Khutbah Jumat: Fatamorgana Amalan Semu

KHUTBAH JUMAT:
Fatamorgana Amalan Semu

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Kita bersyukur kepada Allah yang masih memberikan iman dan islam di dalam jiwa dan raga. Dua karunia sebagai bekal Sentosa di dunia dan alam setelahnya. Allah juga masih memberi kita nikmat aman menjalankan syariat agama. Menunaikan shalat tanpa todongan senjata, membaca quran dan mengagungkan syiar islam tanpa takut hilang nyawa.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti sunah Rasulullah hingga hari kiamat.

Tak lupa khatib mewasiatkan takwa kepada diri khatib pribadi dan kepada jamaah semua, lantaran takwa menjadi bekal terbaik untuk menghadap sang pencipta.

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Sepantasnya kita menjadi hamba yang bersyukur. Dengan karunia-Nya Allah membuka banyak sekali peluang-peluang kebaikan dari segala sisi. Hingga dengan mudah orang-orang yang memiliki semangat bisa mendatangi pintu demi pintu kebaikan. Apalagi, setiap kebaikan yang kita lakukan dilipatkan pahalanya sepuluh hingga tujuh ratus kali, atau bahkan lebih, wal hamdulillah.

Tapi, harus pula diwaspadai, jangan sampai kita seperti mengisi air di bejana yang bocor bagian bawahnya. Rajin mengumpulkan pahala, namun membiarkan kerusakan yang menyebabkan pahala menjadi sirna tak tersisa. Atau yang diumpamakan oleh Allah dengan ‘habaa’an mantsuura’, bagai debu yang berterbangan. Allah berfirman,

 وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا ﴿٢٣

“Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Ibnu al-Jauzi rahimahullah menafsirkan bahwa maksud, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Sedangkan Imam al-Baghawi menjelaskan makna “bagaikan debu yang beterbangan” yakni sia-sia, tidak mendapatkan pahala.

Kelak di akhirat akan ada orang-orang yang tercengang. Jerih payah tenaga, pengorbanan harta, perlakuan baik kepada sesama tapi tak ia dapatkan dalam timbangan kebaikan.

Di dunia mereka bisa jadi banyak bersilaturahmi, menolong orang-orang yang terkena musibah, melayani tamu dengan baik, menyantuni fakir miskin, dan bahkan ada yang digelari pahlawan lantaran berkorban nyawa, semuanya bisa sia-sia tak berguna.

Bukan karena Allah tidak menghargai jerih payah mereka, akan tetapi usaha mereka memang bukan untuk Allah, atau mereka berbuat dengan sesuatu yang berbeda dengan apa yang Allah perintahkan. Yang paling sia-sia amal perbuatannya adalah orang-orang kafir. Kebaikan yang mereka lakukan semu bagaikan fatamorgana. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّـهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّـهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ ﴿٣٩﴾

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. (QS. An Nuur (24): 39)

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Fatamorgana adalah bayangan yang terjadi akibat panasnya sinar matahari di siang hari menimpa tanah datar di padang pasir, sehingga pasir yang panas dan gersang itu terlihat bagai genangan air. Orang yang kehausan pun akan gembira melihatnya dan bersegera mendekatinya. Tapi, dia tak akan mendapatkan apa pun karena air yang tampak itu hanyalah sebuah fatamorgana. Itulah perumpamaan bagi kebaikan semu yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Di barisan orang-orang yang telah berislam, ada pula orang yang terancam amalnya sia-sia. Yakni orang-orang yang beramal secara tidak ikhlas dan tidak pula mengikuti rambu-rambu yang telah digariskan oleh syariat.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai Allah, maka itu adalah perbuatan yang batil atau sia-sia.”

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Amat disayangkan, ketika seseorang bersemangat melakukan suatu bentuk ibadah, ternyata amalnya tertolak. Karena meskipun maksudnya baik, namun apa yang dilakukan berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Allah menghendaki manusia beribadah dengan mengikuti Nabi, sedangkan manusia lebih suka berkreasi dan mencari jalan sendiri. Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَد

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak tuntunan dariku maka tertolak.” (HR Muslim)

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Balasan ini sangat wajar, bagaimana seseorang hendak meminta imbalan kepada Allah sementara ia bekerja tidak sesuai order dan perintah-Nya? Maka keberuntungan adalah bagi orang yang mencukupkan diri dengan sunnah Nabinya dalam beribadah. Ittiba’ adalah cara paling efektif untuk memproduksi pahala, sedangkan bid’ah adalah pemborosan amal. Seringkali lebih berat dan lebih lama, tapi tak ada hasilnya apa-apa.

Ambil contoh, kita pasti yakin bahwa shalat Shubuh dua rekaat lebih utama daripada tiga rekaat, meskipun lebih ringan dan singkat. Kenapa? Karena Nabi mencontohkan dengan dua rekaat. Bahkan shalat Shubuh dengan tiga rekaat menjadi tertolak ketika dilakukan dengan unsur kesengajaan, bukan karena lupa.

Begitupun dengan dzikir setelah shalat, membaca tasbih 33 kali tentu lebih utama daripada membacanya sebanya 3333 kali. Karena lebih sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ.

Penyebab lain yang membuat amal menjadi sia-sia adalah riya’ dan tidak ikhlas. Karena Allah hanya menerima amal yang ditujukan untuk-Nya. Inipun sesuatu yang adil. Bagaimana pantas seseorang meminta imbalan kepada Allah di akhirat sementara ia di dunia bekerja untuk selain-Nya?

Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat bangga atas pujian orang kepadanya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.”

Orang yang suka pamer, biasanya tampak shalih di hadapan orang tapi tak takut dosa saat sendirian. Seakan ia bersembunyi dari manusia tapi tak bersembunyi dari Allah ketika berbuat dosa. Perbuatan ini terancam dengan sirnanya amal baik yang telah dilakukan.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

يؤتى يوم القيامة برجال لهم أعمال كجبال تهامة ييضا فيجعلها الله هباء منثورا،لأنهم كانوا إذا اختلوا بمحارم الله انتهكوها

“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti bukit Tihamah kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka -sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak sadar.” Maka beliau menjawab,

أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara kalian, kulitnya seperti kalian, mereka ambil bagian di waktu malam (untuk shalat) sebagaimana kalian. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjangnya.” (HR Ibnu Majah ,dishahihkan oleh al-Albani)

Semoga Allah menerima semua amal kebaikan kita, aamiin.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

KHUTBAH KEDUA

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَىخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمْسُلْماتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُم واَلأَمْوَاتِ

اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا

وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين

Antara Pamer dan Pencitraan

Rajin beramal saat dilihat orang, tapi malas saat dalam kesendirian adalah satu di antara sekian gejala riya’ (pamer). Suatu aib yang masing-masing kita pernah dah mungkin sering terjerembab ke dalamnya. Di samping aib, dosa riya’ ini bisa merembet kepada dosa lain. Seperti yang dikatakan oleh ulama tabi’in kenamaan, Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Aku mendapati ada orang-orang yang awalnya suka riya’ (pamer) dengan apa yang dikerjakannya. Lambat laun mereka akhirnya memamerkan apa yang sebenarnya bukan merupakan amal atau hasil karyanya.

Ini adalah pengamatan yang jeli dan jelas, bagaimana penyakit riya’ menjalar dan berproses hingga membuahkan dosa baru yakni kedustaan demi mendapat pujian orang. Atau yang lazim disebut dengan pencitraan dengan konotasi negatif.

Baca Juga:
Menjadi Muslim Serba Bisa

Awalnya seseorang berlaku riya’ baik dalam hal ibadah ataupun umumnya amal shalih dan ketaatan. Dia ingin orang lain melihat dirinya sebagai sosok ahli ibadah, dermawan atau gigih dalam membantu sesama. Setidaknya, tatkala ia sedang melakukan aktifitas itu, ia berharap ada orang lain atau bahkan banyak orang bisa menyaksikannya. Sebenarnya, pada batasan ini sudah berbahaya, karena ibadah atau amal tidak diterima ketika dimaksudkan riya’. Dan ini masuk dalam kategori syirik meskipun ashghar (kecil). Riya’ memang tercela, tapi sebatas membahayakan pelakunya saja.

Berawal dari riya’ saat beramal ini, seseorang cenderung ingin menaikkan rating pujian orang terhadapnya. Karena yang penting baginya adalah pujian orang, tak peduli dengan cara yang ia lakukan. Ketika kemampuan dan kemauannya terbatas untuk meraup banyaknya pujian, maka ia akan mengklaim suatu hasil, program, proyek atau keberhasilan suatu dakwah ataupun pembangunan yang dilakukan oleh orang lain sebagai usaha keras dia.

Baca Juga:
Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Atau dengan cara menampakkan ibadah tertentu di momen tertentu agar orang lain menilai bahwa aktivitas itu sudah melekat dengan dirinya, sudah menjadi kebiasaan hariannya. Padahal aktifitas itu bukan kebiasaan aslinya. Inilah pencitraan yang mengandung kedustaan yang berbaur dengan riya’. Bahayanya tidak hanya mengenai pelakunya, tapi mengecoh banyak orang hingga mereka mengikuti ambisi pelaku berikutnya, nas’alullahal ‘aafiyah.

Ini berkebaikan dengan orang shalih, yang ketika ia dipuji atau dipandang orang di atas apa yang dilakukannya maka akan beristighfar, mohon ampunan atas keteledoran sekaligus memohon kepada Allah agar diberi kemampuan melakukan amal lebih baik lagi. Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad meriwayatkan, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekuranganku yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari penilaian mereka terhadapku.” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah

Riya’ yang Menghancurkan

Hidup di zaman modern yang disesaki berbagai piranti canggih, betapa susahnya mengontrol diri untuk tidak riya’. Bukan berarti hidup di zaman dahulu, di mana berbagai piranti itu belum ada, keinginan untuk berbuat riya’  mudah dikontrol. Tidak. Riya’  adalah sebentuk keinginan negatif yang diletikkan oleh setan semenjak dahulu hingga sekarang ke dalam hati manusia untuk menggelincirkan mereka dari jalan Allah ta’ala. Keinginan itu sejatinya telah ada semenjak dahulu. Hanya saja keinginan itu kini tampaknya datang lebih kuat dan intens.

Karena itu, betapa gampangnya sekarang didapatkan seseorang berbuat suatu amal kebajikan -sebut saja sebagai misal: bakti sosial membantu sesama yang tengah ditimpa bencana- yang beritanya cepat tersebar ke mana-mana. Tidak hanya tersebar di lokasi di mana kejadian itu berlangsung saja, namun juga tersebar ke berbagai sudut dunia yang jauh. la bisa tersebar dengan demikian cepat melalui radio, televisi, internet, koran, dan media lain yang masih banyak lagi. Piranti-piranti canggih itu memungkinkan seolah tidak ada sejengkal pun tempat di dunia ini yang bisa luput dari jangkauan berita yang disebarkannya secara massive dan bertubi.

Modernitas memang acap menimbulkan dilema. Acap pula menjadi pisau bermata dua. Sisi positif dan negatifnya -dalam konteks ini keinginan antara berbuat riya’  atau tidak- bertarung untuk saling mendominasi di dalam hati. Yang lantas menjadi

Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana memenangkan dominasi keinginan untuk tidak berbuat riya’  itu? Langkah apa saja yang bisa ditempuh?

Mencari Kedudukan

Riya’ , merujuk pada keterangan DR. Ahmad Farid dalam Al-Bahrur Raiq fiz Zuhdi war Raqaiq berasal dari kata ru’yah (melihat). Riya’ ’ diartikan dengan, mencari kedudukan di hari orang lain dengan memperlihatkan amalan dan perilaku yang baik. Kedudukan itu bisa berbentuk pujian, sanjungan, penghormatan dan citra baik bagi si pelaku amal.

Biasanya, motif yang melatarbelakangi perbuatan riya’  itu ada tiga. Pertama, motif untuk mengukuhkan kemaksiatan. Seperti orang yang menampak-nampakkan ibadah, taqwa dan wara’ nya agar ia dikenal sebagai seorang yang baik dan amanah. Itu ia lakukan supaya orang-orang mau mempercayakan pengurusan masalah harta kepadanya. Setelah, ia pun lalu melakukan tindak kejahatan terhadap harta benda tersebut. Di sini, ia melakukan riya’nya itu dengan maksud untuk memuluskan kemaksiatan yang lain, semisal korupsi atau mencuri.

Kedua, ingin memperoleh keuntungan duniawi. Seperti misalnya orang yang menampak-nampakkan ilmu dan ibadahnya agar ada orang yang mau memberikan imbalan materi kepadanya. Riya’ itu ia lakukan tidak lain agar la mendapatkan keuntungan materi. Riya’ nya adalah tunggangan baginya untuk mengelabui orang lain demi untuk mendapatkan sesuatu dari mereka. Jenis riya’  ini sangat berbahaya lantaran adalanya motif tidak benar dari si pelaku untuk memperoleh sesuatu dengan menampak-nampakkan ketaatannya kepada Allah ta’ala.

Dan motif ketiga, riya’  karena tidak ingin direndahkan orang lain. Seperti seseorang yang menampak-nampakkan ketekunannya beribadah kepada orang lain agar mereka tidak memandangnya secara rendah sebagai orang awam kebanyakan yang tidak mempunyai prestasi apa-apa. Tapi agar ia bisa dipandang sebagai seorang ahli ibadah yang banyak bertaqarrub kepada Allah ta’ala.

Berbuat riya’, apapun jenis motif yang ada di belakangnya, akan merusak agama seseorang. ltu karena riya’  dapat  menghancurkan pahala pahala amal ibadah. Seseorang yang beribadah, yang motif dalam melakukannya adalah riya’, kelak tidak akan mendapatkan nilai guna apapun dari ibadahnya tersebut. Allah memberitahukan,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir “ (QS. Al Baqarah: 264).

Di dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim disebutkan, bahwa kelak di hari kiamat Allah akan mula-mula mengadili tiga kelompok orang yang dijanjikan akan memperoleh pahala besar. Mereka itu adalah orang-orang yang ingin mati syahid, para ahli al-Qur’an dan ahli sedekah. Terhadap orang yang mati syahid, Allah mengingatkan perihal nikmat-nikmat yang dianugerahkan kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kau lakukan dengan nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu hingga mati syahid.”

Allah menyanggahnya, “Engkau berdusta! Sebaliknya engkau berperang agar orang-orang menyebutmu pemberani! Dan itu sudah dikatakan oleh mereka!” Allah lalu memerintahkan agar orang tersebut diseret di atas mukanya kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Di kelanjutan hadits disebutkan bahwa kejadian yang serupa juga menimpa kelompok manusia yang kedua dan ketiga. Naudzubillah!

Bahkan dalam sebuah hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga memberitahukan sangsi memalukan yang akan didapatkan oleh orang yang berbuat riya’ . Beliau bersabda,

“Orang yang berbuat sumah (ingin didengan orang lain), maka Allah akan memperdengarkannya. dan siapa yang berbut riya, Allah akan memperlihatkannya.”               (HR. Bukhari dan Muslim)

Memupuk Keikhlasan

Benar bahwa riya’  adalah gangguan hati yang sangat kuat dan berbahaya. Tapi sesungguhnya gangguannya itu bisa dipunahkan, seperti disebutkan oleh Faishal Ali al-Ba’dani dalam Qaidatul lnthilaq wa Qaribura Najat, tidak lain adalah keikhlasan. Bila riya’  telah mendominasi hati seseorang ketika melakukan suatu amal kebajikan, maka untuk memunahkannya adalah memeranginya dengan cara mengikhlaskan amal kebajikan tersebut hanya untuk Allah ta’ala semata.

lkhlas maknanya adalah keinginanan seseorang dalam melakukan suatu amal ibadah semata untuk menjadikannya sebagai media bertaqarrub kepada Allah. Bukan untuk tujuan lain di luar itu, semisal mencari pujian atau dipuji orang lain. Ikhlas adalah keinginan yang tulus lillahi ta’ala. Dan hati yang seluruh keinginannya bisa dikondisikan seperti ini manakala pemiliknya melakukan amal ibadah adalah hati yang bisa terselamatkan dari belitan jaring-jaring setan.

Allah berfirman yang artinya, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)

Karena riya tak henti-hentinya diletikkan setan ke dalam hati manusia. Mulai dari keinginan ibadah tersebut muncul dan pada saat beramal. Bahkan, saat amal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya ada beberapa cara untuk menjaga keikhlasan tersebut:

Pertama, Menguatkan ubudiyah kepada Allah, dzat yang maha pemurah yang akan membalas kebaikan kita melebihi daya yang kita kerahkan untuk merealisasikan ibadah tersebut. Kedua, memahami hakikat keikhlasan secara mendalam. Pemahaman yang mendalam tentang hakikat keikhlasan akan menggiring seseorang untuk lebih mudah bersikap ikhlas. Ketiga, mengingat-ingat ganjaran antara ikhlas dan riya’  dalam beramal. Dengan senantiasa mengingat-ingat dan membanding-bandingkan keduanya, dimungkinkan keinginan untuk selalu berlaku ikhlas menjadi terus bergelora.

Keempat, bermuraqabah dan bermujahadah. Maksudnya, menghadirkan perasaan bahwa Allah lah yang menyaksikan amal kita dan membalasnya. Kemudian melakukan amalan tesebut semaksimal dan sebaik mungkin. Kelima, memohon petolongan kepada Alah agar selalu konsisten dalam ikhlas. Ini penting, karena lurusnya keinginan manusia adalah karena maunah Allah.  Adapun orang yang mampu ihlas tanpa adanya pertolongan dari Allah adalah omong kosong.

Ketujuh, meninggalkan ujub dan meremehkan orang lain. Kebiasaan seseorang menganggap besar amal kebajikan yang telah dilakukannya dan menganggap kecil amal yang dilakukan orang lain haruslah ditinggalkan. Kebiasaan ini justru hanya akan menyuburkan riya’  di dalam hatinya. Kedelapan, berkawan dengan orang-orang baik. Itu karena sangat mungkin orang-orang balk itu bisa membantu untuk tidak berbuat riya’.

Kesembilan, meneladani orang-orang ikhlas. Keteladanan dari orang-orang ikhlas itu bisa difungsikan sebagai contoh bagaimana seseorang berlaku ikhlas secara semestinya. Dan yang terakhir, menjadikan ikhlas sebagai tujuan. Maksudnya, mencanangkan semacam tekad final bahwa tujuan dalam beribadah memang semata lillahi ta’ala, bukan untuk tujuan lain di luar itu.

Langkah-langkah di atas adalah usaha untuk menghilangkan sang perusak pahala. Di samping juga untuk mempersubur keikhlasan. Sebenarnya, orang harus merasa cemas, karena batas antara dosa dan pahala sangat tipis. Yaitu, niat yang ada dalam hati. Sungguh sayang apabila pahala berbagai amal kebajikan yang telah tabung di dunia, dengan mengorbankan waktu, pikiran, harta benda, bahkan nyawanya, tiba-tiba lenyap begitu saja. Bak butiran debu yang diterbangkan angin riya’. Naudzu billah.