Ada Sisa Adonan di Tangan Sahkah Wudhunya?

Diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang maknanya, “Wudhu tidak sah jika di jari-jari masih terdapat sisa adonan, kutek atau tanah.” Akan tetapi saya lihat sebagian wanita memakai hana’ (semacam tinta cair yang biasa digunakan untuk merias tangan atau kaki)di kaki dan tangan mereka dan itu juga adonan, mereka shalat dengannya. Bolehkah yang seperti ini? karena jika mereka dilarang mereka mengatakan “ini suci”?

Jawab:

Alhamdulillah washalatu wassalamu ‘ala rasulillah wa alihi wa shohbih. Wa ba’du:

Hadits semacam itu tidak ada riwayatnya sejauh yang kami tahu. Adapun hana’ biasanya memang warnanya masih tersisa di kulit tangan dan kaki dan ini tidak masalah. Karena warna itu tidak memiliki wujud keras yang menghalangi. Berbeda dengan adonan, kutek (cat kuku) dan tanah. Benda-benda ini memiliki esensi yang bisa menghalangi air ke kulit. Karenanya wudhu menjadi tidak sah karena air tidak bisa sampai ke kulit. Adapun jika yang dipakai adalah hana’ yang memiliki esensi yang bisa menghalangi sampainya air ke kulit maka wajib dihilangkan sebagai adonan dan lainnya. Wabillah taufiq wal minnah. (Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal Ifta’. Fatwa no. 6193)

Adonan Roti Menjadi Perisai

Suatu kali, seorang menteri di Mesir mengundang Ibnu Al-Furrat, lalu dia berkata, “Duhai celaka, aku memiliki niat buruk kepadamu. Setiap kali aku berkeinginan untuk menangkap dan memenjarakanmu, selalu saja saya bermimpi di malam harinya. Kamu melawanku dengan adonan roti. Suatu malam saya melihat dalam mimpi, tatkala aku hendak menangkapmu, kamu menolak. Lalu aku perintahkan kepada tentaraku untuk membunuhmu. Anehnya, setiap kali mereka menyerangmu dengan anak panah dan senjata lain, engkau menangkis serangan itu dengan adonan roti di tanganmu, sehingga serangan itu tidak melukaimu sama sekali. Maka ceritakan kepadaku, ada apa dirimu dengan adonan roti itu?”

Ibnu al-Furrat menjawab, ”Tuan, semenjak aku kecil, setiap malam ibuku selalu meletakkan adonan roti di dekat bantalku. Jika datang pagi hari, beliau bersedekah dengannya karena Allah demi aku. Itulah kebiasaan ibuku hingga beliau wafat. Ketika beliau wafat, aku melanjutkan kebiasaan ibuku. Setiap malam Aku menyiapkan adonan roti sendiri di dekat bantalku. Lalu pagi harinya, aku bersedekah dengannya. Begitulah kisahku dengan adonan roti.”

Sang menteri merasa takjub dengan kisah itu, lalu dia berkata, ”Demi Allah, setelah hari ini kamu tidak bisa kusentuh dengan keburukan, saya sudah menaruh niat baik kepadamu, dan aku sekarang menyukaimu.”

(al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Kastier jilid 11/151)