berdoa, ” Ya Allah, jika Engkau masih menyisakan peperangan dengan kaum Quraisy, maka berikanlah sisa kehidupan kepadaku. Sesungguhnya tidak ada yang lebih saya inginkan selain berjihad memerangi satu kaum yang telah menyakiti, mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Jika memang Engkau telah menyelesaikan peperangan antara kami dan mereka maka jadikanlah luka ini sebagai pintu syahidku. Dan Janganlah Engkau matikan diriku sampai aku merasa senang dengan apa yang terjadi pada bani Quraidhah.”

Doa lelaki shalih itupun terkabul. Darah di urat tangannya mulai terhenti. Meskipun akhirnya beliau harus menjalani perawatan di kemah perawat Islam, Rufaidah. Rasulullah ﷺ pun memerintahkan agar kemah perawatan Sa’ad diletakkan di masjid agar beliau bisa sering menjenguknya.

Setelah Allah hinakan pasukan gabungan dengan kegagalan menguasai Madinah dan mereka pulang dengan tangan hampa, tiba saatnya untuk memberesi para pengkhianat. Bani Quraidhah, salah satu kelompok Yahudi yang tinggal di Madinah telah bersekongkol dengan pasukan musuh untuk membantu menghancurkan kaum muslimin. Padahal sebelumnya mereka terikat perjanjian damai dengan Rasulullah ﷺ. Rasulullah pun kemudian mengepung mereka sampai mereka menyerah, dengan syarat yang menjatuhkan hukuman adalah Sa’ad bin Mu’adz. Mereka memilih Sa’ad bin Mu’adz karena sebelumnya telah terjadi pertemanan yang baik dengannya.

Rasulullah ﷺ pun mendatangkan Sa’ad bin Mu’adz ke bani Quraidhah. Sesampai di sana, kaumnya mengingatkan beliau agar jangan memberi hukuman terlalu berat karena bani Quraidhah sejak jaman dahulu adalah sekutu mereka. Dengan tegas beliau berkata, “Tibalah saatnya untuk tidak takut lagi di jalan Allah dengan celaan orang-orang yang suka mencela.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Berilah hukuman pada mereka.” Beliau berkata, “Saya memberi putusan pada mereka, hendaknya para lelakinya dibunuh, sedangkan para wanita dan anak-anak menjadi tawanan, dan harta bendanya dibagi sebagai ghanimah.” Beliau ﷺ menimpali putusan Sa’ad, “Engkau telah menghukumi mereka sesuai dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.”

Beberapa hari kemudian luka Sa’ad memecah sehingga darah banyak keluar dari tangannya. Pada saat kritis tersebut Rasulullah ﷺ memangku kepalanya dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu, membenarkan Rasul-Mu, dan telah melaksanakan kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baik cara Engkau menerima ruh.”

Dengan susah payah, di akhir hayatnya Sa’ad pun berkata, “Semoga keselamatan bagimu wahai Rasulullah, saya bersaksi bahwa Engkau adalah utusan Allah.” Kemudian beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abu Bakar dan umar Radhiyallahu ‘anhuma yang juga berada di situ tak kuasa menahan tangis haru dan kesedihan atas kematian salah seorang pemimpin Anshar tersebut.

Saat kaum muslimin mengangkat jasad Sa’ad bin Mu’adz terjadi keanehan. Mereka merasa sangat ringan sekali padahal tubuh Sa’ad tinggi besar. Beliau ﷺ bersabda, “Tidak ada yang membuat tubuhnya ringan kecuali karena telah turun para malaikat dalam jumlah banyak, mereka belum pernah turun sebelumnya. Dan mereka ikut mengangkatnya bersama kalian.”

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Inilah lelaki shalih yang kematiannya membuat Arsy bergoncang karena gembira dengannya, dibukakan pintu-pintu langit baginya, dan ada tujuh puluh ribu malaikat yang menyaksikannya yang sebelumnya mereka belum pernah turun ke bumi.”

Ya, lelaki shalih tersebut telah meninggalkan dunia di usianya yang ke tiga puluh tujuh. Beliau telah berhasil mengukir sejarah kehidupannya dalam jihad dan pengorbanan untuk tegaknya Islam. Semoga kita tidak terhalangi untuk mengikuti jejak lelaki shalih tersebut. Amin. (Maraji’: Siyar A’lamin Nubala’, Asadul Ghabah, Shifatu Shafwah, Rakhikul Makhtum).

 

Oleh: Redaksi/Kisah Sahabat

 

Muslihat Sempurna Nuaim bin Masud Pada Sekutu Ahzab

Terbunuhnya Amr bin Abdi wad tak lantas membuat pasukan ahzab menyerah. Mereka tetap melakukan pengepungan Madinah, bahkan sebuah strategi telah disiapkan untuk mengalahkan Rasulullah dan pasukannya. Pasukan ahzab berencana membujuk bani Quraizhah (salah satu kabilah Yahudi Madinah) untuk melanggar perjanjian dengan Rasulullah.

Strategi tersebut segera dijalankan dengan mengirimkan Huyyai bin Akhthab untuk menemui pimpinan bani Quraizhah dan membujuk supaya bergabung dengan pasukan ahzab. Bani Quraizhah pun setuju untuk menghianati perjanjian damai dengan Rasulullah dan bergabung dengan pasukan ahzab.

Kabar penghianatan tersebut pun sampai kepada Rasulullah. Beliau lalu menugaskan Zubair bin Awwam untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Tak berapa lama Zubair kembali dan membenarkan kabar penghianatan bani Quraizhah.

Baca Juga: Dia Ingin Memilki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Mengetahui hal tersebut, Rasulullah langsung mengambil dua keputusan penting. Pertama Beliau mengutus Maslamah bin Aslam bersama dengan 500 prajurit untuk menjaga wanita dan anak-anak muslim yang diungsikan di perkampungan bani Haritsah di bagian selatan Madinah. Ketika itu semua pasukan muslim berada di sebelah utara Madinah, sedangkan perkampungan bani Quraizhah berada di sebelah selatan. Sehingga dengan penghianatan tersebut, bani Quraizhah bisa dengan mudah menghabisi wanita dan anak-anak muslim.

Kedua, Rasulullah mengutus Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, dan Ibnu Jubair mendatangi bani Quraizhah. Keempatnya diutus untuk mengadakan pembicaraan dengan bani Quraizhah. Alangkah terkejut keempatnya ketika bani Quraizhah menolak pembicaraan dan merobek kertas perjanjian seraya mencela Rasulullah.

“Adhl dan Qarah.” Kata keempatnya kepada Rasulullah ketika menemui Rasulullah kembali. Maksudnya adalah bani Quraizhah melakukan penghianatan sebagaimana yang dilakukan Adhl dan Qarah ketika tragedy Raji’.

Mendengar kabar penghianatan bani Quraizhah membuat orang-orang munafik berbalik ke belakang dan keluar dari pasukan muslim. Mereka beralasan bahwa rumah mereka akan menjadi sasaran pasukan ahzab karena berada di selatan Madinah.

Di tengah situasi yang semakin genting tersebut, Nuaim bin Masud datang menghadap Rasulullah. Nuaim berasal dari suku ghatafan, suku yang ikut bergabung dengan pasukan ahzab.

Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah benar-benar masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku perintah apa saja yang dapat aku laksanakan!”

Rasulullah menjawab, “Engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka bahwa sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.”

Baca Juga: Duel Menegangkan Antara Dua Ahli Pedang

“Saya siap, wahai  Rasulullah. Insya Allah engkau akan segera melihat sesuatu yang menggembirakan,” janji Nu’aim.

Setelah itu, Nu’aim segera berangkat menuju ke kubu Bani Quraidzah, yang telah menjadi sahabat baiknya sampai saat ini. Ia berhasil meyakinkan mereka untuk tidak dalam pertempuran melawan Rasulullah SAW.

“Jangan kalian bantu mereka (Quraiys) memerangi Muhammad sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian itu, yakni pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan terpandang dari mereka sebagai jaminan atas peperangan ini. Sampai kalian memenangkan peperangan ini dan menguasai negeri ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka,” saran Nu’aim. Bani Quraizhah pun menerima saran itu.

Setelah itu, Nu’aim segera beranjak menuju kubu Quraisy dan Ghathafan di luar Kota Madinah. Ia segera menemui pimpinan Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, yang saat itu dikelilingi para pembesar Quraiys. Ia berhasil merayu mereka agar tidak melanjutkan serangan bersama. Nu’aim mengatakan bahwa Bani Quraizhah menyesal memutusan perjanjian dengan Muhammad SAW, dan malah mereka akan membantu Rasulullah menghadapi pasukan Ahzab.

Mendengar penjelasan Nu’aim, Abu Sufyan berkata, “Kau adalah sekutu kami yang baik. Semoga kamu mendapat balasan yang baik pula.”

Hal yang sama dilakukan juga oleh Nu’aim kepada Kaumnya, yakni Bani Ghathafan. Dan setelah yakin bahwa Pasukan Ahzab tidak akan melancarkan serangan apa pun kepada kaum Muslimin. Diam-diam Nu’aim pergi ke Madinah dan bergabung dengan pasukan Rasulullah.

 

Oleh: Redaksi/Tarikh Sahabat

Duel Menegangkan Antara Dua Ahli Pedang

Penggalian parit akhirnya selesai dalam waktu enam hari. Kondisi Madinah makin mencekam, anak-anak dan wanita diungsikan ke benteng milik Bani Haritsah, benteng paling kokoh saat itu. Pasukan Muslim mulai menyiapkan fisik dan mental mereka untuk menyambut pasukan Quraisy dan sekutu yang mulai tampak di kejauhan.

Pasukan musuh mulai berdatangan bak air bah. Dari arah selatan Madinah terdiri dari pasukan Quraisy, Kinanah, dan sekutu mereka dari penduduk Tihamah. Jumlah mereka sebanyak 4000 prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan. Sedangkan dari arah timur, pasukan dari kabilah-kabilah Ghatafan. Total jumlah mereka mencapai 10 ribu prajurit. Jumlah ini melebihi jumlah pasukan Muslim yang hanya 3000 prajurit, bahkan melebihi jumlah seluruh penduduk Madinah termasuk wanita dan anak-anak.

Tidak berapa lama pasukan gabungan (Ahzab) tiba, mereka ingin segera bertempur dan melumat pasukan Muslim. Seketika itu mereka dikejutkan dengan parit yang menghadang dan memisahkan mereka dari pasukan Muslim. Mereka bingung karena belum pernah menjumpai siasat pertahanan seperti itu. Karenanya mereka hanya berputar-putar dekat parit dengan amarah yang memuncak tanpa bias melakukan apapun.

Dengan terpaksa, pasukan Ahzab memutuskan untuk berkemah mengepung Madinah. Keputusan ini diambil meski mereka tak memiliki persiapan untuk berkemah dalam waktu yang lama. Ketika itu cuaca sangat dingin di tengah terpaan badai yang terus menerus. Lambat laun keputus asaan mulai merasuk kedalam hati mereka. Banyak di antara mereka yang memilih untuk kembali ke rumah masing-masing.

Pasukan Ahzab terus bergerilya mencari celah untuk melompati parit. Hingga sejumlah ahli berkuda Quraisy, di antaranya Amr bin Abdi Wadd, Ikrimah dan lainnya berhasil melompati jarak lompat yang lebih sempit. Beberapa orang berhasil menyeberangi parit, Merekapun menantang pasukan Muslim untuk perang tanding.

Amr bin Abdi Wadd, seseorang yang dikenal berani dan tak pernah sekalipun kalah dalam duel satu lawan satu, dengan sombongnya menantang pasukan Muslim, “Siapa yang berani melawanku? Apakah kalian semua takut padaku?”

Ali bin Abi Thalib menjawab tantangan tersebut, keduanya kini saling berhadapan. “Siapakah  engkau?” Tanya Amr.

“Aku adalah Ali bin Abi Thalib.”

“Wahai anak saudaraku… Sesungguhnya ayahmu adalah teman dekatku, maka kembalilah! Aku tak ingin membunuhmu,” kata Amr.

Ali pun berujar, “Hai Amr, aku mendengar bahwa kau telah bersumpah. Kalau kau diberi dua pilihan, maka kau akan memilih salah satunya.”
“Benar.”

“Maka aku akan memberikan dua pilihan padamu, pilih salah satunya, Pertama, engkau mengucapkan dua kalimat syahadat.”

“Aku datang untuk memerangi Muhammad, bukan untuk masuk Islam.”

“Kalau begitu, pilihan yang kedua, aku akan membunuhmu.”

Perkataan Ali membuat Amr naik pitam, selama hidupnya tidak pernah ada yang menantangnya. Dengan cepat, Amr turun dari kuda dan menyerang Ali. Hantaman pedang Amr berhasil ditangkis dengan perisai, namun perisai Ali langsung terbelah.

Semua pasukan Muslim tegang, mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi, tertutup oleh debu-debu dan pasir yang beterbangan di sekitar dua orang yang sedang duel tersebut. Setelah lama berselang, dari balik tebalnya gumpalan debu terdengar teriakan takbir, “Allahu Akbar!”

Teriakan itu didengar Rasulullah sehingga beliau tahu bahwa Ali bin Abi Thalib telah membunuh lawannya. Rasulullah langsung menyambut dengan pekikan takbir Para sahabat pun turut bertakbir. Tubuh Amr roboh di balik gumpalan debu. Terbunuhnya Amr membuat pasukan Ahzab panik. Mereka ketakutan. Ikrimah bin Abi Jahal lari tunggang langgang meninggalkan tombaknya.

 

Oleh: Redaksi/Kisah Sahabat

 

Baca Kisah yang Ini Juga: Milyarder Mulsim yang Membuat Iri Kaum Muslimin, Dia Ingin Memiliki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

 


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan nyaman dibaca? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Mukjizat Di Sebuah Parit

 

Setengah tahun berlalu sejak pengusiran Bani Nadhir, suasana damai menyelimuti Madinah. Dalam kondisi demikian, Rasulullah memfokuskan diri untuk memperbaiki tatanan hidup masyarakat Madinah.

Suasana damai tersebut tak disukai oleh orang-orang Yahudi yang terusir dari Madinah. Sebelumnya di Madinah terdapat tiga kabilah besar Yahudi, Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir diusir dari Madinah dan menetap di Khaibar.

Tak senang melihat kaum Muslim hidup dalam ketenangan, mereka pun merencanakan makar, mengajak kabilah-kabilah yang membenci Islam untuk bersatu memerangi Rasulullah dan kaumnya. Mereka mendatangi Kaum Quraisy dan kabilah-kabilah lain untuk menggalang kekuatan menyerang Madinah. Hingga terkumpullah sekitar sepuluh ribu lebih pasukan untuk menggempur Madinah.

Informasi ini pun sampai kepada Rasulullah, Beliau segera memanggil para sahabat untuk bermusyawarah menghadapi serbuan tersebut. Dalam musyawarah, Salman al-Farisi mengusulkan idenya, “Wahai Rasulullah, dulu jika kami orang Persia dikepung musuh, kami membuat parit di sekitar kami.”

Baca Juga: Penentuan Strategi Perang

Rencana dari Salman al-Farisi pun disetujui Rasulullah.  “Mari kita gali parit di sekeliling Madinah. Kita akan bertahan di dalam kota dan memerangi mereka. Kita pun akan mencari tempat yang aman untuk anak-anak, wanita, dan orang tua.” Seru Rasulullah.

Persiapan perang segera dilakukan. Orang-orang munafik Madinah melarikan diri ke pegunungan sekitar Madinah. Sementara orang-orang tua, wanita, dan anak-anak diungsikan ke tempat yang aman.

Para sahabat mulai melakukan penggalian parit di bawah komando Rasulullah . Panjang parit membentang dari bagian barat sampai bagian timur sekitar 5 km, lebar parit sekitar 4 meter, dalamnya sekitar 4 meter. Tanah galiannya disimpan di arah Madinah, sehingga menjadi pelindung.

Rasulullah saw menugaskan setiap 10 orang menggali 40 hasta. Beliau ikut menggali parit, tidak duduk santai di tenda yang nyaman, tidak pula diam dalam kamar istimewa. Pada pagi yang amat dingin Rasulullah menggali parit bersama dengan sahabat Muhajirin dan Anshor. Beliau tahu bahwa mereka mengalami keletihan yang luar biasa dan perut mereka kosong. Oleh karenanya Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat. Maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshor.”

Seorang sahabat, Jabir bin Abdullah, merasa iba melihat Rasulullah yang terus menggali meskipun dalam keadaan lapar. Akhirnya ia memerintahkan istrinya untuk menyembelih dan memasak seekor kambing untuk dihidangkan pada Rasulullah. Jabir berbisik kepada Rasulullah untuk datang ke rumahnya sendiri saja, tetapi Beliau justru mengajak semua yang sedang menggali parit. Atas izin Allah, semua mendapat jatah makanan sampai semua kenyang, bahkan masih ada sisa daging untuk keluarga Jabir bin Abdullah.

Ketika menggali parit, para sahabat menemukan batu yang sangat keras. Setiap sahabat yang kuat maju untuk menghancurkan batu tersebut, namun batu itu tetap tak hancur juga. Para sahabat pun melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah. Beliau pun datang, mengambil cangkul dan berucap, “Bismillah. .”

Hantaman yang pertama Beliau berkata, “Allah Maha Besar, aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, aku benar-benar bisa melihat istana-istananya yang bercat merah saat ini.”

Lalu Rasulullah menghantam untuk kedua kalinya bagian batu yang lain. Bongkahan batu tersebut kembali hancur. Rasulullah berkata, “Allah Maha Besar, aku diberi kunci-kunci Persia. Demi Allah! Saat ini pun aku dapat melihat istana Mada’in yang bercat putih.”

Kemudian Beliau menghantam untuk ketiga kalinya, “Allah Maha Besar. Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah! Dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan’a.”

Inilah mukjizat. Batu yang tidak bisa dihancurkan oleh para sahabat, bisa dihancurkan oleh Rasulullah sampai hancur lebur menjadi pasir. Dan dalam keadaan sulit seperti itu, Allah memberi kabar gembira, kabar kemenangan bahwa Syam akan dikuasai oleh kaum Muslim, juga Romawi akan berada di bawah kekuasaan Islam, demikian pula dengan negeri Yaman. (Redaksi/Tarikh Islam) 

 

Tema Lainnya: Tarikh Islam, Pahlawan Islam, Dunia Islam