Dakwah Islam Sebelum Wali Sanga

Hingga saat ini, banyak orang menganggap bahwa Islam baru masuk dan menyebar ke tanah Jawa pada masa akhir kerajaan Majapahit. Wali Sanga menjadi perintis jalan penyebaran Islam di Jawa. Periode Wali Sanga sendiri menurut versi yang masyhur terjadi pada abad 15-16 Masehi. Pada periode ini, penyebaran Islam di tetangga Jawa yang paling dekat, yaitu Sumatera dan Malaka, padahal telah memperlihatkan hasilnya. Beberapa kerajaan Islam telah lama muncul dan berkembang di dua wilayah tersebut. Sementara itu, Jawa seakan menjadi wilayah yang termarginalkan dari sentuhan dakwah Islam sehingga kedatangannya pun telat sekian abad dibanding Sumatera. Benarkah demikian?

Berbicara tentang Islamisasi Jawa, memang masih banyak hal yang terasa samar dan perlu dikaji berulang-ulang. Kesamaran itu di antaranya terjadi karena langkanya sumber tentang proses awal Islamisasi Jawa. Sumber-sumber yang ada lebih banyak memuat data periode saat Islam sudah berkembang. Berbeda dengan Sumatera, sumber tentang proses awal Islamisasi di wilayah ini masih bisa dilacak. Penulisan sejarah Islamisasi Sumatera pun menjadi lebih jelas dibanding Jawa. Terlepas dari faktor ini, harus dipahami bahwa Islamisasi adalah hasil dari interaksi bangsa Nusantara dengan dunia internasional, khususnya dengan bangsa yang sudah masuk Islam.  

 

Hubungan Jawa dengan Dunia Internasional

Dalam hubungan antarbangsa, nama Jawa sudah cukup lama dikenal di dunia internasional. Hal itu dibuktikan dengan disebutnya nama Jawadwipa dalam kitab Ramayana. Diceritakan, Sugriwa sang raja kera mengirimkan pasukannya ke empat mata angin untuk mencari Shinta. Salah satu daerah yang dituju adalah Jawadwipa. Menurut Prof. Sylvain Lévi, kitab ini ditulis tidak lebih dari abad 1 M. Ptolomy, ahli astronomi dari Iskandariah, menulis geografi dunia abad 2 M. Ia menyebut Jawa dengan Iabadiou. Menurutnya, “Iabadiou, yang berarti pulau jewawut (sejenis padi), konon adalah pulau yang sangat subur dan menghasilkan banyak emas.” Kronik China menyebutkan bahwa sekitar 132 M, Tiao Pien (Dewa Warman?), raja Ye-tioa (Jawadwipa), mengirimkan seorang duta ke Cina. Raja Cina menghadiahi Tiao Pien stempel emas dan pita ungu. (Bijan Raj Chatterjee, India and Java, 1933, hlm. 1 dan 22)

Data yang diungkap Prof. Bijan Raj Chatterjee di atas menunjukkan bahwa bangsa India, Mesir kuno (Koptik), dan China sudah lama mengenal Jawa dan berhubungan dengan penduduknya. Hubungan Jawa dengan Mesir kuno sendiri bahkan sudah terjalin berabad-abad sebelum Masehi. Donald Maclaine Campbell mengemukakan bahwa orang-orang dari barat yang pertama kali mengunjungi Jawa adalah orang-orang dari Laut Merah. Mereka datang dengan menaiki perahu pada permulaan 4.500 sebelum Masehi. (Java: Past and Present, Jilid 1, hlm. 20)

Jawa juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Madagaskar di Afrika Timur. Dalam History of Madagascar, Flaccourt menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh penduduk pulau ini penuh dengan kata-kata Jawa dan Melayu. Menurut Raempfer, fakta ini merupakan bukti hidup terjalinnya perdagangan antara Madagaskar dengan Jawa dan Sumatera sejak 2.500 tahun yang lalu. (Java: Past and Present, Jilid 1, hlm. 87)

Baca Juga: Citra Pribumi di Mata Penjajah, Portugis

Termasuk yang berhubungan cukup intens dengan orang Jawa adalah orang Arab. Sangat aneh jika orang Jawa sudah berlayar hingga Madagaskar dan menjalin hubungan dengan orang Mesir kuno, namun tidak mempunyai hubungan dengan orang Arab. Jazirah Arab berada di jalur yang dilewati orang Jawa ke Madagaskar. Orang Arab juga dikenal sebagai penjelajah bahari. Mereka membangun pemukiman di pantai barat Sumatera pada awal abad 1 M. Orang Arab tentu sudah lama menjalin hubungan dengan orang Jawa. Akan tetapi, kapan orang Arab pertama kali mengunjungi Jawa tidaklah diketahui meski beberapa abad sebelum Masehi mereka dipastikan sudah mengenal kepulauan Maluku. (ibid)         

     

Jejak Awal Islam di Jawa

Hubungan intens dengan dunia internasional menjadi mata rantai utama untuk menelusuri jejak awal Islamisasi Jawa. Apabila bangsa Arab, bangsa yang pertama kali menerima dan menyebarkan Islam, sudah sangat lama menjalin hubungan dengan bangsa Jawa, tentulah upaya Islamisasi Jawa juga sudah dilakukan sejak awal lahirnya agama ini. Jauh sebelum masa Wali Sanga, tentu sudah ada geliat dakwah di Jawa.

W.P. Groeneveldt dalam “Nusantara dalam Catatan Tionghoa” menceritakan bahwa seorang pemimpin pemukiman Arab di pantai barat Sumatera sempat berencana menyerang Kerajaan Kalingga di Jawa pada masa pemerintahan Ratu Shima (674 M). Akan tetapi, serangan ini dibatalkan ketika ia mendengar keadilan sang ratu dan kecintaan rakyat kepadanya. (hlm. 20-21) Rencana penyerangan itu sezaman dengan pemerintahan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan di Damaskus. Pada saat tersebut, bangsa Arab telah memeluk Islam dan menjadi dai yang sangat giat. Ini menjadi jejak awal datangnya orang Islam ke Jawa. 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

Jejak berikutnya diungkap Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Wali Sanga. Ia menyatakan bahwa pada masa Mpu Sendok (929-949 M), banyak orang Jawa berdagang hingga Baghdad. Dari hubungan ini, pada masa Airlangga (1019-1042 M) atau setidaknya masa Jayabaya (1135-1157 M), terbentuklah komunitas muslim di daerah pantai Jawa. Salah satu buktinya, ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik (meninggal th 1082 M). (hlm. 9)

Jejak berikutnya diungkap Soetjipta Wirjosoeparto. Dalam disertasinya tentang Kakawin Gatutkacasyara, ia menyebutkan bahwa kitab karya Mpu Panuluh yang ditulis pada masa Jayabaya tersebut banyak menggunakan kata-kata dari bahasa Arab. Jejak lain diungkap oleh T.W. Arnold. Dalam The Preaching of Islam (hlm. 378), ia menulis bahwa pada akhir abad 12 M, putra tertua raja Pajajaran masuk Islam. Namanya Haji Purwa. Ia berusaha mengislamkan Pajajaran, namun gagal. 

Itulah sebagian jejak sejarah yang menunjukkan upaya dakwah Islam sebelum Wali Sanga. Jadi, Wali Sanga bukanlah pihak pertama yang berdakwah di Jawa. Mereka hanya melanjutkan dakwah yang telah dirintis para dai sebelumnya. Dakwah Wali Sanga ternyata lebih sukses dibandingkan dakwah para pendahulu mereka. Oleh karena itu, nama-nama dan kisah mereka selalu dikenang dalam ingatan orang Jawa. 

 

Oleh: Ust. Muh. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Perdagangan Jawa Pada Zaman Kekuasaan Portugis

Ekspansi Portugis ke Asia pada abad 16 didorong oleh beberapa faktor, seperti agama dan niaga, rasa haus akan petualangan serta ambisi kaum bangsawan yang belum tersalurkan sejak berakhirnya perang Salib. Setelah berhasil melewati Tanjung Harapan, Portugis mendapati pemandangan ramainya perdagangan di Samudra Hindia. Kapal orang Moor berlalu lalang di jalur ini. Orang Portugis dan orang Moor adalah saingan dagang. Selain itu, keduanya merupakan musuh bebuyutan yang berusaha saling menghancurkan. (B.J.O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 51 dan 56)   

 

Catatan Portugis Tentang Perdagangan Jawa

Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka, bandar terbesar di Nusantara saat itu. Setahun berikutnya, Portugis  tiba di Maluku. Selanjutnya, Portugis berusaha mengontrol jalur perdagangan Malaka-Maluku.

Berita dari orang Portugis pertama menceritakan bahwa orang Jawa sekitar tahun 1500 mendominasi perdagangan di perairan Nusantara, termasuk Malaka di sebelah barat dan Maluku di sebelah timur. Undang-undang Maritim Malaka disusun pada waktu itu oleh sekelompok pemilik kapal Malaka yang sebagian besar berasal dari Jawa. Kapalnya yang berbasis di Malaka dengan teratur berlayar ke Cina.

Tome Pires, orang Portugis yang mencatat perjalanannya dalam Summa Oriental, melaporkan bahwa mereka wajib berlabuh di lepas pantai karena orang Cina benar-benar khawatir jika “salah seorang anak buah jung ini menghancurkan dua puluh jung Cina”. Namun Pires juga mengemukakan bahwa perdagangan di Jawa jauh lebih besar satu abad sebelumnya –“karena mereka menyatakan bahwa pelayarannya sampai ke Aden dan bahwa perdagangan utamanya berada di Benua Keling (India Selatan), Bengala dan Pasai, ia pun menguasai seluruh perdagangan pada waktu itu”. Pada setiap “musim” di tahun 1406, 1408, 1410, 1414, 1418, dan 1432, armada Cina yang terdiri dari seratus atau lebih menghabiskan waktu yang panjang untuk perbaikannya di bandar-bandar Jawa Timur. (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2, hlm. 48-49)

Baca Juga: Pengaruh Islam Pada Zaman Perdagangan Jawa

Pires juga melaporkan bahwa informasi tentang jalur ke Maluku diperoleh di Malaka dari orang Islam setempat. Sementara itu, peta pelayaran ke Maluku didapat dari orang Jawa. Dalam surat Alfonso de Albuquerque kepada Raja Manuel 1 April 1512, ia mencatat, “Sehelai peta besar dari jurumudi Jawa, berisi peta Tanjung Harapan, Portugal, dan Daratan Brasilia, Laut Merah, dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, pelayaran orang Cina dan Ryukyu, dengan jalur mata angin dan jalur langsung mereka yang diikuti oleh kapal-kapal, kawasan pedalaman, dan bagaimana kerajaan-kerajaan itu saling berbatasan. Paduka, bagi saya tampaknya ini adalah hal yang paling bagus yang pernah saya lihat … Peta ini bertulisan Jawa, tetapi bersama saya ada orang Jawa yang dapat membaca dan menulis.” (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, hlm. 55)          

 

Berpindah ke Bandar Baru

Orang Portugis berambisi untuk menjadi bangsa besar dan ingin mencari keuntungan dari perdagangan. Mereka bernafsu menjadi kaya mendadak dengan menjarah bangsa-bangsa lain. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, pada mulanya mereka meminta bantuan orang Muslim Jawa untuk menunjukkan jalur pelayaran ke Maluku. Namun setelah berhasil tiba di Maluku, Portugis justru berbalik memerangi para pedagang Muslim Jawa dan Muslim lainnya. Saudagar-saudagar Arab dan Persia melukiskan bangsa Portugis sebagai bajak laut liar. Pada awalnya, orang-orang Portugis hanya ingin mengadakan perjanjian dagang. Kemudian dengan kerakusan, mereka menghancurkan dan memperbudak sultan-sultan yang telah mempercayai mereka ataupun memberi tempat bagi mereka di kerajaannya. (William Marsden, Sejarah Sumatra, hlm. 375 dan 376)

Baca Juga: Datangnya Si Perusak Kedamaian, Portugis

Dengan pendudukan Malaka, monopoli perdagangan dan penjarahan terhadap kapal-kapal dagang milik kaum Muslim, Portugis telah menghancurkan perdagangan Nusantara, bahkan perdagangan Asia. Selama berabad-abad, perdagangan di lautan Nusantara, dari Selat Malaka hingga kepulauan Maluku, berjalan dengan damai dan melibatkan banyak bangsa. Keadaan ini tiba-tiba berubah setelah Portugis datang. Timbullah kekacauan sistem perdagangan secara damai berubah menjadi sistem perampokan. Portugis tidak memiliki komoditi yang bisa dibarterkan di Malaka. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, hlm. 159)

Maka dari itu, setelah Malaka diduduki Portugis, para pedagang selain mereka berusaha menghindari jalur Selat Malaka. Mereka juga memindahkan aktivitas perdagangan mereka ke bandar-bandar lain, seperti Aceh, Banten, Tuban dan Makasar. Namun demikian, Portugis tetap menjadi ancaman di lautan dari Selat Malaka hingga kepualaun Maluku. Oleh karena itulah, terutama pedagang-pedagang Jawa menganggap orang-orang Portugis sebagai musuh. Akibatnya, tidak ada satu tempat pun di Pulau Jawa yang sempat diduduki oleh orang-orang Portugis, kecuali di Jawa Timur yang hingga akhir abad 16 masih terdapat sebuah kerajaan Hindu Jawa yang kecil. (Th. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 19) Upaya pendudukan terhadap bandar di Jawa, seperti Sunda Kalapa, segera membangkitkan perlawanan dari Muslim Jawa.   

 

Goyahnya Monopoli Portugis

Sejak tiba di Maluku pada 1512, Portugis berusaha mengontrol dan memonopoli perdagangan di kepulauan ini. Usaha untuk mendapatkan hak eksekutif atas rempah-rempah menjadi faktor pendorong bagi ekspansi mereka terhadap daerah-daerah penghasil cengkih. Mereka juga giat menyebarkan agama Katolik di kalangan pribumi. Akibatnya, meletuslah perlawanan rakyat Maluku dengan dibantu para pedagang Muslim Jawa. Akhirnya, monopoli rempah-rempah oleh Portugis pun goyah. Pada sekitar 1565, Portugis harus menyerahkan perdagangan di Maluku ke tangan orang Jawa. Dengan penyerahan itu, kawasan dagang orang Jawa semakin meluas, bahkan luasnya melampaui yang sudah-sudah.

Portugis terpaksa melepaskan impiannya dalam kebijakan monopoli di Maluku. Mereka tidak pernah benar-benar berkuasa atas Banda. Hitu yang merupakan perkampungan Muslim Jawa di Ambon terbukti terlalu kuat bagi Portugis. Pada 1572 Portugis meninggalkan benteng mereka di Ternate. (Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 63-64) Wallahu a‘lam.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Pengaruh Islam Pada Zaman Perdagangan Jawa

Aktivitas perdagangan di Nusantara mempunyai sejarah yang cukup lama. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban di Nusantara juga telah muncul sejak lama. Kapan pertama kali hubungan dagang antara orang Nusantara dengan orang di dunia luar secara pasti memang tidak diketahui. Yang jelas, sejak sebelum Masehi, orang Nusantara telah melakukan pelayaran ke barat hingga Afrika dan ke timur hingga Cina untuk berdagang. Letak Nusantara yang berada di jalur kuno pelayaran dari Arab ke Cina membuat negeri ini ramai dikunjungi dan disinggahi berbagai bangsa.  

 

Pengaruh Islam terhadap Ramainya Lalu Lintas Perdagangan

Di antara bangsa yang berhubungan cukup intens dengan orang Nusantara adalah bangsa Arab. Pada awal abad 1 M, mereka membangun pemukiman di pantai barat Sumatra antara Padang dan Bengkulu. Kedatangan Islam (622 M) selanjutnya mendorong orang Arab semakin sering melakukan petualangan. Mereka tergerak untuk menyebarkan kepercayaan baru sambil melakukan aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, hubungan dagang antara Arab dan Nusantara semakin intens.

Perdagangan kemudian menjadi jalan perintis bagi penyebaran Islam. Munculnya dua dinasti yang kuat, Khilafah Umayyah di barat (660-749 M) dan Dinasti Tang di timur (618-907 M), juga mendorong perdagangan laut antara wilayah barat dan timur Asia. Hal ini memberi peluang bagi perdagangan orang Arab untuk tumbuh dengan kuat. (Muhammad Redzuan Othman, “Islam and Cultural Heritage From Trade Relations Between The Middle East and The Malay World” dalam Journal of Islam and International Affair, hlm. 112-113)

Baca Juga: Dinamika Dakwah Islam di Kesultanan Banjarmasin

Bersama orang Afrika, Persia, India dan Cina, orang Arab mendominasi perdagangan di Samudra Hindia. Mereka saling berpartisipasi dalam perdagangan sesuai kemampuan dan kebutuhannya serta tidak menghalangi jalan bagi lainnya. Periode antara 41 H/661 M hingga 904 H/1498 tercatat sebagai periode dominasi Islam di wilayah tersebut. (Syauqi Abdul Qawi ‘Utsman, Tijârah Al-Muhîth Al-Hindî fî ‘Ashr As-Siyâdah Al-Islâmiyyah: 41-904 H/661-1498 M, hlm. 7 dan 35)

 

Dominasi Pedagang Jawa di Nusantara

Selain para pedagang asing, pedagang Melayu dan Jawa turut aktif meramaikan arus perdagangan di jalur Samudra Hindia. Orang Melayu dan Jawa menjadi pedagang perantara yang mendistribusikan komoditas di kepulauan Nusantara. Kedua suku bangsa ini bahkan sering terlibat persaingan dalam menguasai pasar.

Pada periode abad ke-12 hingga abad ke-15 menunjukkan bahwa perniagaan laut Jawa mengalami kemajuan besar. Bernard Vlekke berpendapat bahwa dalam masa ini perdagangan tadi berkembang secara cepat. Dalam abad ke-12 keadaan kerajaan Sriwijaya sangat maju. Perkebunan-perkebunan lada meluas dari Sumatera Selatan dan Banten. Menurut Vlekke, kemajuan perniagaan dalam abad ke-12 tadi besar pengaruhnya terhadap perkembangan kerajaan Kadiri menjadi negara laut yang utama. Kadiri kemudian berhasil tampil menggeser dominasi Sriwijaya yang menguasai wilayah barat Nusantara. Dalam waktu lima puluh tahun, daerah di bagian timur kepulauan Nusantara ditaklukkan oleh kerajaan Kadiri.

Sejak paruh kedua abad ke-12, sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa Jawa lebih makmur secara perniagaan daripada Sriwijaya. Menurut sumber itu, negeri-negeri di luar Cina yang paling kaya berturut-turut adalah negeri Arab, Jawa, dan Sumatera. Jadi, rupanya kerajaan Kadiri (atau Daha: 1050-1222) pada waktu itu telah mengalahkan kebesaran Sriwijaya. (H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, 25 dan 29)

Baca Juga: Kedatangan Si Perusak Kedamaian; Portugis

Pada periode itu, Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Malaka dan Tumasik (Singapura) memang mampu membangun imperium perdagangan yang menguasai Nusantara. Akan tetapi, Jawa punya keunggulan penyeimbang karena posisinya di tengah dan tanah vulkaniknya subur. Jawa mampu bukan hanya menyokong populasi yang padat, tapi juga memberi makan Kepulauan Rempah-Rempah (Maluku) dan wilayah-wilayah lain yang tidak punya beras. Jadi, Jawa yang menyandarkan kekuatannya pada pertanian selalu menjadi pesaing imperium komersial yang menguasai Selat Malaka. Tambahan pula, keunggulan Jawa bukan hanya pada pertanian. Ia terletak di jalur antara Kepualauan Rempah-Rempah dan Selat Malaka. Ia selalu menyediakan tempat peristirahatan bagi pedagang-pedagang antara Timur dan Barat, dan dengan demikian sebagian kekuatannya juga bersandar pada perdagangan. (J. S. Furnivall, Hindia Belanda; Studi Tentang Ekonomi Majemuk, hlm. 3)  

Sebelum orang Jawa mulai mengunjungi pasar Malaka secara rutin, lalu lintas perdagangan yang ramai terjadi antara pelabuhan Jawa dan pelabuhan Sumatera bagian utara yang menjual lada dari Pasai. Sejak munculnya pelabuhan kecil ini, orang Jawa menjual beras dan rempah-rempah di sana dan membawa kembali muatan berupa lada. Para pedagang Jawa menikmati posisi yang sangat diuntungkan di Pelabuhan Pasai dan dikecualikan dari pajak impor dan ekspor. Mereka juga bisa mendapatkan muatan kembali yang bagus dan menguntungkan. Walaupun penguasa Pasai adalah seorang Muslim, hubungan vasal terus diperkuat. Hubungan ini diawali oleh sebuah perjanjian persahabatan yang tegas dengan kerajaan Hindu Jawa yang menjamin suplai rempah-rempah ke Pasai serta menyediakan pasar untuk ladanya. Hubungan vasal kemungkinan berawal dari masa kampanye Majapahit di Sumatera.

Sejak munculnya Malaka sebagai kota dagang, junk-junk Jawa sudah mulai mengatur haluan ke Malaka, bukan ke Pasai. Dalam segi apa pun, Pelabuhan Malaka lebih strategis dan aman daripada kondisi Pasai. Mungkin juga, Malaka sudah memiliki populasi yang lebih besar daripada Pasai. Artinya, Malaka adalah sebuah pasar yang lebih baik bagi beras Jawa. Di kalangan para pedagang yang menetap di Malaka, para pedagang skala besar adalah orang Keling dan Jawa.

Aktivitas perniagaan Malaka menyebabkan agama Islam tersebar ke wilayah yang lebih luas. Dalam hubungan ini, sepertinya perdagangan menjadi faktor yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sebagai contoh, Malaka memainkan peran penting dalam konversi Kepulauan Rempah melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Jawa, yang mereka sendiri memeluk Islam akibat pengaruh Malaka. Sebagian juga bertanggung jawab terhadap perubahan keyakinan ini. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara; Sejarah Perniagaan 1500-1630, hlm. 30-36) Wallâhu a‘lam.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

Mungkin judul di atas terlalu aneh. Tapi begitulah, ternyata ramai tulisan di blog, web dan jejaring sosial membahas tentang ini.

Salah satu lini masa dari akun @SufiKota milik seorang penulis Chandra Malik memaparkan pandangan Cak Nun tentang garis keturunan Nabi Muhammad, yang mengarah pada dugaan bahwa Nabi Muhammad bukan berasal dari Arab asli, melainkan ada darah Jawanya. Di antara saduran dari tulisan tersebut adalah kalimat, “Muhammad SAW layak diduga sebagai seorang Arab-Jawa. Bukan Arab tulen.”

Ciri fisik Nabi Shallallahu alaihiwasallam

Entah ini hanya lucu-lucuan saja atau mencari sensasi, meskipun terlalu sembrono menjadikan Nabi Muhammad shallallahu sebagai bahan lelucon atau mencari sensasi. Memang belum sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah keturunan Arab Jawa dan statemen hanya mencapai ‘layak diduga seorang Arab-Jawa’, namun analisa-analisa yang dikemukakan cukup membahayakan fikrah dan keyakinan. Terlebih pada beberapa bagian sangat rawan dengan unsur buruk sangka terhadap Nabi dan sebagiannya ada unsur-unsur penodaan diri beliau.
Di antara yang dijadikan bahan analisa adalah seperti yang tertulis, “Muhammad SAW menolak digambar wajahnya demi menghindari kontroversi pada masa setelah ia wafat. Kontroversi itu terutama mengenai ciri fisik Muhammad SAW yang layak diduga tidak persis Arab tulen.”

Ungkapan ini mengandung sangkaan buruk terhadap beliau. Seakan beliau menyembunyikan nasab beliau yang asli atau ingin menyembunyikan jati dirinya yang diduga bukan keturunan Arab tulen. Untuk tujuan itu lalu Nabi menutupi dengan cara melarang umatnya menggambar fisik beliau.

Faktanya, meskipun ada larangan menggambar wajah dan fisik beliau tapi tak ada larangan untuk menggambarkan dengan kata-kata. Imam at-Tirmidzi bahkan mengumpulkan secara khusus hadits-hadits tentang karakter Nabi secara khalqiyah (fisik) maupun secara khuluqiyah secara detil. Yakni dalam kitabnya Syama’il Muhammadiyah, intinya bahwa secara fisik beliau adalah sebagus-bagus fisik orang Arab.

Nasab Nabi Shallallahi alaihiwasallam MemangArab Asli

Adapun tentang nasab beliau, alhamdulillah, telah beliau jelaskan sendiri asal usulnya, sehingga tidak perlu mengada-ada atau memaksakan diri. Jelas disebutkan dalam hadits yang shahih, bahwa beliau berasal dar Arab tulen. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ اللهَ اصطفَى كِنانةَ من ولدِ إسماعيلَ . واصطفَى قريشًا من كنانةَ . واصطفَى من قريشٍ بني هاشمَ . واصطفاني من بني هاشمَ

“Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” (HR. Muslim 2276)

Jika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diklaim sebagai Arab keturunan Jawa, kenapa tidak sekalian seluruh orang Arab atau seluruh orang Quraisy diklaim sebagai keturunan Jawa, termasuk di dalamnya Abu Jahal.
Alasan yang sangat tidak ilmiah juga dikemukakan dalam tulisan itu, “Mn Kamba mengkonfirmasi bahwa tidak ada nama Siti di masyarakat Arab tulen. Siti bukan Bahasa Arab. Muhammad SAW berasal dari garis silsilah Ibrahim AS dari Siti Hajar. Hajar juga bukan Bahasa Arab. Siti Hajar layak diduga bukan araab tulen, melainkan imigran. “Kalau bukan dari Klaten, ya dari Solo.

” Siti Hajar didatangkan untuk diperistri dan penghibur atas hati Ibrahim yg gundah. Bukan Arab tulen. Siti dan Hajar adalah Bahasa Jawa. Siti = tanah = bumi. Hajar = ajar = mengajar. Tulen Jawa.”

Ini argumen yang menggelikan. Karena tidak ada satupun dalil dan nash yang menyebut kata “Siti”. Tambahan itu hanya dikenal oleh masyarakat Jawa, yang menambahi orang Jawa, lantas kenapa kemudian ibu beliau Aminah dan Hajar diklaim sebagai keturuan Jawa. Tafsiran yang lebih dekat adalah, kata “siti” berasal dari kata “sayyidah” (puan, yang dimuliakan), yang kemudian diucapkan oleh lidah Jawa dengan sebutan Siti.

Perilaku dan Kebiasaan Nabi

Lebih lanjut tulisan itu menggiring opini pembaca dengan kalimat, “Muhammad SAW suka bertapa [khalwat]. Bangsa Arab tulen tak punya tradisi ini. Bertapa itu khas Jawa.”

Padahal, cara semedi atau bertapanya orang Jawa itu mengadopsi dari tradisi Hindu di India, atau setidaknya lebih mirip dengan perilaku penganut Hindu di India, kenapa orang-orang India tidak diklaim sekalian sebagai keturunan Jawa. Adapun tahannuts (mengasingkan diri dari orang banyak) yang dilakukan oleh Nabi adalah hal yang dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu non Jawa, seperti banyak disebutan kisah-kisah tentang kaum Bani Israel. Kisah Ashhabul Ukhdud yang mengasingkan diri dari kaumnya juga menjadi salah satu contoh.

Pada paragraf yang lain disebutkan juga,

“Tutur kata Muhammad SAW lemah-lembut. Mana ada orang Arab [tulen] yang begitu, terutama pada masa itu? Tutur kata lemah-lembut ini khas Jawa, berbeda jauh dari style Arab yang suka bicara kasar dan meledak-ledak. Gesture dan tutur kata Muhammad SAW ini menjadi magnet sehingga kehadirannya menyedot perhatian Arab-Arab tulen.”

Baca Juga: Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Ini adalah analisa orang yang Arab phobia dan terlalu membanggakan kejawennya. Padahal faktanya, saat di mana Nabi diutus, di sana banyak para penyair, sastrawan dan ahli bahasa. Kelembutan tutur kata juga telah menjadi nilai plus di kalangan orang Arab. Dan sayangnya, sisi ketegasan Nabi tidak ditampakkan dalam tulisan itu, karakter yang lebih dekat dimiliki kebanyakan orang-orang Arab dibanding orang-orang Jawa.

Walhasil, untuk memuliakan kaum, tak perlu menyeret paksa nasab Nabi supaya pantas menjadi keturunan Jawa, sehingga Pulau Jawa terangkat namanya. Cukup dengan mengusahakan takwa untuk mewujudkannya. Karena tak ada bedanya antara kemuliaan orang Arab maupun non Arab, yang menentukan kemuliaan antara satu dengan yang lain adalah tingkatan takwanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Ketahuilah, tak ada keutamaan orang Arab di atas non Arab, atau orang non Arab di atas orang Arab, yang berkulit merah di atas orang yang berkulit hitam, yang berkulit hitam di atas orang yang berkulit merah, melainkan dengan takwa. “ (HR Ahmad dengan sanad yang shahih)

Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah