Syukur Seperti Nabi Sulaiman, Tabah Seperti Nabi Ayyub Alaihissalam

نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia adalah orang yang amat taat.”

Betapa sering kekayaan dan hidup berkecukupan membuat manusia lalai dan takabur. Betapa banyak pula kemiskinan dan musibah membuat manusia abai dan kufur. Maka Allah mengisahkan tentang hamba-hamba terbaiknya dengan seluruh variasi ujian yang dihadapinya, untuk menjadi teladan bagi manusia sepanjang zaman. Agar tak ada lagi yang pantas malas ibadah karena hidup terlalu nyaman. Tak ada pula yang layak meninggalkan ketaatan, lantaran menyandang hidup kesusahan.

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Saya membaca al-Qur’an, dan saya dapatkan sifat Nabi Sulaiman alaihis salam, meskipun menyandang segala kesejahteraan, beliau digelari oleh Allah, “Sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia adalah orang yang amat taat.” Dan saya dapatkan sifat Nabi Ayub alaihissalam, meskipun diuji dengan segala cobaan berat yang dialaminya, beliau juga menyandang gelar ni’mal ‘abdu innahu awaab,’ sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia adalah orang yang taat. Keduanya disifati dengan gelar yang sama meskipun latar belakang keduanya sangat berkebalikan, yang satu sejahtera dan yang kedua menanggung ujian derita.”

 

Kuat Iman Meski Hidup Berkecukupan

Adapun Nabi Sulaiman alaihis salam, beliau hidup sejahtera dan serba kecukupan. Beliau menyandang segala kenikmatan duniawi. Tubuh yang sehat perkasa, nyaris tanpa cela. Kerajaan yang sulit dicari bandingannya sepanjang zaman. Kekayaan melimpah yang sulit dihitung nilainya, dan kekuasaan yang tak diberikan kepada siapapun selainnya. Ini sebagai pengabulan doa beliau,

Ia berkata, “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi”. (QS. Shaad: 35)

Tentang kekuasaannya, Imam al-Qurthubi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Di hadapan singgasana Sulaiman ‘alaihis salam terdapat 6oo kursi, para pembesar di kalangan manusia duduk di dekat beliau. Kemudian di deretan berikutnya para pembesar dari golongan jin. Sekawanan burung juga diperintah untuk menaungi mereka. Beliau juga diberi kemampuan memerintah angin.” Disebutkan pula dalam banyak dalil, bahwa beliau mampu memahami bahasa hewan, sekaligus bisa memerintah mereka.

Baca Juga: Sabar dan Shalat, Kunci dari Semua Maslahat

Tentang semegah apa istananya, Al-Hafizh Abu Nu’aim menyebutkan riwayat dari Wahab bin Munabih, bahwa istana Sulaiman alahissalam tersusun dari seribu lantai; lantai paling atas terbuat dari kaca, dan lantai paling bawah terbuat dari besi.

Namun semua kemewahan dan kemegahan itu disadari oleh Nabi Sulaiman sebagai ujian dari Allah, seperti perkataan beliau yang dikisahkan dalam al-Qur’an,

“Ini termasuk kurnia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).”  (QS. an-Naml: 60)

Maka beliau pergunakan seluruh fasilitas yang Allah anugerahkan kepada beliau untuk taat dan mengabdi kepada Allah. Akhirnya beliau dinyatakan lulus menghadapi ujian kekayaan dan kesejahteraan. Sebagaimana firman Allah,

“Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at(kepada Rabbnya).” (QS. Shaad: 30)

Maka alangkah nista, ketika ada manusia yang memiliki harta yang tak seberapa kaya, lalu sibuk diri dengan harta dan melalaikan ibadah seperti Qarun. Begitupun yang diuji dengan jabatan yang tak seberapa tinggi, lalu bertingkah pongah sebagaima Fir’aun, wal ‘iyaadzu billah.

 

Setabah Kesabaran Ayyub

Berbeda dengan Nabi Sulaiman, Nabi Ayyub menghadapi beratnya segala cobaan hidup. Tubuh yang digerogoti penyakit, kemiskinan yang menghimpit dan keterasingan karena dijauhi masyarakat yang tak tahan berdekatan dengan beliau yang sarat dengan penyakit. Pun begitu, hatinya sehat tanpa cacat. Tak ada keluhan yang terlontar selain mengeluh kepada Allah, tak ada buruk sangka yang terlintas dibenaknya. Yang ada hanyalah kesabaran dan zhan yang baik kepada Allah. Amat berat cobaan yang menimpa beliau. Syeikh Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi dalam kitabnya Qishah Nabiyullah Ayyub alaihissalam menyimpulkan perkataan para ahli tafsir tentang firman Allah,

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS al-Anbiya’ : 83)

Beliau mengatakan, “Pada mulanya Ayyub alaihis salam adalah seorang lelaki yang memiliki banyak harta, berupa tanah yang luas, hewan ternak dan kambing, yaitu pada sebuah belahan bumi yang bernama Tsaniyah, di Huran, yang terletak di negeri Syam. Ibnu Asakir berkata, “Semua lahan yang luas itu adalah miliknya, lalu Allah menguji dirinya dengan kehilangan semua harta tersebut. Beliau diuji dengan berbagai macam ujian yang menimpa tubuhnya, sehingga selain hati dan lisannya, tidak ada sejengkalpun dari bagian tubuhnya kecuali ditimpa penyakit. Dia selalu berzikir dengan kedua indra yang masih sehat tersebut, bertasbih kepada Allah siang dan malam, pagi dan sore. Akibat penyakit yang  dideritanya, seluruh temannya merasa jijik terhadapnya, sahabat karibnya menjauh darinya. Akhirnya beliau diasingkan pada sebuah tempat pembuangan sampah di luar kota tempat tinggalnya, dan tidak ada yang menemaninya kecuali istrinya, yang selalu menjaga hak-haknya dan membalas budi baik yang pernah dilakukan terhadap dirinya serta dorongan rasa belas kasihan padanya…”

Hingga pada akhirnya Allah menyembuhkan beliau dan menilai Nabi Ayyub lulus menghadapi ujian berat. Maka Allah berfirman,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shad: 44).

Maka tidak layak bagi seseorang yang diuji dengan sedikit kekurangan, ataupun ditimpa penyakit lantas menjauh dari ketaatan kepada Allah. Ketika seseorang diuji dengan penderitaan lalu ia bersabar, niscaya Allah akan mengentaskannya dari kesulitan dan akan mengganjarnya dengan pahala yang tak terbilang besarnya (bighairi hisaab). Semoga Allah anugerahkan rasa syukur atas nikmat dan sabar menghadapi ujian. Aamiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Tafsir Kalbu

 

Tawakal Sepanjang Jalan Terjal

Musafir ilallah, orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah manusia yang kuat dan pemberani. Bagaimana tidak, jalan kebenaran untuk meraih keridhaan Allah saat berjumpa dengan-Nya adalah jalan yang penuh resiko. Telah tampak dari kejauhan bahaya yang menghadang. Jalan yang terlihat sepi dari pejalan, rawan dengan gangguan dari pihak-pihak yang tak ingin ada orang-orang yang melewati jalan itu. Akan tetapi, musafir di jalan Allah tetap keukeuh meniti jalan itu.

Bekal Sepanjang Jalan yang Terjal
Karena ia memiliki senjata ampuh, yang membuatnya lebih kuat dari umumnya manusia. Ia memiliki senjata ampuh untuk mendaki jalan yang terjal. Ia memiliki bekal yang paling memadai untuk mengatasi segala persoalan yang akan dihadapinya. Senjata dan bekal itu adalah tawakal, sebagaimana firman Allah:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3).
Tawakal adalah senjata paling ampuh yang dengannya seorang hamba bisa menahan apa-apa yang tidak bisa ditahan secara fisik. Jika Allah mencukupinya, maka Allah akan menjaga misinya. Gangguan makhluk dan rintangan yang sifatnya alami, meskipun mengenai dirinya tidak akan memadharatkan dirinya. Allah akan menolongnya hingga dia bisa tetap selamat di jalan kebenaran.

Dalam Badai’ al-Fawa’id Ibnul Qayyim menukil perkataan sebagian salaf, “Allah telah menjadikan setiapa amal akan mendapatkan balasan yang sepadan, dan Allah menjadikan balasan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya berupa kecukupan yang Dia berikan kepada hamba-Nya. Firman Allah:
“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupinya.”
Allah tidak menyebutkan bahwa orang yang bertawakal akan mendapatkan pahala sekian dan sekian sebagaimana dalam amal-amal yang lain. Akan tetapi Allah janjikan Diri-Nya akan mencukupi hamba-Nya yang bertawakal kepada-Nya dan akan menjaganya. Jikalau seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka seumpama seisi langit dan bumi membahayakannya, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya. Allah akan mencukupi dan menolongnya.”
Maka betapa tawakal itu memiliki faedah dan manfaat yang sangat agung. Alangkah butuhnya seorang hamba terhadap sifat ini. Bukan sekadar tawakal dalam hal perolehan rezeki, tapi yang lebih dari itu adalah agar tetap ditolong oleh Allah untuk menempuh misi hidupnya; bertemu Allah dalam keadaan Allah ridha kepadanya.
Ketenangan dan Kekuatan Jiwa

Tawakal adalah ibadah hati, tawakal itu dirasai. Meski secara lahir tidak tampak, akan tetapi efek yang dihasilkan luar biasa bagi pelakunya. Karena orang yang bertawakal kepada Allah berarti memasrahkan nasib dan urusannya kepada Allah yang Maha Perkasa, Mahakaya, Mahasempurna dan Mahakuasa atas segalanya. Dan Allah telah menyepakati dan menjamin kecukupan maupun pertolongan kepada siapapun yang bertawakal kepada-Nya.
Keyakinan itulah yang membuahkan ketenangan hati. Ketenangan inilah yang dirasakan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika berada dalam gua. Ketika Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkan keselamatan beliau, maka Nabi bersabda, “laa tahzan! Innallaha ma’ana”, janganlah bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita. Sebagaimana peristiwa itu diabadikan dalam al-Qur’an.
Seperti juga ketenangan yang dialami oleh Nabi, saat beliau sedang tidur di bawah pohon, ada seseorang yang mendatangi beliau seraya mengambil pedang beliau. Tak lama kemudian beliau terjaga dari tidur, sedangkan orang itu telah berdiri di atas kepala beliau dalam keadaan mengacungkan pedangnya. Dia berkata; ‘Wahai Muhammad, siapakah yang dapat menghalangiku untuk membunuhmu? Dengan tegas beliau menjawab; ‘Allah.’ Dia bertanya lagi; ‘Siapakah yang dapat menghalangiku untuk membunuhmu? Beliau menjawab; ‘Allah.’ Kalimat itu diulang tiga kali. Akhirnya orang tersebut menyarungkan kembali pedangnya lalu duduk tak bisa berbuat apa-apa, sementara Rasulullah tidak menghukumnya. Demikian seperti yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.

Dengan tawakal, ketenangan hati akan bisa kita raih saat menghadapi sikap orang kebanyakan yang menganggap asing pilihan hidup kita. Pilihan untuk taat di zaman maksiat, pilihan untuk menjauhi kesyirikan di tengah masyarakat yang masih melestarikannya, dan pilihan untuk mencegah kemungkaran saat kemungkaran banyak dibacking oleh para pendukungnya.
Bukan saja tenang, orang yang bertawakal juga akan mendapat kekuatan jiwa. Fitrah manusia akan merasa kuat apabila ada sandaran atau ‘back up’ dari pihak yang kuat. Sandaran mana yang lebih kuat dari Dzat yang dijadikan sandaran oleh orang-orang beriman. Allah Mahakuat dan kuasa untuk berbuat apapun, kapanpun, di manapun dan kepada siapapun. Inilah di antara rahasia kemenangan perang Badar di mana kaum muslimin mampu mengalahkan musuh yang berlipat jumlahnya. Allah mengisahkan peristiwa itu:
“Ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu dikabulkan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bantuan kepadamu seribu malaikat yang datang bersambungan.” Dan tidaklah hal itu dijadikan oleh Allah untukmu kecuali sebagai berita gembira dan untuk menenteramkan hatimu. Dan tiada lain kemenangan itu kecuali datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (QS. Al Anfal: 9-10)

Optimis dan Tidak Gampang Berputus Asa
Orang yang bertawakal tidak akan putus harapan. Harapannya sentiasa segar dan memancar, sekalipun ketika dihenyak oleh ujian yang paling menggentarkan. Ia yakin, Allah tidak akan mengecewakannya, begitulah bisikan hati orang yang menyerahkan nasibnya kepada Allah.
Bahkan semakin cemas dan beratnya ujian yang melanda, semakin dekat mereka rasakan bantuan Allah akan tiba. Firman Allah:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (ketahuilah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Ketika hati terpaut kepada Allah, ia akan pasrah dan menyerah atas segala ketentuan Allah sekalipun apa yang terjadi berbeda dengan apa yang dikehendaki. Jiwa merasakan apa yang berlaku semuanya baik-baik belaka. Tidak ada ruang untuk kecewa, marah dan putus asa. Semua ini adalah buah dari sangka baik kepada Allah yang tidak akan menyusahkan apalagi menzalimi hamba-Nya.

Pertolongan Allah yang Datang Tepat Pada Waktunya
Tawakal yang sesungguhnya tak menjadi luntur ketika yang di depan mata berbeda dengan yang diharapkannya. Tak akan rugi siapapun yang menyandarkan urusannya kepada Allah. Hanya saja, soal kapan dan bagaimana cara Allah menolong hamba-Nya adalah sesuatu yang tak bisa diduga. Tapi pastilah itu terjadi dengan cara dan waktu yang paling tepat. Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in menjelaskan firman Allah:
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Beliau berkata, “Ketika Allah menjanjikan akan memberi kecukupan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya, bisa jadi seseorang ada yang menduga bahwa pertolongan itu datang segera seperti yang diharapkannya, maka Allah menimpali dengan firman-Nya, “…Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Yakni waktu yang tak bisa dipastikan lamanya, namun Dia akan memberikannya pada waktu yang tepat seperti yang telah Dia tetapkan. Maka tidak selayaknya seseorang mengatakan, “Aku sudah bertawakal, sudah berdoa tapi saya belum melihat hasil dan pertolongan-Nya. Yakinlah bahwa Allah akan menyelesaikan janji-Nya pada waktu yang telah ditetapkannya.”

Seperti Nabi Ibrahim alaihissalam yang ditolong oleh Allah tepat pada waktunya. Allah menolong beliau saat dilemparkan ke dalam api, sesaat setelah beliau mengucapkan, “hasbunallahu wa ni’mal wakiil.” Hingga Allah menyelamatkannya dari api.
Begitupun dengan Nabi Musa alaihissalam, saat terdesak oleh kejaran bala tentara Fir’aun, sementera di depan adalah samudera luas, Allah menolong Rasul yang telah bertawakal kepada-Nya di saat yang tepat,
“Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab:”Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS asy-Syu’ara 60 – 62)
Maka semestinya kepada Allahlah orang-orang mukmin itu bertawakal. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)