Lebih Melek Tentang Hukum Seputar Imlek

Bulan Desember yang telah lalu, media dan sosmed ramai memperbincangkan hukum seorang muslim mengucapkan selamat Natal, juga tentang memakai pakaian Sinterklas dalam rangka menjaga toleransi antar umat beragama.

Di bulan ini, mendekati hari Raya Imlek pertanyaan dan kontroversi tentang batasan toleransi menghangat lagi. Seiring juga dengan banyaknya tokoh-tokoh liberal yang secara masif menggiring umat untuk bermudahanah (toleran yang kebablasan), maka mestinya kita kuatkan pula hujjah di tengah umat Islam agar terhindar dari ucapan dan perbuatan yang bisa menodai keyakinan mereka. Dan agar makin jelas batas-batas antara yang haq dan yang bathil di era yang semakin bias dan kabur seperti zaman ini.

Yang selalu berulang-ulang menjadi pertanyaan terkait dengan imlek maupun hari raya agama lain adalah soal memperingati, mengucapkan selamat dan juga menerima hadiah hari raya.

Pertama tentang memperingati Imlek. Banyak kalangan menganggap bahwa merayakan imlek itu hanya soal tradisi yang tak berhubungan dengan keyakinan, jadi tidak ada masalah.

Seperti yang diungkapkan seorang tokoh mantan penganut Konghucu yang menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi menyambut tahun baru penanggalan Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di daratan Cina. Imlek, menurutnya, bukan perayaan agama.

Tapi, dari sumber lain tidak demikian halnya. Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani, Hendrik Agus Winarso menyebutkan pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama (Khonghucu) adalah suatu kesalahpahaman.

Dia menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi:

“Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5).
(Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani)

Maka bagaimana boleh seorang muslim bersembahyang dengan cara Khonghucu meski dengan dalih sekedar menghormati dan toleransi.

Kalaupun itu dianggap sebagai tradisi, tidak serta merta pula kita boleh merayakannya.

Lagi pula, harus kami tambahkan bahwa boleh tidaknya seorang muslim melakukan sesuatu, tidaklah dilihat apakah sesuatu itu berasal dari tradisi atau ataukah dari agama lain, tapi barometernya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam memasukkan ke dalam golongan suatu kaum bagi siapa yang menyerupakan diri dengan apa yang menjadi khas agama tertentu. Beliau bersabda,

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” Maka jangan meniru ciri khas penganut Khonghucu jika tidak ingin dimasukkan ke dalam golongan mereka.

Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida’ berkata,”Juga termasuk perbuatan mungkar, yaitu turut serta merayakan hari raya orang Yahudi, hari raya orang-orang kafir, hari raya selain orang Arab [yang tidak Islami], ataupun hari raya orang-orang Arab yang tersesat. Orang muslim tidak boleh melakukan perbuatan itu, sebab hal itu akan membawa mereka ke jurang kemungkaran.”

Lantas bagaimana halnya dengan orang tidak merayakannya, tapi dia mengucapkan selamat kepada orang-orang yang merayakannya? Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan jawaban yang gamblang, ”Adapun memberi ucapan selamat yang terkait syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama, misalnya memberi selamat atas hari raya atau puasa mereka...” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah)

Alasan bahwa ucapan selamat tidak memengaruhi keyakinan, itu terlalu menggampangkan. Faktanya,setiap kata-kata itu mengandung konsekuensi. Seperti ucapan talak, tak bisa dianggap seledar kata-kata. Begitupun juga kita juga percaya bahwa orang-orang kafir juga besar kemungkinan tidak bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena mereka tahu, bahwa kalimat itu memiliki konsekuensi khusus.

Bagaimana jika ‘hanya’ menyaksikan perayaan mereka? Kata-kata ‘hanya’ biasa dimasukkan dalam pertanyaan seperti itu biasanya untuk menggambarkan tidak adanya tendensi apa-apa selain hanya menonton. Padahal, tidaklah ia menyengaja menyaksikan untuk menonton melainkan sudah ada tendensi. Mungkin untuk melihat kemeriahannya dan sekaligus menikmati keramaiannya. Mau tidak mau dia menghadiri sesuatu keyakinan yang bertentangan dengan Islam, sementara tidak ada penolakan dalam hatinya. Dan ini sangat dekat sekali dengan menyepakati sesuatu yang dianggap bathil dalam syariat. Dan tontonan seperti itulah yang disebut ulama sebagai ‘az-zuur’ (kebohongan) sebagaimana yang Allah firmankan,

”Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Ima as-Suyuthi dalam al-Amru bil Ittiba’ berkata, “adapun kata “az-zuur” (kebohongan) dalam ayat ini menurut sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah sebelum Islam.”

Poin terakhir adalah menerima hadiah yang berkaitan khusus dengan perayaan hari raya orang kafir. Seperti yang telah menjadi kebiasaan di hari imlek ada tradisi pembagian angpao. Begitupun di hari Natal ada hadiah-hadiah roti yang dibagikan kepada masyarakat muslim dengan dalih tali kasih.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, rahimahullah, berkata, Siapa yang memberikan hadiah kepada kaum muslim pada hari raya mereka yang bersifat khusus dan berbeda dengan hari-hari biasa, hendaknya hadiah tidak diterima. Khususnya apabila hadiah tersebut digunakan untuk menyerupai mereka, seperti hadiah lilin dan semacamnya pada hari Natal.” Begitupula tentunya angpao adalah hadiah yang khas sekali dalam perayaan imlek, wallahu a’lam.

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Akidah/Kasyfu Syubhat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *