Belum Shalat Maghrib, Bolehkah ikut Jamaah Isya’?

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz, ana mau tanya. Suatu ketika ana melakukan safar. Ana belum menunaikan shalat maghrib dan isya’. Dan ketika sampai di sebuah masjid, ana melihat jamaah sedang melakukan shalat Isya’ karena waktu menunjukkan pukul tujuh –kurang lebih-. Pertanyaan ana, apa yang harus ana lakukan? Shalat maghrib dulu atau langsung ikut jamaah, padahal ana belum shalat maghrib? Bukankah menjamak shalat itu harus urut?

Syukran.

Pembaca

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Dari pertanyaan ini, inti masalahnya ada pada apakah dalam menjamak shalat disyaratkan muwalah atau berurut sesuai urutan waktu atau tidak. Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang mensyaratkan berurut ada yang tidak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa menyatakan tidak disyaratkan berurut.

Lebih jelasnya kita simak pemaparan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz:

“Dalam jamak taqdim wajib adanya muwalah (dilakukan berurut dzuhur baru ashar, maghrib lalu Isya’). Jeda sedikit antara dua shalat tidak menjadi masalah. Sebab, ada contoh yang mengukuhkan hal ini dari Nabi ﷺ. Dan Beliau bersabda, ” Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari). Adapun untuk jamak ta’khir, masalahnya lebih longgar karena shalat yang kedua dijalankan pada waktunya. Tapi yang paling afdhal adalah berurut guna meneladani Nabi ﷺ. (Majmu’ Fatawa Syaikh ibnu Baz: 12/240 versi al Maktabah asy Syamilah).

Pendapat lain dari Syaikh Nasiruddin al-Albani saat ditanya dengan pertanyaan seperti ini beliau menjawab: Dia harus mengikuti imam menunaikan shalat isya’ tapi meniatkan shalat maghrib. Dan nanti jika imam hendak bangun di rakaat keempat ia meniatkan diri untuk berpisah dari imam, ia tetap duduk, tasyahud akhir lalu menyelesaikan shalatnya sendiri.” (Fatwa ini dimuat dalam majalah al Ashalah, Edisi Pertama tanggal 15 R. Tsani 1413 H (+ th 1992), hal. 49, terbit di Beirut, Libanon).

Kesimpulannya, untuk jamak ta’khir tidak diharuskan dilakukan berurut. tapi lebih baik dilakukan berurut, lebih-lebih jika melakukan shalat secara munfarid (sendirian). Akan tetapi jika bersama jamaah, boleh ikut shalat Isya’ lalu shalat maghrib, atau mengikuti pendapat syaikh al Albani di atas, dan setelah selesai, bisa bangkit kembali untuk shalat Isya’ berjamaah meski hanya mendapat satu rakaat, jika masih memungkinkan. Wallahua’lam.

Dijawab Oleh: Ust. Taufik El-Hakim/Tanya Jawab Islam

 

Hukum Mengucapkan “Al-Marhum” Untuk Orang Meninggal

Ada sebuah tradisi yang sudah mengakar di Indonesia ketika menuliskan nama seseorang yang sudah meninggal atau menyebut namanya dalam suatu pembicaraan. Orang-orang biasanya mengatakan al-marhum atau menulis dengan singkatan (alm). Dengan harapan, apa yang diucapkan tersebut akan menjadi doa bagi orang yang telah meninggalkan mereka, dan untuk menghormati jasa-jasa mereka ketika masih hidup. 

Bagaimana Hukumnya?

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya bagaimana hukumnya ketika ada yang meninggal, orang-orang mengucapkan,

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

 ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.  (QS. Al Fajr:27-28)

 

Jawaban beliau: Hal ini tidak boleh diucapkan terhadap seseorang secara khusus karena merupakan bentuk persaksian bahwa orang tersebut termasuk golongan yang ada pada ayat.

Dalam fatwa lain juga dinyatakan bahwa menyebut orang yang meninggal dengan sebutan al-marhum (yang dirahmati) atau al-maghfur (yang diampuni) juga tidak diperbolehkan. Karena hal itu merupakan klaim bahwa orang tersebut adalah orang mendapat rahmat, padahal kita tidak mengetahui hakikatnya. Yang diperbolehkan adalah “ghafarahullah” (semoga Alah mengampuninya) atau “rahimahullah” (semoga Allah merahmatinya) yang sifatnya doa, bukan klaim.

 

Redaksi/Disarikan dari Fatwa Syaikh Utsaimin dan Syaikh bin Baz

 

Baca Juga: 

Hukum Berobat dan Menjual Obat Yang Haram

Pertanyaan:

Apakah hukum meminum khamr pada saat darurat dan atas perintah dokter?

 

Jawaban:

Menurut jumhur ulama, haram hukumnya berobat dengan meminum khamr dan hal-hal kotor yang telah diharamkan oleh Allah ta’ala. Wail bin Hujr telah meriwayatkan bahwasanya Thariq bin Suwaid al Ja’fi pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang khamr, maka beliau melarangnya. Kemudian Thariq bin Suwaid berkata, “Saya menggunakannya untuk obat.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya khamr itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari Abu Darda Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit, tetapi juga menurunkan obat. Dan Allah menjadikan setiap penyakit ada obatya. Maka, berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)

 

Baca Juga: Hukum Memajang Pohon Natal Untuk Hiasan

 

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah melarang berobat dengan sesuatu yang kotor.” dalam lafadz yang lain disebutkan, “Yakni Racun.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalil diatas jelas mengharamkan berobat dengan khamr, sedangkan kalangan yang membolehkan berobat dengan khamr yaitu ulama kufah, maka mereka menganalogikan dengan bolehnya memakan bangkai dan darah pada saat darurat. Namun pendapat ini lemah dan bertentangan dengan dalil yang ada.

Analagi ini tidak memiliki sisi yang sama antar keduanya, sebab orang yang makan bangkai dan darah bisa menghilangkan bahanya (kelaparang-pen) dan hal ini telah terbukti. Adapun meminum khamr tidak ada buktinya menghilangkan penyakit, bahkan Nabi menjelaskan bahwa khamr merupakan penyakit bukan obat dan bukan cara (yang halal-pen) untuk mendapat kesembuhan.

 

Baca Juga: Bolehkah Bersedekah Kepada non Muslim

 

Adapun jika tersedak di tenggorokannya dan tidak ada yang bisa menghilangkan kecuali dengan meminum khamr, maka diperbolehkan baginya untuk meminum sekadarnya sehingga dapat menghindarkannya dari bahaya (kematian). Tapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang halal, misalnya air.

Adapun tentang obat-obat yang haram, serperti morfin, kokain, dan yang semisalnya, seperti obat batuk yang mengandung alkohol, maka ini tidak termasuk kategori darurat, meski dianjurkan oleh dokter, karena masih banyak obat yang tidak mengandung alkohol.

Fatwa Dr. Sa’id Abdul Azhim