Manusia Diciptakan dengan Berbagai Kelemahan

Sehebat apapun manusia, ia memiliki sisi lemah, lemah kekuatan fisiknya, lemah jangkauan akalnya dan lemah pula tekad dan kemauannya. Karena itulah,apa yang Allah syariatkan hakikatnya telah sesuai dengan kondisi manusia. Tak ada kewajiban yang Allah gariskan kecuali apa yang disanggupi oleh manusia. Pun itu juga demi kebaikan dan kemaslahatan manusia, bukan semata- mata supaya manusia lelah dan mencurahkan pengorbanan.  Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan kepada manusia sesuai dengan tabiat manusia yang lemah hingga Allah turunkan syariat yang ringan dan mudah. Allah Ta’ala berfirman,  

Allah bendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. 4:28)” (an-Nisaa’: 26-28)

Fisik manusia lemah, maka beban fisik dalam setiap syariat tidak melebihi kekuatan yang dimampui manusia. Dan manusia tidak selalu dalam kondisi sehat dan fit. Maka syariat memberi keringanan bagi yang tak mampu berdiri boleh mengerjakannya dengan duduk. Yang tidak mampu boleh dengan duduk. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

 

صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.

“Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring.” (HR Bukhari)

Bagi yang sakit di bulan Ramadhan diperbolehkan baginya berbuka dan menggantikannya di hari lain.

Baca Juga: Sukses dengan Keterbatasan

Adapun tentang lemah jangkauan akalnya, karena ilmu manusia tidak mampu menjangkau segala hal. Hanya sedikit yang bisa diketahui oleh manusia,

 “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

(QS. Al Israa  85)

Seringkali manusia menyangka sesuatu sebagai hal yang mendatangkan maslahat, tapi ternyata yang dihasilkan dengannya adalah kemadharatan. Ilmu yang sedikit itupun masih sering terkontaminasi dengan hawa nafsu. Hingga tak sedikit manusia yang memperturutkan nafsunya namun dibungkus dengan alasan yang tampak logis, padahal sebenarnya itu hanyalah dalih demi membenarkan kemauan nafsunya. Maka Allah menetapkan rambu-rambu yang pasti baik dan benar, sesuai dengan akal yang sehat, tanpa tercampuri oleh hawa nafsu manusia. Karena syariat digariskan oleh Dzat Yang Mahatahu; apa yang baik dan tidak baik bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman,

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Banyak versi para ulama ketika menjelaskan maksud dari firman Allah Ta’ala, “dan manusia dijadikan bersifat lemah,”, masing-melengkapi makna yang lain.

Thawus bin Kaisan berpendapat bahwa maksud lemah di sini adalah lemah dalam menghadapi wanita. Ini adalah kelemahan yang dimiliki laki-laki, meskipun maknanya tidak sebatas ini. Namun tidak disangsikan bahwa nafsu terhadap wanita adalah ujian yang berat bagi kaum laki-laki sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

 

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

 Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa sisi lemah manusia itu meliputi tiga sisi,

Pertama, bahwa manusia itu lemah di awal penciptaan. Tafsiran ini dinukil dari pendapat Imam Hasan al Bashri rahimahullah, karena manusia diciptakan dari air yang hina. Karena itulah, ketika ada seseorang hendak menyombongkan diri di hadapan seorang salaf dengan berkata,”Kamu tahu siapa saya?” Maka dijawab, “Ya, saya tahu siapa Anda; berasal dari air mani yang hina, kesana kemari membawa kotoran di perutnya, dan kelak menjadi bangkai yang tak berguna.” Maka disifatinya manusia sebagai makhluk yang lemah supaya ia tidak menyombongkan diri, dan menyadari bakal kemana akhir perjalanan setelah di dunia.

Baca Juga: Kisah-kisah Menggugah dalam Menjalankan Sunnah

Kedua, manusia lemah dalam menghadapi wanita, sebagaimana pendapat Thawus dan Muqatil

Dan ketiga adalah lemah dalam tekad dan mengendalikan hawa nafsu. Banyak yang telah mengetahui sebuah kewajiban, bahwa itu berbuah kebaikan di dunia dan akhiratnya, namun ia lebih mengutamakan nafsu malasnya. Pun sebaliknya; ia tahu sesuatu sebagai maksiat dan dampaknya adalah keburukan di dunia dan akhiratnya, namun ia tak mampu mencegah kemauan hawa nafsunya.

Ibnul Qayyim berkata dalam Thariqul Hijratain setelah menyebutkan beberapa perkataan para salaf tentang tafsir ayat tersebut, “Yang benar adalah kelemahan manusia yang mencakup semuanya, bahkan sisi lemahnya lebih banyak lagi dari ini, manusia memiliki sisi lemah dalam hal fisik, kekuatan, kemauan,pengetahuan, kesabaran. Dengan kelemahan ini bahaya yang mengancam manusia  datang dari segala penjuru. Banyak pula target yang diharapkan oleh manusia yang terancam gagal. Maka sikap terbaik bagi manusia adalah menyadari kelemahannya, bukan supaya minder tapi supaya bersandar kepada Yang Mahatahu lagi Mahakuat. Mengikuti Yang Mahatahu sehingga ia akan mendapatkan kemaslahatan yang hakiki, dan tak mungkin ia akan tersesat. Bersandar dan berlindung kepada Yang Mahakuat agar ia terhindar dari segala marabahaya. Selebihnya manusia harus berikhtiar sesuai kemampuannya. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

 

 

Khutbah Jumat- Aktivasi Potensi Menuju Kesuksesan Diri

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia yang tak terhingga. Nikmat yang tak dapat kita hitung jumlahnya. Kita diberi akal, kemampuan berpikir, bersosialisasi dan berbagai potensi lainnya. Semuanya, seharusnya dapat kita maksimalkan untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.

Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabiyullah Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jalannya sampai tiba ajalnya.

Wasiat takwa tak lupa kami sampaikan, agar kita senantiasa berhias diri dengan takwa. Bukan lain, karena takwa adalah penentu arah bagi segala aktivitas yang kita lakukan. Dengan takwa, insyaallah seluruh aktivitas kita akan berada pada jalur yang diridhai-Nya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Di manapun kita beraktivitas atau bekerja, seharusnya memberikan ruang agar seluruh potensi yang Allah berikan kepada kita bisa aktif dan berkembang. Ini sebagai wujud syukur kepada Dzat yang telah menganugerahkan segala nikmat. Sekaligus menjadi penentu seberapa sukses seseorang menjalani hidup. Karena kesuksesan seseorang tergantung seberapa besar potensi yang diaktifkan sesuai dengan fungsinya. Dan begitulah semestinya fitrah berjalan sesuai dengan relnya. Tak ada satu potensipun yang tidak berfaedah, dan tak ada satu anugerah dari Allah yang boleh disia-siakan.

Menelantarkan sebagian fungsi, atau menjadikannya pasif dan menganggur, adalah kekufuran terhadap nikmat yang Allah berikan. Dan segala hal yang berjalan tidak sesuai dengan fitrahnya, pasti akan rusak, dan bahkan merusak potensi yang lain.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Allah telah memberikan potensi akal kepada manusia, anugerah yang menjadi pembeda utama antara manusia dan hewan. Semakin banyak akal ‘menganggur’, maka makin mendekatkan manusia pada karakter hewani, nas’alullahal ‘aafiyah. Karenanya, Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata, “ashlur rajuli ‘aqluhu, wa hasabuhu diinuhu, wa muruu’atuhu khuluquhu”, inti seseorang disebut manusia itu adalah karena akalnya, kehormatannya terletak pada agamanya, sedangkan kewibawaannya tergantung pada akhlaknya.

Maka selayaknya kita menjalankan fungsi akal sebagaimana mestinya. Terus mengisinya dengan ilmu yang bermanfaat, baik di dunia maupun di ahirat. Nutrisi akal yang dengannya ia bisa berkembang adalah dengan menghayati ayat-ayat Allah berupa qur’aniyah dan kauniyah, firman Allah,

”Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS an-Nahl: 12)

Sisi istimewa dari akal adalah, makin sering dipergunakan, maka kemampuannya semakin bertambah, berbeda dengan barang-barang elektrik yang jika sering dipergunakan makin cepat mengalami penyusutan dan penurunan fungsi. Sebaliknya, akal yang dibiarkan menganggur akan cepat jumud, tumpul dan pikun. Secara fungsi akan mengalami penyusutan secara drastis.

Maka, bertambahnya kesibukan maupun usia, tak boleh menjadi halangan untuk tetap belajar, membaca, menghafal, memahami maupun menganalisa hal-hal yang bermanfaat. Bahkan, kerja akal tidak layak berhenti, meski aktifitas jasad istirahat karena lelah. Saat kaki tak lagi kuat menyangga tubuh, saat mata terasa berat untuk membaca dan melihat. Seperti yang menjadi tekad Ibnu ‘Uqail Al-Hambali, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisan dan mataku telah lelah membaca dan berdiskusi, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan berbaring diatas tempat tidur. Aku tidak berdiri, kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis.”

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Hati dan nafsu, juga merupakan potensi yang harus diaktifkan secara benar. Pengangguran itu tak hanya berlaku bagi orang yang tidak memiliki pekerjaan secara fisik. Layak pula disebut pengangguran bagi orang yang tidak mengaktifkan hati dan jiwanya untuk mencari dan merasai kenikmatan iman. Karena tanpa iman, hati tidaklah berguna. Abdullah bin Mas’ud memberikan jawaban, kemana hati harus aktif bekerja dan mencari nutrisi yang bermanfaat. Beliau berkata, ”Carilah hatimu di tiga keadaan, saat mendengarkan al-Qur’an, saat berada di majlis ilmu dan saat menyendiri bermunajat kepada Allah. Jika kamu tidak mendapatkan hatimu di sana, maka mohonlah kepada Allah untuk memberikan hati untukmu, karena kamu tidak memiliki hati.”

Eksistensi hati itu dikatakan ada tatkala ia bisa menikmati lezatnya nutrisi-nutrisi imani. Ia merespon bacaan dan arahan al-Qur’an, merasa haus akan ilmu yang menunjukkan cara mendekatkan diri kepada Pencipta. Ia juga merasakan hadirnya ketentraman dan kesyahduan saat bermunajat kepada Allah. Jika tanda-tanda itu sama sekali tidak ada, maka hati tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupannya. Seakan pemiliknya telah kehilangan olehnya, dan hidup tanpa memiliki hati. Wajar jika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu menyarankan kepadanya, agar ia memohon kepada Allah untuk memberikan hati yang baru kepadanya. Seharusnya, kita senantiasa membawa hati kepada hal-hal yang bisa membuat hati hidup dengan sehat.

Begitupun nafsu, hendaknya secara sengaja dan aktif dikendalikan menuju perkara-perkara yang diridhai oleh Allah. Bukan dibiarkan bergentayangan sesuai dengan kehendaknya. Karena nafsu itu, seperti yang dikatakan sahabat Salman al-Farisi, ”Sesungguhnya nafsu itu, jika kamu tidak menyibukkan ia dalam ketaatan, niscaya ia akan menyibukkan dirimu dengan kemaksiatan.”

Ketika akal, hati dan jiwa telah aktif di jalan yang seharusnya, maka jasadpun akan bergerak. Anggota badan itulah yang akan merampungkan capaian tujuan secara fisik. Kaki dengan gagah akan melangkah, tangan dengan cekatan akan berkarya, mata akan sibuk membaca, menelaah dan mencari hal-hal yang berfaedah, dan telinga akan aktif mendengarkan hal-hal yang bermanfaat. Jika semua potensi berjalan, maka kesuksesan paripurna akan berhasil untuk diraih.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat bermanfaat untuk diri kami sendiri dan umumnya kepada jamaah sekalian.

أقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Jika Dosa Berbau

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Islam Akan menang Bersama Atau Tanpa Kita