Jika Wudhu Imam Batal

Jika wudhu imam batal di tengah-tengah shalat, apakah ia hendaknya mengambil seorang mamkum untuk menggantikannya menjadi imam dan menyempurnakan shalat bersama jama’ah, ataukah shalat mereka semuanya batal?

Disyari’atkan bagi seorang imam mengambil seorang pengganti yang bertindak sebagai imam bagi para makum yang lain dalam menyempurnakan shalat mereka. Sebagaimana yang telah dilakukan Umar bin Khatab RA ketika ia ditikam sementara tengah mengiami shalat shubuh, lantas ia menunjuk Abdurrahman bin Auf RA untuk menggantikanya dan menyempurnakan shalat tersebut bersama para jama’ah.

Bila imam belum menunjuk seorangpun yang menggantikannya, maka salah seorang yang berada di belakang imam hendaknya maju dan menyempurnakan shalat bersama mereka.

Adapun bila mereka (membatalkan shalat) dan memulai dari awal, maka tidak mengapa dalam masalah ini, akan tetapi pendapat yang kuat adalah bahwa imam hendaknya mengambil seorang pengganti yang menyempurnakan shalat bersama para makmum yang lain, sebagaimana perbuatan Umar RA di atas. Namun bila mereka memulai lagi dari pertama, maka tidak ada salahnya. Wallahu waliyut taufiq.(menguak fatwa syaikh Bin Baz, pustaka barkah hal 132-133)

Memebang Aurat, Batalkah Wudhunya?

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz, ana mau tanya, apakah memegang aurat (kemaluan) anak baik laki-laki maupun perempuan atau memegang aurat kita sendiri membatalkan wudhu?

Syukran.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Jika seseorang dalam keadaan wudhu (suci) kemudian memandikan anaknya dan menyentuh kemaluan anak (baik yang depan maupun belakang), maka hal ini tidak menyebabkan wudhunya batal (menurut pengapat yang kuat, wallahua’lam), cukup ia mencuci tangannya.

Imam al Auza’i berkata: “Tidaklah membatalkan wudhu bagi siapa yang memegang aurat anak kecil, karena diperbolehkan memegang dan melihatnya. (Fatwa Hisamuddin bin Musa juz 2 hal. 5, Maktabah Syamilah)

Kencing anak atau kotorannya yang mengenai pakaian ketika digendong juga tidak membatalan wudhu namun wajib baginya untuk mencuci pakian dan anggota badan yang terkena kencing/kotoran dan boleh sholat dengan pakaian yang sudah dicuci tadi.

Memegang aurat kita sendiri (tanpa adanya penghalang kain atau pakaian) apakah membatalkan wudhu, para ulama berbeda pendapat, jumhur (Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad) berpendapat batal wudhunya, dan imam Abu Hanifah  berpendapat tidak batal wudhunya begitu juga pendapat imam ats Tsauri dan Ibnul Mundir , dengan dalil :

Dari Qais bin Thalq bin Ali dari Bapaknya dia berkata; “Kami keluar (dari daerah kami) hingga kami sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu kami berbaiat kepadanya dan shalat bersamanya. Setelah selesai shalat datanglah seseorang yang kelihatannya seorang badui, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Apa pendapat engkau tentang orang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘ Bukankah itu hanya bagian dari dagingmu? ‘(HR. Nasai, dishahihkan Al Albany dalam shahih wa dhaif sunan nasai juz 1 hal. 309)

Sedangkan hadits shahih yang memerintahkan berwudhu karena memegang aurat yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah :

Dari Busrah binti Shafwan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: « Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka janganlah shalat hingga ia berwudlu.”

hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang sebelumnya, karena dimungkinkan menggabungkan (menjamak) kedua hadits tersebut, yaitu bagi yang menyentuh dengan syahwat batal wudhunya (sebagaimana hadits : “Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka janganlah shalat hingga ia berwudlu”) dan yang tidak dengan syahwat tidak batal sebagaimana hadits yang pertama (riwayat Thalq bin Ali). Atau perintah wudhu dalam hadits yang kedua (riwayat Busrah binti Shafwan)  adalah istihbab/disunnahkan dan tidak menunjukkan wajib berwudhu karena adanya hadits riwayat Thalq bin Ali. (disarikan dari Fatwa Mauqi’ al Alukah, mufti : Kholid Abdul Mun’im). Wallhua’lam bis shawab.