Kajian

Rahasia dibalik Kesederhanaan

Suatu ketika sahabat Umar meminta izin untuk menemui Rasulullah SAW. Setelah diijinkan beliau segera saja masuk ke dalam bilik kecil yang ditempati oleh Rasulullah SAW. Kaget bukan kepalang dengan apa yang dilihatnya. Bola matanya tidak setuju dengan pemandangan di depannya, tapi ini kenyataan. Hatinya bergejolak tak karuan. Berbagai perasaan berpadu dalam kalbu. Sedih, iba, bangga, tak tahulah apa nama perasaan itu. Ia mendapati beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Bukan hanya tikar kasar, tapi juga kecil. Sangking kecilnya tikar kasar yang beliau kenakan, sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantalkan pelepah kurma yang keras, hingga bekas-bekas guratan terlukis tak beraturan di pipi putih Rasulullah SAW.

Sesaat suasana hening. Sahabat Umar mengambil posisi duduk di dekat Rasulullah SAW. Setetes air bening menyembul keluar dari sudut matanya, turun setapak demi setapak, melewati gundukan kecil, menyusuri lembah halus di pipinya, dan akhirnya jatuh membasahi bumi. Satu tetes, diikuti tetesan-tetesan yang lain, hingga puluhan tetes telah melewati gundukan kecil dan lembah halus di pipinya. Sahabat nabi yang terkenal garang itu terisak. Ia yang dikenal dengan watak kerasnya, tak mampu menahan lelahan air mata yang mendesak sekuat tenaga.

Melihat sahabat setianya berlinangan air mata, Rasulullah SAW pun bertanya, ”Mengapa engkau menangis wahai Umar?”

”Bagaimana aku tidak menangis…” Mengambil nafas. “Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuhmu. Padahal engkau Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kaisar Romawi duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera.” Jawab umar panjang lebar sambil menahan gejolak di hatinya.

Dengan lembut Nabi saw bertutur kepadanya, ”Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga. Sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir.” 

Sederhana disayang Allah dan manusia.

Dulu, 14 abad yang lalu, manusia mulia yang terpilih menjadi rasul akhir zaman telah memberi tauladan kepada umatnya untuk berlaku sederhana. Padahal, dulu Rasulullah SAW mampu untuk menggenggam dunia. Beliau sanggup untuk hidup dengan kemewahan dan dikelilingi harta, tapi bukan itu pilihan nabi akhir zaman ini. Beliau saw lebih memilih hidup dengan kesederhanaannya. Ya, sederhana dan apa adanya. Tidak foya-foya sok kaya, tidak berlebih-lebihan sok berlebih hartanya, dan tidak pula bergaya sok paling punya.

Sederhana, pasti banyak yang suka. Sederhana, pasti banyak yang cinta. Sederhana, pasti banyak yang bangga. Bukan hanya makhluk bernama manusia yang suka dengan pribadi sederhana, tapi Allah pun turut mencintai manusia yang berperilaku sederhana.

Ibnu Abbas pernah menuturkan, suatu ketika datang seseorang menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata: ya Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang apabila aku kerjakan, maka aku dicintai Allah dan manusia? Beliau menjawab:

اِزْهَدْ فِي الدُّنْياَ يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْماَ عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ الناَّسُ

“Berlakulah zuhud dalam urusan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan zuhudlah kamu terhadap apa yang dimiliki orang lain niscaya kamu akan dicintai orang-orang.” (HR. Ibnu Majah)

Betapa dahsyat apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa perlu menghamburkan banyak uang, yang dibutuhkan hanya kesabaran, tapi hasilnya melebihi perhiasan dunia, yakni Cinta. Tidak ada yang lebih berharga dari pada sebentuk cinta. Apalah artinya harta yang berlimpah, jika kita tidak pernah mendapatkan cinta dari orang lain. Adakah manusia di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Semua orang pasti ingin dicintai. Dicintai oleh sang pencipta dan dicintai oleh sesama manusia. Rasa-rasanya, tidak ada yang lebih membahagiakan hati selain dicintai.

Apa untungnya dicintai Allah, Sang Pencipta manusia? Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ

“Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang dia gunakan untuk menendang. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Apa untungnya dicintai manusia? Jelas, manusia hidup di dunia ini atas dasar cinta. Kalau bukan karena cinta, niscaya kedamaian dan ketentraman tak kan tercipta. Kalau bukan karena cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, niscaya tidak akan terbuka pintu taubat dan maghfirah. Kalau bukan karena cinta Rasulullah kepada umatnya, niscaya tidak akan ada dakwah islamiyah yang menyebar luas.

Singkatnya, cinta harus senantiasa hadir di setiap penggal kehidupan ini. Cinta suami kepada isterinya, cinta ibu kepada anak-anaknya, cinta seorang anak kepada orang tuanya, cinta sesama muslim, cinta lingkungan, dan cinta-cinta yang lain. Dan untuk mendapatkan sebentuk cinta dari Sang Pencipta dan manusia adalah dengan bersikap zuhud. Ya, zuhud, begitu kata Nabi.

Apa itu zuhud?

Zuhud artinya meninggalkan kesenangan duniawi. Bisa juga diartikan dengan kesederhanaan. Sederhana dalam memandang kehidupan dunia yang fana. Artinya tidak  mengorentasikan segala urusan untuk kesenangan dunia, tapi untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Apa yang ada di hati selalu bernilai akhirat. Apa yang direncakan dan dikerjakan tidak hanya sebatas impian dunia, tapi jauh ke negeri akhirat sana. Dan dengan kesederhanaan itu, Allah menjadi cinta kepada kita.

Kesederhanaan tidak hanya kepada harta dunia, tapi juga terhadap apa yang dimiliki manusia. Artinya hati kita tidak iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Kita turut senang saat tetangga kita memperoleh kenikmatan. Kita harus bahagia melihat rumput tetangga yang lebih hijau, bukan malah benci atau iri saat mereka bisa membeli mobil baru.

Sederhana, baik terhadap gemerlapnya dunia maupun terhadap apa yang dimiliki orang lain, itulah tips jitu dari baginda Nabi supaya dicintai Allah SWT dan tetangga.

Sederhana atau nggak punya?

Sederhana bukan berarti miskin. Sederhana bukan berarti hidup pas-pasan dan serba kekurangan. Sederhana bukan berarti tidak boleh kaya, tapi sederhana adalah sebuah sikap bagaimana kita menjalani sepenggal episode kehidupan ini dengan tidak berlebih-lebihan. Bisa jadi orang yang memiliki sifat sederhana adalah seorang saudagar kaya raya, tapi ia tak pernah memamerkan kekayaannya dengan begitu jemawa. Pakaian yang ia kenakan adalah pakaian pada umumnya orang memakai, bukan yang berharga jutaan rupiah. Penampilannya biasa-biasa saja alias low profile, juga tidak congkak sok paling berharta.

Kaya, sukses, berkecukupan, itu suatu hal yang tidak cela. Apalagi hidup di tengah suasana yang serba membutuhkan dana. Itu sangat penting demi memakmurkan kita dan keluarga. Dulu, Rasulullah adalah orang yang kaya. Abu Bakar juga seorang saudagar yang kaya. Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Mush’ab bin Umair, dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang kaya di masanya, tapi mereka tetap berlaku sederhana. Bahkan, apa yang mereka miliki seringkali diinfakkan untuk kesejahteraan bersama.

Kaya boleh-boleh saja, tapi tidak untuk foya-foya.  Berharta boleh-boleh saja, tapi jangan berlebih-lebihan dalam membelanjakannya.

Sederhana vs sombong

Hidup dengan bergaya sederhana akan menjauhkan seseorang dari sifat sombong, bangga diri, dan congkak. Manakah yang lebih disukai oleh masyarakat? Orang yang sederhana dalam berpenampilan atau orang yang sok glamour? Orang yang senantiasa tawadhu’ atau orang yang selalu bercerita tentang kelebihan dirinya?

Siapa yang tidak suka dengan seorang pemuda yang sederhana, padahal ia putra tunggal pemilik perusahaan ternama? Sikapnya ramah, suka menolong, dan tidak membeda-bedakan tingkatan sosial. Ia bergaul dengan siapa saja. Tidak hanya bergaul dengan orang-orang kaya, tapi juga dengan rakyat biasa. Dan siapa yang tidak benci dengan seorang pemuda yang sok glamour, berlagak paling kaya, padahal ia anak orang biasa?

Akhir kata, jangan remehkan kesederhanaan, karena sesuatu yang sederhana memiliki makna yang lebih dahsyat dari apa yang terlihat. A little things mean a lot, begitu kata orang pepatah. Terlebih, kesederhanaan akan menghantarkan kita pada kebahagiaan, bahagia di dunia dan akhirat. Dicintai Allah Rabb semesta alam dan makhluk bernama manusia. Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *