Shalat Jenazah Di Rumah Bagi Wanita

Apakah para wanita dibolehkan menshalati mayat secara berkelompok di rumah setelah dimandikan dan dikafani?

Alhamdulillah

Seorang wanita tidak mengapa shalat kepada mayat di rumahnya. Kalau mereka berkumpul dan shalat secara berjamaah, maka hal itu lebih utama. Yang menunjukkan dianjurkan shalat wanita kepada jenazah di rumahnya adalah:

Sesungguhnya Aisyah radhiallahu anha berkata,

لَمَّا تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَمُرُّوا بِجَنَازَتِهِ فِي الْمَسْجِدِ فَيُصَلِّينَ عَلَيْهِ فَفَعَلُوا

”Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash meninggal dunia, istri-istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam meminta agar jenazahnya di bawah ke  masjid agar mereka dapat menshalatkannya, kemudian hal itu mereka lakukan.(HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah mengomentari, “Adapun para wanita, kalau bersama para lelaki, maka mereka shalat mengikuti imam para lelaki. Kalau mereka perempuan semua. Syafi’i dan para ulama pengikutnya mengatakan, ‘Dianjurkan mereka melakukan shalat (jenazah) sendiri-sendiri. Masing-masing melakukan sendiri. Kalau salah seorang di antara mereka (mengimami), itu dibolehkan akan tetapi menyalahi yang lebih utama. Dalam hal ini perlu dikaji ulang. Seyogyanya mereka melakukan jamaah seperti jamaah pada (shalat) lainnya. Ini pendapat sekelompok ulama salaf diantaranya Hasan bin Sholeh, Sofyan Tsauri Ahmad dan teman-teman Abu Hanifah serta yang lainnya. Malik mengatakan, dilakukan sendiri-sendiri.” (Syarh Al-Muhadzab, 5/172)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah seorang wanita dibolehkan berkumpul di salah satu rumah wanita, dan mereka shalat jenazah kepada mayat di rumah itu?”

Beliau menjawab, “Ya, tidak mengapa seorang wanita melakukan shalat jenazah. Baik dia shalat di masjid bersama orang-orang. Atau dia shalat (jenazah) di rumah jenazah. Karena para wanita tidak dilarang menshalati jenazah. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur.”(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 17/157)

Beliau juga ditanya, “Apakah seorang wanita shalat mayat di rumahnya atau di masjid?”

Beliau menjawab, “Shalat dia di rumahnya itu yang lebih utama. Jika dia keluar dan shalat bersama orang-orang juga tidak mengapa. Akan tetapi selagi hal itu tidak dikenal di kalangan kita, maka yang lebih utama adalah tidak menshalatinya. Maksudnya agar mereka tidak keluar ke masjid untuk melakukan shalat jenazah. Akan tetapi, shalat jenazah bagi wanita di rumah, jika  mayat itu termasuk keluarga. Jika mayat orang luar, maka tidak mungkin dia melakukan shalat gaib kepadanya.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 17/114)

Wallahua’lam.

Islamqa.info

Nabi Tidak Menshalati Munafik

Ada yang lagi ngetrend di sosial media, beberapa masjid di DKI Jakarta menolak menshalatkan jenazah para pendukung penista agama. Lalu berbagai situs berita tiba-tiba sok agamis dengan memposting bahwa satu daerah (kampung) dosa semua kalau tidak ada yang menshalatkan jenazah tersebut.

Orang-orang yang menolak menshalatkan jenazah, mereka mengambil kesimpulan daripada surat at-Taubah ayat 84 yang intinya janganlah menshalati orang-orang munafik. Mereka menganggap orang yang mendukung penista agama Islam dan bermesraan dengannya adalah orang munafik yang patut untuk tidak dishalatkan jenazahnya.

Kematian Abdullah bin Ubay

Dahulu pada masa Rasulullah SAW ada beberapa orang munafik yang mereka menampakkan keislaman namun pada hatinya mereka sangat membenci Nabi dan kemenangan Islam. sebut saja pentolan kaum munafikin, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul.

Pada saat kematian Abdullah bin Ubay, Nabi SAW menshalatkan jenazahnya dan berdoa memohonkan ampunan untuknya, lalu datanglah Umar bin Khatab berkata: “Wahai Rasulullah, Anda menshalatkan jenazah orang munafik padahal Allah telah melarang yang demikian? Lalu beliau berkata, “wahai Umar, Allah telah memberiku pilihan dalam firmannya, “Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka….”  (QS. at-Taubah:80) maka aku akan memohon lebih dari 70 kali.” Lalu turunlah firman Allah surat at-Taubah ayat: 84 sebagai berikut,

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. at-Taubah:84).

Semenjak turun ayat ini Nabi Muhammad tidak pernah menshalatkan jenazah orang-orang munafik sekalipun. Dan diantara maksud menshalatkan adalah berdoa memohonkan ampunan.

BACA JUGA: Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Sahabat Umar bin Khattab RA, ketika ada kabar kematian dari kaum muslimin, beliau tidak serta-merta datang menshalatkannya sampai melihat sahabat Hudaifah bin Yaman disitu. Karena beliau yang paling mengerti siapa saja orang-orang munafik diantara kaum muslimin, sebagaimana yang dikabarkan Nabi kepadanya.

Dari dua riwayat diatas, kita dilarang untuk menshalatkan jenazah orang munafik yang diketahui kemunafikannya. Tapi yang perlu kita garis bawahi adalah bentuk kemunafikan ada 2 macam, Nifaq I’tiqhadi yaitu zahirnya Islam tapi batinnya benci dan memusuhi Islam. kita tidak berhak menentukan kenifakan seseorang semacam ini, kecuali Allah membukakan tanda-tandanya.

Adapun yang kedua adalah nifaq ‘amali. Perbuatan kemunafikan yang dilakukan orang muslim dan tidak menyebabkan dia keluar dari agama Islam. sebagaimana Nabi menyebutkan 3 ciri orang munafik, “jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan bila dipercaya ia berkhianat.” Dalam hal ini kita bisa berkata, “perbuatanmu munafik” atau “kamu munafik dalam hal ini”. Ia adalah orang muslim dan wajib dishalatkan jenazahnya.

Wal akhir, menshalatkan jenazah pelaku nifak I’tiqhadi adalah dilarang karena sebenarnya mereka telah kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah: 84. Sedangkan pelaku nifak ‘amali mereka adalah saudara muslim kita, kita tetap wajib menshalati jenazah dan memperlakukannya sebagaimana saudara seiman.

Lalu bagaimana dengan kaum muslimin pendukung penista agama? Allah maha mengetahui apa yang ada dalam hati mereka.

(Nurdin. AJ)

Hukum Shalat Jenazah Dikuburan

Apakah shalat jenazah di kuburan itu merupakan kekhususan Rasulullah ataukah boleh juga dilakukan oleh umatnya?

Jawab :

Alhamdulillah wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah, wa ba’du.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah shalat jenazah di kuburan, sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Biasanya ada seorang wanita berkulit hitam atau seorang pemuda  yang menyapu Masjid Nabi. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kehilangan orang itu, sehingga beliau pun menanyakannya kepada para sahabat. Para sahabat menjawab, “Orang itu telah meninggal.” Beliau bersabda: “Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” Sepertinya mereka menganggap remeh urusan kematiannya. Beliau pun bersabda: “Tunjukkanlah kepadaku di mana letak kuburannya.” Maka para sahabat pun menunjukkan kuburannya, dan akhirnya beliau menshalatkannya. Setelah itu, beliau bersabda: “Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena shalat aku kerjakan atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Shalat jenazah di kuburan bukan kekhususan Nabi, Imam baihaqi dalam sunan kubranya menuliskan satu judul bab, “shalat (jenazah) diatas kuburan setelah mayit dikuburkan.” Pada bab ini terdapat hadits yang menunjukkan bahwa shalat jenazah bukanlah kekhususan Nabi, karena para sahabat menjadi makmum shalat jenazah yang di imami oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

فَأَمَّنَا وَصَفَّنَا خَلْفَهُ

“Kami menjadi makmum dan membentuk shaf di belakang beliau.” (HR. Baihaqi)

Adapun larangan untuk shalat di kuburan sebagaimana dalam hadits :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

Dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Tidaklah dipahami bahwa larangan ini berlaku untuk shalat jenazah, karena Rasulullah dan para sahabat melakukannya. Sehingga larangan shalat di kuburan adalah seluruh shalat selain shalat jenazah. Wallahua’lam bis shawab.