Enam Kaidah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Inti dari ajaran Islam adalah mengajak ummat menuju kebaikan dan mencegah kemungkaran. Oleh karenanya, ummat ini layak menyandang gelar ummat terbaik selama menjalankan praktik amar ma’ruf nahi munkar.

Saat kemungkaran terjadi, maksiat dilakukan secara vulgar tanpa malu-malu lagi, seorang muslim tak boleh hanya diam membisu. Sebab, perbuatan maksiat apalagi yang terjadi secara berjamaah merupakan bukti penentangan atas perintah Allah. Oleh karenanya, setiap musim harus tergerak untuk mengubah kemungkaran itu menjadi kebaikan. Mulai dengan aksi fisik dengan tangan, lisan hingga batasan paling minim, dengan hati.

Namun, menghentikan kemungkaran tak boleh dilakukan secara membabi buta dan tanpa perhitungan tepat. Karena dalam hal ini objek yang dihadapai adalah manusia. Sehingga seeorang yang bermaksud mencegah kemungkaran dan menyebarkan kebaikan membutuhkan panduan ilmu agar tujuan yang diidamkan dapat terwujud. Oleh karena itu, sebagaimana yang tertulis dalam buku “Hukmu Tagyirul Munkar Bil Yad Liahadi Raiyyah.” karya syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi. Ada beberapa panduan bagi yang ingin mewujudkan kebaikan di tengah ummat dan ingin membasmi kemungkaran yang kian marak. Berikut ini beberapa pedoman yang seyogyanya diperhatikan oleh seorang muslim,

 

Enam Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar

Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh ulama dalam menjalankan aksi amar ma’ruf nahi munkar. Syarat tersebut merupakan intisari dari pemahaman para ulama terhadap nash-nash alquran dan hadits serta maksud dari tujuan syariat. Syarat-syarat terpenting dalam mengatasi kemungkaran yaitu:

Pertama: Pelaku tertangkap basah sedang melakukan kemungkaran

Perbuatan mungkar yang yang dilakukan secara vulgar dan diketahui oleh publik harus dicegah.

Imam Ghazali merinci perbuatan kemungkaran yang sering terjadi menjadi tiga kondisi:

  • Pertama: ketika perbuatan itu menjadi dilakukan secara terang-terangan. Kewajiban ini diserahkan kepada penguasa untuk segera menghukum dengan hukuman had atau ta’ir. Sebab, hukuman tersebut ditegakkan oleh institusi kekuasaan.
  • Kedua: perbuatan maksiat terjadi di hadapan seseorang. Seperti melihat pemabuk meminum minuman keras atau melihat pria memakai sutera. Maksiat tersebut wajib dihilangkan dengan cara apa saja selama tidak menimbulkan maksiat yang sama atayu lebih besar. Tindakan ini boleh dilakukan oleh setiap orang.
  • Ketiga: ketika bibit-bibit perbuatan mungkar baru dalam tahap awal. Sehingga muncul kemungkinan perbuatan itu akan dilakukan. Seperti melihat orang menata tempat untuk kegiatan maksiat. Yang dilakukan dalam keadaan ini adalah memberi nasehat kepada pelaku dengan cara yang ma’ruf dan tepat. Tidak boleh melakukan aksi fisik kecuali jika diketahui bahwa oang itu telah terbiasa melakukan kemungkaran.
Kedua, Kemungkaran terjadi secara vulgar tanpa ada upaya memata-matai

Memata-matai orang muslim hukumnya haram. Namun, larangan ini tidak berlaku jika untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرً‌ا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dari zaid bin wahab yang menceritakan bahwa seorang pria dibawa dibawa ke hadapan Ibnu Masud. Janggutnya masih meneteskan minuman keras. Abdullah bin masud pun mengatakan, “Kita dilarang melakukan tajassus. Namun, jika maksiat dilakukan secara terang-terangan, kita akan membabatnya.”

Larangan ini berlaku umum, kecuali dalam keterpaksaan ketika tindakan ini menjadu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Imam Al-Nawawi pernah mengutip Keterangan Imam Al-Mawardi. Seseorang yang ingin mencegah kemungkaran dilarang mencari-cari kemungkaran yang tersembunyi. Jika terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya perbuatan kemungkaran yang terjadi secara diam-diam maka terdapat dua kondisi:

Pertama, Kemungkaran akna menyebabkan musibah dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Contohnya yaitu pembunuhan atau perzinahan. Dalam kondisi tersebut dibolehkan untuk memata-matai demi menggagalkan kemungkaran tersebut.

Kedua, kondisi di mana tingkat kemungkaran tidak separah yang pertama. Sehingga tindakan tajassur tidak perlu dilakukan.

Ketiga, Mengikuti tahapan yang telah ditentukan oleh syariat dalam menghilangkan kemungkaran

Tahapan mengubah dan membasmi kemungkaran diawali dengan peringatan secara lisan. Memberi tahu pelaku bahwa ia telah melakukan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat. Jika kemungkaran terus berlanjut. Dilakukan tindakan atau aksi fisik dengan kekuatan.

Ibnu arabi berkata, “Mengubah kemungkaan dimulai dengan nasihat dan penjelasan. Jika tidak berhasil maka dengan tangan.”

Hal ini berdasarkan hadits nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Orang yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahkan dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubah dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Keempat, Hanya melakukan tindakan yang diperlukan

Jika suatu kemungkaran dapat dicegah dengan cara minimal, tidak boleh berlebihan dalam membasminya. Misalnya, kemungkaran dapat dicegah dengan tangan tanpa perlu memukul pelakunya. Maka, dilarang memukul atau menggunakan kekerasan lainnya.

Imam al-jashshash mengatakan, “jika kita yakin bahwa si pelaku dapat dicegah dengan tangan tanpa senjata. Maka dilarang menghilangkan nyawanya.”

Ibnu qayyim juga menjelaskan, jika seseorang melakukan tindakan berlebihan dalam aksi babat kemungkaran sehingga menyebabkan kerusakan benda atau aset, ia harus mengganti nilainya. Sebab kita diperintahkan hanya untuk mengubah kemungkaran. Kita dilarang memukul si pelaku selama dapat dicegah tanpa pemukulan. Selama kemungkaran dapat dicegah dengan sedikit mencederai pelaku, dilarang memukuli pelaku hingga terluka parah.

Kelima, Aksi tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar

Walaupun amar makruf nahi mungkar dapat membawa maslahat dan mencegah kerusakan, namun perlu melihat efek dan dampaknya. Jika mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang lebih besar, tidak boleh dilakukna. Bahkan bisa menjadi haram hukumnya jika kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari dampak positifnya.

Ibnu Taimiyah memberikan contoh untuk kaidah ini. Nabi Muhammad SAW membiarkan dan tidak menghukum Abdullah bin ubay dan para pemimpin munafik lainnya karena mereka memiliki basis masa yang besar. Menumpas kemungkaran dengan menghukum Abdullah bin Ubay berpotensi menyebabkan hilangnya kebaikan karena massa tersebut dapat marah dan tak terkendali. Demikian juga akan tersebar fitnah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh shahabatnya sendiri.

Contoh lainnya. Pada zaman penjajahan Tartar, beliau dan murid-muridnya melewati sekelompok tentara Tartar yang sedang mabuk-mabukan. Sebagian murid memarahi mereka. Tapi beliau mencegah dan mengatakan, “Allah mengharamkan khamer karena menghalangi orang dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Sedangkan khamer sekarang menghalangi mereka dari membunuh, menculik wanita dan merampok. Biarkan mereka meminum-minuman.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merinci aksi nahi mungkar menjadi 4 tingkatan:

  • Pertama, kemungkaran hilang dan berganti menjadi kebaikan.
  • Kedua, kemungkaran berkurang meski tidak bisa hilang seratus persen.
  • Ketiga, kemungkaran hilang, tapi muncul kemungkaran baru yang sama kadarnya.
  • Keempat, kemungkaran hilang, tapi  berganti dengan kemungkaran baru yang lebih besar.

Kedua tingkatan pertama disyariatkan. Tingkatan ketiga bergantung pada ijtihad. Sedangkan yang keempat haram dilakukan. Namun harus diingat bahwa kebaikan dan kerusakan dinilai menurut ukuran syar’I bukan menurut akal dan hawa nafsu.

Keenam, Orang awam tidak diperingatkan kecuali dalam pelanggaran yang sudah jelas dan tidak memerlukan kedalaman ilmu dan ijtihad

Imam an-Nawawi mengatakan, orang yang berusaha mengajarkan yang makruf dan mencegah kemungkaran harus memahami apa itu kebaikan dan kemungkaran. Jika dalam hal ushul atau pokok seperti perbuatan wajib dan haram yang jelas dan diketahui oleh banyak orang. Seperti, shalat, shaum, zina dan khamer semua orang Islam boleh terlibat di dalamnya. Namun jika termasuk hal-hal spesifik yang sulit dan tidak dipahami oleh orang awam, maka mereka tidak boleh ikut campur dalam masalah tersebut. Karena hanya ulama yang kapabel dalam membahas hal tersebut.

Syarat ini berlaku karena orang yang belum tahu terkadang mengajak kepada kemungkaran dan melarang perbuatan baik akibat ketidaktahuannya. Allah berfirman:

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf: 108)

Inilah syarat-syarat penting yang harus diperhatikan dalam mencegah kemungkaran dengan tangan. Syarat ini berlaku kepada siapa saja, mulai dari orang awam hingga ulama. Dari individu hingga kelompok atau penguasa. Syarat di atas tidak khusus dalam aksi nahi mungkar dengan tangan, tetapi tetap harus terpenuhi ketika mengubah kemungkaran dengan lisan.

 

Oleh: Redaksi/Biah/Sekitar Kita

Dakwah, Isi Dulu atau Kemasan Dulu?

Dalam sebuah hadist disebutkan, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Untuk mengamalkan hadist ini terkadang kita dihadapkan pada satu hal yang cukup krusial. Yakni lebih penting manakah, kemasan atau isi. Kadang kita disibukkan pada pembahasan dua hal ini. Bagi beberapa orang, isi sangatlah penting. Menyampaikan isi yang bagus, tentu akan menghasilkan pemahaman yang bagus. Tetapi sebagian lainnya mengatakan, kemasan juga sangat penting. Tanpa sebuah kemasan yang bagus, maka isi akan ditolak mentah-mentah. Bahkan sebelum menyampaikan sudah ditolak duluan.

Isi adalah bagian dari hal yang sangat penting dalam dakwah. Dengan isi yang bagus, maka dakwah akan kena pada sasaran. Menyampaikan apa apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh Ummat. Melihat urgensi dan melihat sisi prioritas yang harus disampaikan. Maka isi yang akan disampaikan harus memerhatikan pada beberapa hal.

Pertama,

Pentahapan. Apakah jamaah di mana anda berdakwah sudah berada pada tahap yang anda butuhkan. Apakah sekiranya jika mereka mendapatkan materi itu tidak kaget dan tidak melakukan penolakan. Sebab jika salah tahapan, maka ummat akan menolak dengan alasan ketidakpahaman mereka. Mereka bukan menolak karena ilmu, tetapi menolak karena nafsu.

Maka pentahapan ini perlu sekali diperhatikan. Jangan sampai salah menilai kondisi umat. Ibarat kata, umat masih pemahaman awal tapi dikasih materi materi yang sudah sangat tinggi. Sehingga mereka tidak siap. Akhlaknya menjadi sangat tidak baik. Baru kenal kajian sebentar sudah berlagak seperti jagoan. Sudah mulai nantang-nantang ulama dan mulutnya berani mencaci dengan akhlak yang tidak islami.

Kedua,

Bobot isian. Apakah isian kajian yang akan anda sampaikan berbobot ataukah tidak. Sebab dari sisi bobot materi kajian akan bisa dinilai bagaimana kajian kita kelak. Jika kajian kita kurang berbobot, maka dakwah kita akan diremehkan. Dianggap tidak serius dalam menyampaikan kebenaran.

Maka soal pengambilan dalil quran dan hadist serta qaul ulama sebaiknya diperhatikan soal rujukannya. Jangan sampai umat menganggap bahwa rujukan yang anda ambil kurang valid dan kurang shahih.

Ketiga,

Soal keseimbangan. Cobalah untuk seimbang dalam menyampaikan materi. Kapan menyampaikan hal hal yang serius dan kapan menyampaikan hal hal yang menjadi bumbu dari materi. Karena tidak mungkin anda menyampaikan kajian dengan serius terus. Ada kalanya perlu ada sebuah intermezo untuk meringankan tensi kajian.

Tiga hal itu nampaknya cukup menarik untuk menjadi pertimbangan kajian anda. Bagaimana anda memperhatikan soal isian kajian anda dengan baik. Karena ibarat tubuh, isian kajian adalah nyawanya. Maka penting sekali untuk selalu memerhatikan soal ini.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al-Ma’afi An-Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”.

 

Perhatikan Juga Soal Kemasan

Selain soal ini, kemasan juga sangat penting. Perhatikanlah bagaimana anda menyampaikan materi materi anda. Kemaslah materi anda dengan menarik. Jangan sampai materi yang anda sampaikan terkesan monoton dan kaku. Larutlah dengan apa apa yang anda lakukan. Nikmati penyampaikan anda dan jangan merasa canggung atau grogi. Sedikit kesalahan mungkin akan dimaafkan. Tetapi jika anda tidak mempersiapkan dengan baik, kesalahan akan terjadi berulang dan berujung pada penyesalan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam soal mengemas dakwah. Yakni pertama, perhatian siapa pendengar anda. Apakah mereka anak anak atau orang dewasa. Dari sisi ini Anda bisa menetapkan pendekatan kemasan apa yang paling pas buat mereka. Menyampaikan materi dewasa tentu tidak bisa dengan gaya anak anak. Demikian pula menyampaikan materi anak anak tentu tidak bisa dengan gaya orang dewasa. Semua ada caranya.

”Dan tidaklah Kami mengutus Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat menjelaskan kepada mereka. Maha Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki dan Dialah Tuhan Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibrahim ayat 4)

Diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abu Dzar r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

Artinya: “Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan dengan menggunakan bahasa kaumnya”.

Kedua, gunakanlah bahasa tubuh yang menarik. Dengan gesture yang menarik akan membuat penyampaian dan kemasan dakwah anda menjadi semakin menarik. Orang akan antusias dengan apa yang anda sampaikan. Sehingga mereka tidak merasa jenuh dan tidak merasa bosan dengan kajian yang anda lakukan.

Jika anda merasa perlu menggunakan lcd maka gunakanlah lcd dengan file powerpoint yang baik dan menarik. Gunakan warna dan desain yang mencolok dan bagus. Jangan sampai anda menyia nyiakan fasilitas yang ada dengan kemasan yang seadanya. Disamping tidak menarik, maka akan membuat resiko jamaah anda bosan dengan apa yang anda lakukan.

Oleh: Ust. Burhan Sodiq/Teori Dakwah

 

 

Saat Ibu-ibu Nahi Munkar. Para Bapak pada kemana?

Video seorang ibu yang menghentikan pagelaran dangdut campursari di Sukoharjo menjadi viral di media sosial beberapa waktu lalu. Didorong rasa gemas karena pagelaran dangdut campursari kerap diisi oleh biduanita-biduanita yang berpakaian tak senonoh, sang ibu muncul ke tengah-tengah arena sebelum pagelaran dangdut campursari dimulai. Ia tampak menasihati orang yang hadir di situ. Aksi itu kemudian menjadi sorotan setelah tersebar di dunia maya. Banyak komentar nyinyir melihat aksi sang ibu, namun tak sedikit yang mengacungkan jempol untuk keberanian si ibu dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Kemungkaran memang tidak boleh dibiarkan karena tugas amar makruf nahi munkar adalah tugas setiap muslim, baik laki maupun perempuan. Sebagaimana Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71).

 

Baca Juga: Bentuk Intoleransi Pada Pemakai Cadar

 

Hanya ada tiga pilihan ketika seseorang melihat kemungkaran, mengubah dengan tangan, dengan lisan, dan dengan perasaan tak senang. Sebagaimana Rasulullah sampaikan, “Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu maka dengan hati, dan itu selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim). Tak ada pilihan keempat bagi pelihat kemungkaran.

Membiarkan sambil hati menolak disebut sebagai selemah-lemah iman. Maka tak disebut mengingkari dengan hati saat duduk-duduk bersama pelaku kemungkaran dan membiarkan orang terjerumus dalam kesesatan tanpa mengingatkan dan hanya hatinya yang ingkar. Saat melihat kemungkaran dan ia mampu menghentikan maka sudah kewajibannya menghentikan. Bila tak mampu tak semestinya menikmati sambil mengatakan mengingkari dengan hati.

 

Baca: Ada Sesuatu Dibalik Media

 

Namun, kita tidak boleh melewatkan kesempatan jika memungkinkan untuk menasihati mereka, karena kita telah melihat hasil perbuatan maksiat itu pada mereka, maka kita menasihati mereka karena hal ini termasuk amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan sama dengan itu, jika anda duduk bersama seseorang yang tercium bau rokok darinya, maka tidaklah mengapa bila anda duduk dengannya namun nasehatilah ia untuk tidak membiasakan mengisapnya. Adapun jika ia sedang mengisap rokok maka anda janganlah duduk bersamanya karena jika anda duduk (dengannya) maka andapun menjadi sekutunya.

 

Oleh: Muhtadawan/Biah

 

Urus Saja Dirimu Sendiri!

Menjadi perkara yang maklum dalam Islam tentang kewajiban mengajak yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, membenarkan yang benar dan membathilkan yang bathil. Namun banyak kasus di mana orang-orang yang mencegah kemungkaran  menjadi salah tingkah saat menghadapi respon yang tidak menyenangkan dari orang yang didakwahi. Seperti ucapan, “Urus saja dirimu sendiri!”

Inilah respon yang sering membuat para da’i tercekat, terdiam seketika saat berusaha meluruskan kesalahan orang lain atau mengajak saudaranya muslim untuk melaksanakan perkara kebaikan. Kadang kalimat ini keluar langsung dari obyek dakwah, dan kadang pula muncul dari orang lain yang merasa risih dengan dakwah kita. Atau justru kita pernah merespon dengan ungkapan itu saat di tegur oleh saudara kita yang muslim.

Ucapan yang Dibenci Allah

Selayaknya ungkapan itu tidak muncul dari lisan seorang muslim siapapun dia. Karena sesama muslim itu saudara, dan di antara hak bersaudara adalah saling menasehati. Setiap saudara kita punya hak atas nasehat dari kita. Begitu pula kita, punya hak atas nasehat dari saudara-saudara kita. Sedangkan ungkapan ini adalah respon untuk berkelit dari nasihat dan berpotensi memangkas hak persaudaraan. Itulah di antara hikmah kenapa Allah sangat membenci ungkapan tersebut sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

وَإِنَّ أَبْغَضَ اْلكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ اتَّقِ اللهَ فَيَقُوْلُ عَلَيْكَ نَفْسَكَ

“Kalimat yang paling dibenci oleh Allah, seseorang menasehati temannya, ’Bertaqwalah kepada Allah’, tapi ia menjawab,”Urus saja dirimu sendiri.” (HR. Baihaqi dan Nasa’i).

Setidak suka apapun kita atas nasehat yang teman atau saudara kita sampaikan kepada kita, sekuat mungkin tahan mulut untuk tidak berkomentar yang menunjukkan kesombongan. Jangan sampai keluar dari mulut kita kalimat “Urus saja dirimu sendiri” atau yang serupa dan senada dengan itu.

Baca Juga: Siapa Yang Intoleran? 

Lebih utama lagi jika kita berlapang dada menerima nasihat baik dengan kalimat sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat.

Jawaban “urus saja dirimu sendiri!” adalah respon yang menunjukkan rasa tidak suka terhadap nasihat dan kesombongannya dengan menampik nasihat. Dan sikap ini menjadi cirikhas orang-orang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. al-Baqarah: 206)

Kalimat “dikatakan”, tidak disebut secara definitif siapa yang berkata atau memberi nasihat menunjukkan tuntutan siapapun yang memberi nasihat, kita tidak boleh merespon dengan sombong dan merendahkan orang yang mengingatkan atau memberi nasihat kebaikan. Karena sikap ini menyerupai orang munafik dan pelakunya terancam dengan neraka, wal iyadzu billah.

Maka sebagai obyek yang ditegur, diingatkan atau dinasihati pantang bagi kita mengucapkan kalimat itu.

Adapun jika kita sebagai orang yang mengingatkan atau menyampaikan dakwah, janganlah berkecil hati dan jangan pula berhenti dari memberi nasihat saudaranya saat diperlukan, karena agama itu adalah nasihat. Tentu Dengan terus berusaha memperbaiki diri sendiri, juga memperbaiki cara menasihati agar ajakan bisa diterima dengan ijin Allah.

Ada yang berdiam diri atas kemungkaran yang dilakukan saudaranya, dengan alasan yang penting dirinya tidak ikut-ikut. Ia merasa sikapnya ini sebagai sikap yang dewasa dan toleran, lalu menyandarkan pada firman Allah Ta’ala,

Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (QS. al-Maidah: 105)

Ayat ini kemudian dimaknai agar mengurus diri sendiri, tak perlu merisaukan kemungkaran yang dilakukan orang lain. Pemaknaan ini disebut oleh Abu Bakar ash-Shidiq dengan menyalahgunakan ayat atau meletakkan ayat tidak pada tempatnya.

Baca Juga: Islam Nusantara dan Islam Arab 

Ayat ini sama sekali tidak mengandung pengertian yang membolehkan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah bahwa suatu kali Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq berkhutbah; ia memulainya dengan memanjatkan puja dan puji serta syukur kepada Allah, kemudian menyerukan kepada orang-orang, “Hai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, ”( yaitu firman-Nya) Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk, “ tetapi kalian meletakkan pengertiannya tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya aku (Abu Bakar radhiyallahu anhu) pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya manusia itu apabila melihat kemunkaran; lalu mereka tidak mencegahnya, maka hampir-hampir Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada mereka semua.”

Penempatan yang Benar

Lantas bagimana penempatan ayat yang benar? Allah berfirman, memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar mereka memperbaiki diri dan mengerjakan kebaikan dengan segala kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki. Allah memerintahkan agar mereka berbuat demikian seraya memberitahukan kepada mereka bahwa “barang siapa yang memperbaiki urusannya, maka kerusakan yang dilakukan orang lain tidak akan membahayakannya, baik dia sebagai kerabatnya ataupun orang yang jauh darinya.”

Termasuk kebaikan adalah mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Selagi seseorang beruasaha berbuat baik, lalu juga mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, maka keburukan orang yang tidak mau mengikuti ajakan yang ma’ruf dan tidak pula berhenti dari kemungkaran setelah diberi peringatan tidak akan mengenai orang yang menyeru. Tugasnya adalah menyeru semampunya, sedangkan hidayah adalah kekuasaan Allah, wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar A/Syubhat/Kajian

 

Tema Terkait: Syubhat, Amar Ma’ruf, Kemungkaran