Status Anak Hasil Perzinaan

Ada sebuah kasus yang menimpa salah seorang teman, yaitu istrinya melakukan zina dengan seorang laki-laki. Ketika dia hamil dan melahirkan seorang anak, perempuan tersebut minta cerai, karena ingin menikah dengan pacar gelapnya yang telah berzina dengannya. Dia mengatakan bahwa anaknya yang baru saja lahir adalah anak hasil perzinaan dengan pacarnya, maka anak tersebut harus ia bawa. Bagaimana sebenarnya status anak tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa perempuan yang melakukan perbuatan zina dan hamil dibagi menjadi dua:

  • Pertama:

Dia berstatus sebagai istri dari seorang suami yang sah, sebagaimana yang terjadi pada kasus di atas. Jika perempuan tersebut hamil dan melahirkan, maka status anaknya diikutkan kepada suaminya yang sah, dan bukan kepada laki-laki yang berzina dengannya, walaupun anak tersebut wajahnya mirip dengan laki-laki yang berzina. Kenapa? karena air mani orang yang berzina tersebut tidak dihargai dalam Islam, sehingga tidak diakui nasabnya.

Selain itu, Islam ingin menutupi aib seorang muslim jika hal itu memungkinkan, dan sekaligus ingin menghargai anak manusia yang lahir, karena pada hakekatnya bayi dari hasil perzinaan tersebut adalah makhluk yang tidak bersalah, yang bersalah adalah orang yang berzina. Nah, untuk menutupi hal itu, maka bayi tersebut diikutkan kepada pasangan suami istri yang telah terikat dalam perkawinan yang sah.

Dalilnya adalah hadist yang menyebutkan kisah anak yang lahir dari budak perempuan milik Zam’ah bin Aswad yang ternyata pernah melakukan hubungan badan dengan Utbah bin Abi Waqash. Utbah mewasiatkan kepada saudaranya Sa’ad bin Abi Waqash untuk mengambil anak tersebut, karena anak tersebut sebenarnya adalah anaknya. Tetapi Abdun bin Zam’ah merasa anak tersebut adalah saudaranya. Terjadilah pertengkaran antara Sa’ad bin Abi Waqash (saudaranya ‘Utbah) dengan Abdun bin Zam’ah. Berkata Sa’ad: “Saudaraku bilang bahwa anak dari budak milik Zam’ah ini adalah anaknya. Berkata ‘Abdun: “Dia adalah saudaraku, karena dia adalah anak bapakku karena lahir di atas kasur bapakku.” Maka nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Abdun: “Itu adalah saudaramu wahai Abdun, karena anak yang lahir tersebut dinisbatkan kepada laki-laki  yang mempunyai istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan apa-apa, wahai Saudah (binti Zam’ah), kamu harus berhijab ketika bertemu dengannya nanti. (karena wajah anak tersebut mirip dengan Utbah)” (HR. Bukhari: 2533)

  • Kedua:

Perempuan yang berzina tadi belum mempunyai suami dan belum berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini biasanya terjadi di kalangan para mahasiswa-mahasiswiI dan para pelajar putra – putri yang hidup di daerah perkotaan. Bagaimana status anak yang dikandungnya? Apakah boleh diakui sebagai anak keduanya setelah mereka berdua menikah atau anak tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada laki- laki yang menghamili ibunya ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

  • Pendapat Pertama mengatakan bahwa status anak tersebut tetap sebagai anak zina tidak boleh dinisbatkan sama sekali kepada laki-laki yang menghamili ibunya, antara keduanya tidak boleh saling mewarisi, dan jika anak yang lahir tadi perempuan, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali nikahnya. Tetapi anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya yang melahirkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadist Zam’ah di atas bahwa: “anak itu dinisbatkan kepada suami yang mempunyai  istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan apa-apa.”

Oleh karenanya, jika laki-laki yang berzina dengan ibunya tadi ingin agar anak hasil perzinaan tersebut diselamatkan dan tidak terlantar begitu saja, maka dibolehkan baginya untuk merawat anak tersebut sebagaimana dia merawat anaknya sendiri. Hanyasaja ketika pembagian warisan, anak tersebut tidak berhak mendapatkan warisan. Tetapi, jika laki-laki tersebut ingin menghibahkan atau mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak tersebut sebelum dia meninggal dunia, maka hal tersebut dibolehkan.

  • Pendapat Kedua mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamili ibunya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa: 32/ 112, 113, 139). Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ishaq bin Rahawih, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Sirrin, Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakh’I dan lain-lainnya.(Al Baji, Al Muntaqa: 6/ 11, Ibnu Qudamah, Al Mughni: 6/ 266).

Mereka beralasan bahwa hadist Zam’ah di atas hanya berlaku bagi perempuan yang mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, sehingga perempuan tersebut disebut firasy (tempat tidur) bagi suaminya. Tetapi lain halnya, jika perempuan tadi tidak mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, maka dia tidak disebut firasy. Dengan demikian hadist di atas tidak berlaku pada perempuan semacam ini.

Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tujuan dinisbatkan anak zina tadi kepada suami yang sah, adalah untuk menutupi aib dan mengangkat derajat anak yang mungkin dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut. Nah, ternyata  perempuan tersebut  pada waktu dia berzina tidak mempunyai suami yang sah, sehingga anak hasil perzinaan tersebut mau dinisbatkan kepada siapa? kalau kepada ibunya tentunya nasib anak itu akan menggantung di masa mendatang karena tidak mempunyai bapak, dan orang lainpun lambat laun akan mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak zina, dengan demikian aib tersebut akan terbongkar dan mencorengnya serta mencoreng ibu yang melahirkannya, padahal barangkali ibu tersebut sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Baca Juga: Hukum Nikah Siri Dalam Islam

Jika dikemudian hari ternyata laki-laki dan perempuan yang berzina tersebut telah bertaubat dan menikah, maka pernikahan mereka berdua adalah sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah salahnya anak tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang sekarang sudah menjadi suami ibunya, sedangkan tidak ada satupun dari pihak lain yang mengklaim bahwa anak tersebut adalah anaknya.

Pendapat ini dikuatkan dengan Atsar Umar bin Khattab, bahwa beliau menisbatkan anak-anak yang dilahirkan pada waktu jahiliyah kepada siapa yang mengakuinya ketika mereka sudah masuk Islam (Atsar Riwayat Imam Malik di dalam al- Muwatho’, no: 1426, Baihaqi, no: 21799, Berkata Syekh Al-Bani di dalam Irwa’ Ghalil: 6/ 25: orang-orang yang meriwayatkan atsar ini bisa dipercaya, karena telah mereka telah meriwatkan hadist-hadist di dalam shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja sanadnya terputus, karena Sulaiman bin Yasar tidak bertemu dengan Umar, akan tetapi tersambung dari jalan lain).

[bs-quote quote=”Kesimpulan dari pembahasan di atas, bahwa anak yang lahir dari perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masih berada dalam ikatan perkawinan resmi, maka statusnya dinisbatkan kepada suami yang sah dari perempuan yang berzina tersebut. Sedang jika perempuan yang berzina tersebut tidak sedang dalam ikatan perkawinan sah dengan seorang laki-laki, maka status anak dari hasil perzinaan tersebut masih diperselisihkan para ulama: mayoritas ulama mengatakan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya, sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada lelaki yang berzina dengan ibu yang melahirkannya. Wallahu A’lam.” style=”default” align=”center” color=”#2276bf”][/bs-quote]

Oleh: Ust. Ahmad Zain an-Najah/Fikih Nazilah

Atas Nama Nikah, Zina Dianggap Ibadah

Di akhir bulan September yang lalu, sebuah situs pernikahan dengan nama nikahsirri.com yang didirikan oleh Aris wahyudi pada tanggal 19 September 2017 menjadi isu hangat di masyarakat. Dengan mengusung tagline “Nikah Sirri, Mengubah Zina Menjadi Ibadah” dan tertulis juga di laman awalnya, “Virgin wanted” , sudah ada lima ribuan orang yang menjadi anggota website tersebut. Cukup dengan mahar seratus ribu ia telah menjadi member web tersebut dan masa aktifnya tidak terbatas.

Pendiri website ini menegaskan bahwa websitenya menyediakan jasa bagi muda-mudi daripada mereka jatuh kedalam perzinahan, maka lebih baik nikah siri ala website tersebut. Lagipula menurutnya, praktek nikah siri di website tersebut berbeda dengan zina atau macam prostitusi pada umumnya. Bila prostitusi yang menyepakati maharnya adalah si mucikari atau bosnya, dalam web tersebut mahar ditentukan oleh kedua belah pihak yang sudah saling cocok, kemudian dipotong 10-20% untuk biaya admin web.

 

Baca Juga: Tanda Akhir Zaman, Aparat Berbuat Sewenang-wenang

 

Menurutnya juga, banyak mahasisiwi yang dropped out karena biaya kuliah yang sangat tinggi, dengan menjadi member nikahsirri.com ia akan berpeluang mendapat income dan bisa membantu pemasukan keluarga, meskipun kelak akan putus juga dengan klien yang sudah membayarnya.

Intinya, website ini memberikan fasilitas bagi orang yang ingin menjalin hubungan kasih-sayang hanya dengan memberikan mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, antara mitra sebagai anggota yang telah terdaftar di website dank lien sebagai pengunjung web dan penikmat jasanya.

 

Bukan Nikah Sirri, tapi Prostitusi

Menikah adalah ibadah mulia yang akan menggenapi separuh agama sesorang. Menikah tidak hanya dengan lafal, tapi ada syarat dan ketentuan yang mengharuskan, seperti; ijab. qabul, adanya wali, mahar dan saksi.

Nikah siri pada dasarnya sudah menetapi persyaratan agama, hanya saja disembunyikan dari khalayak masyarakat dan tidak melalui jalur resmi Negara yang dicacat oleh KUA. Jumhur ulama berpendapat sah menurut agama, karena sudah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja ada yang berpendapat makruh karena bisa menimbulkan fitnah dan gunjingan di masyarakat.

Adapun praktek yang terjadi di website nikahsirri.com sangat jauh dari kata sah.  Justru jasa yang disediakan lebih dekat pada tindak prostitusi dan perzinahan. Demikian prosesi melamarnya disebut dengan istilah lelang perawan. Dari maknanya saja sudah terendus kemana arah tujuan pernikahan ini.  Mudahnya, masuk website kemudian melihat ada foto profil yang disuka tentukan harga, sepakat dan bisa menjalin hubungan dalam waktu yang disepakati.

 

Zina bercasing Ibadah ala Syiah

Bila dirunut secara detail, praktek dan prosesi pernikahan dalam laman web tersebut lebih mengarah pada nikah kontrak. Menikah dengan memberikan upah (mahar) kepada pihak wanita dan berpisah pada waktu yang sudah ditentukan. Mirip seperti tren nikah mut’ah yang dilakukan orang-orang Syiah. Mereka membayar mahar sekian uang dan bisa menikmati wanita mana saja  yang ia suka.

Di Iran, praktik menjajakan wanita untuk dinikahkan mut’ah sangat mudah dijumpai. Cukup mudah seorang pria untuk menyalurkan nafsu biologisnya, tinggal datang ke masjid terdekat, disana ada bilik khusus yang  menyediakan beberapa wanita yang siap dinikahi mut’ah dalam durasi yang bervariasi tergantung mahar yang dibayarkan dan dikehendaki.

Nikah kontrak hukumnya haram dan semua ulama sepakat bahwa tindakan tersebut melampaui batas dan menerjang syariat. Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al Maarij : 29-31]

Adapun wanita yang dinikahi dengan cara mut’ah bukanlah isteri sungguhan dan bukanpula ia budak yang boleh digauli.

Nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat meskipun pada awalnya diperbolehkan. sebagaimana Nabi bersabda,

 “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.(HR. Muslim)

Hal ini senada dengan penuturan MUI yang menyamakan praktek yang ada di nikhasirri.com dengan nikah wisata dan telah difatwakan sesat dan dilarang oleh MUI pada tahun 2010 silam. Nikah wisata sendiri sama dan serupa dengan nikah mut’ah yang dilakukan orang-orang syiah. Yaitu menikah dengan niatan hanya selama berwisata alias sementara waktu pada waktu yang telah disepakati. 

 

Baca Juga: Penggiringan Opini Umat

 

Bila demikian adanya, apa boleh dikata bila nikahsirri.com justru mengundang orang untuk bebuat zina dan mengemas kata prostitusi yang terdengar buruk agar lebih nyaring didengar orang. Sebagaimana hal tersebut merupakan hobi setan yang memoles kebathilan dengan hal yang terdengar baik.

Bila pun pendirinya beralasan untuk menjauhkan orang agar tidak berzina dan memilih kawin siri menurut versinya, mengapa tidak memberikan fasilitas yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam berupa; ta’aruf yang semestinya, mendatangkan wali dan mengikrarkan pernikahan didepan para saksi agar pernikahan tersebut bernilai sah dan berpahala. Lagipula dalam mendorong klien agar terpikat dan mau mengakses, si pendirinya menampilkan gambar-gambar vulgar dan kata-kata yang mengundang perzinahan di laman awal webnya. Memang hal ini disengaja.

Sungguh sangat keji praktek seperti ini. Kaum wanita direndahkan sedemikian rupa, dijual-belikan harga dirinya dan menabrak syariat agama seenak perutnya.

Untungnya portal ini sudah resmi ditutup aksesnya. Bila tidak, berapa banyak para wanita dan pria yang terjerumus dalam  mencari pelampiasan syahwatnya dengan kedok nikah siri ini. Para member mendapatkan dosa dan si pendirinya jangankan untung, justru ia akan memikul semua dosa dari para klien dan anggotanya. Waliyadzubillah.

 

Oleh: Nurdin AJ/Syubhat

 

Maksiat Yang Paling Menjijikan Permisalannya

Ghibah, gosip, isu, rumor atau apapun namanya, yang intinya adalah menggunjing orang lain adalah dosa besar atau al kabirah. Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam menukil salah satu pernyataan Imam al Qurthubi bahwa ghibah adalah dosa besar. Pendapat ini didukung oleh banyak dalil.

Diantara dalil tersebut adalah hadits dari Said bin Zaid, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (HR. Abu Daud, dishahihkan al Albani).

Dua perumpamaan yang sangat buruk, bahkan menjijikkan pun tak ayal melekat pada perbuatan tercela ini. Pertama Allah mengibaratkan ghibah dengan “memakan bangkai saudara sendiri” seperti dalam surat al Hujurat ayat 12. Kedua, Rasulullah SAW menyamakan ghibah dengan perumpamaan yang sama dan menambahkan bahwa saking kotornya, andai saja ghibah dicampur dengan air laut, niscaya, ghibah bisa mencemari samudra.

 

Ghibah Tetangga, Lebih Besar Dosanya

Dengan status buruk seperti diatas, apapun caranya, kita harus bisa menghindarkan diri dari berbuat ghibah. Selain itu kita juga harus pandai-pandai menjaga diri agar tidak ikut terseret ke dalam majelis ghibah. Lebih-lebih jika yang dighibah adalah tetangga sendiri. Dimana dosanya bisa jadi lebih besar. Sebab, Rasulullah SAW telah banyak mewasiatkan agar kita benar-benar menghormati dan menjaga tetangga agar tidak terkena gangguan kita dalam bentuk apapun. Rasulullah SAW bersabda, ” Jibril tak henti-hentinya mewasiatkan padaku agar berbuat baik pada tetangga, hingga aku mengira mereka akan mewarisi (warisanku).”  (Mutafaq ‘alaih).

 

Baca Juga: Jihad Setan Melawan Manusia

 

Memang, bisa jadi tetangga kita justru beruntung karena dosanya terkurangi. Namun tetap, perbuatan ghibah adalah haram dan termasuk menyakiti. Sebab, pelaku ghibah ikut andil dalam menyebarkan aibnya pada orang lain. Jika kemudian orang lain tersebut membenci atau merendahkan tetangga yang dighibah, maka ia juga terkena dampak dosanya.

Alasan ghibah karena ingin berbuat baik pada tetangga dengan mengurangi dosanya tanpa sepengetahuannya hanyalah persepsi konyol. Biasanya, hal itu datang dari orang-orang yang suka bermain dengan logika-logika terhadap ketentuan-ketentuan agama.

Dari sini kita juga bisa mengukur, bagaimana seandainya yang dighibah adalah para ulama dan orang-orang shalih? Tidakkah kemadharatannya akan jauh lebih besar?

 

Terlarang di Setiap Waktu dan Tempat

Dilihat dari segi objek yang dighibah, dosa ghibah bisa bertambah. Sekarang kita bisa mengkaji lebih dalam dari sisi waktu dan tempat yang dipakai untuk mengghibah. Kapan pun dan di manapun, ghibah tetaplah tercela. Tapi jika dilakukan pada waktu dan di tempat tertentu, bahayanya bisa jauh lebih besar. Misalnya ghibah pada saat shaum. Tak hanya berdosa, ghibah juga akan menggerogoti pahala shaum. Bahkan Ibnu Hazm menegaskan, dengan ghibah, shaum bisa batal. Yang lain, ghibah saat majelis ta’lim yang dilangsungkan di masjid. Majelis ilmu adalah majelis mulia yang dinaungi sayap malaikat. Lantas, balasan seperti apa yang akan kita terima jika kita nodai dengan ghibah? Masjid juga merupakan Baitullah. Tidakkah perbuatan kita mengghibah di masjid bisa dikatakan perbuatan yang sangat lancang karena melakukan dosa di rumah Allah?

Tak bisa dibayangkan jika semua perkara itu dikumpulkan. Mengghibah tetangga saat pengajian di masjid pada saat shaum. Na’udzubillah. Dosa ghibah saja sudah terlampau berat untuk dipikul apalagi ditambah semua itu.

 

Diperbolehkan Tapi Bukan Untuk Permainan

Imam an Nawawi menjelaskannya dalam Riyadhus Shalihin Hal. 525-526, bahwa ada jenis ghibah yang dibolehkan. Ghibah ini dilakukan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana perkara tersebut tidak bisa tuntas kecuali dengan ghibah.

Pertama,

orang yang teraniaya (mazhlum) boleh menceritakan kelakuan buruk saudaranya pada hakim atau yang berwenang memutuskan perkara. Tujkuannya untuk mendapatkan keadilan atau bantuan. Namun demikian memberi maaf dan menyembunyikan keburukan adalah lebih baik, dalam kondisi tertentu.

Kedua,

menceritakan kelakuan buruk atau maksiat seseorang pada orang lain dengan maksud meminta bantuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab setiap muslim harus bahu membahu dalam memberantas kebatilan.

Ketiga,

Istifta’ (meminta fatwa) tentang sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

Keempat,

ghibah dalam rangka memperingatkan saudara muslim dari beberapa cacat dan keburukan orang lain. Misalnya, di dalam ilmu hadits hal dikenal dengan al Jarh wa at Ta’dil. Yaitu ilmu tentang penilaian perawi hadits dari sisi positif dan negatifnya. Tentang ini ada pembahasan tersendiri. Contoh lain, misalnya, untuk memperingatkan agar saudara kita tidak tertipu saat membeli barang atau budak. Wallahua’lam, untuk saat ini mungkin bisa dianalogikan dengan mencari pembantu atau pegawai. Tujuannya agar terhindar dari keburukannya. Atau untuk memperingatkan seorang pelajar  agar tidak salah memilih guru yang ahli bid’ah dan fasik.Tentu dengan cara yang tidak berlebihan.

 

Baca Juga: Lima Do’a Penghuni Neraka

 

Kelima,

menceritakan perbuatan fasik yang dilakukan secara terang-terangan. Lebih-lebih jika si pelaku tak merasa terganggu, bahkan mungkin bangga, jika kefasikannya disebut-sebut. Misalnya peminum khamr, pezina, tukang palak dan lainnya. Al Hasan pernah ditanya, ” Apakah menyebut secara langsung orang yang melakukan kekejian secara terang-terangan disebut ghibah?” Jawabnya, ” Tidak, sebab ia tidak memiliki kehormatan diri.”

Keenam,

sekadar untuk menjelaskan karakter seseorang pada yang belum mengenal. Misalnya kita menyebut si A yang pincang, buta, tuli atau lainnya. Hal ini boleh jika tidak ditujukan untuk menghina atau menjadikannya bahan tertawaan.

Yang harus diingat bahwa, dispensasi yang diberikan dalam ghibah diatas haruslah dilakukan dengan proporsional, secukupnya dan melihat kondisi dan situasi yang pas. Kita juga harus hati-hati karena setan akan berusaha memanipulasi ghibah yang haram menjadi seakan-akan diperbolehkan.

 

Oleh: Redaksi/Muhasahah

 

Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Para Pelacur, Gay dan Lesbian termasuk dalam katagori Fasik. Dan fasik secara bahasa berasal dari ‘fasaqa ‘ yang artinya keluar. Orang Arab menyebutkan : “ Fasaqa ar-Rutabu “ (Kurma basah yang terkelupas dari kulitnya ). Maka Orang Fasik adalah seorang muslim yang banyak meninggalkan ( keluar ) dari ajaran-ajaran Islam dengan melakukan dosa- dosa besar, seperti berzina, mencuri, membunuh orang tanpa hak, minum khamr dan perbuatan sejenis. Atau yang melakukan dosa-dosa kecil yang sangat banyak dan secara terus menerus. ( ar-Raghib al-Ashfahani(W.502 H), al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, hlm.380 ) 

Salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadh fasik yang berarti “keluar” adalah firman Allah :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

 

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia keluar (durhaka )dari perintah Tuhannya.  Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.( Qs. al-Kahfi : 50)

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa ta’ziyah disunnahkan untuk orang yang meninggal dunia dalam keadaan fasik dan bermaksiat. Sebagian kecil dari ulama asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ta’ziyah untuk orang fasik hukumnya makruh. ( Nihayatu al-Muhtaj : 3/13, Hasyiatu al-Qalyubi :1/432)

Adapun dalil disunnahkan ta’ziyah untuk mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Keumuman hadist-hadist yang menunjukkan anjuran dan keutamaan ta’ziyah  untuk kaum muslimin yang terkena musibah secara umum. Dan belum ada dalil yang membatasi ta’ziyah khusus orang-orang yang taat saja.

Kedua : orang yang fasik ahli maksiat termasuk dalam katagori muslim selama tidak melakukan hal-hal yang menyebabkannya keluar dari Islam. Diantara dalilnya adalah firman Allah :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“ Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.’ (Qs.al-Hujurat: 9)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 7/374 ) :

 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال. وبهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج من الإيمان بالمعصية وإن عظمت، لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم من المعتزلة ونحوهم

“ Mereka masih disebut orang-orang beriman walaupun saling berperang. Dengan ayat ini, al-Bukhari dan lainnya berdalil bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan dengan maksiat walaupun berupa dosa besar, tidak seperti yang dikatakan oleh al-Khawarij dan pengikutnya seperti al-Mu’tazilah dan sejenisnya. “

Begitu juga firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

 

“  Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang dengan sengaja membunuh  orang muslim lainnya masih disebut saudara, yaitu saudara seiman. Ini menunjukkan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.

 

Berkata Syekh Abdul Aziz bin Baz di dalam Majmu’ Fatawanya : “ Tidak apa-apa, bahkan dianjurkan untuk berta’ziyah, walaupun yang mati adalah  pelaku maksiat seperti bunuh diri atau yang lainnya. Begitu juga dianjurkan berta’ziyah kepada keluarga yang salah satu anggotanya dihukum qishas karena membunuh orang lain, atau dirajam sampai mati karena berzina padahal dia sudah menikah, begitu juga peminum khamer yang mati karenanya. Maka tidak dilarang untuk berta’ziyah kepada keluarganya, dan tidak dilarang pula  mendo’akannya untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. “

 

Hukum Mensholatkan Orang Fasik

 

Boleh mensholatkan orang fasik atau ahli maksiat yang meninggal dunia, karena dia masih dianggap muslim. Diantara dalilnya adalah hadist Zaid bin Khalid al-Juhani  radhiyallahu ‘anhu :

 

 أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تُوُفِّىَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ». فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.

                “ Bahwa seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal dunia dalam perang Khibar. Maka mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliaupun bersabda :“Sholatkanlah teman kalian.” Maka wajah para sahabat berubah(merasa aneh) dengan pernyataan tersebut. Maka beliaupun bersabda :“Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan kecurangan di jalan Allah.” Kemudian kami periksa barangnya, maka kami dapatkan dompet miliknya orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.“(HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Ini hadist shahih )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan mensholatkan orang yang berbuat curang (mengambil ghanimah sebelum dibagi) dalam perang. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memilih untuk tidak mensholatkannya sebagai bentuk teguran kepadanya dan kepada siapa saja yang berbuat seperti perbuatannya.

Ibnu Abdil Bar al-Maliki di dalam al-Istidzkar(5/85) berkata : “ Hadist di atas merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menshalatkan pelaku dosa. Akan tetapi tidak boleh juga melarang shalat jenazah terhadapnya. Bahkan dia harus menyuruh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alihi wa sallam : ‘Shalatkanlah teman kalian.”

 

Ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu :

 أُتِيَ اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ, فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

 

“ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mensholatkannya.” ( HR. Muslim )

Selain orang fasik dan ahli maksiat, beliau juga tidak mau mensholatkan orang yang mempunyai utang dan belum melunasinya sampai meninggal dunia, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: ” هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? ” فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: ” أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam suatu ketika dihadirkan kepadanya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan punya utang. Maka ditanyakan:“ Apakah meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya ?“ Jika dijawab bahwa ada yang ditinggalkan untuk membayarnya, maka beliau mensholatkannya, jika tidak, maka beliau bersabda:“ Sholatlah kalian untuk saudara kalian ini.“ Ketika terjadi pembukaan kota-kota, beliau bersabda : “ Saya lebih berhak ( untuk membantu ) kaum muslimin daripada mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka saya yang bertanggung jawab untuk membayarnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Akan tetapi jika orang fasik atau pelaku tersebut sudah bertaubat dan dihukum oleh pemerintah Islam, maka beliaupun ikut mensholatkannya. Seperti dalam hadist  Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَرَفَ بِالزِّنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ آحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرًا وَصَلَّى عَلَيْهِ

“Bahwa seseorang yang berasal dari suku Aslam datang kepada nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina, nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menanggapinya, sehingga dia bersaksi kepada dirinya empat kali, maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepadanya : “ Apakah anda sudah gila ?” Dia menjawab :“Tidak”, Nabi bertanya : “Apakah anda sudah menikah “? Dia menjawab :‘Ya‘, maka beliaupun memerintahkan agar orang tersebut dirajam di musholla (tempat lapang), ketika batu-batu menimpanya, diapun lari, dan berhasil ditangkap lagi dan dirajam sampai mati. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentangnya dengan sesuatu yang baik dan mensholatkan jenazahnya.“ ( HR. Bukhari, 6820)

Memang ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mensholatkannya, tetapi Imam Ahmad ketika ditanya masalah ini, beliau mengatakan :

 

لا يعلم أن النبي – صلى الله عليه وسلم – ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه.

“ Tidak diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau mensholatkan jenazah sahabatnya kecuali orang yang mencuri harta rampasan perang dan yang melakukan bunuh diri. (al-Hasan ash-Shan’ani( 1276H), Fathu al-Ghaffar, 2/721)

 

Hal ini dikuatkan dengan hadist Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

 “ Bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, aku telah melanggar sesuatu yang menyebabkan hukuman rajam, maka tegakkanlah hukuman tersebut atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkatanya : “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku.”Maka diapun melaksanakan perintah tersebut. Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita diikat pakaiannya dengan erat dan dilaksanakan hukuman rajam. Kemudian beliaupun mensholatkannya. Saat itu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau mensholatkannya wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang jika taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”  (HR. Muslim)

Taubat Orang yang Berzina

Beberapa saat yang lalu, penulis mendapatkan pertanyaan via sms yang isinya:“Apakah pezina yang bertaubatharus dirajam dulu?Apakah taubat pezina yang belum dirajam diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala?”

Bila seorang muslim berzina, sebenarnya mempunyai dua keadaan:

Pertama : Pihak yang berwajib mengetahui perbuatannya. Baik melalui pelaporan empat orang saksi atau si pelaku melaporkan perbuatannya sendiri dan meminta hukum ditegakkan kepadanya. Dalam kasus seperti ini, pemerintah wajib menegakkan hukum had kepadanya.

Dalilnya adalah hadits kisah Ma’iz bin Malik al Aslami dan wanita Ghamidiyah, yang datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengaku dirinya berzina dan ingin dibersihkan dari dosa tersebut, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam merajam keduanya. (HR. Muslim)

Ini dikuatkan dengan Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa memberitahukan perbuatan-nya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah.”(Hadits Shahih Riwayat Malik dan Ahmad)

Kedua: Kejahatan tersebut belum diketahui oleh pihak berwajib.Jika pelaku ingin bertaubat, ia harus menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi. Lalu, memperbanyak amal shalih di sisa umurnya, itu saja.

Apakah hukuman baginya menjadi gugur setelah bertaubat?Para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Hukum Hadharus tetap ditegakkan, meski sudah bertaubat. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Dhahiriyah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i.

Adapun  dasarnya sebagai berikut:Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala pada surat An-Nuur: 2 berlaku umum, tidak membedakan antara yang sudah bertaubat maupun belum.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur:2)

Kedua, Hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menerapkan hukum rajam kepada orang yangmengaku berzina yang bertaubat.

“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni.”Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya.”(HR. Muslim)

Ketiga,Bahwa hukuman diterapkan kepada pelaku zina dengan tujuan untuk membersihkan dari dosa tersebut di dunia ini. Selama itu belum ditegakkan kepadanya, maka dia belum bersih dari dosa. Dan ini sekaligus sebagai bentuk kaffarah.

Pendapat Kedua:

Jika seseorang yang berzina telah bertaubat sebelum ditegakkan hukuman had kepadanya, dalam arti pemerintah belum mengetahui perbuatannya, maka hukuman tersebut menjadi gugur. Ini adalah pendapat Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah.

Dalil-dalil mereka sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’:16)

Ayat di atas secara tegas memerintahkan untuk berpaling dari orang  yang berzina, kemudian dia bertaubatdari perbuatannya. Perintah berpaling berarti tidak boleh menerapkan hukuman had atasnya.

Kedua: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Maidah: 39)

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang mencuri, kemudianbertaubat dan memperbaiki diri, maka Allahmenerima taubatnya, serta tidak dikenakan hukuman had kepadanya. Hal ini berlaku juga bagi  orang yang berzina dan bertaubat.

Ketiga: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Maidah: 34)

Para perampok dan pengacau keamanan yang mengancam nyawa dan harta masyarakat, jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, tidak boleh diterapkan hukuman had kepada mereka. Jika demikian, tentunya kejahatan perzinaan yang tidak mengancam harta dan nyawa, lebih berhak untuk diterima taubat mereka tanpa harus diterapkan hukuman had.

Keempat:Orang yang telah bertaubat seakan-akan dia tidak melakukan perbuatan tersebut, dan taubat itu sendirimenghapus dosa-dosa sebelumnya, maka hukum had menjadi gugur dengan taubat tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Orang yang bertaubat dari dosanya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.“(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi. Hadist ini dihasankan Syekh Albani dalam Shohih Al Jami’, no. 3008 dan dalam  Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 314)

Pendapat Ketiga:

Taubat orang yang berzina diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan terbebas dari hukuman, karena perbuatan zina berhubungan dengan hak Allah. Kecuali jika pezina sendiri meminta diterapkan hukum had kepadanya untuk membersihkan dirinya.Ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim.

Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa pezina yang bertaubat, jika belum diketahui oleh pihak berwajib, taubatnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.Secara otomatis hukuman hadnya menjadi gugur.

Apakah wajib melaporkan diri kepada pemerintah?

Tidak wajib baginya untuk melaporkan diri kepada pemerintah, dan tidak boleh menceritakan perbuatan maksiatnya itu kepada orang lain tanpa ada keperluan. Tetapi  justru dianjurkan untuk menutupi perbuatannya tersebut, jangan sampai seorangpun mengetahuinya.

Dalil-dalilnya sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala setelah menjelaskan sejumlah dosa besar termasuk berzina:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  “(QS. Al Furqan: 70)

Kedua: Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa terjerumus pada perbuatan kotor ini maka hendaknya dia menutupinya dengan perlindungan Allah. Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah.”(HR. Malik dan Ahmad. Shahih menurut Syaikh Albani).

Bagaimana sikap orang yang mengetahui perbuatan tersebut, apakah melaporkannya atau diam saja? Harus dirinci terlebih dahulu: jika orang itu bisa dinasehati secara empat mata, mau mendengar dan bertaubat, sebaiknya ditutupi aibnya dan tidak disebarluaskan. Dalilnya adalah hadist Abu hurairah radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat“(HR. Muslim)

Wallahu A’lam, Cipayung, Jakarta Timur, 18 Shofar 1432 H / 24 Januari 2011 M