Menikam Keimanan!

Umat Islam, merupakan jumlah mayoritas di negeri ini. Juga merupakan jumlah terbesar bagi hitungan pemeluk Islam di suatu negara. Mereka meyakini dasar-dasar keimanan yang enam, termasuk di dalamnya keyakinan (keimanan) kepada hari akhir dengan segala ahwal-nya sebagaimana diberitakan oleh Allah melalui rasul-Nya, baik yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an maupun yang dijelaskan di dalam hadits Nabi shallalLahu ‘alayhi wa sallam. Keyakinan umat Islam terhadap hari akherat merupakan sendi keimanan yang telah mapan dan tidak ada yang mempersoalkan perkara tersebut.

Di tengah situasi sosial-politik di masyarakat begitu sensitif, suhu politik memanas dan sering terjadi benturan, baik dipicu tekanan ekonomi, polarisasi gesekan di tingkat elit politik, atau dipantik oleh semangat dan pemahaman agama (yang dianggap ekstrem dan sektarian). Keadaan itu membuat sebagaian elit politik  masygul, yang kemudian di-artikulasikan oleh Ketum PDIP Megawati pada peringatan hari ulang tahun PDIP ke 44. Isi dari pidato politik tersebut secara umum merupakan pandangan politik PDIP yang diwakili ketuanya, yang tentu saja ‘debatable’ di kalangan politikus.

Celakanya ada dictum pidato yang kebablasan,… “Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya”. Kalimat tersebut diikuti oleh applaus dari para hadirin (tidak diketahui apa arti tepuk tangan gemuruh tersebut).

Megawati membaca teks pidato, dia berposisi sebagai artikulator. Statement itu, di satu sisi dapat diasumsikan bahwa suara tersebut mewakili sikap elit politik PDIP, di sisi lain Megawati tidak bisa dikatakan tidak bertanggung jawab terhadap statement yang dibacakannya. Pidato politik di moment politis HUT partai, tentu memiliki implikasi luas. Pilihan ‘mimbar’ untuk menyampaikan statement tersebut tentu bukan accident, tetapi by design. Pilihan tempat, waktu dan perhelatan politik, dimana, kapan dan siapa yang menyampaikan pernyataan tersebut telah dipilih secara matang. Hanya apatisme atau hiprokritme yang menganggap statement itu sebagai pidato biasa dan hanya ‘bunga’ kata-kata. Sebagai mantan presiden dan menduduki posisi sebagai ketum parpol pemenang pemilu legislatif, yang ‘petugas partai’-nya berhasil menduduki kursi kepresidenan, di tengah sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, maka pidato itu ‘menempati’ posisinya.

Tikaman pada Sendi Dasar Keimanan

Rukun iman merupakan perkara yang disepakati oleh umat Islam. Rukun tersebut dalam bentuk sistematika secara urut disebutkan di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Umar bin Khaththab, yakni ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi dalam bentuk manusia yang menanyakan kepada beliau tentang apa itu Islam, Iman dan Ihsan, ditutup dengan pertanyaan beliau tentang ‘asyrotus-saa’ah’ (tanda-tanda hari Qiyamat). Keenam rukun itu dijelaskan secara bertebaran dalam ayat maupun hadits Nabi secara terpisah-pisah di banyak kejadian dan kasus-kasus, maupun dalam bentuk arahan dan tarbiyah. Tidak ada yang boleh dikurangi dari ke-enam rukun tersebut dalam keimanan, penafian atau penolakan terhadap salah satu dari kekomplitannya, ber-implikasi rusak dan ditolaknya keimanan secara total.

Namun demikian, penyebutannya di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi kadang-kadang hanya diambil unsur terbesar yang dipandang telah mewakili keseluruhannya,… yakni beriman kepada Alloh dan hari akhir. Di dalam al-Qur’an lebih dari 20 ayat yang menyebutkan iman kepada Allah dan hari akhir sebagai satu rangkaian. Mengapa? Ya,.. karena rukun iman yang lain adalah merupakan konsekuensi logis. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, konsekuensinya harus mempercayai malaikat-malaikat yang Allah mendelegasikan pengurusan urusan tertentu kepada malaikat-Nya. Dia juga harus beriman kepada kitab yang diturunkan-Nya untuk mengatur urusan hamba-Nya, beriman kepada para Nabi yang diutus-Nya, dan beriman kepada taqdir (ketetapan)-Nya; baik maupun buruk. Iman kepada Allah saja, tanpa diikuti iman kepada hari akhir, termasuk rinciannya semisal iman kepada yaum al-mahsyar, haudh, hisab, mizan, shirath, jannah dan naar, tidak ada artinya.

Iman kepada semua rincian dari keimanan kepada hari akhir itu, terkait dengan jazaa’ (balasan pahala) dan ‘iqob (hukuman). Ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, yang di-implementasikan dalam bentuk ketundukan kepada aturan dalam kitab suci dan penjelasannya dalam sunnah Nabi, juga tidak bersikap fatalistik menyerah kepada takdir dan meninggalkan ‘amal, menjadi termotivasi dengan keberadaan malaikat yang mencatat, menyertai, menolong, ikut berjihad, memohonkan ampunan dan mendoakan orang-orang yang beriman, selalu terkait dengan jazaa’ dan ‘iqob tadi.

Deklarasi Kekafiran

Pidato itu menempatkan penyusunnya, yang mengartikulasikannya, dan mereka yang menyetujuinya, berada pada salah satu diantara dua posisi, pertama kufur syakk, kedua kufur juhud, (mengingkari rukun iman tersebab ragu-ragu, atau mengingkarinya karena memang menolak). Masalahnya yang diingkari dan atau diragui adalah sendi dasar keimanan, yang apabila hanya disebut 2 (dua) itu saja, yakni ‘Iman kepada Allah dan Hari Akhir’, maka sudah tercakup didalamnya keimanan kepada malaikat, kitab-kitab suci, para rasul dan taqdir baik-buruk. Untuk perkara se-dloruriy itu, tidak ada toleransi untuk tidak mengerti.

Jika Megawati ragu-ragu terhadap kehidupan sesudah dunia fana, dan tidak yakin kepada informasinya lantaran pembawa berita toh belum pernah ke akherat, maka kemungkinannya ada 3 (tiga) ; tidak percaya ayat-ayat Allah yang mengabarkan hal itu (ingkar kepada kitab suci), tidak percaya kepada Nabi yang menjadi utusan (ingkar kepada rasul), atau (yang paling ringan) tidak percaya kepada da’i/muballigh yang menyampaikan pengajaran hal itu. Apa yang diragukan itu termasuk perkara yang dikategorikan ma’luum min ad-dien bi adl-dloruuroh, karenanya keraguan terhadapnya termasuk kufur akbar.

Napak Tilas

Tentang penolakan dan keraguan seperti itu sudah diberitakan dalam ayat-Nya, “Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akherat tidak sampai, bahkan mereka ragu-ragu tentang akherat itu, bahkan mereka buta akan hal itu. Berkatalah orang-orang kafir itu, “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita, apakah benar-benar kita akan dibangkitkan dari kubur? Sesungguhnya kami telah diancam dengan hal ini, begitu pula bapak-bapak kami dahulu, tidak lain hal ini hanyalah dongengan orang-orang terdahulu”. [An-Naml : 66-68]. Orang-orang musyrik pada masa diturunkannya Al-Qur’aan juga ragu terhadap kebenarannya,…”Mengapa diturunkan adz-Dzikr (yakni Al-Qur’aan) kepadanya (RasululLah) diantara kita?” Bahkan mereka meragukan peringatan-Ku (Al-Qur’aan), dan (sebabnya) karena mereka belum merasakan adzab-Ku. [Shaad : 8].

Sama dan sebangun,…mereka ragu kepada Al-Qur’aan, karena belum ‘nengok’ akherat, sehingga merasakan adzab Allah. Dan sekiranya mereka telah sampai ke akherat pasti mereka percaya, tetapi telah terlambat. Jika untuk mempercayai akherat dengan kenikmatan jannah dan pedihnya naar, mesti masuk untuk ‘menengok dulu’ baru kembali kedunia dan menjalani hidup dengan penuh keimanan, maka hilanglah hikmah penciptaan alam semesta oleh Allah, dan hilang pula hakekat hidup sebagai ujian untuk mengetahui siapa yang beriman dan siapa yang kufur.

Hendaknya setiap orang yang beriman mengidentifikasi dirinya dimana dia berdiri dan bersama siapa, agar tidak menyesal nantinya. Dan kepada yang tetap dalam keraguan terhadap berita Al-Qur’aan tentang apa yang terjadi setelah dunia fana,… qooluu : “salaaman”.

Paranormal Para Perusak Iman

وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِنًا وَلاَ عَرَّافًا وَلاَ مَنْ يَدَّعِيْ شَيْئًا يُخَالِفُ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ اْلأُمَّةِ

Kami tidak membenarkan dukun dan peramal, juga siapa saja yang mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijma’ umat.

Praktik paranormal, dukun, peramal, tukang sihir, dan yang sejenisnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw, bahkan sebelum zaman beliau. Pada masa Abu Ja’far ath-Thahawiy semua praktik itu masih ada dan sampai zaman sekarang pun masih ada. Seperti pada zaman ath-Thahawiy, beberapa praktik dinisbatkan kepada orang yang diklaim atau mengklaim diri sebagai wali Allah, sekarang pun demikian. Padahal para ulama telah sepakat mengenai keharamannya.

Biasanya bentuk praktik mereka adalah mengabarkan posisi barang yang hilang atau diambil orang lain, meramal nasib dengan melihat posisi bintang-bintang, meramal masa depan, memberitahukan siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, mengubah nasib, dan lain sebagainya. Ada juga yang sampai menimpakan mudarat kepada orang lain. Semua bentuk perbuatan ini hukumnya haram.

Dalil Keharaman

Keharaman berbagai macam praktik mereka ini disebut dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Di antaranya:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ

“Dan di sisi Allah saja semua kunci (ilmu) gaib. Tidak ada yang tahu selain Dia.” (Al-An’am: 59)

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah, tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit dan di bumi selain Allah.” (An-Naml: 65)

Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas bahwa yang mengetahui perkara gaib hanyalah Allah. Maka siapa pun yang mengklaim diri memilikinya atau meyakini bahwa ada orang yang memilikinya, sadar atau tidak ia telah menolak ayat-ayat di atas.

Sedangkan dari Rasulullah saw, Imam Muslim meriwayatkan dari Hafshah ra bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu ia bertanya kepadanya, sholatnya tidak diterima selama 40 malam.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurayrah ra bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم

“Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya, sungguh ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.”

Dengan sanad yang shahih Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurayrah juga bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal lalu ia bertanya kepadanya dan percaya kepadanya, sholatnya tidak diterima selama 40 malam.”

Tingkatan Dosa

Percaya atau membenarkan kata-kata dukun bertingkat-tingkat dosanya. Ada yang sampai ke tingkatan kufur dan ada pula yang merupakan dosa besar. Yang merupakan kufur adalah mempercayai kabar gaib yang dikatakannya. Termasuk perkara yang gaib di sini adalah perkara yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Misalnya peramal mengatakan, “Kamu akan menikahi laki-laki/perempuan dari daerah tertentu, kamu akan mati di daerah ini.”

BACA JUGA: Doa Penangkal Syirik

Barangsiapa yang percaya kepada kata-kata seperti ini, maka ia telah kafir. Sebab ia telah mengkafiri firman Allah tersebut di atas (yakni an-Naml: 65).

Sedangkan percaya kepada kata-kata dukun tentang perkara gaib yang sifatnya nisbi (ada orang yang mengetahuinya) seperti posisi barang hilang, barang yang dicuri, dan lain sebagainya), maka ini tidak sampai ke tingkatan kufur. Meskipun demikian, ia berada dalam bahaya besar. Seberapa besar bahayanya, cukuplah peringatan dari Nabi saw bahwa shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari.

Ada juga di antara para ulama yang menggeneralisir, percaya kepada ucapan dukun adalah perbuatan kufur. Namun yang lebih kuat adalah diperinci seperti tersebut di atas. Dasarnya, dalam hadits disebut tentang tidak diterimanya shalat selama 40 hari. Ini menunjukkan orang yang melakukannya masih punya iman. Sebab jika tidak punya iman, mestinya shalatnya tidak diterima selamanya. Dasar berikutnya, orang-orang yang datang kepada dukun atau peramal umumnya tahu bahwa para dukun dan peramal mendapatkan kabar gaib dari jin. Maknanya, mereka tidak meyakini bahwa dukun/peramal memiliki ilmu gaib secara mutlak.

Pada matan disebut juga tentang orang yang mengklaim sesuatu yang menyelisihi al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma’; bahwa kita tidak boleh membenarkan ucapannya. Baik dukun, peramal, atau orang yang mengklaim sesuatu yang bertantangan dengan al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’. Apa pun yang menyelisihi al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ tak boleh dibenarkan, meskipun ada hakikatnya. Sama seperti dukun yang terkadang apa yang dikabarkannya ada hakikatnya dan benar-benar terjadi.

Kabar Curian

Barangsiapa yang mengklaim diri memiliki ilmu gaib, sungguh ia termasuk setan atau saudara-saudaranya setan. Allah berfirman,

“Dan (Ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia!’ Lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)!’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 128)

Ayat ini menjelaskan bahwa baik manusia maupun jin telah sama-sama saling menikmati interaksi yang Rabb-ku bangun. Setan jin jin menikmati ibadah dan taqarrub manusia kepadanya. Dan sebaliknya, manusia menikmati kabar-kabar gaib yang disampaikan oleh jin.

Mengenai kebenaran yang disampaikan oleh dukun setelah mendapatkan bisikan dari jin, hal itu dikarenakan saat Allah mewahyukan kepada malaikat akan berbagai kejadian di masa yang akan datang, dan para malaikat itu menyampaikannya kepada malaikat lain yang bertugas untuk melaksanakannya, beberapa jin mencuri dengar. Maka, kabar itu disampaikan oleh para jin kepada para dukun dengan imbalan kesesatan mereka dan ibadah mereka kepada mereka. Allah berfirman,

“Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (al-Hijar: 18)

Shalat yang Tidak Diterima

Para ulama berbeda pendapat mengenai shalat 40 yang tidak diterima, apakah maknanya tidak diterima tetapi gugur kewajiban ataukah tidak gugur kewajiban, meskipun seseorang mengerjakannya. Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah tidak diterima tetapi gugur kewajiban, sebab ulama telah berijmak bahwa orang yang melakukannya tidak wajib mengulang shalatnya yang 40 hari itu. Ini menunjukkan gugurnya kewajibannya, tetapi ia tidak mendapatkan pahalanya.

Hukum Paranormal dan Dukun

Mengenai hukum dukun atau peramal, jika orang yang bertanya dan membenarkan saja diancam dengan shalatnya selama 40 hari tidak diterima dan bisa jadi sampai ke tingkatan kafir, lantas bagaimana dengan yang ditanya?

Jika dalam melakukan praktik perdukunan dan peramalannya paranormal atau dukun atau peramal meminta bantuan kepada jin/setan, maka ini adalah perbuatan kufur. Para ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat, mereka telah kafir. Kecuali dalam beberapa kasus, menurut Imam Ahmad, tidak sampai perbuatan kufur.

Menurut Imam Syafi’i, jika perbuatannya mengandung unsur kekafiran seperti beribadah kepada setan, memanggil setan dan mengajak bicara dengannya, menyembelih binatang tertentu untuknya, memenuhi keinginannya dengan menyalakan dupa/kemenyan dan lain sebagainya maka ini adalah kekafiran. Sedangkan jika tidak melakukan hal itu, maka itu termasuk dosa besar. Namun jika ia meyakini kebolehannya, maka itu juga kekafiran.

Wallahu a’lam.