Ekspansi Dakwah Orang Bugis-Makassar

            Secara resmi, Kerajaan Gowa-Tallo menerima Islam pada malam Jumat 22 September 1605 M bertepatan dengan 9 Jumadil Awal 1014 H. Raja yang memeluk Islam pada tanggal itu ialah raja Tallo yang juga menjabat mangkubumi dalam Kerajaan Gowa. Namanya I Mallingkang Daeng Mannyori’. Sebagai raja yang mula-mula masuk Islam, ia diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Kira-kira pada waktu itu juga raja Gowa bernama I Mangngarangngi Daeng Manra’bia masuk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo sudah selesai diislamkan. Sebagai buktinya, dilaksanakanlah shalat Jumat pertama di Tallo pada 9 Nopember 1607 M/19 Rajab 1016 H. (J. Noorduyn, “Sejarah Agama Islam di Sulawesi Selatan” dalam W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, hlm. 88-89)

            Shalat Jumat itu mempunyai arti penting dalam Islamisasi di Sulawesi Selatan. Sebab setelah itu, Sultan Alauddin mendekritkan di hadapan jamaah bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan menjadikan kerajaannya sebagai pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan. Untuk merealisasikan dekrit tersebut, Sultan Alauddin mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk mengajak mereka secara damai masuk Islam. Sebagaimana telah disebutkan pada edisi sebelumnya, sebagian kerajaan menerima ajakan tersebut dan sebagian lain menolaknya. Meskipun demikian, kerajaan-kerajaan yang menolak, seperti Bone, Wajo dan Soppeng, akhirnya masuk Islam setelah berhasil ditaklukkan Gowa melalui perang. Bersama orang Makassar, orang Bugis yang telah masuk Islam itu kemudian terlibat aktif dalam menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, bahkan hingga keluar wilayah mereka.  

Islam Mengangkat Kehormatan Suku Bugis

            Di kalangan suku Bugis, dakwah Islam memang berjalan agak lambat. Meskipun demikian, menurut John Crawfurd, sekali mereka masuk Islam, maka mereka sangat tergugah untuk berjuang seperti halnya suku-suku Arab. Islam juga telah membuat mereka seketika itu menjadi orang-orang yang paling gagah berani sebagai pedagang dan pelaut mengarungi daerah Nusantara. Dengan perahu-perahu layarnya, mereka mengarungi seluruh wilayah Nusantara, mulai dari pantai Papua sampai Singapura. Mereka yang banyak menetap di berbagai daerah pesisir sangat menonjol dan aktif berdakwah. Misalnya, mereka yang berdiam di pesisir selatan Flores. Mereka melakukan pernikahan dengan penduduk asli yang semula kebanyakan menganut agama Katholik. Akan tetapi berkat usaha mereka, seluruh penduduk pulau itu menjadi muslim. (The History of Indian Archipelago, I/75 dan II/666)

Gerak Dakwah dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Utara

            Sambil berdagang, orang-orang Bugis berhasil mengislamkan kaum Kristen di Kerajaan Bolaang-Mongondou yang telah menganut agama itu turun temurun sejak abad 17. Raja Kristen Bolaang-Mongondou yang pertama adalah Jacobus Manoppo (1689-1709). Pada masa itu, agama Kristen berkembang pesat melalui bantuan dan pengaruh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan gereja Belanda. Pengganti sang raja semuanya beragama Kristen hingga 1844. Pada saat itu, Raja Jacobus Manuel Manoppo memeluk agama Islam. Terjadinya perubahan agama ini berkat dakwah yang dilakukan sejak awal abad tersebut. Para pegadang yang juga muballigh dari Bugis dan selainnya berhasil mengajak masuk Islam penduduk di wilayah pantai Kerajaan Mongondou. Dari sinilah, dua orang muballigh yang bernama Hakim Bagus dan Imam Tuweko, bergerak menyiarkan agama Islam ke seluruh wilayah kerajaan ini. Mereka mula-mula mengislamkan budak-budak dan wanita setempat yang mereka nikahi. Secara perlahan-lahan, orang-orang yang telah masuk Islam itu mengajak teman-teman dan keluarga mereka untuk memeluk keyakinan baru.

            Dari Mongondou, Islam menerobos ke wilayah utara Kerajaan Bolaang. Pada 1830, seluruh penduduk Bolaang masih menganut agama Kristen atau kepercayaan animisme. Sementara itu, jumlah orang Islam semula hanya dua atau tiga. Oleh karena ketekunan para muballigh dari Bugis dengan dibantu orang-orang Arab, agama Islam segera menyebar luas. Orang-orang Kristen yang minim pengetahuan agamanya merasa kewalahan menghadapi gelombang dakwah Islam. Oleh karena kurangnya perhatian dari Pemerintah Hindia Belanda maupun pihak Gereja, mereka mulai melarut dalam masyarakat Islam, sebagian melalui pernikahan.

            Sejalan dengan kemajuan dakwah, kunjungan orang-orang Bugis dan Arab, yang semula agak jarang, kini menjadi lebih sering. Pengaruh mereka pun berkembang dengan pesat. Sekitar tahun 1832, putra seorang Arab menikahi putri Raja Cornelius Manoppo, sementara raja sendiri masih beragama Kristen. Pada saat yang sama, banyak pejabat pentingnya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Dengan cara ini, Islam mulai memperoleh kedudukan penting di negeri itu sampai Raja Jacobus Manuel Manoppo masuk Islam pada tahun 1844.

Raja ini berkali-kali memohon kepada perwakilan Pemerintah Hindia Belanda di Manado supaya menunjuk pengganti kepala Sekolah Kristen, Jacobus Bastiaan. Kepala sekolah ini meninggal sehingga masyarakat Kristen di Bolaang merasa kehilangan. Meskipun demikian, permohonan Raja tidak digubris oleh Belanda. Dia malah mendapat kabar bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak ambil pusing apakah rakyatnya beragama Kristen atau Islam. Yang penting rakyat tetap setia kepada pemerintah. Sejak saat itu, Raja secara terbuka menyatakan dirinya sebagai Muslim. Dia lalu berusaha mendorong rakyatnya agar mengikuti langkahnya.

Seorang muballigh Arab mengambil kesempatan baik ketika terjadi gempa bumi pada tahun berikutnya. Dia mengabarkan bahwa Bolaang Mongondou akan hancur apabila rakyatnya tidak segera masuk Islam. Banyak orang mengikuti nasihatnya. Sementara itu, Raja bersama pemimpin-pemimpin lainnya mendukung dakwah para pedagang Arab. Meskipun hampir separuh penduduk masih mempertahankan kepercayaan lama, tetapi kemajuan Islam secara perlahan terus berlanjut. (Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, hlm. 396-398)

Selain ke Sulawesi Utara, orang Bugis dan Makassar juga aktif mendakwahkan Islam ke Sumbawa, Lombok, bahkan Papua. Demikianlah ketika Islam sudah merasuki jiwa mereka. Islam menjadi kekuatan besar yang menggerakkan pemeluknya untuk menghasilkan karya peradaban mulia. Wallâhu a‘lam

Penerimaan Islam Di Sulawesi Selatan

            Pada edisi sebelumnya telah dibahas kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sebagai periodisasi pertama Islamisasi wilayah tersebut. Pada periode ini, dakwah Islam memang belum menyebar luas. Dakwah Islam baru pada tahap pengenalan dan perintisan. Paling lambat, periode ini terjadi pada akhir abad 15 dan berakhir pada awal abad 17.

Selanjutnya, Islamisasi Sulawesi Selatan memasuki periodisasi kedua, yaitu periode penerimaan Islam. Pada periode ini, dakwah Islam mulai menyebar luas dan diterima oleh masyarakat. Islam menjadi agama resmi kerajaan-kerajaan yang telah menerima dakwahnya. Menurut Ahmad M. Sewang, penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima terlebih dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas atau elite penguasa kerajaan. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan, kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Pola terakhir ini berlaku di Sulawesi Selatan. (Islamisasi Kerajaan Gowa, hlm. 86)   

Kedatangan Tiga Mubaligh

            Meski upaya dakwah Islam di Sulawesi Selatan sudah dirintis sejak akhir abad 15, namun perkembangannya sangat lambat. Sementara itu, misi Katolik telah menyebarkan pengaruhnya ke dalam istana Kerajaan Gowa. Persaingan antara dakwah Islam dan misi Katolik pun tidak bisa dihindari. Oleh karena keadaan tersebut, para pedagang Muslim Melayu yang berada di Sulawesi Selatan mendatangkan tiga orang mubaligh untuk mengislamkan elite kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Mereka adalah: 1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Dato’ ri Bandang, 2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Dato’ Patimang, dan 3) Abdul Jawwab, Khatib Bungsu, yang lebih populer dengan nama Dato’ ri Tiro. (Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 231)

            Ketiga orang mubaligh itu berasal dari Minangkabau, namun mereka berangkat ke Sulawesi Selatan sebagai utusan dari Kerajaan Aceh. Sebelum berangkat ke Makassar, Dato’ ri Bandang lebih dahulu belajar di Giri Jawa Timur. Saat itu, Giri menjadi salah satu pusat pusat penyebaran Islam dimana pengaruhnya menyebar hingga wilayah timur Nusantara. (H.J. de Graaf, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm. 170) Dengan demikian, terbentuklah jaringan dakwah antara Aceh, Giri, dan wilayah Nusantara lainnya.     

Dakwah ke Kerajaan-Kerajaan Bugis-Makassar

            Ketika tiba di Makasar, Dato’ ri Bandang beserta kedua temannya tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dahulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datu (Raja) Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datu Luwu adalah raja yang paling dihormati karena kerajaannya dianggap sebagai kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.

            Kedatangan tiga orang mubaligh itu diterima baik oleh Datu Luwu. Ia menerima Islam sebagai agamanya pada 15 Ramadhan 1013 H (1603 M). Ia lalu diberi nama Islam Sultan Muhammad Waliyul Mudharaddin. Ia menerima Islam bersama segenap anggota keluarga istana Kerajaan Luwu. Para mubaligh tadi kemudian meminta agar Kerajaan Luwu dapat memberi bantuan untuk penyebaran Islam ke negeri-negeri Bugis-Makassar lainnya. Datu Luwu menjawab bahwa ia ingin sekali memberi bantuan. Akan tetapi, yang amat perlu didekati adalah kerajaan Gowa dan Tallo karena dua kerajaan kembar orang Makassar itulah yang memiliki kekuatan. Kata Datu Luwu, “Alebbiremmani engka ri-Luwu’, awatangeng engkai ri Gowa.” Artinya, hanya kemuliaan saja yang ada di Luwu, sedangkan kekuatan terdapat di Gowa. (Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan”, hlm. 230-231)

            Ketiga mubaligh itu lalu bersepakat untuk mengunjungi Gowa. Mereka berhasil mengislamkan kerajaan Gowa dan Tallo. Pengajaran Islam dilanjutkan oleh mereka dengan memilih lokasi tertentu yang dianggapnya kuat berpegang pada tradisi. Dato’ ri Bandang mengunjungi daerah-daerah Makassar dan Bugis yang kuat melakukan perjudian, minum ballo’ (tuak), banyak melakukan perzinaan dan banyak makan riba. Kepada penduduk demikian, Dato’ ri Bandang melakukan pendekatan syariat. Dakwah lebih banyak diberikan kepada mereka tentang hukum syariat Islam yang mengharamkan minum-minuman keras, haramnya perjudian dan haramnya babi. Pendekatan akidah tentu juga diberikan kepada mereka tentang hari pembalasan serta tentang surga dan neraka.

            Rekannya yang lain, Dato’ Patimang mengunjungi daerah Bugis dan Makassar, kemudian menetap di Luwu. Ia mengadakan pendekatan kepada penduduk yang berpegang kuat pada kepercayan lama yang menganggap Tuhan itu adalah Dewata Seuwae. Mula-mula ia mengajarkan tauhid sesuai pemahaman mazhab Asy‘ariyah. Tujuan utamanya adalah untuk mengganti kepercayaan Dewata Seuwae menjadi kepercayaan kepada Allah SWT, yang tercermin dalam dua kalimat syahadat sebagai ikrar wajib bagi orang yang akan masuk Islam.

            Mubaligh lain, Dato’ ri Tiro kemudian menetap di Tiro. Ia mendatangi penduduk yang berpegang kuat pada ilmu kebatinan dan ilmu sihir dengan segala manteranya. Ia mengajarkan Islam melalui pendekatan tasawuf. Saat itu, orang-orang Tiro senang menggunakan ilmu hitam yang disebut doti, yaitu suatu ilmu kebatinan yang menggunakan kekuatan sakti untuk membinasakan musuh-musuhnya melalui usaha batin dan metode semadi. Usaha batin ini digantikan oleh Dato’ ri Tiro dengan usaha batin mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta alam ghaib dan alam nyata.      

            Setelah raja Gowa dan Tallo memeluk Islam dan agama ini dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan, kedua kerajaan Makassar itu menjadi pusat penyiaran Islam ke seluruh daerah di Sulawesi Selatan. Menurut syariat Islam, setiap orang Islam adalah dai. Kewajiban ini dipenuhi oleh raja Gowa dengan mengirim seruan kepada raja-raja di tanah Bugis agar masuk Islam sebagai jalan yang baik. Sebagian kerajaan, seperti Sawitto, Balanipa di Mandar, Bantaeng, dan Selayar, menerimanya. Akan tetapi, sebagian lain, seperti Bone, Soppeng, dan Wajo, menolaknya. Kepada kerajaan-kerajaan yang menolak dakwah Islam, Gowa-Tallo tidak segan untuk menyatakan perang. (Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 338-341) Wallahu a‘lam.