Mengajarkan Syahadat agar Anak Selamat

Syahadat, Laa ilaaa illallah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, merupakan kunci Islam. Ini adalah kalimat thayyibah (yang baik), yang lebih berat dalam timbangan daripada seluruh langit dan bumi. Kita mengajarkannya kepada anak-anak kita, pertama kali yang dia katakan, dan lafazh-lafazhnya mengetuk pendengaran-pendengaran mereka pada waktu pertama kali dia keluar dari perut ibunya.

Ibnul Qayyimrahimahullahdalam kitab Ahkam al-Maulud mengatakan: “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat la ilaha illallah Muhammad Rasulullah, dan hendaklah sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah berada di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka dan Ia senantiasa bersama dengan mereka di mana pun mereka berada. Adalah Bani Israil dahulu sering sekali memperdengarkan kepada anak-anak mereka kata-kata “Imanuel” yang berarti “Tuhan bersama kita”. Oleh karena itu nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Sebab, jika anak kelak sudah paham dan mengerti, ia akan tahu bahwa ia adalah hamba Allah dan bahwa Allah adalah Tuannya.”

Baca Juga: Ayah Galau, Anak Move On!

Ibnu Zhafar Al-Makki membawakan sebuah kisah menarik mengenai kecintaan anak untuk mengulang-ulang kalimat syahadatain. Beliau mengatakan: Telah sampai kepadaku sebuah kisah bahwa Abu Sulaiman Dawud bin Nushair At-Tha’i -rahimahullah- ketika berumur lima tahun dipasrahkan oleh ayahnya kepada seorang pendidik. Sang guru memulai mengajarinya dengan mendiktekan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika si anak telah mempelajari surat Hal ata ‘alal-Insan (surat Al-Insan) dan telah menghafalkan, maka suatu hari di hari Jumat sang ibu melihatnya sedang menatap ke tembok dengan merenung sambil menunjuk sesuatu dengan tangannya. Ibunya pun akhirnya mengkhawatirkan mentalnya lalu memanggilnya: “Wahai Dawud, bangkit dan bermainlah dengan anak-anak yang lain!” Ia tidak mau memenuhi saran ibunya dan akhirnya ibunya menariknya secara paksa dan mengancamnya. Ia kemudian berkata: “Ada apa dengan ibu? Ada yang tidak berkenan pada ibu?” Sang ibu balik bertanya: “Di mana pikiranmu?” Ia menjawab: “Akalku bersama hamba-hamba Allah ?” “Di mana mereka?”, tanya ibunya lagi. Ia menjawab: “Di surga?” Ibunya bertanya lagi: “Sedang apa mereka?” Ia menjawab:

مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا

“Di dalamnya mereka bertelekan di atas dipan. Di dalamnya mereka tidak merasakan teriknya matahari dan tidak pula merasakan dingin yang menusuk.” (QS. Al-Insan: 13)

Ia terus membaca ayat-ayat selanjutnya dengan perenungan yang mendalam hingga sampai pada firman Allah :

هَذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَكَانَ سَعْيُكُمْ مَشْكُورًا

“Dan perbuatanmu tentu akan disyukuri (diberi balasan).” (QS. Al-Insan: 22)

Sesudah itu sang anak melontarkan pertanyaan kepada ibunya: “Wahai ibukku, tahukah engkau apa sebenarnya yang telah mereka perbuat dahulu?” Sang ibu tidak bisa menjawab, dan akhirnya ia berkata kepadanya: “Biarkan aku sejenak hingga aku selesai bertamasya menjelajahi mereka!” Setelah itu sang ibu pergi mebawanya ke hadapan sang ayah untuk memberitahukan perihal anaknya. Ayahnya kemudian berkata kepadanya: “Wahai Dawud, amalan mereka dahulu adalah mengucapkan la ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Maka Dawud pun akhirnya mengisi sebagian besar waktunya dengan ucapan kalimat ini.

Rasulullah sejak pertama kali mendapatkan risalah tidak pernah menjauhkan anak-anak dari beriman kepada seruan beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Abi Thalib ra, sedangkan ketika itu usianya tidak lebih dari sepuluh tahun, lalu beliau menyerunya untuk beriman dan akhirnya ia pun beriman kepada beliau dan menemani beliau dalam melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekah sehingga tidak diketahui oleh keluarga dan ayahnya sekalipun.

Baca Juga: Saat-saat Berharga Bersama Anak

Ayah Ali, Abu Thalib, pernah mendapati anaknya dan Nabi sedang mengerjakan shalat, lalu ia bertanya kepada beliau: “Wahai keponakanku, agama apakah yang engkau peluk ini?” Beliau menjawab: “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, agama para malaikatnya, agama para rasulnya, dan agama bapak kita Ibrahim. Allah  telah mengutusku sebagai seorang rasul kepada para hamba, dan engkaulah orang yang paling berhak untuk aku ajak kepada petunjuk dan yang paling berhak untuk memenuhi seruanku ini serta membantuku dalam urusan agama ini.”

Orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan budak yang dimerdekakan adalah Zaid bin Haritsah. Ia dibawa oleh paman Sayidah Khadijah, yaitu Hakim bin Hizam, dari Syam sebagai tawanan, lalu ia diambil sebagai pembantu oleh Khadijah. Rasulullah kemudian memintanya dari Khadijah lalu memerdekakannya dan mengadopsinya sebagai anak dan mendidiknya di tengah-tengah mereka.

Demikianlah Rasulullah memulai dakwahnya yang baru di dalam menegakan masyarakat Islam dengan menfokuskan perhatian terhadap anak-anak, dengan cara memberikan proteksi, dengan menyeru dan mendoakan sehingga akhirnya si anak kelak memperoleh kemuliaan sebagai ‘tameng’ Rasulullah dengan tidurnya si ananda di rumah beliau di malam hijrah ke Madinah. Ini merupakan buah dari pendidikan yang ditanamkan oleh Nabi kepada anak-anak yang lagi tumbuh berkembang agar menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan dan menjadi pendiri masyarakat Islam yang baru. Wallahu a’lam (Redaksi/Pendidikan Anak/Keluarga)

 

Tema Terkait: Pendidikan Anak, Syahadat, Sirah Nabawiyah

 

Kenangan dan Bekas yang Baik Pada Anak

Setiap anak memiliki pengalaman yang berbeda-beda ketika kecil, apa yang ada disekelilingnya memberikan kenangan tersendiri. Anak yang sering bertemu dengan kedua orang tuanya ketika kecil namun ia melihat kedua orang tuanya melakukan hal-hal yang buruk maka hal itu akan berdampak buruk bagi kejiwaan anak, begitu pula dengan anak yang sejak kecil ditinggal oleh kedua orang tuanya kemudian dititipkan ke tempat penitipan atau bersama pembantu dirumahnya.

Apa yang anak-anak lihat akan terbawa sampai dewasa menjadi kenangan, bisa kenangan indah atau kenangan yang buruk. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para sahabatnya, memberikan contoh kepada kita semua bagaimana menjadi orang tua yang baik, memberikan kenangan dan bekas yang indah kepada anak. Mulai dengan memberikan nama yang baik.

Baca Juga: Saat Berharga Bersama Anak

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dengan sanadnya yang sampai kepada sahabat Ali bin Abi Thalib, beliau berkata “Ketika Hasan sudah lahir, Rasulullah datang seraya berkata, ‘Perlihatkanlah anakmu kepadaku. Dengan apa kamu menamainya?’ Maka saya menjawab, ‘Saya menamainya Harb (perang).’ Beliau berkata, ‘Namailah dia Hasan.’ Dan ketika Husain lahir, saya menamainya Harb, lalu Rasulullah menamainya Husain. Dan ketika anak yang ketiga lahir, saya menamainya Harb lalu beliau berkata, ‘Namanya Muhassin.’ (HR. Ahmad, sanadnya disahahihkan Ahmad Muhammad Syakir)

Setelah memberikan nama yang baik dan ketika sudah bisa berjalan, ajak mereka untuk melihat kebaikan, diantaranya adalah membawa mereka ke masjid. Meskipun masih kecil tidak mengapa untuk dibawa ke masjid asalkan kita bisa mengontrolnya dan menjaga kebersihan masjid.

Abdullah bin Syaddad meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu shalat dzuhur atau ashar tiba, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuah peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. Nasai)

Ajak dan biarkan anak-anak melihat kebaikan-kebaikan, bahkan perintahkan mereka untuk melihat dan menyaksikan kebaikan, in syaallah akan berpengaruh, memotivasi dan memudahkan dirinya untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang pernah ia saksikan.

Abbas radhiallahu’anhu pernah mengirim putranya Abdullah bin Abbas untuk menginap di rumah Rasulullah, yaitu di rumah bibinya maimunah. Hal ini tidak lain supaya putranya bisa melihat kebaikan kebaikan di rumah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, terbukti ketika menginap di rumah Rasulullah, Ibnu Abbas berkata;

“aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit lalu beliau membaca; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190). Lalu beliau berwudhu dan bersiwak, kemudian shalat sebelas raka’at. Setelah mendengar Bilal mengumandangkan adzan, beliau shalat dua raka’at kemudian beliau keluar untuk shalat subuh. (HR. Bukhari)

Bekas apa yang kita tinggalkan kepada anak-anak kita, apakah kebaikan-kebaikan, atau keburukan-keburukan, mereka terbangun melihat kita shalat dan mendengar lantunan al-Qur’an  atau pemandangan keluarga yang sedang bergadang menyaksikan tontonan layar kaca dengan suguhan rokok dan suara nyayian!

Baca Juga: Kebiasaan Ngompol Pada Anak

Salihkan diri kita sebelum berencana menikah dan diberi Allah berupa keturunan, bahkan siapkan kesalihan anak dengan memilih calon ibu yang shalihah.

Namun bila sudah terlanjur dahulu pernah melakukan keburukan dan mereka pernah menyaksikannya, maka jika kita sempat mendapati mereka dewasa ralatlah memori buruk mereka dengan kalimat bahwa dahulu bapak dan ibumu belum mengerti nak, alhamdulillah sekarang sudah mendapat hidayah dari Allah dan mengetahui bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang sia sia bahkan dosa, semoga keturunanmu nanti bisa melihatmu dalam keadaan yang baik dan menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah ta’ala mengampuni, memperbaiki keadaan kita serta menyolehkan keturunan kita semua. Amin ya Rabb..(Redaksi/Keluarga/Anak)

 

Tema Terkait: Keluarga, Pendidikan Anak, Tarbiyah