Konsultasi: DP hangus Karena tidak Jadi Beli

Ustadz, di sekitar kita sering kita jumpai seseorang membeli suatu barang dengan memberikan uang muka atau DP (down payment) kepada penjual barang agar barang itu tidak dijual ke orang lain. Yang umum berlaku, uang muka itu hangus atau tidak bisa diminta lagi oleh pembeli, apabila ia tidak jadi melakukan pembelian. Apakah yang seperti itu diperbolehkan? (Muslim—Sukoharjo)

 

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ

Jual beli dengan memberikan uang muka kepada penjual barang dalam istilah fiqhnya disebut dengan bay’u al-‘urban atau bay’u al-‘urbun. Ada hadits berkenaan dengan larangan jual beli dengan uang muka ini.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ

“Rasulullah saw melarang jual beli dengan uang muka.”

 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hanya,  keshahihan hadits ini diperselisihkan oleh para ulama hadits. Dan bertolak dari tidak shahihnya—juga beberapa alasan lain—para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli dengan uang muka atau DP seperti tergambarkan dalam pertanyaan saudara Muslim.

Para ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengharamkan bay’u al-‘urbun ini. Selain adanya hadits, menurut mereka, jual beli dengan uang muka ini mengandung perkara-perkara yang diharamkan Allah dalam jual beli. Perkara-perkara itu adalah: mengambil harta orang lain secara batil, adanya syarat yang rusak, dan adanya spekulasi antara jadi beli atau tidak (gharar).

Adapun para ulama madzhab Hambali—juga kebanyakan ulama masa kini—membolehkan bay’u al-‘urbun. Selain karena dhaifnya hadits, ada atsar dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau melakukannya. Ada juga keterangan bahwa Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Musayyib, dan Muhammad bin Sirin membolehkannya.

Menanggapi klaim dari mereka yang mengharamkan jual beli ini mengenai uang muka atau DP yang diambil oleh penjual jika transaksi tidak jadi, bahwa itu termasuk mengambil harta orang lain secara batil, para ulama yang membolehkan jual beli ini menyatakan, “Uang muka (DP) adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia telah kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Jadi, tidaklah benar pandangan yang mengatakan bahwa uang muka diambil begitu saja.”

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka yang membolehkan jual beli dengan uang muka ini mensyaratkan adanya batasan waktu menunggu bagi penjual, selain kerelaan dari kedua belah pihak. Maknanya jika pada saat jatuh tempo pembeli tidak datang atau tidak ada kabar kepastian darinya, pembeli boleh menjualnya ke pihak lain dan dia berhak atas uang muka yang diberikan oleh pembeli. Meskipun demikian, jika penjual mengembalikan uang muka kepada pembeli, itu adalah yang terbaik. Wallahu al-Muwaffiq.

Oleh: Redaksi ar-risalah

Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

Riba itu haram, semua sepakat. Riba itu buruk dan dosa besar yang ancamannya adalah dimusuhi Allah, sudah banyak yang tahu. Lantas mengapa masih banyak yang melakukan transaksi ribawi?

Faktor paling mendasar adalah perbedaan pemahaman mengenai bentuk-bentuk transaksi ribawi. Ada bentuk-bentuk riba yang dianggap oleh sebagian orang bukan sebagai riba. Jika begini, jangankan berhenti dari riba, menyadari bahwa yang dilakukan riba saja tidak.

Riba secara umum digolongkan menjadi riba duyun dan riba buyu’. Riba duyun (hutang) adalah riba dalam transaksi hutang dan riba buyu’ (jual beli) adalah riba dalam transaksi jual beli. Adapun riba buyu’ dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang disebabkan adanya penambahan kuantitas sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang disebabkan adanya penambahan tempo, dalam transaksi amwal ribawiyah.

Teori tentang riba cukup panjang jika dijelaskan. Pembahasan akan lebih efektif jika langsung to the point pada praktek-praktek riba yang banyak dilakukan namun dianggap bukan riba.

 

Bunga Bank

Hampir semua lembaga fatwa telah memfatwakan bahwa bunga bank haram. Misalnya, Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo memfatwakan haramnya bunag bank sejak tahun 1965, Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah sejak tahun 1985, Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Makkah sejak tahun 1406 H, Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah memafatwakan haramnya bunga bank sejak 2003. Sementara Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Munas ke-27 di Malang juga menetapkan haramnya bunga bank. Adapun NU dalam Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992 masih merincikan hukum bunga bank dan tidak menyatakan haram secara mutlak. Untuk bunga bank pada kepentingan konsumtif hukumnya haram sementara bunga produktif tidak haram.

Jadi, menurut hampir semua fatwa, bunga bank adalah haram. Abaikan saja pendapat-pendapat kaum lberal yang menyatakan bahwa bunga bank halal karena tidak ada unsur eksploitasi. Riba haram bukan karena eksploitasi, berlipat ganda, atau mencekik. Itu bukan illat atau alasan pengharaman riba. Asalkan sudah terpenuhi syarat akad ribawi, maka riba tetaplah riba meski sedikit dan kedua pihak saling ridho.

Adapun bagi warga NU atau anda yang ingin melandaskan pendapatnya pada hasil Munas NU tersebut, silakan pelajari rincian dalam keputusan tersebut. Pasalnya, hasil Munas NU tahun 1992 tersebut memiliki rincian antara bunga bank yang haram dan yang tidak. Rincian ini tidak boleh diabaikan lalu mengambil kesimpulan bahwa bunga bank boleh secara mutlak.

 

Simpan Pinjam Koperasi

Koperasi biasanya menerapkan bunga yang lebih ringan dari bank. Hasil koperasi memang bukan hanya dari simpan pinjam, namun bagaimanapun, sistem simpan pinjam koperasi juga menerapkan bunga. Meskipun kecil dan merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat, namun tetap saja bunga yang ditetapkan pada simpan pinjam adalah riba.

Pada Credit Union (UC) bunganya biasanya malah jauh lebih besar. Misalnya pada perkumpulan RT yang mengumpulkan dana dari semua anggota lalu digunakan untuk transaksi simpan pinjam khusus antar anggota. Pinjaman sebesar 1.000.000 rupiah selama 10 bulan akan dikenai 10 % dari cicilan = 10 % x 100.000 = 10.000. Ada juga yang langsung memotong uang pinjaman. Misalnya seorang anggota pinjam 1 juta, maka dia hanya menerima 900 ribu tapi harus mengembalikan 1 juta. 

Meskipun dinamai dengan biaya administrasi, 10% tersebut adalah bunga dari pinjaman. Jika yang dimaksud biaya operasional untuk administrasi, pinjaman 1 juta dengan 1,5 juta semestinya tidak berbeda. Kenyataannya, biayanya jadi beda karena menggunakan prosentase dari pinjaman.

Ada yang beralasan, bunga semacam ini bukan riba karena pada akhirnya, laba pinjaman akan dibagi ke semua anggota.

Perlu diketahui bahwa riba duyun adalah segala bentuk kelebihan dalam pinjaman. Rasulullah bersabda,

 

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap hutang yang menarik kemanfa’atan adalah perbuatan riba.”

Kepada siapapun keuntungan diberikan, jika ada kelebihan dalam pengembalian pinjaman, statusnya adalah riba. Sama saja apakah dibagi ke sesama anggota atau bukan. Alasan bahwa bunga itu hanya untuk menyejahterakan anggota, tidak bisa diterima. Bagaimanapun, anggota yang kaya tetap akan mendapat keuntungan karena tabungannya bisa selalu bertambah, sementara dia akan sangat jarang melakukan peminjaman. Sebaliknya, orang yang miskin akan lebih sering melakukan peminjaman tapi tabungan konstan.

 

Kredit Emas

Yaitu membeli emas dengan pembayaran berangsur. Menurut jumhur ulama, emas, apapun bentuknya adalah amwal ribawiyah (barang ribawi) yang ketika hendak dijualbelikan harus dilakukan dengan cara kontan. Jika ditukar dengan sesama jenis, gelang emas dengan kalung emas misalnya, beratnya haruslah sama.

Dalam persoalan ini memang ada ikhtilaf. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim menyatakan, jika emas dalam bentuk perhiasan, hukumnya tidak lagi menjadi amwal ribawiyah, hanya komoditas biasa yang boleh dikreditkan atau ditukar dengan sesuatu yang beratnya berbeda. Lain halnya jika bentuknya uang.

Namun jumhur ulama menyatakan bahwa emas apapun bentuknya adalah amwal ribawi. Di dalam hadits tentang amwal ribawi, Rasulullah menyebut “dzahab” (emas) dan “Fidhdhoh”(perak), ini unsur bukan mata uang (dinar dan dirham).

Jadi, mengacu pada pendapat jumhur ulama, emas tidak boleh dikreditkan. Pembelian emas dengan cara kredit termasuk riba. Bahkan Dewan Fatwa Saudi Arabia pada fatwa no. 3211 menyatakan bahwa emas tidak boleh dijualbelikan secara online, dimana pembeli membayar dengan transfer, lalu barang baru sampai ke tangannya 3 hari kemudian. Alasannya, pembelian emas benar-benar harus kontan tangan di atas tangan. Uang dan barang diseahkan dalam tempo bersamaan.

 

Akad Pembiayaan yang Mengandung Ribawiyah

Akad ini disebut juga al murabahah lil amir bisy syira’.  Yaitu seseorang mengatakan kepada pemilik dana (perorangan maupun lembaga) untuk membelikan suatu barang secara cash, lalu dia akan membeli barang tersebut secara kredit. Pada dasarnya, akad semacam ini dibolehkan. Namun realitanya, ketidak hati-hatian dalam mempraktikan akad ini menjadikan akad yang seharusnya jual beli menjadi hutang berbunga.

Bentuk praktik pertama: Pembeli datang ke lembaga keuangan (LK), menyatakan ingin beli mobil kijang seharga 100 juta. Lalu pihak LK menyetujui dan menyatakan langsung menjual mobil tersebut secara kredit dengan harga 110 juta selama 1 tahun kepada pembeli. Setelah itu, pihak bank menyerahkan uang sebesar 100 juta kepada pembeli untuk membeli mobil kijang dimaksud.

Ini jelas bukan akad murabahah tapi peminjaman uang dengan bunga. Dalam hal ini tidak ada transaksi pembelian sama sekali, yang ada, pembeli mendapat uang 100 juta, dan harus mengembalikan 110 juta selama 1 tahun. Ini jelas akad riba. Bisa jadi pula pembeli tidak membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang dimaksud.

Kedua: sama dengan di atas, tapi pihak lemabaga keuangan langsung menelpon dealer dan mentransfer uang seharga mobil ke dealer. Pembeli diminta ke dealer mengambil barang tersebut. Akad ini juga cacat karena pihak lembaga keuangan belum memiliki mobil tersebut secara penuh. Tidak tahu kondisinya dan resiko masih ada di tangan dealer. Akad ini mirip akad dropship barang di internet.

Masih ada beberapa masalah penting terkait akad pembiayaan ini yang harus diwaspadai. Menyepelekannya hanya akan menjerumuskan kita pada akad riba.

 

Diskon GoPay dan Sejenisnya

GoPay adalah dompet virtual pada layanan Gojek (ojek online). Pengguna layanan melakukan top up atau deposit uang dan akan mendapatkan saldo GoPay yang kemudian dapat digunakan untuk membayar berbagai layanan pada aplikasi Gojek. Keuntungan membayar layanan dengan GoPay adalah pengguna akan mendapatkan potongan harga. Go Ride (jasa ojek) misalnya, jika dibayar dengan cash Rp 18.000 tapi dengan GoPay menjadi Rp 16.000.

Depositn uang yang dibayarkan pengguna pada GoPay adalah pinjaman. Alasannya, dalam FAQ (Frequntly Asking Question) pada pembayaran GoPay dijelaskan bahwa, uang yang dibayar pengguna kepada GoPay dapat dimanfaatkan oleh GoPay untuk semua keperluan. Ini merupakan poin dalam akad hutang, dimana yang orang yang berhutang boleh memanfaatkan uang hutang untuk keperluannya. Adapun uang titipan tidak boleh digunakan oleh rang yang dititipi. Kedua, GoPay akan mengembalikan uang tersebut dalam bentuk layanan dan bisa pula ditransfer ke sesama pengguna atau ditarik kembali dalam bentuk cash via transfer bank. Ini juga merupakan poin dari akad pinjaman.

Padahal seperti dijelaskan di atas, pinjaman tidak boleh menarik suatu manfaat tambahan baik berupa nominal atau jasa. Jadi, jika anda adalah pengguna layanan Gojek dengan GoPaynya, atau Grab dengan GrabPaynya, lakukanlah pembayaran jasa secara cash. Memang sedikit lebih mahal tapi jelas bebas dari riba.

Demikianlah. Persoalan bentuk riba ini memang masuk ranah fikih. Akan ada banyak ikhtilaf dan diskusi lebih dalam. Namun begitu, sikap hati-hati sangatlah bermanfaat bagi kita mengingat ancaman riba yang luar biasa mengerikan. Hendaknya kita tidak bosan mempelajari dan mewaspadai akad-akad yang kita lakukan agar terhindar dari riba. Wallahulmusta’an.

 

Oleh: Ust. Taufikanwar, Lc

 

Baca Juga:

Maksiat Yang Paling Menjijikan Permisalannya

Ghibah, gosip, isu, rumor atau apapun namanya, yang intinya adalah menggunjing orang lain adalah dosa besar atau al kabirah. Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam menukil salah satu pernyataan Imam al Qurthubi bahwa ghibah adalah dosa besar. Pendapat ini didukung oleh banyak dalil.

Diantara dalil tersebut adalah hadits dari Said bin Zaid, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (HR. Abu Daud, dishahihkan al Albani).

Dua perumpamaan yang sangat buruk, bahkan menjijikkan pun tak ayal melekat pada perbuatan tercela ini. Pertama Allah mengibaratkan ghibah dengan “memakan bangkai saudara sendiri” seperti dalam surat al Hujurat ayat 12. Kedua, Rasulullah SAW menyamakan ghibah dengan perumpamaan yang sama dan menambahkan bahwa saking kotornya, andai saja ghibah dicampur dengan air laut, niscaya, ghibah bisa mencemari samudra.

 

Ghibah Tetangga, Lebih Besar Dosanya

Dengan status buruk seperti diatas, apapun caranya, kita harus bisa menghindarkan diri dari berbuat ghibah. Selain itu kita juga harus pandai-pandai menjaga diri agar tidak ikut terseret ke dalam majelis ghibah. Lebih-lebih jika yang dighibah adalah tetangga sendiri. Dimana dosanya bisa jadi lebih besar. Sebab, Rasulullah SAW telah banyak mewasiatkan agar kita benar-benar menghormati dan menjaga tetangga agar tidak terkena gangguan kita dalam bentuk apapun. Rasulullah SAW bersabda, ” Jibril tak henti-hentinya mewasiatkan padaku agar berbuat baik pada tetangga, hingga aku mengira mereka akan mewarisi (warisanku).”  (Mutafaq ‘alaih).

 

Baca Juga: Jihad Setan Melawan Manusia

 

Memang, bisa jadi tetangga kita justru beruntung karena dosanya terkurangi. Namun tetap, perbuatan ghibah adalah haram dan termasuk menyakiti. Sebab, pelaku ghibah ikut andil dalam menyebarkan aibnya pada orang lain. Jika kemudian orang lain tersebut membenci atau merendahkan tetangga yang dighibah, maka ia juga terkena dampak dosanya.

Alasan ghibah karena ingin berbuat baik pada tetangga dengan mengurangi dosanya tanpa sepengetahuannya hanyalah persepsi konyol. Biasanya, hal itu datang dari orang-orang yang suka bermain dengan logika-logika terhadap ketentuan-ketentuan agama.

Dari sini kita juga bisa mengukur, bagaimana seandainya yang dighibah adalah para ulama dan orang-orang shalih? Tidakkah kemadharatannya akan jauh lebih besar?

 

Terlarang di Setiap Waktu dan Tempat

Dilihat dari segi objek yang dighibah, dosa ghibah bisa bertambah. Sekarang kita bisa mengkaji lebih dalam dari sisi waktu dan tempat yang dipakai untuk mengghibah. Kapan pun dan di manapun, ghibah tetaplah tercela. Tapi jika dilakukan pada waktu dan di tempat tertentu, bahayanya bisa jauh lebih besar. Misalnya ghibah pada saat shaum. Tak hanya berdosa, ghibah juga akan menggerogoti pahala shaum. Bahkan Ibnu Hazm menegaskan, dengan ghibah, shaum bisa batal. Yang lain, ghibah saat majelis ta’lim yang dilangsungkan di masjid. Majelis ilmu adalah majelis mulia yang dinaungi sayap malaikat. Lantas, balasan seperti apa yang akan kita terima jika kita nodai dengan ghibah? Masjid juga merupakan Baitullah. Tidakkah perbuatan kita mengghibah di masjid bisa dikatakan perbuatan yang sangat lancang karena melakukan dosa di rumah Allah?

Tak bisa dibayangkan jika semua perkara itu dikumpulkan. Mengghibah tetangga saat pengajian di masjid pada saat shaum. Na’udzubillah. Dosa ghibah saja sudah terlampau berat untuk dipikul apalagi ditambah semua itu.

 

Diperbolehkan Tapi Bukan Untuk Permainan

Imam an Nawawi menjelaskannya dalam Riyadhus Shalihin Hal. 525-526, bahwa ada jenis ghibah yang dibolehkan. Ghibah ini dilakukan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana perkara tersebut tidak bisa tuntas kecuali dengan ghibah.

Pertama,

orang yang teraniaya (mazhlum) boleh menceritakan kelakuan buruk saudaranya pada hakim atau yang berwenang memutuskan perkara. Tujkuannya untuk mendapatkan keadilan atau bantuan. Namun demikian memberi maaf dan menyembunyikan keburukan adalah lebih baik, dalam kondisi tertentu.

Kedua,

menceritakan kelakuan buruk atau maksiat seseorang pada orang lain dengan maksud meminta bantuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab setiap muslim harus bahu membahu dalam memberantas kebatilan.

Ketiga,

Istifta’ (meminta fatwa) tentang sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

Keempat,

ghibah dalam rangka memperingatkan saudara muslim dari beberapa cacat dan keburukan orang lain. Misalnya, di dalam ilmu hadits hal dikenal dengan al Jarh wa at Ta’dil. Yaitu ilmu tentang penilaian perawi hadits dari sisi positif dan negatifnya. Tentang ini ada pembahasan tersendiri. Contoh lain, misalnya, untuk memperingatkan agar saudara kita tidak tertipu saat membeli barang atau budak. Wallahua’lam, untuk saat ini mungkin bisa dianalogikan dengan mencari pembantu atau pegawai. Tujuannya agar terhindar dari keburukannya. Atau untuk memperingatkan seorang pelajar  agar tidak salah memilih guru yang ahli bid’ah dan fasik.Tentu dengan cara yang tidak berlebihan.

 

Baca Juga: Lima Do’a Penghuni Neraka

 

Kelima,

menceritakan perbuatan fasik yang dilakukan secara terang-terangan. Lebih-lebih jika si pelaku tak merasa terganggu, bahkan mungkin bangga, jika kefasikannya disebut-sebut. Misalnya peminum khamr, pezina, tukang palak dan lainnya. Al Hasan pernah ditanya, ” Apakah menyebut secara langsung orang yang melakukan kekejian secara terang-terangan disebut ghibah?” Jawabnya, ” Tidak, sebab ia tidak memiliki kehormatan diri.”

Keenam,

sekadar untuk menjelaskan karakter seseorang pada yang belum mengenal. Misalnya kita menyebut si A yang pincang, buta, tuli atau lainnya. Hal ini boleh jika tidak ditujukan untuk menghina atau menjadikannya bahan tertawaan.

Yang harus diingat bahwa, dispensasi yang diberikan dalam ghibah diatas haruslah dilakukan dengan proporsional, secukupnya dan melihat kondisi dan situasi yang pas. Kita juga harus hati-hati karena setan akan berusaha memanipulasi ghibah yang haram menjadi seakan-akan diperbolehkan.

 

Oleh: Redaksi/Muhasahah

 

Rincian Pemanfaatan Bunga Bank

Banyak masyarakat yang bertanya tentang pemanfaatan dari bunga bank, apakah haram secara mutlak, atau boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum?

 

Hukum Bunga Bank

Sebelum menjawab pertanyaan di atas perlu disampaikan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwanya Nomor 1 Tahun 2004, tentang Bunga (Interest atau Fa’idah) telah menyatakan keharaman Bunga Bank. Diantara bunyi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:

“(1). Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  , yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

(2). Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.”

         

Rekening di Bank Konvensional

Jika kita mengetahui bahwa bunga bank adalah riba, maka tidak boleh membuka rekening di bank-bank yang masih menggunakan sistem riba di dalamnya, yaitu bank-bank konvensional.

Bagaimana kalau dia seorang PNS atau pegawai kantor yang tidak mendapatkan gaji kecuali melalui bank konvensional, apakah boleh membuka rekening di bank tersebut? Jawabannya: kalau memang tidak mendapatkan uang tersebut kecuali melalui bank konvensional, maka dalam keadaan seperti ini hukumnya dibolehkan karena darurat, dan darurat membolehkan yang pada asalnya haram. Ini sesuai dengan firman Allah:

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 173 )

Dan sesuai dengan kaidah fiqh,

 

 الضرورات تبيح المحظورات

“Dalam keadaan darurat membolehkan sesuatu yang (pada dasarnya) dilarang.” (as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, hlm. 83)

Sebagaimana pada ayat di atas, kedaruratannya tidak boleh dicari-cari (غَيْرَ بَاغٍ) dan tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya (وَلَا عَادٍ). Oleh karenanya setelah mendapatkan uang tersebut, harus segera dipindahkan ke rekening Bank Syariah.

 

Di dalam Fatwa Majelis Ulama Nomor 1 Tahun 2004, tentang hukum bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional:

1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.

2. Untuk wilayah yang belum ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat atau  hajat.

 

arrisalahnet arrisalahnet aarrisalahnet arrisalahnet Rincian Halal-Haram Dalam Memanfaatkan Bunga Bank

 

Memanfaatkan Uang Riba

Orang yang menyimpan dan membuka rekening di Bank Konvensional tidak lepas dari beberapa keadaan:

Keadaan Pertama: Dia membuka rekening karena keinginannya sendiri, dan mencari keuntungan darinya, karena menganggap bunga yang dia dapat dari Bank Konvensional jauh lebih tinggi daripada kalau dia menyimpan di Bank Syariah. Sebagian orang beralasan karena service dan fasilitasnya lebih bagus dari Bank Syariah.

Keadaan seperti ini bukumnya haram, karena tidak ada darurat di dalamnya. Seandainya uang hasil bunga dari riba disalurkan kepada kepentingan sosialpun, dia tetap berdosa.

Keadaan Kedua: Dia membuka rekening karena darurat, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hukumnya boleh sebatas kebutuhan saja.

Keadaan Ketiga: Dia membuka rekening atau menyimpan uang di Bank Konvensional bertahun-tahun lamanya karena ketidaktahuannya tentang keharaman riba, kemudian dia mulai paham karena belajar dan mengaji, kemudian ingin bertaubat dari riba. Inilah yang dimaksud dalam fatwa para ulama bahwa uang hasil riba ( yang sudah terlanjur), dianjurkan untuk diambil dan disalurkan kepada kemashlahatan umat Islam, seperti pembangunan jalan, pembangunan wc umum, perbaikan jembatan, bantuan korban bencana alam dan sejenisnya.

Ada dua pertanyaan terkait poin ketiga di atas:

1. Kenapa bunga riba dianjurkan untuk diambil, bukankah itu uang haram. Apakah tidak lebih baik dibiarkan saja di Bank Konvensional?

Jawabannya: dianjurkan diambil karena kalau dibiarkan tersimpan di Bank Konvensional, maka akan menjadikan keuntungan bagi merekadan akan dipergunakan untuk membesarkan Bank tersebut dan melanggengkan sistem riba. Seakan-akan orang yang membiarkan bunganya di bank tersebut, telah membantu bank untuk membesarkan sistem riba, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.

Maka dengan mengambil bunga dari bank , kemudian disalurkan kepada kemaslahatan umat Islam, telah melemahkan bank yang menggunakan sistem riba.

2.Kenapa bunga tersebut disalurkan kepada kemashlatan umat Islam?

Jawabannya, karena bunga bank tersebut diambil dari orang-orang yang berutang kepada bank tersebut, sedang kita tidak tahu siapa saja mereka itu. Oleh karenanya, bunga tersebut kita kembalikan kepada kemashlatan umat Islam.

Adapun kriteria kemaslahatan umat Islam adalah setiap manfaat yang bisa dinikmati oleh umat Islam secara umum, tidak terbatas pada seseorang, seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan umum yang rusak, mendirikan wc dan toilet umum, membantu korban bencana alam dan lain-lainnya.

Apakah boleh disalurkan untuk pembangunan masjid?  Para ulama berbeda pendapat, sebagian melarangnya, dan sebagian lain membolehkannya, karena masjid termasuk kepentingan umat Islam secara umum. Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (9/351) menukil perkataan Imam al-Ghazali: “Jika (uang haram) tersebut tidak diketahui pemiliknya, dan susah untuk mencarinya, maka hendaknya disalurkan kepada kemashlahatan umum umat Islam,  seperti membangun jembatan, penghubung jalan, mendirikan masjid, dan perbaikan jalan menuju ke Mekkah  dan hal-hal serupa yang merupakan kemashlatan umat Islam. Jika tidak bisa juga, maka dibagikan kepada para fakir miskin.” 

 

Pertanyaannya, bukankah uang riba adalah uang haram, kenapa boleh diinfakkan kepada fakir miskin? Bukankah infak itu harus dari harta yang halal, sebagaimana firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ 

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Qs. al-Baqarah: 267)

 

Jawabannya, menyalurkan uang hasil riba kepada mashlahat umum dan kepada fakir miskin tidak masuk dalam katagori “infak“ sebagaimana yang diperintahkan Allah pada ayat di atas, tetapi masuk dalam katagori membersihkan uang haram dari diri kita dan disalurkan kepada yang bermanfaat. Sekali lagi bukan berniat infak, tetapi berniat untuk membuang harta haram, tetap tetap bermanfaat bagi orang banyak.

Hal itu juga karena tidak ada cara lain untuk membersihkan uang haram tersebut dari diri kita, kecuali dengan cara di atas. Uang tersebut, tidak boleh dibakar atau disobek, atau dibuang ke laut, karena termasuk dalam tindakan mubadzir  yang dilarang oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:

 

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا 

 “..dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Qs. al-Isra’: 26-27)

 

Tidak boleh juga dibiarkan di Bank Konvensional, karena akan menguatkan mereka dan membudayakan riba.  

Berkata Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (9/351 : ” Hal itu, karena kita tidak boleh memusnahkan uang haram tersebut dan membuangnya ke laut, maka tidak ada cara lain kecuali disalurkan kepada kemaslahatan umat Islam. “

Apakah fakir miskin yang menerima uang haram itu termasuk dalam katagori orang-orang yang memakan uang haram juga?

Jawabannya, bagi fakir miskin tidak termasuk haram. Para ulama meletakkan sebuah kaidah fiqh yang berbunyi,

ما كان محرما لكسبه، فإنما إثمه على الكاسب لا على من أخذه بطريق مباح من الكاسب

“Harta yang didapat dengan cara haram, maka  dosanya bagi yang berbuat, bukan bagi yang mengambil darinya dengan cara yang benar.”

Ini seperti uang hasil riba, maka dosanya bagi yang bertransaksi dengan cara riba, bukan bagi yang mendapatkan dari orang tersebut dengan cara yang benar. Artinya orang yang bekerja di Bank Konvensional itu membeli makanan dari sebuah warung, maka uang yang didapat dari pemilik warung tersebut halal, walaupun itu berasal dari uang riba. Karena pada hakikatnya yang haram itu bukan pada uangnya, tetapi pada cara mendapatkannya.

Ini berbeda dengan barang yang dzatnya haram, seperti khamr, babi, dan narkoba, maka kita tidak boleh menerimanya, atau disalurkan kepada orang miskin. Wallahu A’lam.

Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah

 

Materi Fikih Lainnya: 

 

Bayar Hutang, Bolehkah Pinjam dari Bank?

Apakah dibenarkan ketika dililit hutang meminjam uang ke Bank untuk membayar hutang tersebut? Apakah hal tersebut bisa dikategorikan kondisi darurat? Sekian, terimakasih Jazaakumullah khairan.

Ma’ruf, Bumi Allah

………….

Allah telah mengancam hamba-Nya yang melakukan transaksi riba, termasuk di dalamnya meminjam uang dengan riba. Allah ta’ala berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 276)

Sebelumnya, kita perlu terlebih dahulu memahami definisi dharurat. Yaitu sebuah kondisi yang akan mendatangkan bahaya, kesulitan yang memuncak hingga ditakutkan mengalami bahaya pada jiwa, atau anggota badan, atau kehormatan, atau akal, atau juga harta. Bila kondisi seperti demikian maka dibolehkan melanggar yang haram, meninggalkan yang wajib atau menundanya. Seperti kondisi orang sakit yang harus segera diobati karena akan mengancam jiwanya, dan tidak mendapatkan pinjaman. Maka dibolehkan meminjamnya sebatas kebutuhan berobat. Tapi perlu dipahami, bahwa tidak semua dharurat membolehkan yang haram, seperti tidak boleh membunuh orang muslim dengan alasan dharurat atau alasan terpaksa, demikian dengan zina tidak ada alasan dharurat.

Baca Juga: Apakah Sisem Kredit Ada Ribanya?

Adapun hutang, menurut Dr. Abdullah Faqih tidak termasuk hal dharurat, Allah ta’ala telah memerintahkan kepada yang dihutangi agar menunggu hingga mampu dibayar, bahkan kalau bisa hingga memaafkan dan mensedekahkan padanya bila kondisi teramat susah. ”Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:280)

Walau demikian, memang kondisi hutang bisa beragam, sehingga kondisi tersebut bisa dilihat apakah akan mengancam jiwa, harta atau lainnya. Yang terpenting hendaknya seorang mukmin berusaha maksimal untuk membayar semua hutangnya dengan jalan yang dibenarkan oleh syari’at, lalu bertawakkal pada Allah, karena tentu Ia akan memberikan jalan keluar dari semua kesulitan tersebut. ”Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Ath-Thalaq: 2). WaAllahu ’Alam Bissawaab (Redaksi/Konsultasi

 

Tema Lainnya: Riba, Muamalah, Harta 

Riba Tidak Haram Jika Sedikit?

Ustadz, saya mau bertanya, benarkah riba diharamkan karena menzhalimi dengan bunga yang berlipat ganda? Artinya jika riba tidak berlipat ganda hukumnya boleh asal dilandasi kerelaan dari dua belah pihak. Mohon jawabannya ustadz. Syukran

Jawab:
Riba, secara garis besar dikategorikan menjadi dua; riba dalam hutang-piutang dan riba dalam jual beli. Jenis pertama terbagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun dalam jual beli ada riba nasi’ah dan riba fadhl. Sebagian ulama menjelaskan kategori yang berbeda, tetapi para ulama sepakat mengharamkan segala jenis riba. (al Mulakhash fil fiqhi 2/28).

Riba tetap haram meski tidak berlipat ganda. Di dalam surat ali Imran ayat 130 memang disebutkan bahwa kita dilarang memakan riba yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah).Namun, ayat yang mengharamkan riba tidak hanya ini. Ada beberapa ayat lain yang menjelaskan haramnya riba diantaranya; ar ruum;39, an nisa 160-161, dan al baqarah 278-279.
Dilihat dari masa turunnya, ayat 130 surat Ali Imran turun pada tahun ketiga Hijrah. Adapun yang terakhir turun adalah ayat 278-279 surat al Baqarah yang mengharamkan segala jenis riba;
Ayat.

Secara logis, memahami Ali Imran;130 dengan mafhum mukhalafah atau logika terbalik bahwa jika berlipat ganda dan memberatkan berarti haram, adapun jika tidak berarti boleh, juga tidak tepat. Dalam prakteknya, tidak ada yang menerapkan prosentase bunga hingga 100%. Padahal “lipat ganda” menurut kaidah bahasa Arab adalah 2 kali lebih besar dari semula. Lebih dari itu, “adh’af” adalah bentuk jamak. Jamak adalah nilai bilangan benda yang lebih dari tiga, jadi 3×2=6 atau 600%. Jika mau dipahami dengan logika terbalik, maka; riba haram jika mencapai 600 %, jika kurang dari itu maka tidak haram.

Asas saling rela juga bukan faktor diharamkannya riba. Meskipun dilakukan atas dasar saling rela, riba tetaplah haram. Alasannya, ayat ayat yang melarang riba mengharamkan riba tanpa ada penjelasan karena riba merupakan kezhaliman. Jadi, yang diharamkan adalah penambahan kadar baik waktu maupun nominal, dalam jual beli maupun hutang-piutang.

Jadi, meski dilakukan atas dasar kerelaan dari kedua belah pihak, penambahan tersebut hukumnya haram. Seperti halnya zina yang tetap haram meski dilakukan atas dasar suka sama suka. Atau mencuri yang tetap dinilai tercela meskipun kemudian sang pemilik merelakan barang yang dicuri. Wallahua’lam.

Kredit, Apa Ada Ribanya?

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Ustadz, sebenarnya boleh tidak sih jual beli secara kredit? Jaman sekarang ini hampir semua kredit menerapkan sistem denda jika telat membayar atau molor. Bukankah itu riba?

Trima kasih atas jawabannya.

Dari Hamba Allah di Kartasura

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Jual beli secara kredit dibolehkan dengan beberapa ketentuan harga ditentukan di awal dan tidak ada denda ketika pembayaran (angsuran) mundur.

Misalnya, si A menawarkan motor kepada si B seharga 10 juta jika cash dan 12 juta jika dibayar angsuran. Penambahan 2 juta dari harga 10 juta disini dibolehkan karena si penjual rugi dalam hal tempo atau waktu. Kemudian si B membayar secara angsur dalam tempo yang disepakati.

Ketentuan di atas perlu diperhatikan sebab jika tidak kredit dapat berubah menjadi jual beli yang dilarang.

Pertama, jika harga tidak ditentukan di awal, jual beli bisa menjadi jual beli dengan dua harga. Misalnya, si menawarkan kepada si B motor dengan harga 10 juta jika cash dan 12 juta jika kredit. lalu keduanya sepakat untuk melakukan transaksi tanpa menentukan apakah si B akan membayar cash atau kredit.

Kedua, jika harga tidak ditentukan, akad kredit dapat menjadi riba. Misalnya, harga cash 10 juta sedang kredit 10 juta plus 2 % dari sisa angsuran, atau 2 % dari 10 juta untuk setiap angsuran. Contoh: pada angsuran pertama si B membayar 1 juta. Ditambah 2% x 9 juta = 180.000. Pada angsuran kedua, jika si B menyicil 2 juta, maka dia harus membayar 2 juta plus 2 % x 7 juta= 140.000. dalam hal ini, uang 2 % tersebut adalah riba.

Ketiga, denda ketika angsuran macet adalah riba. Misalnya, setelah 10 kali mengangsur, si B pada bulan tersebut tidak dapat membayar karena suatu kebutuhan. Kemudian si A memberi denda sekian rupiah. Maka denda tersebut adalah riba yang sangat dicela di dalam Islam. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.(QS. Ali Imran: 130)

Berikut fatwa dari

Jika seorang menjual mobil atau barang lainnya kepada orang lain dengan harga 10 ribu riyal jika dibayar tunai atau 12 ribu riyal jika di angsur/kredit, kemudian keduanya berpisah dari tempat transaksi tanpa  adanya kesepakatan dari kedua belah pihak terhadap salah satu dari kedua harga tersebut, tunai atau kredit, jual beli tersebut tidak diperbolehkan dan tidak sah. Hal ini karena tidak diketahui keadaan akhir jual beli diantara keduanya, apakah dilakukan dengan tunai atau kredit. Dalam hal ini banyak ulama yang mendasari hal tersebut dengan adanya larangan Nabi untuk melakukan dua akad dalam satu jual beli, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, an Nasai dan Tirmidzi dan dia menilainya sohih. Namun jika kedua belah pihak bersepakat sebelum berpisah dari tempat transaksi untuk memilih salah satu dari kedua harga, tunai atau kredit, maka jual beli itu sah. Karena diketahuinya harga dan keadaan jual beli.(Fatwa-fatwa Jual Beli hal. 191)