Tradisi Tak Suci di Tanah Suci

Hal paling mengharukan yang disaksikan dan dirasakan saat keberangkatan haji menuju tanah suci adalah ucapan talbiyah, “labbakaillahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik…” , Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah,aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Senandung itu begitu menggetarkan hati orang yang rindu untuk berhaji. Ucapan yang merupakan ikrar tauhid yang mestinya tak diingkari, dan pernyataan untuk berlepas diri dari kesyirikan yang merupakan dosa tak tertandingi. Alangkah sayang jika dalam perjalanan sampai ke tanah suci, kemudian ikrar suci itu menjadi tercemari.

Sebagai tempat yang suci, tanah Haramain (Madinah dan Mekah) yang juga bertebaran di dalamnya keutamaan, juga kaya akan tilas sejarah yang membekas di hati kaum muslimin, tidak luput dari sikap pengagungan yang berlebihan. Ada yang terbilang ringan, kesalahan persepsi hingga yang masuk dalam kategori fatal dalam timbangan akidah Islam.

Waqaf Mushaf al-Qur’an di Masjid Nabawi

Bagi orang-orang yang berhaji maupun mu’tamirin yang memulai miqatnya dari Dzul Hulaifa (Bir Ali), yang datang melalui Madinah, biasanya akan tinggal beberapa hari di Madinah. Ada pemandangan harian yang bisa disaksikan, di jalan masuk pelataran Masjid Nabawi banyak orang menawarkan mushhaf al-Qur’an dengan kalimat, “waqaf…waqaf…!”

Ada sugesti yang melatari iklan ini. Banyak jamaah haji yang membeli mushhaf yang mirip dengan cetakan mushhaf yang terdapat di rak-rak masjid Nabawi. Bukan untuk dibaca sendiri, namun untuk diwakafkan di Masjid Nabawi. Tampaknya ini wajar  dan secara asal memang tidak masalah, karena wakaf adalah bentuk amal shalih. Namun ternyata ini bukan sembarang wakaf. Ada keyakinan bahwa cara ini dipercaya bisa menjadi sarana orang yang berhaji kelak bisa kembali lagi ke masjid Nabawi. Sampai batasan ini barangkali masih ada dasar yang bisa dijadikan argumen. Bahwa amal shalih bisa menjadi wasilah terkabulnya doa, sebagaimana kisah tiga orang yang terjebak dalam goa dalam hadits yang shahih. Di mana doa mereka untuk bisa keluar dari goa dikabulkan Allah setelah menyebutkan jenis amal yang menjadi unggulannya.

Baca Juga: Makanan Haram, Merusak Tabiat dan Jasad

Persoalannya, ketika hal itu menjadi rumus paten yang diyakini; yakni ada amal khusus, di tempat yang khusus, lalu bisa menghasilkan khasiat yang khusus pula. Amal khusus itu adalah wakaf mushhaf al-Qur’an, tempat khusus itu adalah masjid Nabawi, dan hasil khusus itu adalah bisa kembali ke masjid Nabawi. Jika salah satu variabel tidak ada, hasilnya dipercaya juga akan meleset. Kalau sudah sampai tingkatan ini, tentu membutuhkan dalil yang khusus.

Dari sekian banyak fadhilah dan keutamaan terkait masjid Nabawi, sedangkal pengetahuan Penulis, tak ada riwayat shahih yang secara khusus menyebutkan tentang jenis amal ini. Di antara yang tersebut dalilnya adalah keutamaan ‘raudhah’, tempat antara rumah Nabi dan mimbar beliau. Ada juga keutamaan shalat di masjid Nabawi sebagaimana hadits Nabi,

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَام

“Sholat di masjidku ini (Nabawi) lebih utama seribu kali daripada shalat di tempat lain kecuali Masjidil Haram.” (HR Bukhari)

Memberi Makan Merpati di Tanah Suci

Memasuki kota Mekah, di jalan-jalan kota, maupun sekitar pelataran Masjdil Haram tampak banyak burung-burung Merpati yang bergerombol. Ada pula para penjual yang menawarkan biji-bijian dengan harga satu riyal sebungkus plastik kecil untuk memberi makan merpati.

Ternyata, ada pula keyakinan khusus tentang ini. Bahkan sebagian orang yang berhaji telah dibekali biji-bijian dari rumah oleh keluarganya atau kerabatnya untuk tujuan yang sama. Ada yang meyakini bahwa burung-burung itu adalah keturunan merpati  yang menjaga goa Tsur saat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hijrah. Padahal tak ada bukti pasti yang menunjukkan hal ini. Bahkan riwayat tentang adanya burung merpati di depan goa pun banyak dikritisi keshahihannya oleh para ulama.

Baca Juga: Kejatuhan Cicak, Sinyak Ketiban Sial?

Keyakinan lainnya, burung merpati itu akan mendoakan orang yang memberi makan kepadanya. Anehnya, hanya merpati di Mekah yang diberi kepercayaan begitu tinggi dalam hal ini. Memang terdapat dalil, bahwa hewan-hewan ada yang mendoakan manusia, secara khusus Nabi menyebutkan bagi para penuntut ilmu. Tapi ini tidak dikhususkan bagi hewan merpati di Mekah. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوتَ فِي الْبَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْر

“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya hingga semut di lobangnya juga ikan-ikan di laut bershalawat atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR Thabrani)

Maksud shalawat semut dan ikan adalah mendoakan kebaikan, wallahu a’lam.

Oleh-oleh Jimat dari Tanah Suci

Yang paling fatal di antara yang dilakukan sebagian orang yang berhaji adalah membawa barang-barang khusus yang diyakini memiliki tuah atau berkah dan berkhasiat mendatangkan suatu kemaslahatan ataupun kemudharatan.

Ada yang sengaja mengambil (mencuri?) tanah di kuburan Baqi meski dilarang keras oleh petugas. Tujuannya tak lain karena memiliki keyakinan bahwa tanah itu memiliki berkah, bisa mendatangkan rezeki atau kemaslahatan lain, maupun bisa mencegah suatu jenis keburukan. Padahal Allah dan Rasul-Nya tidak menetapkan atau mengabarkan adanya khasiat ini. Akal sehat juga tidak membenarkan tindakan ini. Juga orang yang membawa pulang kerikil yang dipakai untuk melempar jumrah.

Tampak pula, orang berjejal untuk menyentuh dinding Ka’bah, lalu mengusap-usapkan peci, surban atau pakaiannya ke dinding Ka’bah, kemudian barang tersebut disakralkan setibanya di tanah air mereka. Sebagian juga percaya bahwa barang yang diusapkan ke dinding Ka’bah itu telah mengandung berkah khusus dan bisa dijadikan jimat, wal ‘iyaadzu billah.

Yang disyariatkan adalah mencium Hajar Aswad atau menyentuhnya, dan menyentuh rukun Yamani, bukan semua dinding Ka’bah. Dari faedahnya juga telah disebutkan Nabi secara khusus,

إِنَّ مَسْحَهُمَا كَفَّارَةٌ لِلْخَطَايَا

“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR Tirmidzi)

Wallahu Ta’ala A’lam. 

 

OleH: Ust. Abu Umar Abdillah/Syubhat/Majalah ar-risalah

 

‘Wukuf’ di Negeri Sendiri

Memasuki bulan haji, semua hati terketuk pasti. Yang belum berhaji makin kuat mimpinya, yang pernah haji ingin sekali mengulang lagi. Satu diantara momen penting haji, bahkan inti dari haji adalah wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang shahih dari An-Nasa’I, Tirmidzi dan yang lain, “al-hajju ‘arafah”, (inti) haji adalah (wuquf di) Arafah.

Baca Juga: Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Makna wukuf adalah berhenti, atau berdiam diri. Dalam prosesi haji, wukuf adalah hadir dan berada di lokasi mana saja di batasan wilayah Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, termasuk pula dalam keadaan suci atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub). (Fiqih Sunnah, 1: 494). Aktivitas ini dilakukan  pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) sejak matahari tergelincir (zawal). Tentu saja aktivitas yang dianjurkan adalah memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah. Dan selama wukuf seseorang tidak boleh keluar dari area Arafah yang hari ini telah diberi tanda batas yang bertuliskan ‘bidayatu ‘arafah’ (permulaan Arafah) jika terlihat dari luar, dan ‘nihayatu ‘arafah’ (batas akhir arafah) jika dibaca dari dalam area Arafah.

Hari itu dan di tepat itu Allah mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, dan Allah membebaskan banyak orang dari neraka. Singkatnya, banyak sekali fadhilah wukuf di hari Arafah yang tentu sangat diharapkan oleh setiap muslim untuk mendapat peluang emas itu.

Namun bagi yang tidak berangkat berhaji karena suatu hal, ada nasihat berharga dari Imam ibnu Rajab al Hambali, “man lam yastathi’il wuquf bi’arafah falyaqif nafsahu ‘inda huduudillahilladzi ‘arafah’, barangsiapa yang tak mampu wukuf di Arafah, maka hendaknya ia wukuf (berdiam) di batasan-batasan yang Allah tetapkan yang telah ia ketahui.”

Baca Juga: Memakai Obat Penunda Haid Saat Umrah & Haji

Inilah wukuf yang dituntut sepanjang tahun, tak hanya di bulan-bulan yang khusus. Yakni dengan cara mencari tahu dan memahami batasan halal dan haram, sehingga dia membatasi perkara-perkara yang halal untuk diambil dan dilakukan. Ia juga memahami perintah dan larangan, lalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Maka barangsiapa yang konsisten dengan itu semua, doanya akan makbul setiap saat. Karena mencukupkan diri dengan yang halal adalah faktor dominan diijabahinya doa seseorang. Dan selagi seseorang berada dalam ‘wukuf’ seperti ini, maka aktifitasnya tidak kosong dari nilai taqarrub dan ibadah. Karena yang dimaksud ibadah adalah segala aktifitas yang dicintai oleh Allah, diridhai oleh-Nya, baik perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin sebagaimana dijelaskan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lain. Maka pantaslah orang yang mengisi hari-harinya dengan ibadah untuk dibebaskan dari neraka, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah/Muhasabah/Wukuf)

 

Tema Terkait: Haji, Syariat, Muhasabah