Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Rabiul Awwal tampak ramai dengan geliat peringatan Maulud Nabi. Tapi bukan masalah Maulud Nabi pembahasan kita kali ini. Melainkan konten yang sering disampaikan oleh penceramah, khathib maupun yang menulis tentang kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Salah satu konten yang berseliweran di mata dan telinga adalah tema Nur Muhammad. Segolongan kaum muslimin ada yang meyakini bahwa pertama yang dicipatakan Allah sebelum segala sesuatu ada adalah Nur Muhammad. Selanjutnya, penafsiran tentang Nur Muhammad berikut cerita tentangnya sangat banyak versi disebutkan oleh orang-orang yang meyakininya.

Ada yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad. Ada lagi yang mengatakan bahwa Muhammad diciptakan dari nur Allah. Sebagian lagi mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan, bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan.”Bahkan ada lagi yang berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah nyawa suci yang merupakan penampakan dzat Tuhan. Serta pendapat-pendapat lain yang sebagiannya kelewat batas dalam mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Asal Penciptaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Riwayat paling pokok yang dijadikan alasan meyakini nur Muhammad adalah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شيْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ  (رواه عبد الرزاق بسنده.)

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah, Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ! Maka Rasul berkata, “Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari Nur-Nya.

Riwayatkan ini disandarkan pada Abdur Rozzaq, hanya saja banyak peneliti yang mengatakan tidak menemukan riwayat tersebut dalam mushannafnya, sehingga sulit untuk dilacak jalur sanadnya hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Padahal ini menyangkut keyakinan yang sangat krusial. Dan konsekuensi dari keyakinan yang dilandasi riwayat tersebut bertentangan dengan banyak ayat dan hadits, baik yang tersirat maupun tersurat.

Paham yang meyeakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diciptakan dari cahaya, bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Adam tercipta dari apa yang disifatkan untuk kalian.” (HR. Muslim: 2996)

Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah setelah menyebutkan keshahihan hadits tersebut berkata, “Dalam hadits ini terdapat isyarat atas kebatilan sebuah riwayat yang populer di kalangan orang-orang yaitu, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah nur Nabimu wahai Jabir.” Dan riwayat-riwayat semisalnya yang menyatakan bahwa Rasulullah tercipta dari cahaya. Sementara, hadits yang shahih ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa hanya para malaikat saja yang tercipta dari cahaya, bukan Adam dan bukan pula anak keturunannya.”

 

Baca Juga: Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

 

Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan bahwa secara penciptaan, Nabi Muhammad adalah manusia sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dan juga manusia pada umumnya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS al-Isra’ 93)

Makhluk yang Pertama Diciptakan
Adapun tentang awal penciptaan, riwayat tentang nur Muhammad tersebut juga bertentangan dengan hadits yang jelas shahih secara sanad dan lebih sharih secara makna,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman, “Tulislah!” Pena berkata, “Wahai Rabbi, apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala sesuatu hingga tegaknya hari Kiamat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Keyakinan bahwa semua yang di alam ini diciptakana karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, juga berlebihan. Tak ada dalil shahih yang menunjukkan hal ini. Yang pasti, diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(QS. ad-Dzariyat/51:56)

Dan Allah menciptakan langit, bumi dan yang lain agar manusia menyadari dan mengakui kekuasaan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu- Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalâq/65:12)

Kecintaan yang tulus kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membutuhkan tambahan-tambahan kedustaan, atau sikap pengagungan yang melewati batas. Kemuliaan Nabi shallallahu alaihi wasallam tetaplah tinggi dan agung sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih, dan tidak berkurang sedikitpun penghormatan kita dengan menampik riwayat-riwayat yang tidak jelas keshahihannya. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Cinta Nabi Tapi Meninggalkan Perintahnya?

Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dalam setiap peribadahan kepada Allah adalah tuntutan iman bahkan termasuk pokok keimanan. Siapa saja yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam pasti mengikutinya dan tidak menyelisihinya. Allah ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)

Dengan ittiba’ (mengikuti/meneladani) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka akan membuahkan suatu kemulian dan keselamatan, yaitu Allah mencintai kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Dan itulah sebenar-benar bukti bahwa kita cinta kepada Allah ta’ala.

Berapa banyak orang mengaku dan menyangka mengikuti dan cinta kepada Rasul namun ternyata tidak terbukti dalam amalan nyatanya. Berdalih dengan menghormati dan memuliakan Rasulullah, atau bahkan berdalih dengan cinta Rasul, namun mereka melakukan suatu amalan yang baru dengan menambah atau membuat hal yang benar-benar baru dalam agama yang tidak diperintahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

 

Baca Juga: Demi Uang Logika Dibuang

 

Mereka mengatakan, “Beradab kepada Rasulullah lebih diutamakan dari pada memenuhi perintahnya.” Dalilnya adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Abu bakar tidak memenuhi perintah Rasul ketika diberi isyarat untuk tetap ditempatnya, tapi malah mundur menjadi makmum. Ini adalah mengutamakan adab dari pada perintah Rasul.

Turunan dari hal ini adalah menambahkan lafadz sayyid dalam adzan, iqomah dan shalawat dalam tasyahud. Padahal Rasulullah shallallahu’alihu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para sahabat lafadz adzan dan iqomah serta telah mengajarkan berbagai lafadz shalawat akan tetapi tidak terdapat satupun yang ada kata “sayyidina.” Maka kita mencukupkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam karena itu adalah adab dalam melaksanakan amalan sesuai dengan yang diajarkannya, bukan malah merasa kita lebih beradab karena menambah kata sayyidina sebelum nama Baginda Rasul, padahal ahlu bait dan para sahabatlah yang paling mengerti bagaimana cara beradab kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Kejadian Abu bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah hadir tidak hanya sekali, yaitu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sakit di akhir hayat beliau, Rasulullah memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para sahabat, beliau bersabda:

“Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” (HR. al-Bukhari)

 

Baca Juga: Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Dalam hadits yang kedua ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan dengan isyarat sebagaimana hadits yang pertama untuk tetap pada tempatnya sebagai imam, namun pada kejadian ke dua Abu Bakar tidak mudur dan tetap menjadi imam, apakah dikatakan pada kejadian kedua ini bahwa Abu Bakar tidak beradab?, tentunya tidak.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedang safar dan ketika itu ingin buang hajat,  Amru bin Wahb Ats Tsaqafi berkata, “Kami pernah berada di sisi Al Mughirah bin Syu’bah, kami bertanya, “Apakah ada seorang dari umat ini yang pernah mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu ‘anhu?” Al Mughirah menjawab, “Ya. Kami pernah berada dalam suatu perjalanan ini dan itu. Pada waktu sahur tiba-tiba beliau menepuk-nepuk leher hewan tungganganku dan pergi, maka saya mengikuti beliau dan akhirnya beliau bersembunyi dari pandanganku beberapa saat. Setelah itu beliau datang seraya bertanya: “Apakah kamu hendak buang hajat?” saya menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu membawa air?” saya menjawab, “Ya.” Saya pun menuangkan untuknya, kemudian beliau mencuci kedua tangan dan wajahnya. Setelah itu beliau menyingkap tangannya yang tertutup oleh Jubbah yang kedua lengannya sempit. Karena sempit maka beliau memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya dari bawah jubah. Setelah itu, beliau kembali mencuci wajah, kedua siku, membasuh ubun-ubun, membasuh imamah (sejenis penutup kepala) dan kedua sepatunya.

 

Baca Juga: Suka Sesama Jenis Bawaan Atau Penyimpangan?

 

Dan saat kembali kami mendapati para sahabat telah melaksanakan shalat satu rakaat, sementara Abdurrahman bin Auf yang menjadi imamnya. Aku lantas berjanjak untuk mengingatkannya, namun beliau melarangku. Maka kami pun shalat pada rakaat yang kami dapati dan mengqadla rakaat yang tertinggal.” (HR. Ahmad)

Tentunya bila adab didahulukan sahabat al Mughirah tetap akan mengingatkan kepada sahabat Abdurrahman bin Auf untuk mundur, namun para sahabat memahami bahwa memenuhi perintah Rasulullah adalah adab.

Bila diteliti lebih detail, maka kejadian pertama Abu Bakar mengimami belum sampai mendapatkan satu rakaat, baru istiftah dan Rasul datang, sehingga Abu Bakar mundur dan Rasulullah maju mengimami, adapun bila sudah mendapatkan satu rakaat, maka tidak mungkin imam pertama mundur untuk digantikan imam tetap yang terlambat. Wallahua’lam bis shawab (Taufik el-Hakim/arrisalah/Kasyfu Syubhat)

 

Tema Terkait: Cinta Nabi, Bid’ah, Syubhat

Daripada Zina di Sembarang Tempat, Lebih Baik Dibikinin Tempat

Berbeda dengan Walikota Surabaya yang menutup lokalisasi terbesar se-Indonesia, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahya Purnama, justru berniat melegalkan prostitusi. Tak hanya itu, minuman keras golongan A yang pada April 2015 lalu resmi dilarang dijual di minimarket sesuai peraturan menteri perdagangan, juga ditentang. Alasannya, menurut Gubernur Jakarta yang biasa dipanggil ahok ini, prostitusi mustahil diberantas. Jadi, daripada dilakukan sembunyi-sembunyi, lebih baik dilegalkan dan dilokalisasi. Adapun miras golongan A, menurutnya tidaklah berbahaya karena selama ini tidak ada orang yang mati hanya gara-gara minum miras golongan alkohol rendah.

Sebuah pemikiran yang aneh, nyleneh dan tak bertanggungjawab. Kebijakan pemimpin seharusnya mengacu kepada kemashlahatan umum, meskipun sedikit sulit, daripada pragmatis tapi berdampak negatif. Prostitusi atau perzinaan, problemnya bukan pada cara melakukan dan di mana melakukan, tapi perbuatan itu sendiri merupakan suatu masalah. Jadi solusi yang dicari bukan sekadar melegalkan agar tidak sembunyi-sembunyi dan membatasi area perzinaan tapi memberantas perzinaan. Minimal mengurangi sampai titik maksimal. Legalisasi zina dan sentralisasi tempat perzinaan sama sekali tidak menyelesaikan persoalan apapun.

Dilihat dari banyak aspek, kebijakan ini jelas tidak layak disebut kebijakan karena tidak mengandung kebajikan:

Dari aspek agama. Wallahua’lam, kiranya tak satupun agama yang melegalkan zina, termasuk agama yang dianut Gubernur Jakarta. Entah kalau ternyata sebaliknya. Dari sudut pandang Islam, zina merupakan perbuatan haram yang dilaknat. Islam dan pemerintahan Islam mustahil melegalkan prostitusi. Meski demikian, zina memang tidak dapat dibasmi sama sekali karena ranahnya sangat privasi. Hanya saja, Islam memiliki mekanisme penanganan yang efektif.

Pertama, Islam mendidik umatnya agar memiliki rasa malu untuk melakukan maksiat. Rasa malu merupakan salah satu indikator iman dan batas sanksi yang akan Allah berikan. Apabila seseorang tak lagi malu melakukan maksiat dan melakukannya secara terang-terangan (mujaharah), peluang mendapat ampunan atas dosa tertutup. Mengapa? Karena melakukan maksiat terang-terangan mengindikasikan hilangnya malu, sombong dan penentangan terhadap Dzat yang melarang. Ini merupakan pembangunan moralitas secara intern-individual. Budaya malu untuk melakukan perbuatan buruk merupakan pangkal moralitas masyarakat.

Kedua, untuk menyalurkan kebutuhan biologis, Islam menyediakan nikah sebagai penyaluran yang legal dan beradab. Penyaluran kebutuhan biologis di sembarang tempat selesai dengan nikah. Lebih luas lagi, Islam mengijinkan poligami dengan syarat dan ketentuan berlaku. Pernikahan menjadi benteng masyarakat beradab untuk melindungi mereka dari perbuatan tak keji seperti zina.

Pun begitu, peluang zina masih terbuka karena meskipun sudah menikah, seseorang bisa saja tergoda melakukan zina. Oleh karenanya, Islam menerapkan tindakan kuratif; ancaman dosa yang besar, anjuran bertobat dan sanksi yang berat yaitu dipukul seratus kali atau dirajam jika sudah menikah. Sanksi yang ringan untuk maksiat yang begitu menggiurkan semacam zina sama sekali tidak akan efektif.

Selanjutnya dari aspek moralitas. Legalisasi prostitusi dan miras jelas akan menjadi virus perusak moral masyarakat. Masyarakat yang tak memegang teguh agama dan hanya takut pada hukum negara akan menganggap zina sebagai perbuatan yang sah asal dilakukan di lokalisasi yang berijin. Moralitas akan menurun dan terbentuklah individu-indivu yang permisif terhadap segala hal terkait zina dan dkeadensi moral; pakaian mini, acara-acara maksiat, pacaran disembarang tempat dan lain-lain. Perbuatan zina mereka mungkin terlokalisir, hanya di tempat prostitusi saja tapi mental pezina mereka akan muncul saat mereka bermasyarakat. Dan ini berbahaya.

Dari aspek sosial. Lokalisasi ibarat tempat pembuangan sampah yang akan menjadi polusi di masyarakat sekitarnya. Kecuali, pak Gubernur menempatkan lokalisasi di lepas pantai, jauh dari masyarakat. Bau busuk prostitusi akan merusak pikiran dan moral masyarakat sekitar bahkan anak-anak. Konon, Walikota Surabaya ‘nekat’ menutup lokalisasi Dolly karena mendengar kabar ada anak kecil yang berzina dengan pelacur berusia lanjut. Kata orang, kejahatan tidak terjadi karena niat tapi juga karena adanya kesempatan. Nah, keberadaan prostitusi akan membangkitkan niat dan membuka kesempatan itu. Namanya maksiat pasti akan menarik maksiat lain. Protitusi akan menjadi sarang preman, narkoba, miras,perdagangan manusia dan lain-lain.

Dari aspek kesehatan. Lokalisasi akan menjadi ‘peternakan’ berbagai macam virus dan penyakit seksual. Alat kontrasepsi tidak bisa 100 % mencegah penularan dan penyebaran. Jadi, pezina masih berpeluang menyalurkan penyakitnya kepada isteri bahkan anak turunnya. Belum lagi, siapa yang bisa memastikan dan memaksa para pelanggan zina untuk selalu memakai alat kontrasepsi?

Kalau saja penyakit seksual hanyalah penyakit ringan yang bisa sembuh dengan sekali suntik, aspek kesehatan ini boleh saja diabaikan. Masalahnya, penyakit seksual, apalagi AIDS, adalah penyakit yang sampai saat ini masih menjadi siluman pembunuh yang sangat sulit bahkan hampir mustahil disembuhkan.

Wallahulmusta’an, entah apa yang ada dalam pikiran pak Gubernur sampai berniat melegalkan prostitusi bahkan memberikan sertifikat bagi pelacur. Belum lagi soal dampak negatif penjualan miras di minimarker yang pernah ditentangnya. Semoga Allah tidak memperbanyak pemimpin yang pro terhadap maksiat dan segera mengakhiri kepemimpinan pemimpin semacam itu. Aamiin. (aviv)[]

 

Umbar janji untuk mencelakai diri

Situasi politik menghangat beberapa waktu terakhir memang meresahkan. Berbagai intrik dan cara dilakukan para elit politik maupun simpatisan untuk berebut pengaruh dan kepercayaan masyarakat. Tak hanya janji-janji yang diobral, bahkan banyak kasus orang-orang melakukan sumpah atau nadzar untuk mencelakai diri jika apa yang yang menjadi prediksinya salah, atau jago yang dicalonkan kalah.

Ada yang bersumpah akan gantung diri, ada yang bernadzar berjalan kaki dari Jogja hingga Jakarta, ada yang berjanji akan potong kupingnya, dan ada yang berani digantung di monas jika terbukti korupsi. Dan yang lebih heboh lagi bahkan ada yang bernadzar untuk potong kemaluan.

Ini membenarkan nubuwah Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa ketika dekat Hari Kiamat maka banyak orang yang bersumpah tanpa diminta. Betapa mudah manusia berjanji, dan begitu mudah pula mengingkari. Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya lagi.” – Kata ‘Imran: “Aku tak ingat lagi, apakah beliau menyebutkan setelah masa beliau itu dua atau tiga kali.” – “Kemudian akan ada sesudah kamu sekalian orang-orang yang suka memberikan kesaksian tanpa diminta bersaksi, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernadzar tetapi tidak memenuhi nadzarnya...” (HR Bukhari dan Muslim)

Sumpah untuk Mencelakai Diri
Mungkin saja orang yang berani berjanji, sumpah ataupun nadzar yang semacam itu terlalu percaya diri dengan prediksinya. Hingga dia lakukan itu untuk meyakinkan orang-orang bahwa yang dia prediksi pasti terjadi. Tentu saja ini merupakan bentuk kelancangan dan tidak memiliki adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mungkin mereka lupa, bahwa Allah pernah menghukum ‘ash-habul jannah’ (pemilik kebun) yang berjanji untuk memanen esok hari tanpa mengucapkan in syaaAllah. Hingga Allah menggagalkan rencana mereka sebagai pelajaran, bahwa ketentuan dan ketetapan bukanlah di tangannya, tapi dalam kekuasaan Penciptanya. Allah Ta’ala berfirman,

Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan: “In syaa Allah”, lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.” (QS al-Qalam 17-20)

Begitulah Allah menghukum orang yang berjanji akan panen tanpa mengucapakan in syaaAllah, padahal yang hendak mereka panen adalah kebun mereka sendiri. Artinya, mereka bersumpah untuk melakukan yang mubah, lantas bagaimana dengan orang yang bersumpah untuk melakukan maksiat dan dosa?

Pada banyak kasus, sebenarnya modus sumpah semacam ini hanyalah sumpah serapah, bersumpah untuk diingkari. Meski tampak serius dan menggebu-nggebu hakikatnya mereka sudah siap untuk berkelit. Faktanya, kita sudah sering mendengar sumpah serapah semacam ini, lalu ketika gejala-gejala menunjukkan apa yang menjadi tuntutan sumpahnya terjadi, buru-buru mereka membuat alibi.

Meskipun secara syar’i ia juga tidak boleh mewujudkan sumpahya jika konsekuensi sumpahnya berupa maksiat dan dosa. Tapi dari sisi kepribadian, ia telah cacat lantaran bersumpah untuk sesuatu yang jelas-jelas tidak akan ia lakukan.
Mencelakai diri sendiri adalah tindakan dosa dan haram, maka bersumpah untuk melakukan yang haram juga dihukumi haram. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“. (QS. Al Baqarah: 195).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu“. (QS. An Nisaa: 29).

Jika Teranjur Bersumpah
Lantas bagaimana ketika seseorang terlanjur bersumpah atau bernadzar untuk maksiat? Jawabannya, ia tidak perlu melakukan sesuai sumpahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya. ” (HR Bukhari)

Hanya saja, ia harus membayar kafarah(denda). Poin ini yang banyak disepelekan oleh mereka yang gampang mengumbar sumpah. Begitu mudah bersumpah, isi sumpahnya bermasalah dan kemudian ia berlepas diri begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa. Seharusnya ia membayar kafarah darisumpahnya. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

النَّذْرُ نَذْرَانِ: فَمَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ فِي طَاعَةِ اللَّهِ فَذَلِكَ لِلَّهِ وَفِيهِ الْوَفَاءُ، وَمَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَذَلِكَ لِلشَّيْطَانِ وَلَا وَفَاءَ فِيهِ، وَيُكَفِّرُهُ مَا يُكَفِّرُ الْيَمِينَ “

Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar untuk bermaksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan hendaknya dia membayar kafarah sumpah.” (HR Nasa’i, al-Albani menyatakan shahih)

Adapun kafarahnya adalah dengan memerdekakan satu orang budak atau memberi makan pada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian pada sepuluh orang miskin. Jika semua itu tidak mampu dia lakukan, baru memilih berpuasa selama tiga hari. Allah Ta’ala berfirman,

“..Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.” (QS. Al Maidah: 89).
Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)

Mitos Musibah Tahun 2014

 

Seperti biasanya, selepas terjadinya bencana lantas banyak mitos dan reka-reka. Termasuk pasca meletusnya Gunung Kelud. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, bencana mulai 1 Januari 2014 hingga 16 Februari 2014 berjumlah 282 kejadian.
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, mengatakan, dari 282 kejadian bencana terdapat 197 orang tewas, 64 Luka-luka, dan 1,6 Jiwa mengungsi. Selain itu, kerugian material juga mencapai triliunan rupiah.  Ini belum termasuk korban terdampak letusan Gunung Kelud.

Karena Rebo Wekasan?
Ternyata, tidak sedikit masyarakat yang meyakini bahwa datangnya bencana pada 2014 karena tahun baru kemarin jatuh pada malam ‘Rebu wekasan’ (Rabu Terakhir).

Bahkan, pesan tentang “Rabu wekasan” ini marak beredar jelang pergantian tahun baru 2014 lalu. Dalam pesan berantai blackberry messenger beredar dinyatakan “Rabu wekasan, malam tahun baru pada tahun ini berbeda dengan tahun-tahun yang sudah lalu karena malam tahun baru pada tahun ini bertepatan pada hari rabu terakhir atau “arba’mustamir di bulan shafar”.

Dalam broadcast BBM itu juga dikatakan “pada hari rabu tersebut Allah akan menurunkan beribu-ribu malapetaka (bala’) oleh sebab itu pada tahun ini diharapkan Untuk tidak ber lebih-lebihan dalam merayakan tahun baru masehi 2014 Karena setiap manusia tidak tau musibah apa yang akan diturunkan pada hari itu..SEBARKAN TEKS INI seikhlasnya ke KONTAK MU pada sebagian mukmin ALLAH”.

Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar. Tradisi-tradisi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar yang merata hampir di seluruh nusantara, khususnya di Jawa, dan ada sampai sekarang, adalah ritual yang sudah turun-temurun dari ratusan tahun lalu. Sakralitas pelaksaan upacara atau acara dalam menyambut Rabu wekasan, membuat keangkeran makin menancap kuat dalam benak masyarakat.
Orang Jogja menamainya dengan Rabu pungkasan, orang Sunda menyebut Rebo kasan, orang Madura menyebut Rebbuh bekasen dan Rabu bekas di sebagian daerah.

Dalil yang Digunakan

Yang dimaksud dengan Rebo Wekasan ini adalah hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Hari tersebut dianggap sebagai hari ‘naas’ karena konon pada hari itulah kaum Ad dibinasakan oleh Allah. Tentang firman Allah Ta’ala,
’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).

Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir)  tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan.
Kalaupun benar bahwa peristiwa tersebut terjadi pada hari itu, tapi ayat ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu terakhir bulan Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah hari kesialan yang berlakunya terus menerus. Alasan Allah menimpakan bencana tersebut bukan karena waktu, akan tetapi karena kedustaan dan kekafiran kaum ‘Ad.
Ada lagi yang menyandarkan keyakinan Rabu wekasan sebagai hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir pada sebuah riwayat yang berbunyi,

آخِرُ أَرْبِعاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ

“Rabu terakhir di bulan (safar) adalah hari musibah yang terus menerus.”
Namun derajat hadits ini dikomentari para ulama dengan level yang paling tinggi ‘dha’if”, adalagi yang menyebut dha’if jidan (lemah sekali) dan bahkan ada yang menilai maudhu’ (palsu).
Imam ath-Thabrani setelah menyebutkan riwayat itu berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad melainkan melainkan melalui jalan Ibrahim bin Abi Hayyah.” Sedangkan ia adalah orang yang haditsnya munkar seperti yang ddikatakan oleh al-Bukhari dan Abu Hatim, “munkarul hadits”. Imam an-Nasa’i mengatakan, “lemah”.

Bulan Shafar  adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang  tidak memiliki kehendak dan  berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Karenanya, orang yang mencela dan menganggap sial hari-hari tertentu berarti mencela Allah, karena Dialah yang menggulirkan waktu demi waktu. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ

“janganlah kalian mencela masa, karena Allahlah (Pemilik) masa.” (HR Muslim)
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menepis mitos ini dengan sabdanya,

“tidak ada thiyarah (kesialan yang ditandai dengan gelagat burung), tidak pula ada (kesialan pada bulan) Shafar.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika pikiran seseorang disibukkan oleh pengaruh buruk dari hari-hari tertentu maka ia akan cenderung menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya. Maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Atau minimal hatinya akan dibayang-bayangi oleh rasa gundah atau waswas.

Intinya, tidak selayaknya kita menyalahkan masa atau hari-hari tertentu sebagai biang musibah. Justru hendaknya masing-masing kita mawas diri, dosa apa yang telah dilakukan hingga musibah terjadi. Lalu memperbanyak istighfar dan bertaubat kepada Allah. Karena ketika bencana turun karena dosa, maka tidak ada cara efektif untuk menanggulanginy akecuali dengan taubat. Seprti yang dikatakan para ulama, “Laa yaziu balaa’un illa bidzanbin, wa laa yurfa’u illa bit taubah”, tidaklah turun musibah melainkan karena dosa, dan musibah tidak berhenti melainkan dengan bertaubat. Allahumma tubna ilaika. Aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Allah Tahu yang Kita Mau, Kenapa Perlu Berdoa?

“Mengapa kita perlu berdoa? Bukankah Allah Mahatahu semua yang kita inginkan? Jadi kenapa harus meminta? Apakah itu bukan berarti mendikte Allah untuk melakukan apa yang kita inginkan?” Yang lain lagi berkata, “Kenapa perlu berdoa? Toh apa yang Allah lakukan adalah apa yang Dia kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki.”

Itulah di antara pikiran nyeleneh yang berseliweran dalam wacana dan perbincangan, bahkan sudah ada yang menjadikannya sebagai pegangan. Meskipun aneh, tapi jalan logika semacam itu bisa berpotensi menggembosi semangat kita untuk berdoa.
Inilah Jawabannya

Ya, kita perlu berdoa, karena Allah suka jika hamba-Nya berdoa kepada-Nya. Doa adalah bukti bahwa kita mengakui kelemahan kita di hadapan Allah, merasa rendah di hadapan-Nya dan senantiasa membutuhkan pertolongan-Nya. Doa adalah pengakuan manusia, bahwa dirinya hanyalah seorang hamba di hadapan Allah.
Orang-orang yang tidak mau berdoa kepada Allah hanyalah orang yang sombong, seakan ia tidak butuh pertolongan Allah, atau merasa gengsi kalau harus merajuk dan merendahkan diri di hadapan Allah. Wajar jika Allah memurkai orang-orang semisal ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Bahwasanya barangsiapa yang tidak (mau) meminta kepada Allah, maka Allah murka kepadanya.” (HR Tirmidzi)

Ath-Thiibi menjelaskan hadits tersebut, “Barangsiapa yang tidak mau memohon kepada Allah maka ia telah memposisikan diri untuk dibenci oleh Allah, dan orang yang dibenci layak untuk dimurkai, dan Allah suka jika hamba-Nya memohon kepada-Nya.
Allah menyebut orang-orang yang tidak mau berdoa kepadaNya sebagai orang yang sombong, sebagaimana firman-Nya,
“Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS al-Mukmin 60)

Mereka menyombongkan diri dari ibadah kepada Allah, dan makna ibadah dalam ayat ini adalah doa, sebagaimana jelas ditunjukkan oleh kalimat sebelumnya. Dan secara definitif Nabi shallallahu alaihi wasallam juga menafsirkan kata ‘ibaadati (beribadah kepada-Ku) pada ayat tersebut dengan doa. Sebagaimana yang dikatakan oleh an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasuullah shallallahu alaihi wasallam bersabda di atas mimbar,

اَلدَّعَاءُ هُوَ اْلعِباَدَةُ

“Doa adalah ibadah..” Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam membaca ayat tersebut. (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan shahih)

Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa doa adalah ibadah, karena ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka dia telah membangun doanya di atas dua keyakinan; Pertama, bahwa ia mengakui betapa mendesak kebutuhan dirinya kepada Allah dan bahwa tidak ada tempat bersandar selain kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Kedua, bahwa doa menjadi bukti ta’zhim (pengagungan) dan keimanannya kepada Allah karena dia yakin bahwa Allah kuasa untuk mengabulkannya.”
Ini juga menjadi jawaban bagi orang yang menganggap bahwa berdoa berarti mendikte Allah untuk melakukan sesuatu, atau bahkan menyuruh Allah untuk ini dan itu. Doa adalah permohonan. Secara bahasa, permohonan adalah permintaan yang ditujukan dari yang lebih rendah derajatnya kepada yang lebih tinggi derajatnya. Jika ada anak yang meminta uang saku kepada orangtuanya, itu bukan berarti anak lebih tinggi derajatnya daripada orangtua. Justru menunjukkan, bahwa orangtua lebih tinggi statusnya daripada anak. Orang yang berdoa kepada Allah justru menunjukkan dirinya lemah dan butuh di hadapan Allah.

Doa adalah Cara yang Diperintahkan

Allah memang mengetahui keiginan kita dan Mahakuasa untuk memberikan apa yang kita inginkan meskipun tanpa meminta. Akan tetapi Allah menetapkan doa sebagai cara bagi manusia yang ingin mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Meskipun Allah telah menganugerahkan kepada manusia nikmat tak terhitung banyaknya tanpa manusia meminta. Allah menjadikan doa sebagai sebab, sebagaimana ikhitar ragawi juga menjadi sebab untuk mencapai tujuan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.” (QS al-Mukmin 60)

Ketika manusia menginginkan sesuatu yang menurutnya adalah kebutuhan, maka Allah memerintahkan manusia untuk meminta kepada-Nya sebagai bentuk ikhtiyar. Dan Allah menjanjikan pengabulan doa bagi yang mau melaksanakannya.
Bahkan, Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata, “Doa adalah sebab yang paling dominan untuk meraih sesuatu yang dicari dan menolak sesuatu yang dibenci.” Betapa banyak kisah dari zaman ke zaman yang menunjukkan dahsyatnya kekuatan doa. Dan banyak di antara peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa doa mampu menghasilkan sesuatu yang tidak dimampui oleh usaha manusia.
Ini juga menjadi jawaban pertanyaan, “Apa perlunya berdoa, sedangkan Allah berbuat sesuai kehendak-Nya, bukan sesuai kehendak manusia?”
Bahwa Allah memang berbuat dengan apa yang Dia kehendaki, “Fa’aalul limaa yuriid”, Dia berbuat apapun yang Dia kehendaki, tapi jangan lupa bahwa doa hamba-Nya adalah termasuk sesuatu yang Dia kehendaki. Terbukti sangat banyak ayat dan hadits yang memerintahkan kita untuk berdoa kepada-Nya, wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)

Karma Membunuh Binatang

Kezhaliman, maupun tindakan jahat memang akan mengundang datangnya balasan yang setimpal. Hanya saja, parameter zhalim dan jahat didasarkan pada syariat. Bukan sekedar mengikuti naluri, apalagi keyakinan adat dan khurafat. Beberapa orang yang mempercayai karma lantas takut membunuh apapun, termasuk hewan-hewan yang diperbolehkan untuk dibunuh. Dengan keyakinan, bahwa nanti dia akan diperlakukan sama seperti yang ia lakukan terhadap binatang.

Syariat tidak menilai bahwa segala bentuk pembunuhan itu berarti kezhaliman yang karenanya ia akan mendapatkan balasan buruk. Ada makhluk-makhluk yang boleh dibunuh, bahkan sebagiannya diperintahkan untuk dibunuh sesuai syarat dan ketentuan syariat.

Binatang yang halal untuk dimakan, otomatis boleh untuk dibunuh, tetapi dengan cara yang telah ditetapkan, yakni menyembelih dengan cara yang baik. Hendaknya menajamkan pisaunya, dan memulai dengan membaca basmalah. Maka, tak ada alasan takut untuk menyembelih ayam, kambing, sapi atau onta untuk keperluan dimakan, apalagi hewan-hewan yang disembelih untuk tujuan ibadah seperti udhhiyah maupun aqiiqah.

Ada pula hewan yang diperintahkan untuk dibunuh meski dilarang  untuk dikonsumsi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,

”Lima jenis hewan yang harus dibunuh, baik di tanah haram maupun di tempat lain, yaitu  ular, kalajengking, tikus, anjing buas dan burung rajawali” (H.R. Abu Dawud) dalam riwayat lain disebutkan juga burung gagak.

Hanya saja, tentang membunuh ular di dalam rumah ada pembahasan yang lebih khusus. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya kota Madinah ini dihuni oleh jin-jin yang telah masuk Islam. Jika kalian melihat ular (di dalam rumah), maka usirlah selama tiga hari. Jika masih terlihat setelah itu, maka bunuhlah karena ia adalah setan’,” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ لِهَذِهِ الْبُيُوتِ عَوَامِرَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْهَا فَحَرِّجُوا عَلَيْهَا ثَلاَثًا فَإِنْ ذَهَبَ وَإِلاَّ فَاقْتُلُوهُ فَإِنَّهُ كَافِرٌ

 

“Sesungguhnya rumah-rumah ini dihuni oleh ’awaamir (jin-jin berwujud ular yang biasa menghuni rumah), jika kalian melihatnya, maka usirlah atas nama Allah selama tiga hari. Jika tidak pergi juga, maka bunuhlah karena ia adalah (jin) kafir,” (HR Muslim)

Sebagain ulama berpendapat bahwa perlakuan ini khusus untuk penduduk di sekitar Madinah, ada juga yang berpendapat bahwa itu berlaku umum. Karena ibrah (landasan) yang dijadikan parameter adalah umumnya lafazh, bukan khususnya sebab.

Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, sebagai langkah hati-hati, jika terlihat ular di dalam rumah, hendaknya diusir atau dibuang dengan menyebut asma Allah. Jika setelah tiga hari tampak lagi, hendaknya dibunuh. Disebutkan pula dalam Syarah Muslim, bahwa sebagian ulama berpendapat, jika ular itu tidak pergi setelah ada peringatan tersebut, maka itu bukanlah jin yang biasa tinggal di rumah-rumah, bukan pula jin yang masuk Islam, maka tidak mengapa jika kalian membunuhnya. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Ritual Mengundang Hujan

Dampak kemarau panjang mulai dirasakan di beberapa wilayah negeri ini. Sawah dan ladang kekeringan, kesulitan air untuk minum dan memasak mulai banyak dikeluhkan. Berbagai ritual dilakukan oleh segolongan masyarakat untuk mengundang datangnya hujan. Di Banyumas misalnya, ada yang  mengadakan ritual Cowongan, yakni dengan membuat semisal orang-orangan mirip jaelangkung. Setelah diberi mantera-mantera, cowongan dibawa ke  halaman. Di tubuh cowongan diikat dengan tiga tali yang akan ditarik dari tiga arah dibarengi dengan mantera-mantera.

Di Jawa Timur ada tradisi Tiban. Untuk mengundang hujan diadakan aksi saling pukul antara dua orang laki-laki dengan menggunakan lidi pohon aren yang dipilin. Aksi pertarungan ini selalu berakhir dengan luka terbuka dan tak jarang mengucurkan darah. Mereka meyakini cara ini dapat mengundang hujan. Di Kalteng ada ritual sesaji yang disebut Pasaluh Ondou. Ada pula tradisi Modayango di Gorontalo yang menyuguhkan sesaji dan atraksi kekebalan, makan pecahan kaca dan orang kesurupan. Semua itu diyakini pelakunya sebagai sebab turunnya hujan. Dan banyak lagi ritual  hasil rekayasa dan otak-atik manusia yang justru menjerumuskan mereka pada kesyirikan dan dosa. Padahal Allah yang Kuasa menurunkan hujan telah mengajarkan cara melalui Rasul-Nya. Sebagaiamana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,

Orang-orang mengadu kepada Rasulullah saw tentang musim kemarau yang panjang. Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang, dan beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”. Aisyah lalu berkata, “Rasulullah saw  keluar ketika matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar. Beliau saw  bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan mengabulkan doa kalian” Kemudian beliau berdoa,

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ  لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْغَنِىُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلاَغًا إِلَى حِينٍ

”Alhamdulillahi Rabbil ’Alamin, ar-rahmaanir rahiim, Maaliki yaumid diin. Tidak ada sembahan haq kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan.”

Kemudian beliau terus mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau. Kemudian beliau membalikkan punggungnya, membelakangi orang-orang dan membalik posisi selendangnya, ketika itu beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat dua raka’at. Lalu Allah mendatangkan awan yang disertai guruh dan petir. Turunlah hujan dengan izin Allah. Beliau tidak kembali menuju masjid sampai air mengalir di sekitarnya. Ketika beliau melihat orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda: “Aku bersaksi bahwa Allah adalah Maha kuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Abi Daud)