Ghirah Cemburu Karena Allah

Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa yang mungkin dianggap kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”, yakni cemburu karena Allah.

Siapapun yang menempuh jalan sebagai penghamba Allah, pasti mengalami fase tumbuhnya ghirah (rasa cemburu) seiring dengan bertambahnya cinta kepada Allah. Karena kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta.

Sebelum memahami seperti apa cemburu yang semestinya dimiliki seorang hamba, perlu dipahami bahwa Allah pun memiliki sifat cemburu.

Allah Cemburu Terhadap Hamba-Nya

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madaarijus Saalikin berkata, ghirah itu ada dua; ghairatul Haq Ta’ala ala ‘abdihi (kecemburuan Allah atas hamba-Nya) dan ghairatul abdi Lirabbihi (kecemburuan hamba karena Allah).

 

Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

 

Adapun kecemburuan Allah atas hamba-Nya yakni Allah tidak mau disekutukan dengan makhluk dan makhluk hanya boleh beribadah kepada-Nya semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، فَلِذَلِكَ حَرَّم الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَر مِنْهَا وَمَا بَطن

“Tiada yang lebih besar cemburunya daripada Allah, dan di antara kecemburuan-Nya adalah Dia mengharamkan perbuatan yang keji; baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR Muslim)

Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi,” (QS al-A’raf 33)

Seorang mukmin memahami, bahwa Allah memiliki sifat cemburu, Dia tidak ingin disekutukan dengan selain-Nya, dan tidak ingin ada yang lebih diutamakan oleh seorang hamba dari-Nya.

Jika kita takut kecemburuan atasan kita yang kita khawatiri akan marah melihat kita malas-malasan dalam bekerja, lantas bagaimana kita berani bermalas-malasan saat beribadah kepada Allah? Padahal ketika Allah marah, Dia Kuasa untuk berbuat apapun yang Dia kehendaki.

Pengetahuan akan ghirah Allah terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-Nya juga menjadikan orang mukmin takut berbuat maksiat meskipun dalam keadaan sendirian, karena di manapun kemaksiatan dilakukan oleh seorang hamba, maka bagi Allah itu adalah maksiat terang-terangan di hadapan-Nya. Karena tak ada yang tersembunyi sedikitpun dari Allah.

Bagaimana orang berani berzina ketika ingat kecemburuan Allah. Takkan pula seseorang nekad menjamah yang haram karena takut Allah cemburu kepadanya. Karena ia tahu, ketika ia membuat Allah cemburu maknanya mengundang kemurkaan Allah terhadapnya. Bisa saja Allah mencabut semua nikmat seketika, dan alangkah mudah bagi Allah untuk membalikkan keadaan seseorang dalam waktu sekejap mata.

Cemburu Karena Allah

Adapun kecemburuan hamba karena Allah ada dua, yakni cemburu terhadap diri sendiri dan cemburu terhadap orang lain.

Adapun cemburu terhadap diri sendiri adalah ketika seseorang tidak menjadikan perbuatan, perkataan, perilaku, waktu dan jiwanya untuk selain Allah. Inilah pengertian ghirah yang biasa diartikan dengan bersemangat dalam kebaikan. Karena ia tidak ingin terlihat cacat di hadapan Allah, dan berharap Allah memandang ridha kepadanya. Bahkan, ia berharap dan berusaha untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Allah. Karena itulah ia siap berlomba dalam sebagala bentuk kebaikan, “wa fie dzaalika fal yatanaafasul mutanaafisuun,” dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS al-Muthaffifin 26)

Ghirah akan membuat seorang hamba bersungguh untuk terus mendekat dan mencari perhatian Allah. Ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat gerak gerik ia dalam ibadah, maka ia berusaha melakukan yang terbaik dan tak ingin terlihat Allah dalam keadaan lalai hatinya atau malas gerak geriknya. Firman Allah Ta’ala

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk salat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS asy-Syu’ara 218-219)

Imam al-Harawi menyebutkan di antara contoh ghirah adalah ghirahnya seorang ahli ibadah yang kecewa tatkala kehilangan suatu amal sehingga dia akan berusaha mengganti amal yang setara dengan apa yang ia tinggalkan atau berusuha menyusul apa yang ia terlambat mengerjakannya.

Seperti ghirahnya Umar bin Khathab radhiyallahu anhu menyedekahkan kebun yang menjadi sebab terlambatnya beliau dari shalat berjamaah. Atau seperti putera beliau, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma yang menghdiupkan malam dengan shalat semalam suntuk lantaran tertinggal satu rekaat shalat Isyak.

Itulah ghirah karena Allah yang berhubungan dengan diri sendiri.

Adapun cemburu terhadap orang lain adalah ia akan marah ketika apa-apa yang dilarang oleh Allah dilanggar oleh manusia dan hak-hak-Nya disepelekan dan dan dilecehkan oleh manusia.

 

Baca Juga: Bila Mengaku Islam Buktikan

 

Ghirah dalam hal ini berarti kepekaan jiwa untuk menolak hal-hal yang membahayakan stabilitas keimanann seseorang. Maknanya, ketika seseorang memiliki ghirah karena Allah, jiwanya akan berontak ketika nafsu membujuk untuk maksiat. Jiwanya juga akan terusik ketika penyimpangan itu dilakukan oleh orang-orang dekatnya. Ia akan tersinggung dan bahkan marah ketika Allah, Rasul-Nya, Islam maupun kaum muslimin dilecehkan. Jiwanya juga tidak suka jika suatu kemungkaran itu tampak di hadapan mata, meskipun pelakunya bukan orang-orang dekatnya.

Inilah ghirah yang merupakan ruh atau nyawa yang menghidupi agama seseorang dan menangkis dari segala penyakit yang hendak menyerangnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum.”

Maka orang yang tidak memiliki ghirah dalam hal ini, sebenarnya ia telah kehilangan agamanya. Karena itulah Buya Hamka menuliskan, “Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Ya, karena hakikatnya ia telah mati ketika tak memiliki kecemburuan dan kepedulian.

Sebelum beliau, Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan dalam kitabnya ad-Da’u wad Dawa’, “Pokok agama adalah ghairah (cemburu). Siapa saja yang tidak memiliki rasa cemburu, maka nyaris tidak ada agama untuknya.”

Orang yang tak memiliki cemburu,, ia tak merasa memiliki, tak ada pembelaan dan tak ada kepekaan terhadap apa-apa yang membahayakan agamanya. Ini menjadi penanda akan redupnya iman di hatinya. Dan jika iman tak ada, maka jasadnya seakan menjadi kuburan baginya sebelum matinya.

Bagaimana seseorang memiliki iman ketika tak ada kecemburuan sedikitpun di hatinya. Tak ada penolakan hatinya terhadap  kemungkaran, tak ada amarah ketika agamanya dilecehkan dan tak ada pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Apabila tidak sanggup, maka dengan lisan. Jika tidak bisa, maka dengan hati. Dan itulah (mengubah dengan hati) selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)

Maka pertanyakan iman kita tatkala tidak terusik melihat kemungkaran di depan mata, tidak tersinggung ketika Allah dan Rasul-Nya dihina, dan tidak pula marah ketika Islam dinodai dan dicela, wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Melunasi Cicilan Barang Haram

Saya membeli biola kepada B seharga 500 ribu rupiah dengan cara mencicil. Saya sudah membayarnya 200 ribu rupiah. Lalu saya mendapatkan hidayah dan membakar biola tersebut. Apakah saya masih harus membayar kekurangannya? Apakah saya berdosa melakukannya? (Abi—Semarang)

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ
Dalam kasus yang saudara hadapi, harus dilihat siapakah si B ini, apakah ia seorang muslim ataukah seorang kafir. Jika ia seorang muslim, maka saudara tidak perlu melunasinya. Sebab, ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah pun mengharamkan harganya. Jika ia bersikeras dan memaksa saudara untuk melunasinya, maka hendaklah saudara melunasinya dan memohon ampun kepada Allah karena telah melakukan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya.

 

Baca Juga: Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

 

Adapun jika si B adalah seorang kafir, maka saudara harus melunasinya. Sebab orang kafir tidak memandang halal-haramnya suatu barang. Tentu saja seiring dengan itu saudara tetap harus memohon maghfirah kepada Allah. Wallahu a’lam.

 

 

Baca Juga:

 

Majalah Islam Arrisalah Edisi 200, Februari 2018

Majalah islam

Telah terbit majalah islam Arrisalah edisi 200 Februari 2018, yang berjudul: “Dari Khilaf Menuju Insaf”

dengan tema unggulan:

  1. Kasyfu Syubhat : Serangan Kelanjutan Gerakan Kepunahan
  2. Fikih Nazilah : Lahan Dakwah Baru, Bersiaplah!
  3. Asilah  : Iblis, Biografi si Pembangkang

Majalah islam Arrisalah terbaru edisi 200 februari 2018

Segera dapatkan di agen atau distributor terdekat dikota anda,.
Atau andalah yang akan menjadi agen di kota anda sendiri?, karena kami membuka kesempatan bagi anda yang ingin bergabung menjadi agen resmi.

untuk info lebih lanjut, hubungi CS:

Tlp/Wa :0813-9103-3330 (Sigit) .  (klik untuk chat WhatsApp)

medsos:

Fanspage FB :@Majalah.Arrisalah

Instagram: Majalah_Arrisalah

website: arrisalah.net

 

Alamat Redaksi:

Jl. DR. Muh. Hatta Kp. Maddegondo RT. 05

RW. 04 Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Telp: (0271) 624421

 

Cinta Nabi Tapi Meninggalkan Perintahnya?

Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dalam setiap peribadahan kepada Allah adalah tuntutan iman bahkan termasuk pokok keimanan. Siapa saja yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam pasti mengikutinya dan tidak menyelisihinya. Allah ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)

Dengan ittiba’ (mengikuti/meneladani) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka akan membuahkan suatu kemulian dan keselamatan, yaitu Allah mencintai kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Dan itulah sebenar-benar bukti bahwa kita cinta kepada Allah ta’ala.

Berapa banyak orang mengaku dan menyangka mengikuti dan cinta kepada Rasul namun ternyata tidak terbukti dalam amalan nyatanya. Berdalih dengan menghormati dan memuliakan Rasulullah, atau bahkan berdalih dengan cinta Rasul, namun mereka melakukan suatu amalan yang baru dengan menambah atau membuat hal yang benar-benar baru dalam agama yang tidak diperintahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

 

Baca Juga: Demi Uang Logika Dibuang

 

Mereka mengatakan, “Beradab kepada Rasulullah lebih diutamakan dari pada memenuhi perintahnya.” Dalilnya adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Abu bakar tidak memenuhi perintah Rasul ketika diberi isyarat untuk tetap ditempatnya, tapi malah mundur menjadi makmum. Ini adalah mengutamakan adab dari pada perintah Rasul.

Turunan dari hal ini adalah menambahkan lafadz sayyid dalam adzan, iqomah dan shalawat dalam tasyahud. Padahal Rasulullah shallallahu’alihu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para sahabat lafadz adzan dan iqomah serta telah mengajarkan berbagai lafadz shalawat akan tetapi tidak terdapat satupun yang ada kata “sayyidina.” Maka kita mencukupkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam karena itu adalah adab dalam melaksanakan amalan sesuai dengan yang diajarkannya, bukan malah merasa kita lebih beradab karena menambah kata sayyidina sebelum nama Baginda Rasul, padahal ahlu bait dan para sahabatlah yang paling mengerti bagaimana cara beradab kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Kejadian Abu bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah hadir tidak hanya sekali, yaitu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sakit di akhir hayat beliau, Rasulullah memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para sahabat, beliau bersabda:

“Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” (HR. al-Bukhari)

 

Baca Juga: Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Dalam hadits yang kedua ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan dengan isyarat sebagaimana hadits yang pertama untuk tetap pada tempatnya sebagai imam, namun pada kejadian ke dua Abu Bakar tidak mudur dan tetap menjadi imam, apakah dikatakan pada kejadian kedua ini bahwa Abu Bakar tidak beradab?, tentunya tidak.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedang safar dan ketika itu ingin buang hajat,  Amru bin Wahb Ats Tsaqafi berkata, “Kami pernah berada di sisi Al Mughirah bin Syu’bah, kami bertanya, “Apakah ada seorang dari umat ini yang pernah mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu ‘anhu?” Al Mughirah menjawab, “Ya. Kami pernah berada dalam suatu perjalanan ini dan itu. Pada waktu sahur tiba-tiba beliau menepuk-nepuk leher hewan tungganganku dan pergi, maka saya mengikuti beliau dan akhirnya beliau bersembunyi dari pandanganku beberapa saat. Setelah itu beliau datang seraya bertanya: “Apakah kamu hendak buang hajat?” saya menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu membawa air?” saya menjawab, “Ya.” Saya pun menuangkan untuknya, kemudian beliau mencuci kedua tangan dan wajahnya. Setelah itu beliau menyingkap tangannya yang tertutup oleh Jubbah yang kedua lengannya sempit. Karena sempit maka beliau memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya dari bawah jubah. Setelah itu, beliau kembali mencuci wajah, kedua siku, membasuh ubun-ubun, membasuh imamah (sejenis penutup kepala) dan kedua sepatunya.

 

Baca Juga: Suka Sesama Jenis Bawaan Atau Penyimpangan?

 

Dan saat kembali kami mendapati para sahabat telah melaksanakan shalat satu rakaat, sementara Abdurrahman bin Auf yang menjadi imamnya. Aku lantas berjanjak untuk mengingatkannya, namun beliau melarangku. Maka kami pun shalat pada rakaat yang kami dapati dan mengqadla rakaat yang tertinggal.” (HR. Ahmad)

Tentunya bila adab didahulukan sahabat al Mughirah tetap akan mengingatkan kepada sahabat Abdurrahman bin Auf untuk mundur, namun para sahabat memahami bahwa memenuhi perintah Rasulullah adalah adab.

Bila diteliti lebih detail, maka kejadian pertama Abu Bakar mengimami belum sampai mendapatkan satu rakaat, baru istiftah dan Rasul datang, sehingga Abu Bakar mundur dan Rasulullah maju mengimami, adapun bila sudah mendapatkan satu rakaat, maka tidak mungkin imam pertama mundur untuk digantikan imam tetap yang terlambat. Wallahua’lam bis shawab (Taufik el-Hakim/arrisalah/Kasyfu Syubhat)

 

Tema Terkait: Cinta Nabi, Bid’ah, Syubhat

Kala Cinta Bersalin Rupa

Setiap manusia mestinya takut menyelisihi perintah Allah. Takut kalau-kalau dirinya tertimpa fitnah atau tertimpa azab lantaran itu. Setiap kita mestinya takut bermaksiat kepada Allah. Jangan melihat kecilnya, tetapi lihatlah kebesaran Zat yang dimaksiati.

 

Baca Juga:  Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Jangan menganggap remeh sekecil apapun dosa karena Rasulullah bersabda bahwa perumpamaan dosa-dosa remeh itu seperti suatu kaum yang singgah di sebuah lembah. Kemudian satu orang datang membawa sebatang kayu lalu yang lain datang membawa sebatang kayu. Begitu seterusnya hingga kayu tersebut cukup untuk memasak roti. Dan ketika dosa-dosa remeh itu ketika dilakukan akan membinasakannya.

Akibat dari maksiat yang dilakukan iblis adalah laknat di dunia dan akhirat. Ia menjadi pemuka bagi para pendosa dan membawa mereka masuk ke neraka. Padahal neraka adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi.

Setan juga telah memaklumatkan permusuhan dengan manusia. Ia ingin mengubah fitrah lurus yang manusia diciptakan di atasnya. Membelokkan manusia dari jalan lurus yang semestinya dan menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. “Karena Engkau telah menghukum saya sesat, saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka. Dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur,” begitu ia bersumpah kepada Rabbnya.

 

BACA JUGA : Ketaatan Adalah Ujian

 

Apa yang menyebabkan iblis terusir dari kerajaan langit. Yang menyebabkan batinnya lebih buruk daripada rupanya. Yang menggantikan kedekatannya dengan Allah dengan kejauhan. Rahmat dengan laknat. Ketampanan dengan keburukan. Surga dengan neraka yang menyala. Iman dengan kufur. Cinta kepada yang Maha Melindungi dengan permusuhan dan penentangan. Suara tasbih dan tahlil dengan suara kekafiran, kesyirikan, kedusataan, kepalsuan, dan kekejian.

Menggantikan pakaian iman dengan pakaian kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan? Lalu ia menjadi mahluk terhina di hadapan Rabbnya. Ia terjatuh dari rahmat-Nya sejatuh-jatuhnya dan mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah menghinakannya dan memurkainya semurka-murkanya. Lalu menjadikannya sebagai pengendali setiap orang fasik lagi jahat. Ia lebih suka memegang kendali ini daripada ibadah dan dan kemuliaan yang ia miliki sebelumnya. Kami berlindung kepadamu ya Allah dari perbuatan menyelisihi perintah-Mu dan larangan-Mu. Demikian Ibnu Qayim al-Jauziah menuliskan renungan dalam kitabnya.

Semoga orang-orang yang hidup hatinya bisa mengambil pelajaran dan orang-orang yang lalai segera tersadar.

Bumi yang Mulai Rapuh

Tanah itu amblas begitu saja membentuk lubang berdiameter 10 meter dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Lubang menganga itu berada di tengah jalan besar di daerah Sleman, Yogyakarta (ahad, 12 Desember 2010).

Kejadian serupa terjadi di Guatemala City, Rep. Guatemala. Fenomena tanah amblas muncul di tengah kota dan menelan sebuah gedung berlantai tiga. Meski tak dilaporkan adanya korban, lubang raksasa berdiameter 20 meter dengan kedalaman 30 meter ini membuat penduduk kota shock. Fenomena semisal muncul secara berturut-turut di China sebanyak lebih dari 5 kali. Bahkan, lubang-lubang tersebut amblas pada saat ada mobil yang lewat di atasnya..

 

Baca Juga: Hikmah Dibalik Bencana

 

Jika anda melacak di internet, fenomena tanah amblas seperti itu ternyata muncul di berbagai Negara dan akhir-akhir ini frekuensinya semakin sering.  Orang-orang menamakannya sinkhole (tanah amblas). Mengenai faktor alami yang menjadi penyebabnya, sebagian dapat ditemukan sedang yang lain masih masih belum terungkap. Rata-rata, sinkhole ditengarai merupakan dampak dari runtuhnya bantalan bebatuan di atas aliran air di bawah tanah. Fenomena ini dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.

Sekedar Fenomena Alam ataukah…?

Selalu ada penjelasan rasional dari semua fenomena alam yang muncul. Baik dengan teori menurut disiplin ilmu tertentu atau sekadar dugaan yang dirasionalkan. Gunung meletus, gempa, tsunami dan lain sebagainya, juga fenomena sinkhole ini. Karenanya, sebagian orang berpendapat, fenomena seperti ini tidak perlu dikait-kaitkan dengan agama atau hal-hal metafisik; adzab atau tanda kiamat. Semua ini hanya fenomena alam yang lumrah dan rasional.

Memang, pendapat seperti ini sedikit ada benarnya. Selalu mengaitkan fenomena alam dengan hal-hal metafisik, khususnya tanda kiamat, tidak selalunya dapat dibenarkan. Hanya saja, itu berlaku jika tidak ada nash syar’i yang menjelaskan tentang hal tersebut. Tapi jika memang ada nash yang mensinyalir, maka menafikan sama sekali benang merah antara keduanya juga bukan hal yang benar. Walaupun untuk memastikan bahwa fenomena itulah yang dimaksud dalam nash, juga memerlukan kajian yang mendalam.

 

Baca Juga: Musibah Awal Kebahagiaan Seorang Hamba

 

Nah, menyangkut fenomena sinkhole, ada sebuah hadits yang mensinyalir munculnya fenomena seperti ini dan menyebutnya sebagai salah satu tanda kiamat. Disebutkan dalam riwayat Aisyah, di akhir zaman nanti akan ada fenomena al-khasaf atau tanah amblas. Fenomena alam yang dulu Allah jadikan sebagai adzab bagi Qarun dan hartanya.

Dari Ibunda Aisyah berkata bahwa Nabi bersabda, “Manusia terakhir dari umat ini akan mengalami kejadian al-maskh (pengubahan rupa), al khasaf (tanah amblas) dan qadzaf (lemparan). Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami binasa padahal di tengah kami ada orang-orang shalih?” Rasulullah menjawab, “Ya. Jika perbuatan keji merajalela.” (HR. at Tirmidzi, dishahihkan Imam al Albani dalam as Silsilah ash Shahihah).

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Umat ini akan mengalami peristiwa al maskh, al khasaf dan qadzaf.” Seorang lelaki bertanya, “ Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasulullah bersabda, “ Jika biduanita dan alat-alat musik sudah bertebaran.” (HR. at Tirmidzi, akan tetapi sanadnya mursal).

Melalui kacamata iman, kita melihat alam ini tidaklah berjalan sesuai instingnya. Ada yang menguasai, mengatur dan memunculkan segala bentuk fenomena alam yang terjadi. Dialah Allah Rabb semesta alam. Sabda Nabi di atas menjadi bahan peringatan bagi manusia bahwa perbuatan keji akan mendatangkan bencana. Dan al khasaf adalah salah satunya.

Meskipun hadits kedua diatas mursal (ada keterputusan dalam sanad), tapi secara makna tidaklah bertentangan dengan hadits dari Aisyah. Biduanita dan alat musik dapat menjadi sampan yang mengantarkan seseorang pada perbuatan keji. Sudah berulangkali diberitakan, setelah menonton konser dangdut yang hampir pasti berisi tarian mesum, seseorang lalu berzina atau bahkan memperkosa.

Dunia Mulai Rapuh

Fenomena ini seperti mengungkapkan bahwa bumi seakan sudah tak kuasa lagi menanggung beban dosa manusia. Beban kesaksiannya serasa kian berat hingga tanah-tanah penopangnya mulai rapuh dan akhirnya runtuh. Manusia, kian hari kian bertambah jumlahnya dengan kualitas keislaman yang kian memburuk.

Sebenarnya fenomena ini adalah peringatan dari yang kuasa. Tapi malangya, kebanyakan manusia hanya mengetahui dan melihat fenomena kauniyahnya saja. Sedang ayat-ayat syariyah yang membicarakan hal itu, sangat sedikit dari mereka yang tahu. padahal ayat kauniyah dan syariyah ibarat dua rel yang harus diposisikan berjajar berimbang. Maka wajar saja jika kemudian, kebanyakan orang hanya menganggap hal itu sebagai fenomena yang lumrah. Langkah yang ditempuh pun sebatas langkah-langkah yang kauniyah sesuai logika; memperkuat bangunan, membangun gedung anti gempa, memasang alat pendeteksi bencana dan sebagainya. Padahal menghadapi alam, langkah-langkah itu tak akan banyak berarti.  Karena pokok masalahnya, hakikatnya bukan pada alamnya, tapi manusia yang diberi amanah untuk mengelola alam oleh Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, kita hanya bisa berharap agar dijauhkan dari keburukan akhir zaman. Terlindungi dari musibah raga lebih-lebih musibah jiwa. Tetap merengkuh cahaya iman, hingga nyawa lepas dari badan. Amin. (Abu Abdillah R.)

Siksa yang Ditunda

Segala pilihan maupun tindakan, pasti ada resiko di belakangnya. Dan tidak ada resiko yang paling parah dan fatal melebihi resiko orang yang berbuat dosa. Bahkan, setiap musibah, bencana, kesusahan maupun penderitaan terjadi karena dosa. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy Syura :30)

Dampaknya melingkupi segala sisi kehidupan dan zaman. Menimbulkan penyakit jasmani dan ruhani, merusak kesejahteraan hidup di muka bumi, dan berujung pada kesengsaraan akhirat yang kekal abadi.

Segala bencana di dunia yang Allah timpakan kepada umat terdahulu disebabkan karena dosa. Siksa pedih tiada tara yang Allah kisahkan dalam Kitab-Nya hanya berlaku pula bagi orang-orang yang berdosa.

Dosa menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari jannah, tempat kelezatan, kenikmatan dan kesenangan dan kegembiraan ke negeri yang sarat dengan penderitan, kesedihan dan musibah. Kaum Nabi Nuh, tenggelam oleh air bah yang tingginya melampaui puncak gunung, itu juga semata karena dosa.

 

Baca Juga: Berlindung dari Siksaan Kubur dan Panasnya Api Neraka

 

Angin super dingin yang menyapu kaum ‘Ad sehingga mereka mati  bergelimpangan di muka bumi, hingga mereka lakasana tunggul-tunggul pokok kurma yang telah lapuk, pun disebabkan karena dosa. Tak terkecuali kaum Luth yang dijungkirbalikkan bumi mereka, kemudian diikuti hujan batu dari tanah yang terbakar, sehingga lengkaplah siksaan atas mereka. Dan banyak lagi kisah yang bisa dijadikan pelajaran.

Demikian gamblang Allah gambarkan, begitu detil pula Nabi menceritakan kisah para pendosa di dalam hadits-haditsnya, namun masih banyak yang nekat berbuat dosa. Mereka tidak sadar akan resiko setelahnya.

Dosa Yang Dibalas Segera

Kadangkala, Allah menimpakan hukuman bagi orang yang berdosa dengan segera. Bagi orang kafir dan fajir, bencana itu merupakan prolog dari siksa, sebelum siksa dahsyat di akhirat. Namun bagi insan beriman, ia akan menjadi sadar, bahwa apa yang dialaminya adalah teguran dari Allah. Dia akan bersabar, dan sesegera mungkin dia akan berbenah untuk kembali kepada-Nya. Lalu, sekecil apapun musibah itu bisa menjadi penggugur dosa. Nabi saw,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا

“Jika Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, maka Dia akan menyegerakan hukumannya di dunia” (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan shahih)

Maka, musibah bisa menjadi rahmat bagi orang mukmin, karena dosanya telah lunas terbayar di dunia, dan dia akan terhindar dari siksa akhirat, padahal siksa akhirat itu lebih berat dan lebih kekal,

“Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS Thaha 127)

Nabi SAW juga bersabda,

أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الآخِرَةِ

“Sesungguhnya siksa dunia itu jauh lebih ringan dibanding siksa akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pun begitu, tidak boleh bagi seorang muslim berharap, apalagi memohon supaya disegerakan siksanya di dunia. Karena seakan dia menantang Allah untuk menghukumnya. Bahkan ini menyerupai karakter orang kafir yang dikisahkan oleh Allah,

”Dan mereka berkata, “Ya Rabb kami cepatkanlah untuk kami azab yang diperuntukkan bagi kami sebelum hari berhisab”. (QS. Shaad 16)

Begitulah orang kafir yang berbuat lancang kepada Allah, menantang agar hukuman disegerakan. Padahal, belum tentu mereka kuat menjalaninya. Yang lebih baik bagi seorang mukmin adalah bertaubat, memohon pengampunan dan kebaikan di dunia, juga kebahagiaan di akhirat. Sahabat Anas bin Malik rdl mengisahkan, bahwa Rasulullah saw menjenguk seorang muslim yang sakit. Dia dalam kondisi yang sangat lemah layaknya anak seekor burung pipit. Lalu Rasulullah saw bertanya, ”Apakah kamu pernah berdoa atau memohon sesuatu?” Orang itu menjawab, ”Benar, aku berdoa kepada Allah, ”Ya Allah, aku tidak kuasa menerima hukuman di akhirat, maka segerakanlah hukuman untukku di dunia!” Rasulullah SAW bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ لاَ تُطِيقُهُ – أَوْ لاَ تَسْتَطِيعُهُ – أَفَلاَ قُلْتَ اللَّهُمَّ آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

”Subhanallah, kamu tidak akan mampu, mengapa Anda tidak berdoa ”ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari adzab neraka” (HR Muslim)

Maka Nabi SAW mendoakan untuk kesembuhannya dan Allah menyembuhkannya.

Dihukum, Namun Tidak Peka

Hukuman bagi pelaku dosa tak hanya berujud musibah ataupun bencana yang kasat mata. Namun bisa pula hukuman itu ditimpakan atas hati dan seringkali manusia tidak menyadari. Padahal, bahaya dosa bagi hati itu pasti. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah mengumpamakan efek dosa bagi hati, itu laksana luka bagi jasad, bisa jadi luka itu akan menyebabkan  kematian.

Lemahnya greget untuk berbuat baik, jauhnya seseorang dari teman-teman yang shalih, tumpulnya kepekaan hati dalam mendeteksi dosa, dan kerasnya hati adalah sebagian dari hukuman yang ditimpakan atas hati bagi pelaku dosa. Sebenarnya, hukuman hati lebih berat deritanya dari hukuman fisik, karena tak ada yang lebih menderita dari hati yang jauh dari Allah.

Namun sayang, tidak banyak yang menyadari hal ini sebagai hukuman dari dosa. Mereka merasa bahwa dosa yang telah dijalaninya tidak berdampak apa-apa. Ibnu al-Jauzi berkata, ”ketahuilah, bahwa musibah paling besar adalah ketika seseorang merasa aman setelah melakukan dosa, padahal bisa jadi hukuman itu ditunda. Hukuman paling berat adalah tatkala seorang tidak peka terhadap efek dosa. Dia menduga bahwa dengan menyimpang dari agama, hati yang buta dan usaha yang haram ternyata badan masih sehat dan tujuan juga tercapai.”

Pola pikir seperti ini menyebabkan sikap menganggap remeh dosa, dan tak ada rasa takut memperturutkan hawa nafsunya, karena siksa tak terlihat jelas di depan mata. Di sisi inilah besarnya bahaya, ketika dosa rutin dijalani, siksa pun bertubi-tubi. Makin banyak akumulasi dosa, makin berat siksa yang akan disandangnya.

 

Baca Juga: Neraka, Menyiksa Tiada Jeda

 

Para salaf, sangat peka sekali terhadap efek dosa. Bahkan mereka bisa mengenali dampak dosa pada setiap musibah yang mereka alami, dalam hal duniawi maupun ukhrawi.

Abu Daud Al-Hafri bercerita, “Aku masuk kerumah Kurz bin Wabiroh dan mendapatinya menangis, aku bertanya kepadanya, “Kenapa Anda menangis?” Beliau menjawab, “Pintu kebaikan tertutup, kehormatanku ternoda, dan tadi malam aku gagal membaca Al-Qur’an seperti biasanya. Itu semua gara-gara satu dosa yang telah aku kerjakan.”

Pada saat tabi’in Bashrah, Muhammad bin Sirin hingga beliau terlilit hutang, beliau berkata, “Aku sungguh mengetahui penyebab hutang yang kini melilitku. Aku pernah mengejek seorang lelaki sekitar empat puluh tahun yang silam, “Wahai orang yang bangkrut!” Tatkala Ubaidillah bin As-Sirri menceritakan hal ini kepada Abu Sulaiman Ad-Darani, beliau memberi komentar, “Dosa-dosa mereka (para salaf) sedikit, karenanya mereka tahu dosa mana yang menyebabkan musibah terjadi. Sementara dosa-dosa kita banyak, sehingga kita tidak tahu dosa mana yang menyebabkan musibah itu terjadi.”

Merekalah para ahli ibadah yang begitu peka terhadap dosa. Sa’id bin Jubair rahimahullah, yang disebut-sebut paling ahli dalam hal tafsir di kalangan tabi’in pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Beliau menjawab, “Orang yang merasa terluka hatinya karena dosa, dan jika ia ingat dosanya maka ia memandang kecil amal perbuatannya”.

Dosa yang siksanya ditunda

Jika seseorang belum merasakan dampak dari dosa, janganlah merasa aman darinya, karena sesungguhnya Allah tidak pernah lupa. Termasuk dosa-dosa yang bahkan telah dilupakan pelakunya. Bisa jadi bencana di dunia datang dengan tiba-tiba di saat yang tidak pernah ia duga. Atau ditangguhkan siksanya hingga di akhirat, Nabi saw bersabda,

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِkذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dan jika Allah menghendaki keburukan atas hamba-Nya, maka Allah akan menangguhkan hukuman atas dosanya, hingga dia akan membawa dosanya itu pada Hari Kiamat.” (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan shahih)

Ath-Thiibi menjelaskan, “yakni Allah tidak menghukum atas dosa yang dilakukannya hingga dia datang pada Hari Kiamat akan mendapatkan sangsi berupa siksa atas dosa yang dilakukannya.”

Saatnya kita mencegah dan menghentikan segala dampak buruk dosa dengan bertaubat dan meninggalkan maksiat. Alangkah cerdas kesimpulan dari sahabat Ali bin Abi Thalib RDL, “Tiada turun musibah melainkan karena dosa dan tidak akan dicabut musibah melainkan dengan taubat.” Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Ketika yang Tabu Dianggap Lucu

Dalam strategi pemasaran, packaging atau pengemasan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap laris tidaknya suatu produk. Kemasan yang baik dapat membentuk citra positif sebuah produk dan meningkatkan minat beli konsumen.Dengannya pula, produk yang biasa-biasa bisa menjadi sangat diminati. Lebih dari itu, kemasan dapat pula menipu, sebenarnya produk kualitas jelek, tapi tetap laku karena kemasan yang bagus.

Dalam memasarkan kemaksiatan dan produk-produk perusak iman, tipuan packaging juga menjadi strategi andalan Iblis wadyabalanya.Tazyinul ma’ashi adalah teknik mengemas maksiat agar terlihat baik atau minimal wajar hingga bisa diterima pasar.

“Iblis berkata:”Ya Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya…” (QS. Al Isra’:39)

Maksiat yang dikemas dengan unik dan cerdas akan tetap dibeli manusia, bahkan bisa laris.Tentunya, tipuan kemasan ini ditujukan untuk segmen manusia yang masih memiliki filter ruhani. Adapun pecandu maksiat, tak perlu dikemas dengan indah pun mereka akan mengais-ais dan mencarinya sendiri.Tapi bagi yang masih memiliki saringan fitrah dan iman, kemasan diperlukan untuk membiaskan persepsi dan menutupi bau busuk dosa yang sebenarnya sangat menusuk. Dengan begitu, mereka akan tertipu dan menerimanya.

 

Baca Juga:  Dusta, yang Haram dan yang Mubah

 

Ambil contoh, pornografi dan pornoaksi. Jika dijual dalam bentuk apa adanya, pasar tidak akan menerima secara luas,bahkan rawan menimbulkan kontra. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika dibungkus dengan kemasan unik nan lucu bernama “komedi”. Komedi dapat mengaburkan kesan mesum dan menurunkan levelnya menjadi sesuatu yang akan dianggap orang sebagai “sekedar lucu-lucuan”, tidak terkesan dewasadanmengundang syahwat sertatak perlu dirating 18+.

Sebuah film misalnya. Jika diformat komedi dengan judul jenaka dan akting konyol, penampilan seronok dan adegan menjurus akan dianggap biasa dan tidak porno oleh penonton. Seakan-akan komedi mampu menumpulkan sensitivitas terhadap kepornografian. Orangtua pun anteng-anteng saja jika anak-anak menontonnya. Lain halnya jika diformat mendewasa, dengan judul yang lebih “greng” dan cover yang ‘panas’. Meskipun bisa jadi kandungan pornografi di dalamnya lebih sedikit, tapi tanggapan orang akan berbeda. Ada kemungkinan muncul protes dan kritikan, atau minimal mereka akan meng-kotak-kan film tersebut dalam daftar film yang perlu diwaspadai untuk anak-anak. Padahal dari segi isi dan substansi, keduanya sama.Namun ternyata dengan kemasan berbeda tanggapan yang diperoleh juga berbeda.

Untuk lucu-lucuan, pornoaksi bahkan mungkin pelecehan seksual secara verbal maupun tindakan,malah bisa menjadi bumbu yang membuat sajian komedi lebih gurih. Guyonan seronok ala talkshow maupun tingkah polah presenternya yang mesum justru menjadi aksi yang digemari. Alih-alih menuai kecaman, justru hadiah tepuk tangan dan sorak sorailah yang didapatkan.

 

Fenomena Banci

Contoh kedua adalah fenomena banci. Popularitas artis dengan karakter banci sepertinya kian naik daun. Dalam banyak acara mereka selalu ada dan jika jadi presenter laris manggung dimana-mana. Anehnya, ternyata banci bukan sekadar peran saat akting saja, tapi tidak sedikit artis yang tetap menjadi banci meksi tidak sedang akting. Ada beberapa kemungkinan, pertama image banci memang sengaja tetap dipasang  dalam kehidupan nyata demi pencitraan diri agar para produser tahu, ia mahir karena melakukannya saban hari. Kedua, dia mengalami disorientasi seksual dan menganggap dirinya adalah wanita, atau biasa disebut gay.Ketiga, kemayu adalah bawaannya dari lahir, artinya karakter itu muncul sejak kecil tanpa dibuat-buat.

Kemungkinan ketiga ini jarang terjadi. Kelainan ini dalam Islam disebutmukhannats, yaitu perilaku anak lelaki yang mirip seperti wanita atau kemayu yang muncul sejak kecil. Secara hukum fikih, orang yang mengalami semacam ini tidak terkena delik hukum apapun. Hanya saja ia harus berusaha sekuat tenaga menghilangkan hal tersebut dan mengganti tingkah lakunya agar lebih normal sebagaimana lelaki pada umumnya.

Tapi untuk pertama dan kedua, semuanya adalah perilaku terlaknat. Rasulullah bersabda,

لَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَالْمُتَشَبِّهِِيْنَمِنَالرِّجَالِبِالنِّسَاءِوَالْمُتَشَبِّهَاتِمِنَالنِّسَاءِبِالرِّجَالِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki” (HR Al Bukhari 55460).

Peran banci adalah peran yang dilaknat, lebih-lebih jika dijadikan gaya hidup sehari-hari. Menjadi gay alias homo lebih terlaknat lagi. Kerasnya ancaman Allah bagi mereka berulangkali dikisahkan dalam ayat-ayat kehancuran kaum Nabi Luth.

Tapi lagi-lagi, dalam kemasan komedi, kedurhakaan semacam itu seperti tak tampak. Penonton pun sepertinya maklum-maklum saja dan menikmati. Mereka sudah terbiasa nonton TV dan sudah terbiasa berpersepsi bahwa karakter dalam TV termasuk banci itu cuma peran, bukan sungguhan. “Mereka Cuma berniat menghibur dan menghibur kan dapat pahala”, katanya. Lagi-lagi dengan komedi perbuatan terlaknat justru diminati dan bahkan dipandang layak mendapat pahala. Ironis.

Layak dicurigai bahwa pesatnya perkembangan komunitas gay (kaum homo) di negeri ini juga akibat dari diterimanya karakter banci oleh masyarakat. Jika mereka sudah terbiasa dengan peran banci, maka selanjutnya masyarakat juga tidak akan terlalu shock saat melihat keabnormalan itu wujud dalam dunia nyata. Kepekaan iman bahwa yang semacam itu adalah sebuahkemaksiatan pun lenyap. Akibatnya, kaum homo pun seperti mendapat jalan dan rekomendasi. Yang tadinya malu-malu (karena memang hal semacam itu memalukan) kini seperti dibukakan pintu.

Kuatkan Bashirah

Sebenarnya trik pengemasan alias tazyinul ma’ashi ini tergolong kuno. Dari awal, setan sudah biasa menerapkan trik ini dan al Qur`an sudah memperingatkan berkali-kali. Tapi tampaknya, trik ini selalu saja berhasil karena sifatnya yang fleksibel, kontekstual dan selalu mengikuti perkembangan. Oleh karenanya, ketajaman bashirah harus senantiasa kita asah agar tak mudah tertipu dengan trik-trik semacam ini. Dengan bashirah kita akan melihat melalui lensa syar’i, nurani dan rasio yang murni hingga mampu melihat objek secara substansi, bukan dari tampilan luar atau kemasan yang sering mengelabui. Wallahua’lam. (Abu Razin)