Islamisasi dan Deislamisasi Bahasa Jawa

Groeneveldt mencatat bahwa jejak awal Islam di Jawa adalah pada masa pemerintahan Ratu Shima (674 M) di Kalingga. (Nusantara dalam Catatan Tionghoa, hlm. 20-21) Sayangnya, tidak ada catatan yang bisa menjelaskan secara detail proses Islamisasi selanjutnya. Islam mulai berkembang pesat pada abad 13 M. Meski pelan, pengaruh Islam mulai merambah kehidupan masyarakat Jawa. Sebagaimana bahasa Melayu, bahasa Jawa juga mendapatkan pengaruh Islam.

 

Islamisasi Bahasa Jawa

Salah satu bukti terjadinya Islamisasi bahasa Jawa adalah naskah karya Sunan Bonang yang diedit oleh B. J. O. Schrieke menjadi Het Boek van Bonang. Bahasa naskah ini adalah bahasa Jawa pertengahan, yaitu bahasa Jawa masa peralihan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa Jawa baru yang masih digunakan hingga sekarang. Mengenai hal ini, R. M. Ng. Poerbatjaraka menyatakan, Serat punika basanipun taksih basa Djawi-tengahan gantjar, nanging isinipun bab agami Islam. Ukaranipun sadjak ketularan ukara basa Arab, amila angel tegesipun; ugi wonten tjengkokipun Malaju sawatawis, kados ta ana pon (ada pun).” Artinya, “Serat ini bahasanya masih menggunakan bahasa Jawa pertengahan gancar (tidak bersajak), tetapi isinya tentang agama Islam. Kata-katanya terlihat terpengaruh kata dalam bahasa Arab sehingga sulit diartikan. Ada juga sedikit serapan bahasa Melayu, seperti ana pon (ada pun).” (Kapustakan Djawi, hlm. 88)

Baca Juga: Strategi Portugis Melumpuhkan Islam Di Nusantara

Bahasa Jawa pertengahan digunakan mulai zaman Majapahit (abad 13) sampai abad 16 M. Pada periode itulah Sunan Bonang hidup. Bahasa yang digunakan putra Sunan Ampel ini dalam kitabnya banyak terpengaruh oleh kata-kata Arab. Beberapa kata masih murni disebutkan sebagaimana bahasa aslinya, seperti ushûl sulûk, qadîm, dzâtullâh, ‘isyq, ‘âsyiq, ma‘syûq, iman, tauhid, ma‘rifat, muhdats, murtadd, dhalâlah, bid‘ah, dan sebagainya. Beberapa kata terlihat sedang mengalami proses penyerapan ke dalam bahasa Jawa dan diucapkan dengan dialek Jawa, seperti sinalametaken (sing + selamet + aken) yang berarti memberinya keselamatan, angimanaken (ang + iman + aken) yang berarti mengimani, asifat (a + sifat) yang berarti mempunyai sifat, ingitsbataken (ing + itsbat + aken) yang berarti ditetapkan, ama‘dûmaken (a + ma‘dûm + aken) yang berarti menyatakan ma‘dûm (tiada), aja esak (e + syak) yang berarti janganlah kamu ragu, dan sebagainya. Kata-kata Arab tadi ternyata merupakan kata-kata kunci dalam agama Islam yang lazim digunakan dalam ilmu akidah maupun tasawuf.

 

Deislamisasi Bahasa Jawa

Meskipun Kitab Bonang menunjukkan ada upaya Islamisasi bahasa Jawa setidaknya pada abad 16, namun pada masa selanjutnya upaya ini kurang begitu berhasil dibanding dengan Islamisasi bahasa Melayu. Terutama sejak kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa pada 1830, ada upaya sistematis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, misionaris maupun orientalis untuk memisahkan Islam dari budaya Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan ahli Jawa berkebangsaan Belanda yang dapat berbicara bahasa Jawa dan memahami berbagai hal tentang Jawa, pada 1830 didirikanlah Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta, tempat ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda kemudian mempelajari bahasa Jawa Surakarta dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat seperti Dieng, Borobudur, dan Prambanan untuk melihat tradisi Jawa Kuno. Javanologi Belanda itu dengan minat besar terhadap bahasa Jawa kuno yang dilengkapi dana, metode, serta lembaga yang kuat segera membeberkan dangkalnya pemahaman orang Jawa terpelajar tentang tradisi Jawa kuno dan menjadi satu-satunya penakluk. Javanologi Belandalah yang “menemukan”, “mengembalikan”, dan membentuk serta memberikan makna terhadap masa lalu Jawa. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka juga harus membaca karya-karya Javanolog Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda dan jika mungkin, melalui pendidikan Javanologi di negeri Belanda. (Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, hlm. 7-8)

Upaya memisahkan Islam dari budaya Jawa juga menjadi strategi misi Katolik sejak paruh pertama abad 20. Agama Islam harus dipisahkan dengan budaya Jawa, setidak-tidaknya dalam teori dan juga dalam praktek sejauh hal itu dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama Islam mesti dihindari. Dalam strategi ini, penyangkalan atas jati diri Muslim Jawa atau setidak-tidaknya peremehan atas unsur Muslim dalam budaya Jawa tetap merupakan sebuah faktor yang kuat. Untuk itulah, di sekolah-sekolah yang didirikan para misionaris di Jawa, seperti di sekolah Muntilan, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.

Baca Juga:Dakwah Islam Sebelum Wali Sanga

Imam Jesuit Frans van Lith mengatakan, “Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.” (Lihat Karel A. Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942, Jilid II, hlm. 686 dan 726)

Pada 1980-an, Nancy K. Florida, seorang profesor dari Universitas Michigan, mendokumentasikan naskah-naskah Jawa kuno yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta, Istana Mangkunegaran, dan Perpustakaan Radya Pustaka di Solo. Betapa jengkelnya ia setelah mengetahui bahwa sebagian besar naskah Jawa yang telah diteliti para filolog Belanda mempunyai kecenderungan non-Islam atau anti-Islam, padahal bagian terbesar dari naskah Jawa yang tersimpan dalam perpustakaan bernuansa Islam. Sebuah katalog naskah Jawa dari Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Oleh karena itu, kecurigaan Steenbrink tentang kecenderungan akademis untuk memisahkan Jawa secara konseptual dari Islam di kalangan ilmuwan zaman kolonial dan yang mempunyai kecenderungan orientalistik, apalagi dari kalangan gereja, ternyata dibenarkan oleh Florida. (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. x) Wallahu a‘lam.

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Respons Militer Kesultanan Aceh Terhadap Ekspansi Portugis

Kedatangan Portugis di Malaka pada 1511 mendorong aktif perlawanan dari orang-orang di wilayah tersebut. Atas dasar intoleransi beragama dan monopoli perdagangan, mereka mengancam hampir semua penduduk dan pengunjung Malaka dan sekitarnya. Akibatnya, beberapa kerajaan menantang orang Portugis, dengan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pihak yang paling gigih melakukannya. Oposisi ini diungkapkan melalui kegiatan militer, politik, perdagangan, dan semangat agama.

 

Bersatu Sebelum Melawan

Setelah menaklukkan Malaka pada 1511 dan menghalau pedagang Islam dari situ, Portugis berusaha menanamkan pengaruh di Pasai dan Pidie dengan mendukung salah satu pihak dalam perselisihan perebutan mahkota yang banyak terjadi di situ. Pada mulanya hubungan antara Kesultanan Pasai dan Kesultanan Pidie dengan Portugis berlangsung dengan baik. Ketika pertama kali datang di Pasai pada 1509, rombongan Portugis diterima dengan baik oleh Sultan Pasai. Di tempat ini, pemimpin rombongan Portugis, Diogo Lopez de Sequieira, bahkan sempat mendirikan tugu atau salib.

Sementara itu, kedatangan orang Portugis di Pidie bermula dari orang-orang mereka yang melarikan diri dari Malaka. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Pidie. Alfonso d’ Albuquerque menyatakan penghargaannya terhadap sikap bersahabat Sultan Pidie dan memperbarui persekutuan yang telah dirintis oleh Sequieira. Kemudian ia meneruskan perjalanan ke Pasai.

Hubungan baik itu akhirnya kandas di tengah jalan karena ambisi Portugis yang memaksakan pengaruhnya di Malaka dan sekitarnya khususnya dan Kepulauan Nusantara umumnya. Akibatnya, hal ini mendorong semua unsur anti-Portugis, termasuk masyarakat pedagang kaya Islam, untuk bersatu di bawah panji-panji Aceh, sebuah kesultanan baru yang terbentuk pada sekitar 1500 di atas bekas-bekas Lamri kuno di ujung barat lau Sumatra. Antara 1519 dan 1524 Sultan Ali Mughayat Syah dari Aceh berhasil mengusir orang Portugis keluar dari Sumatra utara dan mulailah apa yang kemudian menjadi abad pertarungan sengit melawan orang asing Kristen ini. (Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, hlm. 5-6 dan William Marsden, Sejarah Sumatra, hlm. 376)

Pada awal abad 16 konsentrasi kekuatan Portugis sempat tidak dilawan oleh kaum Muslim di Nusantara. Inilah alasan penting yang membuat orang Portugis begitu cepat mencapai kesuksesan. Akan tetapi, setelah diketahui siapa bangsa Portugis sebenarnya, berbagai perlawanan muncul dari Aceh di barat hingga Maluku di timur. Kekuatan spiritual Islam memberikan kekuatan dan persatuan kepada dunia Islam. Hal ini membuat semua pedagang Muslim tidak hanya menjadi pengikut Islam, tetapi juga penyebar agama dan pembela keyakinan. Umat Islam pun bersatu memberikan perlawanan terhadap orang Portugis. (M. A. P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara, hlm. 121-122)

 

Api Jihad Berkobar

Tidak seperti Pasai dan Pidie, Aceh sejak awal menunjukkan respons yang berbeda terhadap Portugis. Para penguasa Aceh tidak pernah berkompromi dengan Portugis. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kekuatan militer sebagai gantinya. Sekitar tahun 1519, sebuah kapal di bawah komando Gaspar de Costa hilang di dekat Aceh. Orang-orang Aceh menyerang kapal itu, membunuh sejumlah orang dan menawan sisanya, termasuk de Costa. Nina Cunapam, syahbandar Pasai, harus membayar tebusan kepada Sultan Aceh, Ali Mughayat Syah, dan de Costa pun diserahkan kepadanya untuk dipulangkan ke Malaka. Selanjutnya, Sultan Ali Mughayat Syah berhasil mengusir semua pemukiman Portugis di Daya (1520), Pidie (1521) dan Pasai (1524). Ia terbukti menjadi penguasa yang kuat dan Sultan Aceh pertama yang mengendalikan seluruh wilayah Aceh yang disebut Aceh Darussalam. (Amirul Hadi, Aceh and The Portuguese, hlm. 53-54)

Tidak seperti Pasai dan Pidie, Aceh sejak awal menunjukkan respons yang berbeda terhadap Portugis. Para penguasa Aceh tidak pernah berkompromi dengan Portugis. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kekuatan militer sebagai gantinya.

Setelah berhasil mengusir Portugis dari Aceh dan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di ujung utara Sumatra, Kesultanan Aceh kemudian aktif menyerang Portugis di Malaka. Serangan pertama terjadi pada 1537, yakni pada masa Sultan Alauddin Al-Kahar (1537-1571). Selanjutnya selama berada di Malaka (1511-1641), Portugis mengalami 13 kali serangan lagi dari Kesultanan Aceh, tapi selalu gagal. Dalam penyerangan ke Malaka, Kesultanan Aceh sering mendapatkan bantuan dari umat Islam di luar Aceh. Misalnya serangan pada 1567, yaitu pada zaman Sultan Mansur Syah. Pada waktu itu, Sultan Mansur Syah membawa sebuah armada besar yang berisi 15.000 orang Aceh, 400 orang Turki, dan 200 meriam. (Sejarah Sumatra, hlm. 389)

Dalam serangan pada 1569, Sultan Mansur Syah membentuk persekutuan dengan Ratu Jepara. Armadanya berkekuatan 90 kapal. Dua puluh lima di antaranya adalah kapal perang besar yang mengangkut 7.000 pasukan dan sejumlah artileri. Namun, serangan ini tidak berhasil. Pada 1574, Malaka dikepung oleh armada Ratu Jepara berkekuatan 300 kapal layar. Delapan puluh di antaranya jung berukuran 400 ton. Setelah mengepung kota itu selama 3 bulan, armada itu mundur dan kehilangan 5.000 orang. (hlm. 390)

Serangan Aceh yang cukup gemilang terjadi pada 1575 setelah armada dari Jawa itu meninggalkan Malaka. Sultan Mansur Syah memerintahkan untuk menyerang 3 fregat Portugis yang sedang berlabuh melindungi beberapa kapal perlengkapan. Akhirnya, ketiga fregat hancur beserta seluruh awaknya. William Marsden menggambarkan peristiwa ini sebagai pukulan dahsyat bagi Malaka. Jumlah pasukan yang tersisa adalah 150 orang dan sebagian besar jumlah ini non-efektif. Sultan Aceh segera mendaratkan pasukannya dan mengepung benteng. Benteng itu dihujani peluru meriam selama 17 hari. Tembakan-tembakan orang Portugis semakin mengendor. Setelah beberapa waktu, tembakan itu berhenti sama sekali karena gubernur berpendapat lebih baik menghemat persediaan amunisi yang tinggal sedikit untuk pertempuran terakhir. Sultan menjadi gelisah karena kesunyian yang tiba-tiba. Ia mengartikannya sebagai persiapan untuk sesuatu tipu muslihat berbahaya sehingga segera menghentikan pengepungan dan kembali ke Aceh. (390-391)

Demikianlah jihad Muslim Aceh melawan penjajah Portugis. Dalam sejarah, Muslim Aceh memang dikenal sebagai suku bangsa yang pantang menyerah kepada penjajah. Mereka lebih memilih bangkit melawan daripada diam menghinakan diri. Wallahu a‘lam.

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Ahli Sejarah Pemikiran Islam