Perbedaan Antara Khutbah Jumat dan Khutbah Ied

Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullah, Ustadz, sekilas khutbah dalam shalat jumat dan shalat ied (Iedul fitri dan Iedul Adha) sama. Adakah perbedaan antara kedua khutbah tersebut?

 

Jawaban:
Waalaikumussalam, keduanya merupakan khutbah yang disampaikan seorang khatib kepada para jamaah. namun ada beberapa perbedaan mendasar tentang tata cara pelaksanaan antara kedua khutbah tersebut. Antara lain berikut ini:

Pertama, Khutbah ied dilakukan setelah melaksanakan shalat sebagaimana hadits Abu Said yang menuturkan, “Bahwasanya Nabi tatkala keluar di hari iedul adha dan iedul fitri dan menuju tempat shalat, pertama kali beliau melakukan shalat, usai shalat lalu berdiri menghadap jamaah dan jamaah dalam barisannya masing-masing. lalu Rasulullah memberikan wasiat dan nasihat kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, khutbah ied tidak diatas mimbar dan tidak mengeluarkan mimbar dari masjid, serta adzan dan iqamat. Ibnu Qayim menuturkan, “Tidak ada mimbar dalam khutbah ied yang akan meninggikan posisi khatib dan tidak pula mengeluarkan mimbar madinah, hanyasanya beliau berdiri di atas tanah. Sebagaimana perkataan Jabir, ‘Aku saksikan langsung shalat beliau shalallahu alaihi wasallam di hari ied, beliau mulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa adzan atau iqamah lalu berdiri tegak menghadap bilal.” (HR. Mutafaqun alaih).

Dapatkan Kumpulan Materi Khutbah DI SINI

Ketiga, disunahkan memperbanyak takbir disela khutbah ied. Imam Malik berkata dalamal-Ausath, “temasuk dari sunnah hendaknya seorang khatib iedul adha dan iedul fitri memperbanyak takbir di dalamnya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan, “Dan takbir itu disyariatkan dalam khutbah ied lebih banyak daripada khutbah Jumat.”

Keempat, Menurut Dr. Suud bin Ibrahim bin Muhammad Suraim dalam Asy-Syamil fi fiqhi khatib wa khutbah, tidak ada duduk sebelum khutbah ied dilaksanakan, sebagaimana pendapat Asy-Syaukani karena duduk sebelum khutbah itu untuk adzan (sebagaimana dalam khutbah jumat).

Demikian pula bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat iedain; Iedul Fitri dan Iedul Adha tidak menunjukkan bahwa Nabi duduk sebelum khutbah.

Demikian beberapa hal mendasar yang membedakan tata cara pelaksanaan antara khutbah jumat dan khutbah di hari ied. Semoga bermanfaat.

Oleh: Redaksi/Majalah ar-risalah

Jika Dosa Berbau

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat dapat membaca firman-firman-Nya yang terangkum dalam al-Quranul Karim. Itulah nikmat terbesar dalam hidup ini. Nikmat paling istimewa karena tanpanya, nikmat yang lain tidak akan berguna.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Juga kepada para shahabat, tabi’in dan orang-orang yang teguh mengikuti sunah Rasulullah sampai hari Kiamat.

Rasulullah senantiasa menasihatkan taqwa dalam setiap khutbahnya.Maka, khatib pun akan mengikuti sunah Beliau dengan menasehatkan wasiat serupa. Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya dengan penuh cinta dan tidak  asal gugur kewajiban semata. Berusaha meninggalkan larangan-Nya, juga dengan penuh cinta meski sebenarnya nafsu sangat menginginkannya.

 

Jamaah jumat Rahimakumullah

Selain nikmat Islam dan al Quran, ada satu nikmat besar lagi yang Allah berikan kepada kita yang sering tidak kita sadari. Di dalam surat Luqman ayat 20 Allah berfirman,

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّـهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…. (QS. Luqman:20)

Imam adh Dhahak, seorang pakar tafsir pada masa Tabi’in menjelaskan, maksud nikmat yang sifatnya lahiriyah adalah al-Islam dan al-Quran. Adapun nikmat yang sifatnya bathiniyah adalah Allah telah tutupi aib-aib kita. (Kitab Makarimal Akhlaq: 488)

Nikmat terbesar itu adalah ditutupinya aib-aib kita. Apa aib-aib itu? penyakit kulit yang memalukan? penyakit ayan? Kemandulan? Bukan! Penyakit-penyakit itu bisa jadi merupakan aib bagi kita tapi kita tidak perlu malu mengidapnya. Mengapa? Karena penyakit itu pemberian Allah. Lantas apa aib-aib memalukan yang Allah tutupi itu? Bukan lain adalah dosa-dosa kita. Dosa-dosa yang kita perbuat, tapi Allah tutupi dari pandangan manusia.

Dengan apa Allah menutupi dosa-dosa kita? Yaitu dengan mewujudkan dosa dalam bentuk abstrak; tidak berwujud, tidak berbau, tidak terasa, namun kita sebagai orang beriman yakin bahwa dosa itu ada. Catatan-catatan kesalahan dan kemaksiatan itu benar-benar nyata. Berada dalam genggaman malaikat-malaikat yang telah Allah perintahkan mengawasi kita saban hari. Raqib dan Atid.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Bayangkan jika dosa itu berwujud. Taruhlah wujudnya berupa titik hitam pada organ manusia yang melakukan dosa. Sekali melakukan ghibah, misalnya, ada titik hitam di lidah. Sekali mata melihat maksiat, ada titik hitam pada area mata. Sekali tangan melakukan kemungkaran, ada titik hitam pada pergelangan. Dengan frekuensi dosa dan kesalahan yang kita lakukan, dalam kurun waktu lima tahun, barangkali tubuh kita sudah lebih hitam daripada kulit orang-orang Negro. Legam dipenuhi tanda dosa dan kesalahan.

Bayangkan pula jika dosa itu mewujud dalam bentuk bau. Sekali mulut mengucap kata keji, bau menyengat menyertai nafas. Sekali tangan melakukan kezhaliman, bau tak sedap keluar dari telapak tangan. Dan sekali telinga digunakan mendengar kemaksiatan, bau busuk keluar dari lobang telinga hingga tercium oleh siapa saja di dekatnya. Sebagai manusia awam yang sering kalah oleh nafsu, mungkin saat ini kita sudah jauh lebih bau daripada penampung kotoran.

Dan terakhir, jika dosa Allah wujudkan sebagai rasa sakit, subhanallah, entah sudah seperti apa jasad kita saat ini. Sekali saja hati bersuudzan kepada Allah, jantung terkena penyakit. Sekali saja kaki melangkah menuju tempat maksiat, rasa pegal, nyeri atau apapun bentuk rasa sakitnya segera menyerang daerah kaki. Demikian pula anggota badan yang lain. Dan saat kita menapaki umur yang mulai uzur, sementara taubat kita terus saja mundur, entah akan seperti apa raga kita akibat terpaan rasa sakit akibat dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Memang, di satu sisi, tidak berwujudnya dosa justru melenakan jiwa. Kita jadi sering tidak sadar setelah melakukan dosa bahkan ketika dosa kita sudah sebanyak air di samudra. Namun di sisi lain, sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari dosa, salah dan lupa, tentu nikmat ini adalah nikmat yang besar bagi kita. Sebuah karunia yang nyata adanya, meski wujudnya adalah ketiadaan.

Nikmat ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Meskipun dosa telah tercatat, tapi masih ada taubat. Masih ada waktu untuk memperbaiki yang telah lalu. Masih ada maaf dan ampunan yang dapat menghapuskan kesalahan. Allah tidak serta merta memberikan hukuman atas segala kesalahan, tidak pula serta merta mengazab setiap perbuatan biadab. Allah wujudkan dosa hanya dalam sebuah catatan. Itupun hanyalah catatan yang sangat rapuh karena dapat segera luruh hanya dengan sekelumit istighfar dalam taubat yang utuh. Dapat terkikis habis hanya dengan penyesalan dan senggukan tangis, dan dapat musnah bahkan terganti dengan catatan kebaikan, jika diiringi taubat nasuha dan iringan iman juga amal keshalihan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Oleh karena Allah telah menutupi dosa kita, maka janganlah kita beberkan dosa-dosa kita di hadapan manusia. Satu hal yang paling Alalh murkai adalah ketika manusia membeberkan perbuatan dosanya, padahal Allah telah menutupinya.

Rasulullah bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan mujaharah (yaitu melakukan dosa terang-terangan).” (HR. Bukhari)

Dan celakanya, di masa ini, tidak sedikit orang tidak sadar telah melakukan Mujaharah (melakukan dosa terangan-terangan) dengan mengunggah perbuatan dosanya di media sosial. Ada muda-mudi yang mengunggah foto pacaran mereka, mengunggah foto saat minum minuman keras, mengunggah foto mesum, status atau tulisan yang berisi fitnah dan ghibah, dan lain sebagainya. Naudzubillah, semua itu sama saja dengan mempertontonkan dosa di hadapan manusia di dunia nyata. Itu mujaharah dosa, dan itu sangat dimurkai oleh Allah. Semoga Allah menghindarkan kita dari perbuatan semacam ini.

Sebagai akhir dari khutbah ini, marilah kita tambah rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Berusaha mengurangi kesalahan dan dosa dengan memohon ampunan dan melaukan amal kebaikan. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang senantiasa mampu bertaubat dan beristighfar atas setiap dosa yang kita lakukan. Dan semoga pula, Allah senantiasa menutupi dosa-dosa kita lalu berkenan mengampuninya. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. 

 

Oleh: Taufik Anwar 

 

Khutbah Lainnya: Belajar Syukur dari Lelaki Buntung, Agar Iman Tak Goyah Di Zaman Fitnah

Hari Raya Idul Adha Bertepatan Dengan Hari Jumat

Rasanya baru kemarin menggemakan takbir kemenangan setelah berpuasa Ramadhan satu bulan lamanya. Besuk lusa kaum muslimin kembali lagi memekikkan takbir di masjid-masjid guna menyambut hari raya yang agung dalam Islam dan puncaknya menyembelih hewan kurban.

Hari Raya kedua umat Islam sudah tiba di depan mata. Apalagi kalau bukan Idul Adha atau sebagian menyebutnya Idul Qurban. Seperti biasanya, kaum muslimin akan sibuk mempersiapkan alat asah dan goloknya guna menyembelih hewan ternak selepas menjalankan shalat Idul Adha.

Baca Juga: Jika Masbuk Shalat Ied

Namun Idul Adha tahun 1438H kali ini terasa lebih istimewa, karena bertepatan dengan hari raya mingguan Umat Islam yaitu hari Jumat. Hari Jumat sendiri bernilai istimewa dan penuh dengan keutamaan, apalagi ditambah keistimewaan yang dibawa Idul Adha, sangat berlipat-lipat keutamaan padanya.

Lalu, bila dalam satu hari ada dua hari raya, apakah kaum muslimin tetap menunaikan shalat jumat di siang harinya? Atau cukup dengan menjalankan shalat dzuhur seperti biasa?

Di Zaman Nabi Juga Pernah Terjadi 

Hal seperti ini pernah juga terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Yaitu Hari Raya ‘Ied  yang bertepatan di hari Jumat. Ada beberapa hadits yang dan atsar yang menjelaskan hal ini. Diantaranya,

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,

اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بالناس ثم قال: من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها ، ومن شاء أن يتخلف فليتخلف

“Pernah terjadi dua hari raya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau Shalat dengan para manusia paginya dan berkata, “Siapa yang hendak mendatangi shalat Jumat maka datangilah, dan siapa yang tidak menghadiri silahkan tidak menghadirinya.”  (HR. Ibnu Majah & Thabrani)

Dalam Mu’jam Kabir ditambahkan, “Pernah terjadi dua hari raya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Hari Raya Idul fitri dan Hari Raya Jumat.  Maka paginya beliau shalat Idul fitri bersama manusia lalu berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah diberi kebaikan dan pahala di hari ini. Kita telah berkumpul, maka siapa yang hendak menunaikan shalat Jumat lakukanlah dan siapa yang hendak balik ke rumahnya silahkan ia kembali.”

Begitu juga Hadits dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda,

اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن شاء أجزأه من الجمعة ، وإنا مجمعون إن شاء الله

“telah berkumpul dua hari raya di hari kalian ini, maka siapa yang hendak mencukupkan (untuk tidak shalat Jumat) silahkan , dan Kami akan melaksanakannya Insyaallah.” (HR. Ibnu  Majah)

Dan satu atsar dari Atha’ bin Abi Rabbah Ia berkata, “Ibnu Zubair shalat bersama kami di pagi Idul fitri yang bertepatan pada hari Jumat, saat menjelang siang dan kami menunaikan shalat Jumat Ia tidak hadir shalat bersama kami. Lalu setelah kepulangan sahabat Ibnu Abbas dari Thaif, saya bertanya tentang yang demikian dan Ia menjawab, “Ia mengerjakan hal yang Sunnah.”

Dan masih banyak lagi riwayat hadits dan juga atsar yang redaksinya hampir mirip dengan ketiga hadits diatas.

Para Ulama Menyimpulkan Demikian 

Dengan begitu ada beberapa poin sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama di Lajnah Daimah,

Pertama, siapa yang menghadiri shalat ‘Ied di pagi harinya, ia boleh untuk tidak shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dzuhur seperti pada hari biasa. Namun bila ingin tetap menjalankan shalat Jumat maka hal tersebut lebih utama.

Kedua, siapa yang tidak menghadiri shalat Ied (Idul fitri/Idul Adha) maka dia tetap berkewajiban menjalankan shalat Jumat dan tidak jatuh rukhsah.

Ketiga, Kepada Takmir Masjid untuk tetap mengadakan shalat Jumat, bila Jamaah yang datang sudah mencukupi syarat shalat Jumat maka dilaksanakan Shalat Jumat, bila tidak maka dilaksanakan shalat dzuhur seperti biasa.

Pada hari ini juga tidak disyariatkan mengumandangkan adzan dzuhur kecuali di masjid-masjid yang mengadakan shalat Jumat.  Sebagai tanda diadakannya shalat Jumat.

Baca Juga: Hari Raya, Syiar dan Identitas Keyakinan

Parahnya, ada orang yang berpendapat bahwa siapa yang sudah menjalankan shalat ‘Ied pagi harinya, ia mendapat rukhsah untuk tidak shalat Jumat dan shalat Dzuhur. Jelas sekali ini pendapat yang keliru. Karena menyimpang dari ajaran Nabi dan meninggalkan kewajiban untuk shalat Dzuhur.

Demikian tiga poin penting mengenai hukum shalat Jumat yang bertepatan pada hari Raya ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha. Semoga kita tidak keliru dan mengikuti hawa nafsu dalam beramal. Wallahu a’lam. (Islamqa/Nurdin/Idul Adha)

 

Tema Terkait: Ibadah, Idul Adha, Shalat Jumat