Diyatsah, Matinya Kecemburuan dan Lumpuhnya Kepekaan Terhadap Islam

Manusia memiliki fitrah, yaitu tabiat dasar yang cenderung pada kebaikan. Merasa malu, hidup bersosial, suka kebersihan, ingin memiliki keturunan, adalah beberapa contohnya. Islam datang membimbing manusia agar tetap berada pada fitrah sucinya dan membawanya menuju kebaikan yang sempurna.

Salah satu fitrah manusia adalah memiliki rasa cemburu. Dalam bahasa Arab disebut ghirah. Ghirah adalah ketidaksukaan hati pada orang yang dipandang merebut hak dan sesuatu yang dimiliki. Istilah ini identik pada hubungan lelaki dan wanita, yaitu saat mana salah satu dari keduanya merasa bahwa ada pihak ketiga yang berusaha menggoda atau bahkan merebut pasangannya. Ghirah sangatlah manusiawi. Oleh karenanya, dalam Islam rasa cemburu tidak dikekang, hanya dibatasi agar tidak berlebihan.

Rasa ini justru dijaga dan dipelihara karena merupakan pilar penjaga hubungan bahkan penanda cinta yang paling transparan. Baca saja hadits-hadits yang mengisahkan kecemburuan istri-istri Nabi dan respon bijak nan lemah lembut Beliau kepada para isterinya yang tengah cemburu. Aisyah bahkan pernah memukul gelas yang dibawa oleh seorang budak wanita karena cemburu sampai pecah berkeping. Luar biasanya, respon Nabi tak lebih dari memunguti pecahan sembari menenangkan sang budak wanita dengan berkata, “Ibunda kalian sedang cemburu.” Itu saja. Tidak ada hardikan atas kecemburuan Aisyah.

Baca Juga: Ghirah, Cemburu Karena Allah

Bahkan tidak hanya manusia saja yang cemburu, ternyata dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah pun cemburu. Cemburunya Allah adalah ketika hamba yang beriman: orang-orang yang menyatakan diri cinta kepada-Nya, dan Allah pun cinta pada mereka, melakukan kemaksiatan. Allah cemburu karena maksiat adalah kosongnya hati dari Allah dan terisi oleh nafsu dan bisikan setan hingga lebih menuruti keduanya daripada syariat-Nya.

Jadi, cemburu atau ghirah memang baik asal proporsional. Sebaliknya, hilangnya rasa cemburu adalah petaka. Dalam bahasa Arab musnahnya rasa cemburu disebut diyatsah. Pelakunya disebut Dayuts. Dayuts adalah orang yang tak lagi cemburu pada pasangan atau pada apapun yang dilakukan orang pada pasangannya. Dan diyatsah adalah tanda paling kentara dari musnahnya rasa cinta. Hilangnya rasa cinta bukan ditandai dengan benci, tapi dengan tidak lagi peduli. Berapa banyak orang membenci namun masih menyisakan ruang untuk cinta di hati. Namun, jika sudah tak peduli, hati telah tertutup dan telinga ta mau lagi mendegar apapun yang terjadi. Inilah klimaks dari kosongnya cinta.

Rasulullah ﷺ bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

Dari Salim bin Abdullah (bin Umar), dari bapaknya, dia (Abdullah) berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sudi melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts.” (HR. Ahmad)

Lihatlah, balasan bagi dayuts adalah Allah tidak peduli padanya bahkan memadang pun tak sudi. Persis sama dan setimpal dengan ketidakpeduliannya pada orang atau sesuatu yang seharusnya dia pedulikan. Lantas bagaimanakah orang yang sudah tidak lagi dipedulikan oleh Allah? Wal iyadzu billah. Semoga kita dijauhkan dari tiga dosa dalam hadits ini.

 

Diyatsah yang Mengerikan

Pada tataran praktik,diyatsah memang mengerikan. Rasa cemburu yang harusnya ada pada seseorang yang memang seharusnya dicemburui, musnah sama sekali dari hati. Suami tak lagi cemburu melihat istrinya bersama orang lain, atau sebaliknya. Apa yang tersisa dari cinta dan hubungan jika seperti ini? Kasus paling parah, dikisahkan dalam sebuah berita bahwa ada isteri yang rela bahkan membiarkan suaminya berzina dengan pelacur asal tidak nikah lagi atau menceraikan dirinya. Naudzubillah min dzalik.

Seorang ayah tak cemburu saat anaknya digoda atau bahkan dipermainkan laki-laki yang entah bakal jadi suaminya atau tidak. Atau seorang saudara tak ambil pusing manakala saudari atau bahkan ibunya sendiri, diganggu dan diseret ke dalam maksiat oleh orang tak bertanggung jawab. Subhanallah, akan seperti apa sebuah hubungan tanpa kecemburuan? akan seperti apa keluarga jika penanggungjawabnya sudah tak lagi peduli?

 

Skala Lebih Luas

Diyasath akan lebih mengerikan jika diseret pada skala yang lebih luas dari hubungan suami isteri dan keluarga, menuju hubungan antar mukmin kepada mukmin lain dan hubungan mukmin dengan agamanya.

Cemburunya seorang mukmin kepada saudaranya adalah rasa tidak rela saat saudaranya dihina, dizhalimi apalagi ditindas. Kecemburan ini muncul dari rasa cinta kepada sesama mukmin. Cinta melahirkan cemburu, cemburu menggerakkan jiwa dan raga untuk melakukan pembelaan. Bagaimana jika rasa ini mati?

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka. Diyatsah seperti kaca pembatas hati yang telah buram dan tebal hingga menghalangi suara. Sebenarnya masih bisa terlihat, namun karena tidak jelas, apa yang tampak tak mengundang perhatian. Sebenarnya masih terdengar, namun jeritan hanya terdengar seperti teriakan kecil hingga hati pun tak terpanggil.

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka.

Seperti apapun bombardir media menginformasikan bagaimana penderitaan saudara seiman di Palestina, Suriah, atau Rohingya, semuanya hanya disikapi dengan dingin. Dinding diyatsah dalam hati telah diblok stiker berbunyi, “Itu urusan bangsa dan negara lain, bukan urusan bangsa dan negaraku.” Atau slogan yang sepertinya indah nan bijaksana, namun sebenarnya menunjukkan matinya rasa cinta dan ukhuwah, yang berbunyi, “Kita harus netral dalam menyikapi apapun yang terjadi di negara lain.” Jika netral berarti diam, maka netral adalah bebal. Inti cinta dan ukhuwah bukanlah sekadar kata yang diucapkan atau senyum yang disunggingkan melainkan pembelaan dan keberpihakan.

Baca Juga: Taubat yang Batal dan Hijrah yang Gagal

Kasus pelecehan terhadap Islam, Syiar islam, kalimat tauhid, syariat dan al-Quran akan memunculkan banyak wajah-wajah dayuts. Oknum-oknum yang dianggap tokoh Islam namun ghirahnya kepada al-Quran malah layak dipertanyakan. “Allah Maha Kuat, tidak butuh dibela”, katanya. Kalimat yang benar tapi ditujukan pada konteks yang salah. Allah memang Maha Kuat, Allah juga tidak pernah butuh pada pembelaan siapapun. Namun, pembelaan umat Islam pada Allah dan syariat-nya bukan karena kasihan dan menganggap lemah tapi karena cinta dan kecemburuan. Kalimat itu justru menjadi penghinaan Bagi Dzat Yang Maha Kuasa.

 

Nahi Mungkar adalah Ekspresi Kasih Sayang

Nahi mungkar atau gerakan pemberantasan kemaksiatan juga lahir dari rahim cinta kepada Islam dan kecemburuan kepada sesama muslim. Seorang muslim tidak rela saudaranya dibelenggu setan dan dijerumuskan ke dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, muslim lain pun berusaha memberantas semua sarana yang digunakan setan untuk menjebak seorang muslim. Sayangnya, kepekaan ini tidak dimiliki oleh dayuts. Dia justru menganggap nahi mungkar sebagai arogansi dan intoleransi, meski nahi mungkar sudah dilakukan dengan hati-hati. Wajar, hati dayuts memang tak pernah terusik oleh maksiat. Dalam pikirannya, biarlah manusia memilih apa yang diinginkan asal tidak terjadi konfrontasi.

Demikian juga yang terjadi saat peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Jawa Barat beberapa waktu lalu. Kaum muslimin berbondong-bondong mengecam dan tidak mentolelir perbuatan tersebut karena telah merendahkan simbol islam dan kaum muslimin. Namun, sangat disayangkan ternyata banyak juga umat islam yang kecemburuannya sudah tumpul dan sudah tersemai benih dayuts dalam jiwanya, hingga ia mencari pembenaran dan pembelaan atas kasus tersebut. Wal iyadzubillah.

Bahkan saat merebaknya fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat, fitrah manusia bahkan norma masyarakat pun, para dayuts tetap bebal hatinya untuk bisa tergerak. Propaganda yang justru mampu merasuk dalam hati dan pikirnya adalah propaganda setan yang menyatakan bahwa LGBT adalah hak asasi setiap manusia yang tidak perlu diributkan. Dan dengan itu, dirinya merasa paling bijaksana. Adapun orang-orang yang dengan keras menentang, dicitrakan sebagai barbar yang intoleran, tidak memiliki kedewasaan berpikir dan kebijakan kultural, padahal semua itu adalah indikasi bahwa iman di hatinya telah mati. Penentangan orang-orang beriman adalah wujud hidupnya hati dan kasih sayang mereka serta ketidakrelaan mereka jika saudara-saudara mereka menjadi karib setan dan dimurkai Allah. Lantas siapakah di antara keduanya yang lebih pengasih, lebih toleran dan lebih bijaksana? Wal iyadzu billah wallahul musta’an. 

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah

Dakwah, Isi Dulu atau Kemasan Dulu?

Dalam sebuah hadist disebutkan, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Untuk mengamalkan hadist ini terkadang kita dihadapkan pada satu hal yang cukup krusial. Yakni lebih penting manakah, kemasan atau isi. Kadang kita disibukkan pada pembahasan dua hal ini. Bagi beberapa orang, isi sangatlah penting. Menyampaikan isi yang bagus, tentu akan menghasilkan pemahaman yang bagus. Tetapi sebagian lainnya mengatakan, kemasan juga sangat penting. Tanpa sebuah kemasan yang bagus, maka isi akan ditolak mentah-mentah. Bahkan sebelum menyampaikan sudah ditolak duluan.

Isi adalah bagian dari hal yang sangat penting dalam dakwah. Dengan isi yang bagus, maka dakwah akan kena pada sasaran. Menyampaikan apa apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh Ummat. Melihat urgensi dan melihat sisi prioritas yang harus disampaikan. Maka isi yang akan disampaikan harus memerhatikan pada beberapa hal.

Pertama,

Pentahapan. Apakah jamaah di mana anda berdakwah sudah berada pada tahap yang anda butuhkan. Apakah sekiranya jika mereka mendapatkan materi itu tidak kaget dan tidak melakukan penolakan. Sebab jika salah tahapan, maka ummat akan menolak dengan alasan ketidakpahaman mereka. Mereka bukan menolak karena ilmu, tetapi menolak karena nafsu.

Maka pentahapan ini perlu sekali diperhatikan. Jangan sampai salah menilai kondisi umat. Ibarat kata, umat masih pemahaman awal tapi dikasih materi materi yang sudah sangat tinggi. Sehingga mereka tidak siap. Akhlaknya menjadi sangat tidak baik. Baru kenal kajian sebentar sudah berlagak seperti jagoan. Sudah mulai nantang-nantang ulama dan mulutnya berani mencaci dengan akhlak yang tidak islami.

Kedua,

Bobot isian. Apakah isian kajian yang akan anda sampaikan berbobot ataukah tidak. Sebab dari sisi bobot materi kajian akan bisa dinilai bagaimana kajian kita kelak. Jika kajian kita kurang berbobot, maka dakwah kita akan diremehkan. Dianggap tidak serius dalam menyampaikan kebenaran.

Maka soal pengambilan dalil quran dan hadist serta qaul ulama sebaiknya diperhatikan soal rujukannya. Jangan sampai umat menganggap bahwa rujukan yang anda ambil kurang valid dan kurang shahih.

Ketiga,

Soal keseimbangan. Cobalah untuk seimbang dalam menyampaikan materi. Kapan menyampaikan hal hal yang serius dan kapan menyampaikan hal hal yang menjadi bumbu dari materi. Karena tidak mungkin anda menyampaikan kajian dengan serius terus. Ada kalanya perlu ada sebuah intermezo untuk meringankan tensi kajian.

Tiga hal itu nampaknya cukup menarik untuk menjadi pertimbangan kajian anda. Bagaimana anda memperhatikan soal isian kajian anda dengan baik. Karena ibarat tubuh, isian kajian adalah nyawanya. Maka penting sekali untuk selalu memerhatikan soal ini.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al-Ma’afi An-Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”.

 

Perhatikan Juga Soal Kemasan

Selain soal ini, kemasan juga sangat penting. Perhatikanlah bagaimana anda menyampaikan materi materi anda. Kemaslah materi anda dengan menarik. Jangan sampai materi yang anda sampaikan terkesan monoton dan kaku. Larutlah dengan apa apa yang anda lakukan. Nikmati penyampaikan anda dan jangan merasa canggung atau grogi. Sedikit kesalahan mungkin akan dimaafkan. Tetapi jika anda tidak mempersiapkan dengan baik, kesalahan akan terjadi berulang dan berujung pada penyesalan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam soal mengemas dakwah. Yakni pertama, perhatian siapa pendengar anda. Apakah mereka anak anak atau orang dewasa. Dari sisi ini Anda bisa menetapkan pendekatan kemasan apa yang paling pas buat mereka. Menyampaikan materi dewasa tentu tidak bisa dengan gaya anak anak. Demikian pula menyampaikan materi anak anak tentu tidak bisa dengan gaya orang dewasa. Semua ada caranya.

”Dan tidaklah Kami mengutus Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat menjelaskan kepada mereka. Maha Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki dan Dialah Tuhan Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibrahim ayat 4)

Diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abu Dzar r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

Artinya: “Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan dengan menggunakan bahasa kaumnya”.

Kedua, gunakanlah bahasa tubuh yang menarik. Dengan gesture yang menarik akan membuat penyampaian dan kemasan dakwah anda menjadi semakin menarik. Orang akan antusias dengan apa yang anda sampaikan. Sehingga mereka tidak merasa jenuh dan tidak merasa bosan dengan kajian yang anda lakukan.

Jika anda merasa perlu menggunakan lcd maka gunakanlah lcd dengan file powerpoint yang baik dan menarik. Gunakan warna dan desain yang mencolok dan bagus. Jangan sampai anda menyia nyiakan fasilitas yang ada dengan kemasan yang seadanya. Disamping tidak menarik, maka akan membuat resiko jamaah anda bosan dengan apa yang anda lakukan.

Oleh: Ust. Burhan Sodiq/Teori Dakwah

 

 

Bentuk Intoleransi Hari Ini Pada Pemakai Cadar

Cadar- Pada tahun 1980an para muslimah yang berjuang melegalkan jilbab harus menghadapi berbagai intimidasi, pencekalan, pengucilan, hingga pelabelan aliran sesat dan radikal. Saat itu banyak sekolah dan kampus yang melarang penggunaan jilbab. Larangan pas foto berjilbab di ijazah menjadi kisah menarik bagi mereka yang mengalami fase ini. Dari yang terpaksa memasang foto tanpa jilbab sampai yang berjuang melobi pihak sekolah. Ancaman pihak sekolah pada para jilbaber pun tak main-main.

Pilihannya melepaskan jilbab atau keluar dari sekolah. Belum lagi ketika berbicara dunia kerja. Banyak orang tua khawatir anaknya tidak mendapat pekerjaan lantaran mengenakan jilbab. Dan memang saat itu banyak perusahaan yang menolak karyawannya berjilbab. Sampai tahun 2000an beberapa kasus pelarangan jilbab di perguruan tinggi, instansi pemerintah, perusahaan, masih terjadi. Alhamdulillah fase itu kini telah berakhir. Saat ini jilbab telah menjadi pakaian keseharian mayoritas muslimah di Indonesia, bahkan menjadi trend.   

 

Baca Juga: Ada Apa dibalik Media?

 

Kini, fase perjuangan itu kembali dialami oleh para muslimah yang mulai sadar untuk menutup wajah mereka dengan cadar. Tatapan sinis dan pelabelan teroris serta radikal kerap mereka dapatkan. Beberapa lembaga pendidikan juga menolak penggunaan cadar dengan dalih mengganggu komunikasi atau penegakan peraturan.

Baru-baru ini sebuah universitas swasta di Pamulang mengeluarkan peraturan pelarangan cadar di lingkungan universitas tersebut. Bila dirunut kebelakang, ada beberapa universitas yang melakukan hal sama. Kasus yang sempat terdengar terjadi pada akhir 1999. Dua mahasiswi kedokteran USU (Universitas Sumatera Utara) menerima surat resmi pelarangan cadar. Alasannya karena cadar dapat menghalangi aktivitas belajar dan komunikasi dengan dosen.

Tahun 2013, pelarangan terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM). Korban yang terkena pelarangan tersebut adalah Sumayyah. Dia dikeluarkan oleh pihak kampus lantaran bercadar.

2015, Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin tidak mengizinkan mahasiswinya memakai cadar karena menganggu proses belajar mengajar.

Pelarangan cadar juga terjadi  di IAIN Jember pada April 2017. Alasannya, cadar dinilai tidak mencerminkan Islam yang ramah dan menyejukan.

 

Baca Juga: Pembunuhan Karakter

 

Arogansi pihak kampus yang memberlakukan aturan diskriminatif merupakan cerminan dari tindakan intoleran. Bagaimanapun, penggunaan cadar, secara ilmiah tak pernah mengganggu efektifitas dan kinerja seseorang baik di lingkungan pendidikan maupun pekerjaan. Lebih jauh dari itu, ekspresi beragama dan keberagaman harusnya bukan hanya sekadar retorika belaka, tapi diresapi dan dipraktikkan.

Pelarangan demi pelarangan tersebut murni inisiatif (arogansi) lembaga pendidikan tertentu. Tak pernah ada riset ilmiyah bahwa cadar mengganggu efektifitas dan kinerja seseorang. Kemenristek Dikti pun hingga saat ini tidak melarang mahasiswi maupun dosen menggunakan cadar di dalam kampus. Bercadar adalah hak seorang warga negara Indonesia. Hal senada juga diungkapkan menteri agama. Menurutnya, cadar adalah bagian dari keyakinan yang harus dihormati dan dihargai. Pelarangan cadar merupakan bentuk intoleransi oknum tertentu kepada umat Islam.

 

Oleh: Redaksi/Terkini

 

Membagikan Daging Kurban Untuk Non Muslim

Dalam hitungan beberapa hari kedepan kaum muslimin akan menjalankan syariat menyembelih hewan kurban. Dampaknya akan banyak sekali daging-daging yang mampir ke rumah dan banyak tamu yang datang silih berganti membawa satu tas plastik yang berisi kurang lebih 2 kiloan gram daging kambing dan juga sapi.

Pemandangan seperti ini memang sudah menjadi tradisi islami di masyarakat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam dan menjalankan salah satu syariat Islam berupa menyembelih kurban. Akan tetapi yang sedikit menimbulkan pertanyaan, bagaimana bila tetangga di kampung tempat menyembelih ada yang non muslim? Apakah mereka juga mendapatkan bagian daging kurban?

Baca Juga: Mengapa Dilarang Memotong Rambut & Kuku Bagi Yang Akan Berkurban 

Pada dasarnya Islam adalah agama rahmat dan kasih sayang bagi setiap manusia. Demikian juga perihal Udhiyyah, tidak mengapa memberikan daging kurban kepada non muslim, terlebih bila mereka termasuk tetangga dekat dan kerabat yang masih ada hubungan keluarga atau orang yang kurang mampu. Sebagaimana Allah berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8)

Adapun membagikan daging kurban kepada mereka termasuk perbuatan baik yang tidak dilarang oleh syariat. Hal tersebut dikuatkan oleh Mujahid yang berkata : Suatu ketika keluarga Abdullah bin ‘amru menyembelih seekor kambing, tatkala ia datang ia berkata, “Apakah tetangga yahudi kita sudah diberikan? Ia ulangi dua kali, kemudian Ia berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jibril terus mewasiyatiku tentang tetangga, sampai aku mengira bahwa mereka akan mewarisiku.” (HR. Tirmidzi)

Dengan kedua dalih diatas, maka membagikan daging kurban untuk orang non muslim adalah boleh . terlebih mereka yang fakir dan miskin atau untuk ‘ta’liful qulub’ (melembutkan hati mereka). Adapun Rasulullah juga pernah memerintahkan Asma’ bintu Abu Bakr untuk berbuat baik dan bersedekah kepada Ibunya  yang saat itu masih musyrik.

Syaikh Ibnu Baz menambahkan bahwa orang kafir (non muslim) yang tidak memerangai kaum muslimin, mereka diberi bagian kurban dan sedekah kaum muslimin.

Hal diatas sebagaimana yang disampaikan oleh Lajnah Daimah dalam Majmu’ Fatawanya.

Baca Juga: Berapa Kali Rasulullah Berkurban Semasa Hidupnya?

Jadi tidak perlu mengeluarkan urat berlebih dan berdebat tentang status orang non muslim. Allah maha adil dan pemurah bagi hambanya dan Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Semoga saja dengan sedekah yang kaum muslimin berikan, mereka akan segera luluh hatinya dan kembali fitrah dengan masuk agama Islam. Aamiin.

Akan tetapi bila mereka menolak pemberian tersebut karena berargumen bahwa al-Kitab melarangnya, kita serahkan selebihnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam (Nurdin AJ/Kurban/Terkini)

 

Tema Terkait: Kurban, Dzulhijjah, Idul Adha