Etika Islam Dalam Menerima Sebuah Berita

Beberapa hari ini, timeline kabar berita di media massa dan sosial media dipenuhi dengan berita tentang kabar bohong (hoax) yang dibuat oleh seorang aktivis dan pegiat kemanusiaan. Banyak orang percaya dengan apa yang telah ia sampaikan. Mulai dari orang biasa, politikus,  sampai beberapa pendakwah yang mempercayainya. Tapi, banyak juga yang menyangsikan dan tidak percaya dengan apa yang sudah ia tuturkan.

Dalam menyikapi sebuah kabar atau berita, Islam punya etika yang harus dijaga dan diamalkan. Mari kita simak sedikit tulisan ini.

 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al-Harits menghadap Rasulullah ﷺ. Ia berikrar menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah ﷺ pun mewajibkannya mengeluarkan zakat, ia sanggupi kewajiban itu dan berkata, “ Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajakanku akan aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah aku kumpulkan.”

Ketika waktu yang ditetapkan telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al-Harits mengira Rasulullah ﷺ marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para hartawan kaumnya dan berkata, “Sungguh, Rasulullah ﷺ telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah ﷺ.”

Pada saat yang sama, Rasulullah ﷺ, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai di tujuan. Ia membuat laporan bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian Rasulullah ﷺ mengirim utusan berikutnya kepada Al-Harits. Di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju Madinah. Setelah berhadap-hadapan, Al-Harits  bertanya, “Kepada siapa engkau diutus?” Utusan itu menjawab, “Kami di utus untuk menemuimu.” Dia bertanya, “Untuk apa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak pernah melihatnya. Bahkan belum ada utusan datang menemuiku.”

Ketika mereka sampai dihadapan Rasulullah, bertanyalah beliau, “Mengapa engkau menahan zakat dan ingin membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus engkau sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Atas kejadian itu turunlah ayat agar kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Syaikh  Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi menjelaskan bahwa Ayat  tersebut menunjukkan dua hal:

  • Pertama, berita yang dibawa orang fasik harus diteliti kebenarannya terlebih dahulu.
  • Kedua, para pakar Ilmu Ushul Fikih membuat kaidah bahwa sebuah berita dapat diterima bila dibawa oleh orang yang adil.

As-Shakhawi berkata, “Ibnu Abdi Bar memandang bahwa penilaian negatif  terhadap ahlul ilmi tidaklah diterima kecuali dengan argumen yang jelas. Apabila penilaian negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan maka penilaian itu tidak diterima.” (Fathghul Mughits III: 328)

Lalu siapakah orang fasik yang dimaksud ayat di atas? Syaikh Muhammad Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mendefinisikan ‘Fasik’ dengan ‘al-khuruj an thaatillah’. Yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah. Suatu titik di mana terjadi kegersangan iman pada diri seorang muslim. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebut fasik sebagai ‘al-maashi’ atau orang yang melakukan kemaksiatan. Sedangkan As-Sa’di mengartikan, “Seseorang yang pernah melakukan dosa besar dan seringkali melakukan dosa kecil.”

Sudah jelaslah siapa orang fasik itu. Saat titik iman kita berada di titik lemah keimanannya, kita bisa dicap sebagai orang fasik. Karena kita hanyalah orang biasa yang tak lepas dari dosa. Kewaspadan terhadap suatu kebenaran berita pun harus kita tumbuhkan sejak kini, karena tidak menutup kemungkinan, orang-orang yang membawakan berita tengah berada dalam kegersangan iman.

 

Meneliti Setiap Berita

Saat mendengar suatu kabar, baik dari mulut ke mulut ataupun dari media massa dan sosial media banyak orang yang cenderung percaya dan menelannya mentah-mentah tanpa filter sama sekali. Seakan segera meng ‘amini’ apa yang diberitakan. Kadang, tanpa peduli apakah berita itu benar ataukah salah. Padahal Allah telah mengajarkan etika yang harus kita lakukan tatkala suatu berita sampai kepada kita.

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”. (QS. Al Hujurat: 6)

Mari kita memeriksa dengan teliti, inilah etika yang dianjurkan Allah kepada kita. Memilah milih dan mengecek kembali kebenaran suatu berita. Dalam ilmu jurnalistik hal ini disebut dengan ‘kroscek’. Menggali kebenaran kabar yang masih menjadi buah bibir dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat luas. Digali dari sumber-sumber dan data-data yang bisa dijadikan landasan dan bisa dipertanggungjawabkan salah-benarnya suatu berita.

Etika ini sangat penting untuk dipegang. Terutama saat isu dan berita bohong semakin cepat menyebar dan tak terbendung. Tidak sedikit pula kabar tidak benar yang menghiasi pemberitaan media kita. Ironisnya, kebanyakan pemberitaan itu menyudutkan kemuliaan Islam. Satu contoh; masih segar dalam ingatan kita, ketika stasiun TV swasta dan beberapa kanal media daring beberapa waktu lalu menyebut ROHIS sebagai lahan rekrutmen teroris. Fitnah ini melahirkan stigma terhadap ekstrakurikuler ROHIS sebagai sarang melahirkan bibit teroris. Sejak tayangan itu, tidak sedikit orang tua siswa yang melarang anaknya mengikuti kegiatan ROHIS. Padahal, ROHIS yang selama ini berjalan hanyalah kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang bertujuan membentengi siswa dari pengaruh negatif pergaulan remaja. Sama seperti kegiatan ekskul yang lain. Dan beberapa pemberitaan negatif lainnya.

Baca Juga: Di Balik Media

Derasnya pemberitaan yang tidak obektif tersebut membuat massa bertanya-tanya. Jangan-jangan hal itu terjadi by design atau direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Memang benar komentar Hittler, tokoh Nazi, yang pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabu pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali.

[bs-quote quote=”Derasnya pemberitaan yang tidak obektif membuat massa bertanya-tanya. Jangan-jangan hal itu terjadi by design atau direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Memang benar komentar Hittler, tokoh Nazi, yang pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabu pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali.” style=”default” align=”center” color=”#2f7cbf”][/bs-quote]

Konsekuensi lain, pembuat berita bohong, bila pelakunya orang islam, akan membuat stigma buruk pada kaum muslimin. Seolah-olah masyarakat serempak akan berkata, “orang islam kok bohong”

Mengkroscek suatu berita adalah etika seorang muslim. Meskipun kita belum pernah mengenyam pendidikan komunikasi ataupun mengikuti seminar jurnalistik, menilik kembali berita yang sampai kepada kita, harus kita usahakan. Agar kita tidak larut dalam arus informasi yang tanpa ada filter benar bohongnya saat ini. Dan agar kita tidak asal latah menyebarkan berita, yang imbasnya kita juga yang akan mendapat stigma buruk di hadapan manusia dan dosa dihadapan sang Pencipta.

 

Belajar dari Periwayatan Hadits Bukhari

Lepaskan dulu fakta memilukan di atas, mari meluncur ke zaman Imam Bukhari sejenak, mengambil hikmah dari apa yang pernah beliau terapkan.

Ada sebanyak 7.275 hadits terdapat di Shahih Bukhari, beliau memilihnya dari 600.000 hadits. Semua ini karena beliau sangat teliti dalam menerima periwayatan hadits. Beliau memberikan syarat khusus dalam periwayatan seorang rawi hadits, yaitu seorang perawi harus  melihat dan sekaligus mendengar secara bersamaan. Ini adalah satu syarat disamping syarat tsiqah (terpercaya), ‘adalah (adil), dhabth (kuat hafalan), Itqan (profesional), ‘ilm (tahu benar), wara’ (jauh diri dari maksiat, dosa, dan syubhat).

Imam al-Bukhari tidak sekalipun meletakkan suatu hadist dalam kitabnya, kecuali beliau pasti mandi atau bersuci sebelum itu, kemudian shalat dua rakaat. Beliau mulai menulis kitabnya dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau tidak tergesa-gesa merilis kitab kumpulan hadit tersebut sebelum menyelesaikannya. Beliau berulang kali mengoreksi dan meneliti ulang. Bahkan beliau menyusunnya sampai tiga kali hingga terbit dalam bentuk yang sekarang ini kita kenal.

Seandainya pewarta dan jurnalis hari ini seperti Imam Bukhari yang begitu teliti kala itu, kita tidak akan lagi resah dan ragu mendengar pemberitaan dan informasi di berbagai media hari ini. Wallahu A’lam.

Ditulis Oleh: M. Nasrul, di rubrik makalah, majalah ar-risalah edisi: 139 (dengan sedikit penyesuaian)

 

Berita Bohong (HOAX)

Semua tentu sepakat bahwa berita bohong itu menyebalkan. Alih-alih memberi informasi justru menyesatkan. Munculnya berita bohong bisa karena banyak sebab, misalnya untuk memecah belah, fitnah, pembunuhan karakter, atau profokasi.

Terkhusus kabar bohong tentang Islam dan umat Islam menunjukkan bahwa permusuhan antara kebatilan dan kebaikan tak terelakkan. Narasi diciptakan meskipu berisi kebohongan untuk mendiskreditkan Islam dan para pembawa pesan. Peristiwa di zaman Nabi terkait hadits ifki menunjukkan adanya orang-orang munafik yang memendam kebencian kepada kaum muslimin. Mereka tidak senang bila umat Islam tenang.

Umat Islam harus terus waspada.  Musuh-musuh kebenaran tak pernah menyerah membuat tipu daya dan dusta kepada kaum beriman.   Mereka ingin umat Islam terus saling bermusuhan.

Keberadaan kaum munafik yang menghembuskan dusta itu berbahaya. Namun, akan lebih berbahaya bila kaum muslimin mempercayainya. Apalagi ikut menyebarkan dusta yang ia terima.

Allah telah mengajarkan kepada kita etika mengonsumsi berita.

Pertama, bila berita itu menyangkut keburukan orang beriman, dahulukan prasangka baik padanya.  Ketika istri Rasulullah difitnah, seorang wanita muslimah menemui suaminya. “Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan banyak orang tentang Aisyah?” Abu Ayyub menjawab,“Ya. Itu adalah berita bohong. Apakah engkau melakukan perbuatan itu (zina)?” Ummu Ayyub menjawab, “Tidak. Demi Allah, saya tidak melakukan perbuatan itu.” Abu Ayyub berkata,“Demi Allah, Aisyah itu lebih baik dari kamu.”

Ya, sesama muslim mestinya berbaik sangka, apalagi jelas-jelas yang membawa berita adalah penista agama dan kroninya. 

Kedua, lakukan kroscek kepada pembawa berita. Terlebih bila si pembawa berita adalah orang yang tidak paham agama. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6).

Mintalah bukti kebenaran suatu berita dari si pembawa berita. Jika ia bisa mendatangkan buktinya, maka terimalah. Jika ia tidak bisa membuktikan, maka tolaklah berita itu di depannya; karena ia seorang pendusta. Dan cegahlah masyarakat agar tidak menyampaikan berita bohong yang tidak ada dasarnya sama sekali. Dengan demikian, berita itu akan mati dan terkubur di dalam dada pembawanya ketika kehilangan orang-orang yang mau mengambil dan menerimanya.

 

Ust. Muhtadawan B.

 

Pemerintah Sumber Fitnah?

Barangsiapa diberikan amanat kekuasaan, tetapi dia tidak berlaku amanah kepada yang dipimpinnya maka dia diharamkan memasuki surga. Kurang lebih demikian ancaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wasaalam kepada pemimpin yang tidak amanah kepada rakyatnya.

Amanat kepemimpinan sangat riskan disalahgunakan, karena ia berkuasa dan memiliki peralatan lengkap untuk melakukannya. Dan pada prakteknya banyak kepentingan berseberangan dengan kebutuhan rakyat. Sebagai contoh, pemimpin suatu negara bisa saja seenaknya menaikkan harga kebutuhan pokok setinggi mungkin, atau melegalkan barang-barang haram dengan dalih keuntungan bagi negara atau membuat berita bohong agar rakyat terlena dan tertipu dengan predikat kepemimpinan yang dia jalankan.

Hal demikian sangat mungkin dan banyak dilakukan oleh kepemerintahan dimanapun mereka berada, tak terkecuali di negeri kita tercinta ini. Hari ini berbagai komoditi dan kebutuhan pokok harganya semakin menjulang tinggi, belum lagi harga-harga kebutuhan sekunder lainnya. Disamping itu para konglomerat dibiarkan menjarah kekayaan sebanyak yang mereka mau, asal tuan puas, kami antusias. Seperti pepatah mengatakan, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

BACA JUGA:  Gempuran Fitnah Robohkan Istiqomah

Belum lagi bagaimana peran pemerintahan dalam memegang kendali media sebagai sumber berita. Media yang dia suka diajak berpesta, sedangkan yang bertentangan di blokir tanpa penjelasan. Sebagaimana Rocky Gerung, salah seorang akademisi UI (Universitas Indonesia) dalam sebuah forum diskusi di salah satu acara TV swasta berkata, “pembuat hoax terbaik adalah penguasa. Karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen dia punya, data statistik dia punya, media dia punya. Orang marah. Tapi itu faktanya. Bahwa, hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna. Saya tidak ingin dia berbohong tapi potentially dia bisa lakukan itu,”.

Memang benar adanya apa yang Ia sampaikan, untuk melakukan kebohongan seribu kalipun mereka mampu dan berpotensi melakukan itu. Yang perlu kita cermati berikutnya adalah mengapa hal demikian dilakukan pemerintah? Sebenarnya ada apa dibalik penggembosan dan pemblokiran berbagai media islam? Bisa jadi mereka sedang menutupi sebuah krisis atau ada kepanikan hebat yang menghantui mereka. Marilah kita mendoakan yang terbaik bagi negeri kita yang tercinta.

Itulah mengapa Nabi mewanti-wanti jangan mengharapkan sebuah kepemimpinan dan jangan meminta untuk dijadikan pemimpin, selain karena potensi curang dan zhalim sangat besar, hidup pun tidak akan tenteram ketika tiap hari kita dihadapkan dengan berbagai persoalan. Lebih dari itu, pemimpin culas dan curang yang tidak amanat menjalankan kepemerintahan, Ia tidak akan mencium wanginya surga, apalagi memasukinya. Wallahu a’lam.

Menyikapi Berita Dusta (HOAX)

Di era modernisasi saat ini, kita dimanjakan dengan berbagai macam gadget dan alat komunikasi. Dengan begitu kita bisa leluasa mengakses apapun yang kita inginkan. Berita, tontonan, musik dan lain sebagainya tersaji di depan mata tinggal menekan tombol enter pada keyboard kita. Sampai anak balita yang belum paham tulisan dengan baik sekalipun mampu mengoperasikannya meski hanya bermain game atau hanya sekedar menonton video animasi.

Banyak sekali manfaat yang kita dapat dari perkembangan teknologi yang satu ini, tapi perlu dicermati dan menjadi perhatian bagi kita semua bahwa apa yang ditampilkan dan diberitakan di media sosial tidak serta merta benar adanya. Dengan kemudahan yang ada justru menjadi lahan subur bagi para pendusta dan orang-orang fasik untuk menebar kebencian dan berita hoax untuk menyerang islam dan kaum muslimin.

BACA JUGA: Pemenrintah Sumber Fitnah?

Dalam islam Allah sudah mewanti jauh-jauh hari agar kita berhati-hati dengan berita dusta yang dibawa oleh orang yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang Beriman, apabila datang seorang fasiq dengan membawa suatu informasi maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang telah kalian lakukan” (QS. al-Hujurat:6)

Ayat diatas turun pada saat peristiwa bani musthaliq yang mana kepala kaum mereka al-Harits bin dhirar masuk Islam dan mengajak kaumnya memeluk Islam dan membayar zakat dan membuat kesepakatan dengan Nabi untuk mengambil zakatnya pada waktu yang ditetukan. Tiba saat pengambilan zakat Nabi mengutus seorang utusan, ditengah perjalanan Ia kembali ke madinah dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Nabi al-Harits menghalangi diriku untuk mengambil zakat mereka dan akan membunuhku” Seketika Nabi marah dan mengutus pasukan menemui al-Harits pemuka bani Musthaliq tadi. Di tengah jalan mereka bertemu dengannya dan al-Harits pun bertanya pada mereka, “Kepada siapa kalian diutus?” mereka menjawab, “kepadamu” al-harits balik bertanya, “Ada apa denganku?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah mengutus al-Walid bin Uqbah kepadamu untuk mengambil zakat, namun kamu halangi dan hendak kau bunuh”. Al-Harits berkata, “Demi zat yang mengutus Muhammad, aku tidak menemui dan melihat utusan Rasul itu sama sekali”. Setibanya al-Harits di madinah Ia langsung menemui Nabi, dan Nabi seraya berkata, “Kamu tidak mau membayar zakat dan ingin membunuh utusanku? Kemudian al-Harits berkata, “Wahai Nabi demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku sama sekali tidak melihat dan aku tidak bertemu dengan utusan tersebut. Dan aku kesini serta merta karena tidak ada utusan yang menjemput zakat ini, aku takut bila hal ini membuat murka Allah dan rasul-Nya. Lalu turunlah ayat ini.

Hari ini sering kita dapati begitu mudah si fulan berkata demikian, si media anu memberitakan demikian, portal berita berkata sedemikian rupa padahal sumbernya belum jelas dan belum terintegrasi kebenarannya. Ini merupakan musibah, musibah bagi kaum muslimin yang apabila tidak segera mencari kebenaran dan mengkrosceknya kelak yang akan didapat adalah penyesalan di ujung cerita. Oleh sebab itu, dari ayat diatas menjelaskan setidaknya ada 4 kaaedah dalam menerima kabar atau berita,

  1. Pemberitaan dari orang yang dikenal adil (kredibel) maka ucapannya boleh diterima, kecuali ada beberapa hal yang menjadikannya tidak lagi bisa dipercaya.
  2. Allah tidak melarang mentah-mentah berita dari orang fasik. Akan tetapi Allah memerintahkan untuk tabayun (mencari kejelasan). Apabila berita yang dibawakan benar adanya maka berita tersebut dapat diterima meskipun yang menyampaikan orang fasik.
  3. Tidak perlu terburu-buru untuk menyebar berita yang kita terima, sebagaimana Allah mencela orang-orang yang terburu-buru menyiarkan berita,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. an-Nisa: 83)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“berhati-hati itu dari Allah dan terburu-buru itu dari syetan.” (HR. Baihaqi dihasankan oleh al-Albani)

 

  1. Ayat ini juga menjelaskan betapa bahaya terburu-buru menyebarkan berita yang berdampak pada keadaan orang/ organisasi yang diberitakan. Yang kelak kita sendiri yang akan menyesalinya.

 

Demikian beberapa hal yang perlu kita cermati sebelum kita menyampaikan atau menyebar luaskan sebuah berita dan informasi agar kita lebih berhati-hati. Nabi sendiri pernah mengingatkan “Cukup seseorang dikatakan dusta, apabila Ia menyampaikan setiap apa yang dia dengar”. Jadi belum tentu apa yang kita dapatkan dari broadcast, dari status seseorang, dari portal berita anu benar adanya sebelum kita mengecek kevalidan berita tersebut. Demikian apa yang diungkapkan Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil dalam kitab Qawaid Qur’aniyah, semoga bermanfaat.