kultum Ramadhan: Takkan Mati Sebelum Habis Jatah Rezeki

Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya menceritakan, ada seorang lelaki jatuh ke dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. Orang-orang mendengar teriakannya, lalu berhasil mengeluarkan orang itu dari sumur dalam keadaan selamat. Seseorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminumnya dan menenangkan keadaannya.

Setelah tenang, orang-orang bertanya,  “Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur?”

Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikkan kronologi saat ia terjatuh ke dalam sumur. Qadarullah, tanpa sengaja orang itu terjatuh lagi ke dalam sumur dan akhirnya mati.

 

Begitulah, orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang sama kemudian mati.

Pesan dari kisah ini adalah bahwa manusia telah ditetapkan rezekinya dengan kadar tertentu. Maka tidak pantas seseorang merisaukan rezekinya di dunia. Karena tidak akan terkurangi sedikitpun jatah rezekinya, tidak pula akan tertukar dengan orang lain. Cukup bagi seseorang untuk mengoptimalkan ikhtiar dan sebab, sedangkan Pemberi rezeki adalah Allah. Tak ada rezeki yang akan tercecer, dan seseorang tidak akan mati sebelum menghabiskan jatah rezekinya di dunia.

Allah memberikan jaminan atas rezeki manusia, sebagaimana Allah telah menjamin rezeki bagi makhluk hidup lain seperti hewan. Tersedia rezeki bagi mereka dari sejak lahir hingga mati. Sebagaimana Allah berfirman:

 

{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [هود: 6]

“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Hud: 6).

Tak ada sesuatu apa yang mampu menghalangi sampainya rezeki kepada seseorang jika memang itu menjadi jatahnya. Begitupun tak ada suatu usaha atau pertolongan seorang pun yang mampu menyampaikan rezeki kepada seseorang jika memang bukan menjadi bagiannya. Karena Allah yang memiliki kuasa dan kewenangan untuk membagi rezeki kepada semua makhluknya. Inilah di antara makna dari firman Allah:

مَّا يَفْتَحِ اللَّـهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2).

Keyakinan ini akan membuat orang-orang yang beriman menghindarkan diri dari cara-cara haram untuk mendapatkan rezekinya. Karena toh, usaha haramnya tak menambah sedikit pun dari total rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Sedangkan ia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya di dunia. Berarti, usaha yang haram tidak menambah selain dosa dan penderitaan di akhirat.

Baca Juga: Kultum Ramadhan: Kenyang di Dunia, Lapar di Akhirat

Karena hanya Allah yang berhak menetapkan kadar rezeki manusia, maka Allah hanya memerintahkan manusia untuk mencari karunia Allah dan mengelola apa yang Allah anugerahkan sesuai dengan kehendak-Nya. Dan kelak, seseorang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat; dari mana ia mendapatkan harta dan untuk apa ia pergunakan hartanya. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ» هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Tidak akan beranjak kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat, hingga ia ditanya; tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang jasadnya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi).

Allah tidak akan menyoal berapa harta yang mampu didapatkan atau berapa uang yang berhasil dikumpulkan oleh manusia. Karena hal itu di luar kemampuan manusia dan mutlak menjadi kewenangan Allah semata.

Meski telah ada jaminan rejeki dari Allah, bukan berarti manusia boleh berpangku tangan, lalu menanti datangnya rezeki yang kita ingikan. Tugas kita adalah memperbagus cara mengambil rezeki, dan padanya terdapat pahala ibadah. Allah memerintahkan pada banyak ayat, baik tersurat maupun tersirat agar manusia bekerja mencari karunia-Nya, wabtaghu min fadhlillah, dan hendaknya kalian mencari karunia dari Allah.

Perintah tawakal kepada Allah, sama sekali juga tidak menghilangkan keharusan ikhtiar, karena ikhtiar adalah bagian yang tak terpisahkan dari tawakal. Sebagaimana pelajaran yang bisa diambil dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

 

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, dimana ia keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu di sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, shahih).

Imam Ahmad menjelaskan hadits tersebut, “hadits ini tidak menunjukkan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari itu demi mencari rezeki.” Wallahu a’lam.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah

 

Awali Kerja dengan Shalat Dhuha

HASYIM (60) terbaring lemah. Kedua kaki dan tangannya terasa lemas. Warga Dusun III Tanjung Tinggi Kecamatan Sijuk itu hanya berbaring di ruang kamar kediamannya. Ia menderita penyakit aneh. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Persendian tangan dan kakinya nyeri dan sulit digerakkan.

Tubuh manusia memiliki ratusan tulang yang masing-masing dihubungkan dengan persendian. Jumlah persendian dalam tubuh manusia adalah 360, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dan dibenarkan oleh para dokter. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana jika tulang-tulang yang ada dalam tubuh kita tersebut tidak dihubungkan dengan persendian. Atau salah satu persendian tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Maka, tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut, sebagaimana yang dialami oleh bapak Hasyim diatas. Sekujur tubuhnya sakit, persendian tangan dan kakinya terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.

 

Shadaqah Tanpa Harta

Setiap hari, persendian kita mempunyai kewajiban untuk bershadaqah sebagai realisasi syukur kita kepada Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Caranyapun beragam sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ:

 “Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bershadaqah setiap harinya sejak matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang yang berselisih adalah shadaqah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Berkata yang baik juga termasuk shadaqah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah shadaqah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu berat dan lelahnya kita jika harus  melakukan berbagai amal tersebut setiap harinya. Sehingga para sahabatpun bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan, wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab, “Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Baca Juga: Menahan Sendawa, Meraih Pahala

Rasulullah ﷺ memberikan kemudahan kepada umatnya, bahwa semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. Demikian penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied.

Jumlah raka’at Dhuha minimal adalah 2 raka’at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka’at. Dengan mengerjakan 2 rakaat Dhuha, kita telah melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah ﷺ.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kekasihku, Rasulullah ﷺ berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua rakaat shalat Dhuha dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (Muttafaq ‘Alaihi).

 

Keutamaan Shalat Dhuha

Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung banyak fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak dari kita yang memperhatikannya. Diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah ta’ala berfirman:

ابْنَ آدَمَ ، اِرْكَعْ لِيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهاَرِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu pada sore harinya” (HR. Tirmidzi).

At-Thayyibi menerangkan bahwa: dengan mengerjakan empat rakaat di pagi hari, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dan menjauhkan kita dari semua yang tidak kita inginkan hingga sore hari. Fadhilah lainnya, orang yang mengerjakannya dimasukkan dalam golongan orang-orang yang kembali kepada Allah. Karena shalat dhuha adalah shalat awwabin, yakni shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pahala orang yang mengerjakan shalat dhuha seperti orang mengerjakan umrah.

 

Menjadi Kaya dengan Shalat Dhuha?

Ada diantara kaum muslimin yang begitu bersemangat mengerjakan shalat dhuha. Namun ironisnya ketika mereka melaksanakan shalat wajib, justru malas-malasan dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Shalat subuh dikerjakan jam enam pagi dan shalat asar hanya kalau sempat saja. Penyebabnya, ada tujuan lain ketika mereka mengerjakannya yaitu ingin mendapatkan balasan di dunia, biar lancar rezkinya dan menjadi orang yang kaya raya. Sehingga doa-doa yang dipanjatkanpun hanya berkenaan dengan kelancaran rizki.

Baca Juga: Silaturahmi, Memanjangkan Umur Menambah Rizki

Demikian fenomena yang sering kita dapatkan di masyarakat. Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Boleh jadi akan semakin lancar rizkinya dan karirnya terus meningkat. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat? Qatadah ketika menafsirkan surat Hud: 15-16, ia berkata, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan shalehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ihlas dalam beribadah (yang hanya mengharapkan wajah Allah), selain akan mendapatkan balasan di dunia dia juga akan mendapatkan balasannya di akhirat.”

 

Luangkan Waktu

Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalan, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari mulai panas.

Memang, tidak mudah untuk melaksanakan shalat Dhuha. Karena waktunya bertepatan dengan jam-jam dimulainya aktivitas keseharian, orang sibuk bekerja mencari rezki pada waktu tersebut. Namun, sesempit apa pun waktu kita karena aktivitas sehari-hari, jika kita luangkan waktu sejenak untuk mengerjakan shalat Dhuha, insya Allah tidak akan mengurangi jatah rizki yang telah ditentukan untuk kita. Kalau toh meluangkan waktu pada waktu tersebut tidak memungkinkan pula, karena peraturan perusahaan yang begitu ketat dan mengikat, shalat Dhuha bisa kita kerjakan sebelum masuk jam kerja. Nah, mari awali kerja kita dengan melaksanakan shalat Dhuha.

Oleh: Ust. Qadri Fathurrahman/Fadhilah Amal