Rahib Yahudi dan Nashrani Menjual Agama Untuk Mengais Dunia

Allah menciptakan manusia tujuannya tak lain adalah untuk beribadah. Ibadah yang sudah ada juklak (petunjuk pelaksanaan) nya dan juga ibadah yang mencakup segala apa yang diridhai Allah. Namun, tak cukup di situ, manusia dituntut untuk berikhtiyar guna mencukupi kebutuhan jasmaninya yang berupa; sandang, pangan dan papan. Keduanya saling terkait dan tidak bisa mendominasi salah satunya, yang berakibat timpang salah satunya.

Maka siapa yang hidup  di dunianya dihabiskan hanya untuk melakukan Ibadah yang sudah ada juklaknya (Ibadah Mahdhah) sehingga kebutuhan fisiknya tercampakkan, padahal dia mampu melakukannya dan tidak terhalang, maka dia tercela. Barang siapa yang hanya sibuk mengurus kebutuhan jasmaninya tanpa mempedulikan ibadah mahdhah kepada yang menciptakan dan menjamin kebutuhan hidupnya, maka dia bak  binatang ternak.

 

Baca Juga: 411, 212 dan 412 Merupakan Fenomena Penyibak Tabir

 

Barang siapa yang menunaikan ibadah mahdhah sesuai yang diajarkan oleh Rasul, sementara pemenuhan kebutuhan fisiknya tidak mempedulikan arahan umum serta batas halal-haram yang telah ditentukan, maka akan berimbas kepada tidak diterimanya ibadah mahdhah yang diamalkannya dengan susah payah. Barang siapa yang menjadikan ibadah mahdhah-nya sebagai sarana untuk mendapatkan kebutuhan fisik-dunianya, apalagi digunakan untuk mengejar kemewahan, maka dia terjerembab kedalam kesalahan menjual agama untuk mendapatkan dunia. Allah berfirman:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan orang-orang ‘alim Yahudi dan rahib-rahib Nashrani benar-benar makan harta manusia dengan jalan bathil dan mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. [QS.At-Taubah : 34].

 

Para Rahib Memanipulasi Ummat Untuk Memenuhi Kebutuhan Dunia

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya Tafsir al-Qur-an al-‘Adhim menjelaskan bahwa para pendeta Yahudi dan para rahib Nashrani adalah merupakan para tokoh, para pemimpin di lingkungan mereka, dimana mayoritas mereka tidak beres dalam urusan harta; bukan hanya tidak ada transparansi dan akuntabilitas dalam penerimaan dan penggunaan dana, akan tetapi mereka juga cenderung memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin agama di tengah kaumnya yang dapat menetapkan berbagai pungutan untuk memuaskan syahwat mereka kepada harta dunia dengan mengatasnamakan Tuhan. Secara tegas beliau menulis, “Yang demikian itu karena mereka memenuhi hasrat dunia mereka dengan menjual agama, dengan menggunakan posisi dan dan kepemimpinannya di tengah umat manusia…”.

Ada dua hal dapat terpisah sendiri-sendiri dan dapat pula saling berjalin-berkelindan. Pertama, tidak transparan dan akuntabel dalam pendanaan umat semata-mata karena kelemahan teknis administrasi. Kedua, akuntabilitas-nya buruk dan kerakusan syahwatnya kepada dunia tinggi, sehingga buruknya administrasi sengaja digunakan untuk menutupi kerakusan itu. Ketiga, akuntabilitasnya bagus, mereka tidak malu melindungi kerakusannya terhadap dunia dengan justifikasi regulasi. Dengan demikian kerakusannya dilindungi secara legal.

Membantu memudahkan orang lain dalam melaksanakan ibadah mahdhoh merupakan perbuatan kebajikan yang dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah dan berbuah pahala, kecintaan, surga dan ridha-Nya. Tetapi tentu  ada syaratnya, yakni ketika pelaku kebaikan tadi tidak mengambil upah dari perbuatan baiknya kecuali sebatas kebutuhan dhoruriyah (primer) dan hajiyah (sekunder) saja. Lebih elok lagi jika kebutuhannya dipenuhi dari usaha yang tidak ada hubungannya dengan perbuatannya menolong dan membantu orang lain dalam melaksanakan amal ibadah mahdhah tersebut.

 

Baca Juga: Hilir Sekularisme Merusak Moral Bangsa

 

Kasus First Travel adalah gambaran rusaknya konstruksi pemahaman banyak pihak dari stake holder dalam mengurus urusan umat Islam khususnya. Pembuat dan pengontrol regulasi yang tidak peka terhadap masalah, lamban menangani gejala pelanggaran baik dari sisi regulasi maupun pengawasan. Pelaku kejahatan yang rusak pemahaman agamanya dan memanfaatkan celah kelemahan regulasi dan pengawasan untuk memuaskan syahwat dunianya.

Pelaku mengorbankan manusia banyak yang memanfaatkan jasa yang ditawarkannya, untuk meraih dunia dan keindahannya dengan cara curang. Alih-alih mencukupkan diri dengan mengambil sebatas kebutuhan saja, bahkan biaya ibadah tersebut digunakan secara curang untuk mengongkosi kehidupan mewahnya yang bak raja dan ratu. Jerih payah penjual kerupuk, tukang loundry dan orang-orang kecil yang menabung uang receh dari hari ke hari demi kerinduannya berziarah ke Baitullah kandas di tangan orang avonturir yang memburu dunia dengan menjual agamanya.

 

Oleh: Redaksi/fikrah

 

Ulama Penghamba Dunia Dimisalkan Seperti Anjing

Dalam Sepenggal ayat berikut, Allah berfirman tentang kedudukan seorang ‘alim yang sejatinya mulia namun ia merendahkan dirinya sendiri dengan seklumit nikmat duniawi, 

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Qs. al-A’raf: 176)

Para mufassirin menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan seseorang  di masa Bani Israil  yang dikenal dengan nama Bal’am bin Ba’ura. Dia adalah seorang ulama dari kalangan Bani Israil di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam. Dia termasuk salah seorang yang diberi ilmu tentang Ismul A’zham (Nama Allah Yang Paling Agung). Di dalam majelisnya terdapat 12.000 tinta untuk menuliskan uraian-uraian yang disampaikannya.

Malik bin Dinar rahimahullahu mengatakan bahwa dia termasuk orang yang terkabul doanya. Orang-orang Bani Israil biasa mendatanginya setiap kali ditimpa kesulitan. Suatu ketika, dia diutus oleh Nabi Musa ‘alaihissalam mengajak salah seorang penguasa Madyan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Raja itu memberinya harta, lalu diapun meninggalkan ajaran Musa ‘alaihissalam dan mengikuti agama raja itu. Wal ‘iyadzu billah.

Baca Juga: Diri Celaka Saat Ulama Dicela

Ini menjadi ancaman tegas bagi orang yang diberi karunia ilmu dan iman oleh Allah, kemudian dia menyimpang dari jalan yang benar, ilmunya tidak dimanfaatkan lalu dia berbuat buruk sebagaimana orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan menganiaya diri sendiri dengan maksiat dan dosa. Persis seperti orang yang tak berilmu dan tak mengenal hidayah.

Bagi orang yang diberi anugerah ilmu; hafal banyak dalil, pandai berbicara dan banyak pengikut, ayat ini menjadi tanbih, peringatan untuk senantiasa waspada terhadap godaan berupa bujuk rayu dunia yang menggiurkan. Berapa banyak orang yang dianggap sebagai Kyai, ustadz, ulama atau tokoh yang didengar suaranya kemudian menjadi gagap dalam menyampaikan kebenaran, melempem menghadapi kemungkaran dan justru tiba-tiba menjadi vokal dalam membela perkara yang bertentangan dengan syariat, hanya karena iming-iming duniawi. Imannya tergadai, ilmu dan fatwanya terbeli, seperti Bal’am yang menanggalkan ilmu dan imannya karena menuruti kehendak seorang raja.

Padahal, dengan ilmu syar’i yang Allah anugerahkan kepadanya, ia punya potensi memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah, sebagaimana firman-Nya,

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. (QS. Al-A’raf: 176)

Akan tetapi godaan duniawi membuat ia tergiur oleh bujuk rayu duniawi,

“Tetapi dia cenderung kepada dunia.” (Qs. Al-A’raf: 176).

Yakni cenderung kepada perhiasan kehidupan dunia dan kegemerlapannya. Dia lebih menyukai kelezatan, kenikmatan, dan bujuk rayunya. Dia teperdaya oleh kesenangan duniawi; kehormatan di mata manusia karena dianggap dekat dengan penguasa, harta yang didapat dengan menjual fatwa dan kenikmatan lain yang menjadikan rontok keimanannya. Apa yang dalam pengetahuannya haram dikatakan halal, apa yang ia ketahui kemungkarannya dia fatwakan sebagai sesuatu yang ma’ruf. Hingga keadaannya seperti lebih jahil dari orang-orang yang jahil.

Maka Allah memberikan perumpamaan yang menyentak nurani,

{فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ}

“Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)- (QS. Al-A’raf: 176).

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Ada yang berpendapat, maksud seperti anjing adalah dalam hal kesesatannya dan keberlangsungannya di dalam kesesatan serta tidak adanya kemauan memanfaatkan doanya untuk keimanan. Perihalnya diumpamakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, jika dihalau menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya tanpa ada perubahan. Dia tidak memanfaatkan pengetahuan  dan doanya untuk sesuatu yang bermanfat bagi keimanan, keadaannya sama dengan orang yang tidak memiliki keduanya.

Sama halnya dengan pengertian Yang terkandung di dalam Firman-Nya:

{سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ}”

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.” (QS. Al Baqarah: 6)

Ada pula yang menafsirkan, permisalan itu menggambarkan kerakusannya terhadap dunia, hingga peringatan tak membuatnya berhenti dari menjilat dan kegilaannya terhadap dunia juga tidak berkurang, sama seperti ketika ia tidak diberi peringatan. Akal dan hatinya sudah bebal dari menerima nasihat.

Baca Juga: Gila Hormat Hina didapat

Begitu buruk perumpaman bagi mereka, alangkah rendahnya martabat dia sebagai manusia, apalagi telah diberi ilmu tentang kebenaran. Dengan potensinya ia bisa mendapatkan segala jenis kenikmatan yang sempurna dan kekal, namu ia memiih kenikmatan yang sedikit lagi fana.

Peringatan keras dari Allah itu juga karena penyimpangan dan kesesatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu atau dianggap mumpuni ilmunya. Berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang biasa atau oleh ahli ibadah sekalipun. Karena dampak negatif yang ditimbulkan tak hanya mengenai pelaku saja, namun lebih luas dampaknya bagi orang banyak dan lebih berbahaya. Bisa jadi orang awam akan mengikuti kesesatannya, atau ia akan mencoreng citra Islam dan kaum muslimin. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari bengkoknya iman setelah mendapatkan petunjuk, Wallahul muwaffiq.

Oleh: Abu Umar Abdillah 

 

Tema Terkait: Ulama, Akhir Zaman, Syubhat