Membela Kerahmatan Islam

“Kita mau menempatkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin, Rahmat buat semesta alam, rahmat buat orang hindu, orang kristen…” apa maksud perkataan ini?

Memang begitulah Islam, Rahmat bagi semesta alam. Bagi manusia, jin, tumbuhan, hewan semuanya mendapatkan kerahmatan dengan ditusnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Namun ungkapan rahmatan lil alamin ini sering disalahgunakan oleh orang yang mengaku muslim dalam membenarkan apa yang diperbuatnya.

Allah ta’ala berfirman :

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Manusia seluruhnya mendapatkan Rahmat dengan diutusnya Rasulullah, yang beriman dan mengakui kerasulan nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam akan mendapatkan rahmat di dunia hingga akhirat dengan sempurna. Yang mengaku Islam namun hatinya ragu (orang munafik) maka mereka tetap mendapat rahmat dengan diperlakukan di dunia ini sebagai muslim dan di akhirat nanti Allah memasukan mereka ke dalam neraka dan kekal selama lamanya.

Adapun orang kafir, ada dua tipe, yang memerangi Islam maka mereka mendapatkan rahmat dengan diperangi itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Tipe kedua yang memiliki perjanjian dengan Islam, maka mereka aman dan terjaga di dunia. Hujjah telah tegak, sehingga mereka tidak bisa beralasan dengan berkata, “Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al Maidah: 19)

Bukan kita yang menempatkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin, akan tetapi Allah azza wa jalla lah yang mengutus Rasul Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dengan membawa dinul Islam ini menjadi rahmatan lil ‘alamin. Cocokkan perbuatan kita dengan petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, jika sesuai maka ia membawakan Islam yang rahmatan lil alamin, namun bila perbuatan sesorang itu menyelisihi petunjuk Rasul meski banyak manusia setuju dan senang dengan perbuatannya maka ia tidak mempresentasikan Islam yang rahmatan lil alamin, akan tetapi mempresentasikan Islam yang dipahami oleh dirinya sendiri dan mengaku ngaku menempatakan Islamnya sebagai Islam yang rahmatan lil alamin.

Tidak tepat berdalil dengan Islam rahmatan lil alamin untuk mendukung orang kafir menjadi pemimpin. Bahkan tidak tepat pula bila ada yang berkata “Banyak yang beliau janjikan untuk kemajuan Islam, itu janji politik di atas materai lho. Itu yang menyebabkan saya sampai titik darah yang terakhir akan mendukung beliau (Ahok).”

Bagaimana mungkin Islam bisa maju ditangan kepemimpinan orang kafir, bukankah seorang muslim lebih percaya perkataan dan janji Allah dari pada janji bualan orang kafir?. Allah ta’ala berfirman :

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu),..” (Qs. An Nisa: 89)

Orang kafir senantiasa membuat makar, mereka hendak menipu orang-orang Islam, sepertinya membela padahal ingin mencelakakan dan mengambil dunianya. Sepertinya amanah, janji-janjinyapun dibumbui dengan materai namun Allah akan membuka kedok mereka, Allah ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang yang di luar kalanganmu menjadi teman kepercayaanmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (Qs. Ali Imran:118)

Orang kafir tak henti hentinya menimbulkan kemadharatan bagi orang Islam, lalu dari mana Islam bisa maju ditangan mereka? Bagaimana ia percaya perkataan dan janji orang kafir dan tidak yakin dengan firman Allah subhanahu wata’ala?

Yang condong, membela serta mendukung orang kafir menjadi pemimpin hanyalah orang munafik, Allah ta’ala berfirman dengan sangat jelas :

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)

Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikatnya orang-orang munafik itu condong terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main.”

Sudahlah, jangan tertipu dengan janji politik orang kafir. Kekuatan dan kemuliaan itu kepunyaan Allah, orang kafir tidak memilikinya. Tetes darah yang terakhir ini hanyalah untuk mendukung dan membela orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.

(Ust. Taufik el-Hakim)

 

 

Rahmatan lil ‘alamiin versi Anu

Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin, semua orang sepakat akan hal ini. Artinya islam adalah agama yang membawa keadilan, kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya manusia terlebih orang islam, akan tetapi segenap makhluk yang ada di dunia ini yang meliputi manusia, jin, binatang, tumbuhan dan benda mati.

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Anbiya: 107,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Sayangnya ada beberapa orang yang mengkerdilkan makna Rahmatan lil ‘alamin. Mereka salah dalam memahami tafsir dari ungkapan tersebut, sehingga berbuat suatu hal yang dipandang hormat dan mengundang rahmat, padahal justru laknat dan adzab.

Sebut saja contohnya, ketika seorang muslim terlalu bertoleransi dengan kekufuran sehingga menjadikan orang kafir atasannya, pujaannya dan memberikan gelar-gelar keislaman seperti sunan, kyai, santri dan lain sebagainya. Ia berdalih, bahwa ia telah mengaplikasikan islam rahmatan lil ‘alamin dengan berkasih-sayang kepada sesama manusia.

Ada juga beberapa orang memaknai Rahmatan lil ‘alamin dengan memberikan toleransi pada penghina agama islam. Menganggap semua agama sama di sisi Allah dan membiarkan kemusyrikan meraja-lela dimana saja. Lagi-lagi dengan dalih bahwa islam agama rahmat dan kasih sayang, tidak membentak, tidak menyakiti dan tidak mengusik kemungkaran karena itu hak asasi manusia yang harus dijaga.

Sahabat Abdullah bin Abbas, orang yang palih mahir dalam urusan tafsir al-Qur’an memberikan gambaran jelas kepada kita makna Rahmatan lil ‘alamin. Beliau berkata bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semesta alam, baik orang islam maupun non muslim. Adapun rahmat bagi kaum muslimin adalah menjadikan mereka hamba yang beriman, diberikan petunjuk dan diberikan kesempatan beramal shalih sehingga kelak akan masuk surga. Adapun rahmat bagi orang diluar islam, mereka ditundakan adzab di dunia ini dan di akhirkan di neraka. Berbeda dengan kaum-kaum terdahulu yang di segerakan adzab mereka di dunia.

Islam menerapkan syariat jihad bukan untuk kekerasan, bukan untuk kezhaliman, melainkan rasa kasih sayang kepada segenap manusia agar mereka kembali dari kekufuran menuju fitrah tauhid dan mengembalikan mereka ke tempat asal muasal mereka yaitu surga. Bentuk kezhaliman sebenarnya tentu membiarkan mereka dalam kesalahan dan memberikan jalan lapang menuju neraka.

Adapun makna rahmat bagi makhluk lainnya adalah bumi menjadi subur dengan turunnya hujan karena ketaatan manusia kepada Rabbnya dan hewan-hewan kenyang memakan makanan tanpa sedikitpun kelaparan karena ketaqwaan manusia terhadap perintah rabbnya. Dengan demikian, bukan hanya orang muslim yang mendapatkan keuntungan dari alam, bahkan orang diluar islam. Itulah sebenar-benarnya rahmat.

Bukan membiarkan orang kafir tetap dalam kekufurannya atau justru mendukungnya, dan tidak membiarkan orang maksiat terus-menerus dalam kemaksiatannya, justru hal tersebut bukanlah rahmat melainkan bentuk kezhaliman kita kepada sesama manusia. Sebagaimana beberapa orang keliru memaknainya. Mungkin maksud mereka adalah rahmatan lilkufri li nailil ujroti laa lil ‘alamin, memberikan rahmat bagi kekufuran agar mendapat imbalan bukan kepada semesta alam. Wallahu a’lam.

 

(Nurdin. Aj)