Khutbah Jumat: Ketika Amanah Bertemu Pundaknya

:Khutbah Jumat
Ketika Amanah Bertemu Pundaknya

Oleh: Majalah ar-risalah

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

 

JAMAAH JUMAT YANG DIMULIAKAN OLEH ALLAH,

Menjadi kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah, atas segala limpahan dan karunia yang tak terhingga. Sungguh, kenikmatan itu datang karena syukur, dan syukur itu akan mengundang hadirnya  tambahan nikmat. Tambahan karunia dari Allah tak akan berhenti, kecuali jika hamba itu menghentikan syukurnya.

Di antara ulama mengartikan syukur dengan tarkul ma’aashi, meninggalkan maksiat. Maka barang siapa yang bermaksiat kepada Allah, dia telah menanggalkan syukurnya kepada Allah, sesuai dengan tingkat dosa yang dilakukannya. Namun, dengan kasih sayang Allah atas hamba-Nya, Dia memberikan kesempatan kepada setiap orang yang berdosa untuk bertaubat. Taubat yang sempurna tak hanya menghapus dosa, bahkan bisa jadi keadaan orang yang bertaubat lebih baik dari keadaannya sebelum berbuat dosa.

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Abdullah bin Mubarak pernah bercerita tentang kejadian yang ia alami, “Di Syam aku meminjam pena. Aku berniat mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya, tapi pena tersebut terbawa saat perjalananku sudah berada jauh di kota lain, yakni kota Marwu. Akhirnya akupun kembali ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya.” Begitulah penghayatan beliau terhadap amanah yang harus ditunaikannya.

Sebagaimana firman Allah,

إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,” (QS. an-Nisa’: 58)

Jika dalam urusan pena saja amanah harus dijaga, apalagi amanah lain yang lebih besar dan penting. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Amanah yang tersebut dalam ayat ini bersifat umum, meliputi semua amanah yang wajib ditunaikan oleh manusia. Macamnya ada dua; yang terkait dengan hak-hak Allah seperti shalat, shaum dan lainnya, dan yang kedua berkaitan dengan hak-hak makhluk seperti titipan dan yang lain.”

Amanah adalah beban tanggung jawab yang harus dijaga hingga aman berada pada posisi yang seharusnya. Sedangkan lawan dari sifat amanah adalah khiyanat. Begitu krusial sifat amanah ini hingga menjadi sifat wajib yang harus ada pada diri Rasulullah. Beliau digelari al-amiin (orang yang amanah) sebelum diangkat menjadi nabi, dan sifat khiyanat adalah mustahil saat beliau menjadi nabi dan rasul. Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

“Apakah kalian tidak mempercayai aku padahal aku adalah orang yang paling amanah di kolong langit, di mana berita langit mendatangiku di waktu pagi dan sore hari.” (HR. Bukhari).

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Tak hanya Nabi yang diperintahkan untuk menjaga amanah, namun umat manusia juga memiliki kewajiban untuk menunaikan amanah. Dari sekian banyak amanah, tak ada yang lebih agung dari amanah berupa agama (Islam) dan syariatnya. Sehingga para ulama mengistilahkannya dengan amanah al-‘uzhma, amanah yang agung.

Allah berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿٧٢

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72)

Imam al-Qurthubi berkata ketika menafsirkan ayat tersebut, “Amanah yang tersebut dalam ayat ini meliputi seluruh tugas-tugas yang berhubungan dengan agama ini.” Maka tugas manusia adalah menegakkan syariat yang telah Allah gariskan untuk manusia.

Termasuk di dalamnya amanah dakwah yang menjadi keniscayaan. Sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam telah memerintahkan umatnya,

“Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku, meskipun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Termasuk amanah yang harus dijaga adalah segala nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Mata adalah amanah, telinga juga amanah. Begitu juga dengan kaki, lisan dan harta adalah amanah yang wajib dijaga dan dipergunakan sesuai kehendak Yang Memberi amanah. Termasuk kehormatan dan kesucian kemaluan juga merupakan amanah.

Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Termasuk amanah yang harus dijaga adalah amanah bagi wanita untuk menjaga kemaluannya agar tidak terjerumus kepada zina.”

Maka alangkah pentingnya kewajiban amanah ini diingatkan kepada umat di segala lininya. Terlebih saat kebanyakan manusia menggunakan amanah untuk kepentingan pemuas nafsu, bukan sesuai kehendak yang menitipkan amanah kepadanya. Banyak amanah yang wajib ditunaikan terlantar. Pun begitu masih berambisi untuk memburu amanah yang sebenarnya tidak wajib atas dirinya. Bisa jadi pula, bukan dirinya yang berhak untuk mengemban amanah ini. Yakni amanah jabatan dan kekuasaan.

Hari ini, betapa amanah itu diperebutkan laksana roti kecil yang diperebutkan banyak anak-anak. Dan karena ambisinya, merasa dirinyalah yang paling berhak mendudukinya. Sementara di sudut lain ada yang memiliki keinginan lain. Bukan untuk menjalankan amanah, tapi menggunakan amanah sebagai kendaraan untuk memburu popularitas diri, atau demi mengenyam lebih banyak lagi kenikmatan duniawi.

Karena itulah, amanah kepemimpinan di dalam Islam tidak didasarkan atas pengajuan dan pencalonan diri. Karena berpotensi membuka peluang menyimpangnya maksud dan tujuan sebuah amanah diemban. Hingga, ketika sahabat Abu Dzar yang memiliki kedekatan dengan Nabi shalallahu alaihi wasallam meminta beliau supaya mengangkatnya menjadi gubernur, beliau bersabda,

“(Jabatan) itu adalah amanah. Ia hanya menjadi kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang benar-benar mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan amanahnya.” (HR. Ahmad).

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Tampaknya Kiamat memang sudah semakin dekat. Banyak orang memuji diri sendiri untuk dipilih sebagai pemimpin. Banyak pula acara yang tidak benar dilakukan demi mendapatkan amanah yang dilirik sebagai lahan basah untuk kenikmatan duniawi. Hingga kepemimpinan jatuh pada orang-orang yang bukan ahlinya. Persis seperti gambaran Nabi, “Apabila amanah telah ditelantarkan, maka tunggulah saatnya Kiamat.” Lalu beliau ditanya, “Bagaimana amanah itu ditelantarkan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ketika amanah dipikul oleh orang yang bukan ahlinya, maka tungguhlah saat datangnya Hari Kiamat.” (HR. Bukhari)

Sungguh indah tatkala amanah itu jatuh kepada orang semisal Umar bin Abdul Aziz, yang tidak berambisi menjadi khalifah dari awalnya. Namun tatkala beliau diangkat, ia benar-benar menjaga amanah itu sesuai dengan haknya. Itulah amanah tatkala menemukan pundaknya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ،

اللَّهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ وَسَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ وَاجْمَعْ كَلِمَاتِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ

اللَّهُمَّ أَفْرِغْ فِي قُلٌوْبِهِمْ صَبْرًا، يَا إِلَهَ الْحَقُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

اللَّهُمَّ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ مَزِّقْ صُفُوْفَهُمْ، وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَمَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، يَا عَزِيْزُ ذُو انْتِقَامٍ

اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ نِسَائَهُمْ وَصِبْيَانَ هُمْ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضُعَفَاءَ هُمْ، اللَّهُمَّ دَاوِ جَرْحَهُمْ وَاشْفِ مَرْضَاهُمْ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَأَقِمِ الصَّلَاة

Khutbah Jumat: Pejabat, Orang yang Paling Butuh Nasehat

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji milik Allah Rabb semesta Alam. Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunahnya sampai hari kiamat.

 

Jamaah Jumat rahimakulullah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kamu di manapun kamu berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan amal shalih niscaya akan menghapus dosanya, dan berakhlaklah yang baik dalam bergaul dengan masyarakat.” Takwa di mana pun kita berada. Takwa di masjid adalah beribadah dengan ikhlas dan benar, takwa di tempat kerja adalah bekerja dengan penuh amanah dan tidak membuang-buang waktu, takwa di pasar adalah melakukan transaksi dengan jujur sesuai syariat, takwa di sekolah adalah belajar dengan baik dan meniatkan ilmunya kelak bisa memberi kontribusi untuk Islam.

Takwa memang harus ada di segala tempat. Senantiasa menemani kita, bahkan saat kita sendiri sekalipun. Oleh karenanya, Rasulullah senantiasa menasehatkan takwa dalam setiap khutbahnya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah.

Nasehat takwa adalah kebutuhan pokok bagi seorang mukmin. Siapapun membutuhkan nasehat ini, agar selalu ingat bahwa takwa adalah jati diri kita di hadapan Allah, nilai kita di hadapan Allah. Namun, kata Shahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu, ada orang yang paling butuh terhadap nasehat takwa melebihi seluruh kaum muslimin. Siapakah dia?

Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai raja, kamu adalah manusia yang posisinya paling tinggi dibanding umat manusia, oleh karena itu, kamu adalah manusia yang paling dituntut untuk bertakwa kepada Allah.”

Perkataan ini dinukil oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya Nashihatul Muluk. Lebih lanjut, dalam kitab yang sama, al-Imam al-Mawardi memberikan penegasan bahwa orang yang paling butuh nasehat adalah para pejabat negara. Mengapa? Ada enam alasan yang beliau sebutkan.

Pertama, Pemimpin negara harus senantiasa menaikkan derajat diri dan tidak boleh menyamai perilaku orang-orang bodoh dan manusia yang rendah moralitasnya.

Pejabat haruslah menjaga martabat. Jauh dari perilaku rendah tapi juga tidak sombong. Jaga image dalam arti positif harus  diilakukan, tapi jaga image atau Jaim dalam arti angkuh dan sok, harus dihindari. Perbuatan-perbuatan yang bisa merendahkan martabat juga harus dihindari. Misalnya, ikut berjoget saat menghadiri acara yang menyuguhkan musik merupakan perbuatan yang tak patut dilakukan pemimpin. Nah, untuk ini, mereka membutuhkan banyak nasihat dan arahan dari para ulama.

Kedua, nasihat kebaikan adalah hal penting dalam menentukan sikap yang tepat. Seorang pemimpin harus membawa rakyatnya agar selamat dunia akhirat. Bukan sejahtera dunia saja, tapi akhiratnya sengsara. Dan untuk mewujudkannya, mereka benar-benar membutuhkan nasihat dari para shalihin dan orang-orang mukmin.

Ketiga,  jabatan akan menyibukkan diri dan memberi banyak tekanan pada jiwa. Hal ini sering membuat seorang pejabat sulit menilai diri sendiri dengan jujur. Berat mengakui kesalahan dan meminta maaf saat salah. Jabatan dapat membuat seseorang merasa benar dan sulit diarahkan, kecuali oleh orang yang jabatannya lebih tinggi. Padahal, ada kalanya rakyat lebih memahami realita daripada pejabat. Oleh karenanya, para khalifah di Zaman dahulu sering mengunjungi ulama untuk meminta arahan dan nasehat.

Kejernihan hati para ulama dapat membuka tabir kesombongan yang menyelimuti hati hingga mampu melihat diri sendiri dengan jujur.

Keempat, mereka adalah orang yang paling jarang hadir di majelis pengajian, bermajelis bersama ulama dan forum tausiyah. Sebuah jabatan, jika dilaksanakan dengan benar, amanah dan jujur, pastilah akan menguras waktu dan tenaga. Oleh itulah mereka jadi sering absen dari majelis-majelis ilmu. Jika seorang pejabat menyadari hal ini dan merasa butuh terhadap ilmu dan nasehat, tentulah ia akan mengusahakan beragam cara agar bisa tetap mendapat nasehat meski sedang bekerja. Namun jika tidak sadar, maka kehidupan mereka akan kosong dari ilmu dan sepi dari nasehat.

Kelima, mereka adalah orang yang paling sulit mengamalkan nasehat saat nasehat tersebut bertentangan dengan nafsu. Status, harta, keamanan yang didapatkan, kewenangan, kebahagiaan dan kenikmatan hidup membuat hati mereka keras.

Semakin tinggi jabatan, semakin wah fasilitas yang didapatkan. Materi dunia akan memanjakan nafsu dalam diri dan membuatnya kuat dan mendominasi. Akibatnya, nasehat-nasehat yang berusaha mengekang nafsu akan diabaikan. Di sinilah titik paling kritisnya. Jika nafsu sudah berkuasa, nasehat kebaikan akan diabaikan begitu saja.

Keenam, mereka adalah orang yang paling kering dari nasihat. Bodiguard, menteri, dan bawahan mereka tidak ada yang berani berbicara kecuali yang sesuai hawa nafsu pemimpinnya, demi keselamatan jabatan dan pekerjaan masing-masing. Orang-orang yang mendatangi mereka pun kebanyakan adalah pemburu dunia dan penjual harga diri.

Beginilah yang sering terjadi. Para pejabat dikelilingi oleh para pejabat bawahan yang mencari makan di bawah jabatannya. Siap berebut jabatannya saat dia tinggakan. Maka wajar jika Imam al-Mawardi berkata bahwa bawahan hampir mustahil berani memberi nasihat yang jujur. Kebanyakan hanya akan diam melihat kemaksiatan atasannya dengan alasan tidak mampu melawan. Dan inilah yang membuat seorang pejabat menjadi kering dari nasehat. (diringkas dari Nasihatul Muluk, Imam al Mawardi, hal. 39-40)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

berangkat dari nasehat Ali bin Abi Thalib dan juga Imam al-Mawardi ini, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Marilah kita belajar menerima nasehat dan masukan. Apapun jabatan kita di dunia, semuanya pastilah membutuhkan masukan dan nasehat dari orang lain. Bahkan jabatan kita sebagai ayah dalam rumah tangga pun tetap membutuhkan nasehat dari siapapun, bahkan kadangkala nasehat dan teguran itu datang dari anak kita yang masih kecil.

Harus senantiasa kita ingat, menerima nashet adalah ciri khas orang mukmin. Alah berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan ingatkanlah karena peringatan itu bermanfaat bagi orang mukmin.” (QS. adz Dzariyat: 55).

 

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

 

 

 

 

 

 

 

 

Pejabat Bermartabat Karena Pemimpin Hebat

Memilih kriteria pemimpin dan orang yang diberi amanah jabatan memang tidak mudah. Tidak seperti kebanyakan manusia hari ini yang menggunakan sistem voting, mana yang mendapat suara terbanyak ialah yang akan menang. Entah ia orang yang amanat, bijaksana lagi wibawa atau justru ia orang yang hanya bermodalkan OMDO (omong doang) sangat bisa terpilih menjadi pejabat.

Lain ceritanya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia meniru jejak kakek buyutnya Umar bin Khattab dalam memilih seseorang yang pantas untuk dijadikan pejabatnya. Ia mengangkat orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kekayaan dari jabatannya, tidak pula ingin sambutan yang wah dalam pelantikannya. Tapi Ia lebih memilih pengemban jabatan yang santun, rendah hati, bersosial dengan sesame manusia dan tidak memiliki keistimewaan diantara manusia kecuali amalannya.

Baca Juga: Apa Enaknya Jadi Pejabat? 

Dari sekian orang yang akan dipilih Umar bin Abdul Aziz tersebutlah nama Bilal bin Abu Burdah. Umar bin Abdul Aziz melihat dirinya sebagai orang yang selalu dekat dengan masjid tiap waktu shalat dan senantiasa membaca al-Quran di siang dan malam harinya. 

Umar bin Abdul Aziz ingin mengangkatnya sebagai gubernur Iraq,ia berkata pada al-A’la bin Mughirah sebagai pejabat yang diserahi tugas ini, “Jika yang ada di batinnya sebagaimana yang Nampak pada lahirnya, ia adalah orang yang patut mengemban amanah, karena tidak menginginkan keutamaan.”

Pejabat tersebut pergi menjalankan tugasnya guna mendatangi Bilal, adapun Bilal saat itu sedang menunaikan Shalat antara waktu Magrib dan Isya’. Usai shalat Al’-A’la bin Mughirah berkata kepadanya, “Kamu mengetahui kedudukan dan kedekatanku dengan Amirul Mukminin. Jika aku mengusulkan kepadanya untuk mengangkatmu menjadi gubernur Iraq, Apa yang kamu sampaikan padaku?” “Gajiku setahun” jawab Bilal bin Abu Burdah. “Maksudmu 120 ribu dirham?” Tanya al’A’la. “Ya” Jawab bilal. Lalu al’A’la berkata, “Catat itu untukku diatas kertas sebagai bukti.”

Bilal bin Abu burdah bergegas menulisnya. Al-A’la pun membawa tulisan tersebut kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Setelah membacanya Ia menulis surat kepada gubernur Kufah  yang intinya bahwa Bilal mengelabuhi kaum muslimin dengan ibadahnya, dan hampir kita semua terperdaya olehnya. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata ada penyakit dalam dirinya, ia tidak layak untuk menjabat.

Akhirnya Umar bin Abdul Aziz mengasingkan Bilal bin Abu Burdah dan mengusirnya dari Iraq. Ia berkata,” Wahai penduduk Iraq, pemuka kalian ini hanya mengobral kata-kata bukan fakta yang dapat diterima, dan memang kefasihannya dalam bicara bertambah,namun kezuhudan dalam dirinya berkurang.”

Baca Juga: Pemerintah Sumber Fitnah? 

Demikian proses pengangkatan pejabat dan pemegang amanat dari seorang tokoh pemimpin terbaik sepanjang masa. Hendaknya bila kita memang menghendaki kebaikan, utamakan Iman dan ketawadhu’an dalam memilih pemimpin atau pejabat lainnya, bukan karena banyaknya suara, bukan lantaran hartanya, bukan juga karena bualan-bualan palsu lainnya. Semoga bermanfaat (Nurdin/Motifasi/Pejabat

 

Tema Terkait: Pemerintah, Khilafah, Pemimpin 

Ketika Amanah Dipegang Ahlinya

Disebutkan kisah Mubarak (Ayahanda Abdullah bin Mubarak) dalam kitab A’lamul muslimin, Muhammad Utsman Jamal.

Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun pada seorang yang kaya. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya lalu dipanggillah Mubarak, “petikkan kami beberapa buah delima yang manis!” pintanya.

bergegaslah Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima dan diserahkannya kepada sang majikan dan beberapa sahabatnya tadi. Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik, tak satupun ada yang manis, semuanya masam. Sang majikan marah dan bertanya pada Mubarak, “Apakah kamu tidak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?

BACA JUGA:  Amanah, Jalan Aman Menuju Jannah

Mubarak menjawab, “Selama ini Anda belum pernah memberi ijin saya untuk makan meski hanya satu biji, bagaimana saya bisa membedakan delima yang manis dan yang masam? sang Tuan merasa takjub dan menaruh simpati kepada mubarak (lantaran amanahnya).

singkat cerita, majikan itu memiliki anak perempuan yang sudah banyak dilamar orang. Lalu ia bertanya kepada Mubarak, “Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa seharusnya aku nikahkan?

Mubarak menjawab, “Tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan Islam menikahkan karena ketaqwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan dengan cara mereka”.

Pemilik kebun itu pun takjub dengan jawaban Muarak. Lalu ia menemui istrinya dan berkata, Saya tidak melihat orang yang lebih layak menikahi putri kita selain Mubarak”. Maka akhirnya menikahkan putrinya dengan Mubarak. Dari pernikahan yang diberkahi itu lahirlah ulama kenamaan Abdullah bin Mubarak, sang ahli hadits di zamannya.

Demikianlah ketika sebuah kepercayaan diberikan kepada yang berhak dan bertanggung jawab. Hasilnya pun tidak akan pernah mengkhianati sebuah proses kejujuran, sebagaimana kisah diatas, Mubarak salah seorang pemegang amanah, dengan itu Ia dikaruniai anak yang kelak akan menjadi rujukan para ulama dan para ahli ilmu yaitu Abdullah bin Mubarak.

Amanah, Jalan Aman Menuju Jannah

Dari Hudzaifah bin Yaman berkata, ”Suatu kali penduduk Najran datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, ”Utuslah kepada kami seorang laki-laki yang terpercaya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, ”Sungguh saya akan mengutus kepada kalian seorang laki-laki terpercaya, betul-betul amanah.” Para sahabat Rasulullah berharap mendapat kehormatan tersebut, dan ternyata beliau mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Bukhari)

Dalam riwayat lain milik Ibnu Asakir dari Anas, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, ”Setiap umat memiliki kepercayaan dan sesungguhnya kepercayaan kita adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” Lalu beliau menekan lambungnya (untuk bercanda) seraya berkata, ”Lambung seorang mukmin.”

Amanah, Jalan Menuju Jannah

Dialah Abu Ubaidah salah satu di antara sahabat yang dijanjikan masuk jannah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana para sahabat lain yang memiliki unggulan amal, begitupun beliau memiliki amal unggulan. Yakni sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa beliau adalah orang yang sangat amanah hingga dijuluki amiinu hadzihil ummah, orang kepercayaan umat ini.

Antara amanah dan jannah memang tak terpisah. Ketika jannah di tempati oleh orang-orang yang beriman, maka amanah menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Hingga Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ

“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” (HR Ahmad)

Sifat amanah akan mengantarkan pemiliknya menuju jannah. Karenanya, tidak hanya di satu tempat Allah menyebut karakter orang yang akan mewarisi jannah adalah orang-orang yang menjaga dan menunaikan amanahnya. Seperti firman Allah Ta’ala,
(QS al-Ma’arij)
Sifat amanah mengharuskan seseorang menunaikan apa yang menjadi tugasnya, menyampaikan titipan kepada yang berhak menerimanya, dan tidak berlaku khianat dengan berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menunaikan amanah dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا [النساء/58]

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada ahlinya.” (QS an-Nisa’ 58)

Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Perintah menunaikan amanah ini meliputi segala amanah yang diwajibkan atas manusia yang terdiri dari dua macam; amanah yang terkait dengan hak Allah berupa shalat, shaum dan yang lain. Dan juga aanah yang berhubungan dengan manusia seperti titipan dan lain-lain.”

Jenis Amanah yang Harus Dijaga
Amanah paling agung adalah amanah agama Islam, sehingga disebut sebagai al-amanah al-uzhma. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh,” (QS 33: 72).

Shahabat Ibnu ‘Abbas, Imam Mujahid dan adl-Dlahhak berkata, “Amanah Allah adalah seluruh kewajiban-kewajiban yang diwajibkan oleh Allah.”Sedangkan al Qurthubi berkata dalam tafsirnya, “amanah dalam ayat ini mencakup segala tugas-tugas (menegakkan) agama.”

Tidak diragukan lagi, menegakkan syariat Islam dalam seluruh lini kehidupan adalah amanah yang berada di pundak kita. Berlaku amanah dalam poin ini mengharuskan seseorang untuk terus melakukan proses belajar ilmu syar’i, mencari tahu detil syariat yang Allah gariskan, lalu menjadikan syariat itu sebagai parameter kebenaran, dan sebagai acuan untuk berbuat dan berucap.Baik dalam mengatur hubungan antara hamba dengan Allah, antara seseorang dengan orangtua, keluarga, tetangga, masyarakat dan bahkan dalam mengelola negara. Maka barangsiapa mengalihkan perkara-perkara tersebut dan menjauhkannya dari syariat, maka dia telah berkhianat atas apa yang Allah amanahkan kepadanya.

Termasuk amanah yang harus dijaga adalah segala nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita, baik berupa penglihatan, pendengaran, tangan, kaki, lisan, harta dan yang lain. Semuanya harus dijaga dan digunakan sesuai kehendak yang Memberi amanah, dan tidak dipergunakan kecuali untuk perkara yang diridhai-Nya.
Maka barangsiapa yang menggunakan nikmat Allah untuk maksiat,maka dia telah berlaku khianat.

Mata adalah titipan dari Allah yang harus dijaga dan dipergunakan sesuai kehendak-Nya. Hendaknya melihat dan membaca hal-hal yang layak dibaca dan dilihat. Dan tidak mmenggunakannya untuk melihat atau membaca perkara yang dilarangnya. Jika melihat aib saudaranya, hendaknya ia tidak menyebarkan kepada orang lain.

Begitupula dengan pendengaran dan lisan. Alangkah pentingnya saling mengingatkan dalam hal ini, saat di mana kondisi menyebabkan umumnya manusia mudah terjatuh dalam dosa karena keduanya. Bagi laki-laki, menundukkan pandangan bukanlah hal mudah di zaman sekarang. Dan bisa jadi mata menyumbang dosa paling sering bagi lelaki. Sedangkan bagi kaum wanita, menjaga lisan menjadi amanah berat yang harus dijaga ketat.

BACA JUGA: Amanah Yang Mendatangka Berkah

Bisa jadi bagi wanita lisan menjadi penyokong terbanyak dalam hal dosa disbanding anggota badan lainnya. Hingga seorang ulama memberikan analisa bahwa ketika laki-laki menangis, maka ia memegang mata, seakan mengisyaratkan dari mana dosa bermula. Sedangkan wanita, ketika menangis dia memegang mulutnya, seakan menjadi isyarat pula, dari mana asal dosa bermula.

Adapun amanah harta, hendaknya tidak mengambil harta kecuali dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat. Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi para pedagang yang amanah,

التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء – يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).” (HR Ibnu Majah, al-Hakim dan lain-lain)

Termasuk amanah adalah menjalankan pekerjaan sesuai hak dan kewajibannya. Tidak mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya, dan tidak pula menelantarkan kewajibannya. Kisah yang patut dijadikan teladan adalah apa yang dialami oleh Mubarak, ayahanda dari Abdullah bin Mubaarak rahimahumallah.

Disebutkan kisahnya dalam Kitab A’lamul muslimin Abdullah bin Mubarak al-Imam al Qudwah, Muhammad Utsman Jamal,
“Mubarak bekerja pada seorang sebagai penjaga kebun. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya lalu dipanggillah Mubarak, “petikkan kami beberapa buah delima yang manis!,” pintanya.

Bergegaslah Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima dan diserahkannya kepada sang majikan dan beberapa sahabatnya tadi.
Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. Sang majikan marah dan bertanya kepada Mubarak, “apakah kamu tidak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?”

Dia menjawab, “Selama ini Anda belum pernah memberi ijin kepada saya untuk makan meski hanya satu biji pun, bagaimana saya bisa membedakan yang delima yang manis dan yang masam?
Sang tuan merasa takjub dan menaruh simpati kepada Mubarak (lantaran amanahnya).

Singkat cerita, majikan itu memiliki anak perempuan yang sudah banyak dilamar orang. Lalu ia bertanya kepada Mubarak, “Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa aku harus menikahkannya?

Mubarak menjawab, “Tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan orang Islam menikahkan karena ketakwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan putri tuan dengan cara mereka!”

Pemilik kebun itu takjub pula dengan cara berfikir Mubarak. Lalu ia menemui istrinya dan berkata, Saya tidak melihat orang yang lebih layak menikah dengan puteri kita selain Mubarak.” Maka akhirnya dia menikahkan Mubarak dengan puterinya. Dari pernikahan yang diberkahi itu lahirlah ulama kenamaan Abdullah bin Mubarak, amiirul mukminin dal hal hadits di zamannya.

Begitulah amanah yang berhubungan dengan harta dan pekerjaan.

Dan masih banyak lagi amanah yang harus dijaga, terlebih di zaman yang banyak tersebar berbagai jenis kemungkaran dan dosa. Keluarga adalah amanah yang harus dijaga jangan sampai terjerumus ke dalam neraka.

Jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan tanpa khianat. Termasuk dalam hal ini amanah untuk menjaga kehormatan, saat di mana zina menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Simaklah nasihat dari sahabat Ubay bin Ka’ab, “Termasuk amanah yang harus dijaga adalah bahwa seorang wanita memiliki amanah untuk menjaga kemaluannya.”

Maka para pezina hakikatnya adalah para pengkhianat yang menciderai amanah yang dibebankan kepadanya, nas’alullahal ‘aafiyah. Semoga Allah memudahkan kita menunaikan amanah sesuai dengan porsinya. Aamiin. (Abu Umar Abdillah)